Rabu, 02 Februari 2011

BIROKRASI

Reformasi Birokrasi Versus Perilaku Pilon
Oleh : Nelson Sihaloho
Reformasi diartikan sebagai perubahan radikal untuk perbaikan baik itu bidang sosial, politik, agama tanpa kekerasan. Reformasi birokrasi berarti perubahan sistem pemerintahan yang dijalankan oleh pegawai pemerintah karena telah berpegang pada hirearki dan jenjang jabatan atau cara bekerja atau susunan pekerjaan yang serba lamban serta menurut tata aturan (adat dan sebagainya) yang banyak liku-likunya dan sebagainya. Birokrat adalah pegawai yang bertindak secara birokrasi atu pegawai merupakan seorang anggota birokrasi. Di Indonesia era reformasi diawali dengan tuntutan terhadap rezim alamarhum mantan Presiden Soeharto ketika pada tahun 1997 Indonesia dilanda berbagai krisis mulai dari krisis moneter hingga krisis kepemimpinan hingga tewasnya 5 (lima) orang mahasiswa Universitas Trisakti.
Lengsernya mantan alamrhum Soeharto dari tampuk kepemimpinan sebagai presiden menghantarkan B.J. Habibie sebagai presiden ke III di republik ini. Indonesiapun memasuki babak baru dengan naiknya almarhum Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagai presiden ke IV meskipun ditengah jalan Gus Dur dilengserkan, kemudian Megawati Soekarno Putri menjadi Presiden RI yang ke V. Ketika pemilihan umum (Pemilu) langsung diadakan pada tahun 2004 Susilo Bambang Yudhoyono berpasangan dengan M. Yusuf Kalla mereka berhasil mengemban amanat rakyat menjadi RI 1 dan 2. Maka dalam lembaran Negara RI SBY tercatat sebagai presiden yang ke VI termasuk SBY menjadi salah seorang pemimpin yang berhasil menjadi presiden 2 periode melalui pemilihan langsung.
Meski demikian amanat reformasi yang didengungkan oleh salah satu tokohnya adalah Amin Rais hingga saat ini sulit diterapkan mengingat berbagai faktor serta masih banyaknya kepentingan-kepentingan yang bersentuhan dengan kepentingan oknum-oknum yang tidak sejalan dengan reformasi. Oknum-oknum yang identik dengan berperilaku “pilon” itu memilih “bergerilya dan berupaya melakukan manuver politik, mengorbankan orang-orang kecil dengan menciptakan “dinasti” berlapis-lapis sebagai suatu sistem dalam menyelamatkan perilaku “pilon” nya. Dalam peraturan Negara misalnya sering Undang-undang ataupun peraturan dibuat bunyinya sedemikian apik, kata-katanya indah dan enak dibaca namun pelaksanaannya dilapangan hanya berupa kitab-kitab dan kertas-kertas yang seakan-akan tidak ada arti. Menabrak peraturan birokrasi di Negara ini memang sudah lazim. Budaya antri pada setiap kantor diciptakan sebagai budaya tertib dianggap sebagai hambatan untuk mempercepat urusan. Seakan-akan semua urusan merupakan kepentingan pribadi. Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa good governance adalah tata pemerintahan yang baik, bersih dan berwibawa. Pemerintah yang bersih (clean government) dan bebas KKN. Reformasi Birokrasi merupakan perubahan signifikan elemen-elemen birokrasi, antara lain kelembagaan, sumber daya manusia aparatur, ketatalaksanaan, akuntabilitas aparatur, pengawasan, dan pelayanan publik.
Reformasi Birokrasi diarahkan pada upaya-upaya mencegah dan mempercepat pemberantasan korupsi, secara berkelanjutan, dalam menciptakan tata pemerintahan yang baik, bersih, dan berwibawa (good governance), pemerintah yang bersih (clean government) dan bebas KKN. Pada pembukaan Rakornas-PAN 2005 di Istana Negara, 15 November 2005, Presiden SBY memberikan arahan untuk melaksanakan reformasi birokrasi, tegakkan dan terapkan prinsip-prinsip good governance, tingkatkan kualitas pelayanan publik menuju pelayanan publik yang prima serta berantas korupsi sekarang juga mulai dari diri sendiri dan hindari perbuatan tindak pidana korupsi. Menurut Taufik Efendi mantan Menteri PAN mengatakan ada lima prasyarat keberhasilan pemberantasan korupsi yaitu deregulasi peraturan perundang-undangan yang memberi peluang KKN dan ada kehendak yang sungguh-sungguh dan serius untuk memberantas korupsi terurtuang dalam Inpres 5/2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi merupakan salah satu komitmen yang harus ditindaklanjuti dengan tindakan nyata. Sistem dan mekanisme pelayanan publik yang memanfaatkan teknologi informasi (TI), penerapan dan pemanfaatan Single Identification/Identity Number (SIN) untuk setiap urusan masyarakat yang diharapkan mampu mengurangi peluang penyalahgunaan, peraturan perundang-undangan yang saling menunjang dan memperkuat serta penataan atau pembaharuan Criminal Justice System (CJS) yang memadai. Bappenas juga mencatat 14 unsur penting good governance, dalam membangun Pemerintahan yang baik. Ke empat belas unsure penting itu adalah wawasan ke depan (visionary), keterbukaan dan transparansi (opennes and transparency), partisipasi masyarakat (community participation), tanggung gugat (accountability), supremasi hukum (rule of law), demokrasi (democracy), profesionalisme dan kompetensi (professionalism and competency). Selanjutnya adalah daya tanggap (responsiveness), keefisienan dan keefektifan (efficiency and effectiveness), desentralisasi (decenralization), kemitraan dengan dunia usaha dan masyarakat (private and civil society partnership), komitmen pada pengurangan kesenjangan (commitment to reduce inequality), komitmen pada lingkungan hidup (commitment to environmental protection) serta komitmen pada pasar yang fair (commitment to fair market). Sementara itu Nurcholish Madjid, Erna Witular, Bintoro Tjokroamidjojo dan Setia Budi memandang empatbelas karakteristik good governance, yaitu mempunyai wawasan ke depan (strategic vision), pandangan ke depan (visioner). Visi, misi, dan strategi terbuka (transparan), keterbukaan/transparansi (transparency), cepat tanggap, responsif, daya tanggap (responsiveness) dan menumbuhkan dialog. Kemudian bertanggungjawab (responsible) dan bertanggunggugat (accountable), akuntabilitas (accountability), mengetahui tugas, hak dan kewajiban, profesional, profesionalitas, profesionalisme (professionalism), kompeten, jujur dan menumbuhkan keteladanan. Efisien dan efektif, efisiensi, efektivitas (effectiveness, efficiency), adil, manajemen pembangunan yang efektif, dan pelayanan publik yang prima, desentralistis, pembagian tugas, fungsi, kewenangan, dan peran yang jelas, demokratis, menaati kesepakatan, kebebasan yang bertanggungjawab, konsensus, dan sinergi.
Legitimasi, supervisi/pengawasan terhadap administrasi publik, legitimasi, supervisi, pengawasan terhadap administrasi publik, mengikutsertakan semua pihak, mengembangkan potensi yang ada, mendorong peran serta/partisipasi masyarakat (communities or citizens participation), menumbuhkan kebersamaan, dan membangun masyarakat sipil/madani (civil society) yang kuat, mendorong kemitraan pemerintah dengan swasta dan masyarakat, kewajaran, kesamaan dan kesetaraan (equity), keseimbangan hak dan kewajiban, komitmen yang kuat, kesungguhan, konsistensi, pemerintah sebagai agent of change dan agent of development, administrasi pembangunan yang baik, dan mendorong investasi swasta, penegakan hukum (law enforcement), penghormatan terhadap hukum, menjunjung tinggi supremasi hukum, dan kepastian hukum, berkomitmen pada pengurangan kesenjangan dan kemiskinan, menciptakan lapangan kerja, dan mendorong pengembangan koperasi dan UKMK serta membangun kemitraan. Berkomitmen pada tuntutan pasar: pemanfaatan iptek, daya saing, dan peningkatan kualitas SDM serta berkomitmen pada lingkungan hidup, pembangunan berkelanjutan, berkesinambungan, berwawasan lingkungan, untuk kepentingan generasi sekarang dan masa yang akan datang. Kementerian PAN misalnya telah menganalisis reformasi birokrasi pemerintahan dan mengidentifikasi Pokok-pokok Pikiran Tentang Reformasi Birokrasi Aparatur Negara tentang kelembagaan, sumber daya manusia, tata laksana atau manajemen, akuntabilitas kinerja apartur, pengawasan, pelayanan public, budaya kerja produktif, efesien dan efektif, koordinasi, integrasi dan sinkronisasi serta a best practices.
Perilaku Pilon
Banyak orang berbicara tentang birokrasi selalu berkonotasi negatif. Birokrasi adalah lamban, berbelit-belit, menghalangi kemajuan, cenderung memperhatikan prosedur dibandingkan substansi dan tidak efisien. . Karl D Jackson menilai bahwa birokrasi di Indonesia adalah model bureaucratic polity dimana terjadi akumulasi kekuasaan pada negara dan menyingkirkan peran masyarakat dari ruang politik dan Pemerintahan. Richard Robinson dan King menyebut birokrasi di Indonesia sebagai bureaucratic capitalism.
Birokrasi di Indonesia juga ditandai dengan tingginya pertumbuhan pegawai dan pemekaran struktur organisasi dan menjadikan birokrasi semakin besar dan membesar. Bahkan birokrasi Indonesia masuk dalam kategori birokrasi patrimonial. Ciri-ciri dari birokrasi patrimonial adalah para pejabat disaring atas dasar kriteria pribadi, jabatan dipandang sebagai sumber kekayaan dan keuntungan, para pejabat mengontrol baik fungsi politik maupun fungsi administrasi serta setiap tindakan diarahkan oleh hubungan pribadi dan politik.
Sekadar mengingatkan ada beberapa hal yang menjadi pokok permasalahan PNS seperti rasionalisasi PNS, faktor ketidakefektifan kinerja PNS dalam fungsi pelayanan publik, kondisi berlebihan jumlah PNS di Indonesia pada berbagai pemerintahan. Setiap tahun pengangkatan pegawai ditekan dalam jumlah yang seminimal mungkin dan hanya 15 persen dari total jumlah pegawai yang pensiun setiap tahun. Jika jumlah pegawai per tahun, mulai tahun 2007, yang pensiun berjumlah 120.000 orang, maka pemerintah hanya mengangkat pegawai baru berjumlah 25.000 orang. Banyaknya jumlah pegawai dan pensiunan pegawai di Indonesia saat ini memang sudah overload, di mana untuk menggaji 3,6 juta pegawai plus 2,9 juta pensiunan pegawai alokasi belanja APBN per tahunnya mencapai angka Rp 125 triliun. Bisa dibayangkan, jumlah untuk gaji pegawai dan pensiunan tersebut tidak sebanding dengan rasio subsidi pupuk pertanian senilai Rp 3,5 triliun per tahun atau dana kompensasi BBM sebanyak Rp 15 triliun untuk 20 juta orang miskin. Menurut Zaenal Muttaqien ( 2008) membengkaknya jumlah pegawai di Indonesia yang tidak sebanding dengan output kerja yang dihasilkan dalam bidang pelayanan publik merupakan dampak kebijakan politik birokrasi Orde Baru.
Hal lain seringkali menjadi sorotan terhadap PNS adalah dari masa orde satu ke orde yang lainnya setiap kali PNS dianggap syarat KKN, kinerja yang tidak baik dibandingkan dengan pegawai swasta, ataupun sebutan sebagai pegawai yang tidak profesional. Kondisi yang lebih memprihatinkan adalah kondisi PNS yang tidak lagi memiliki etika dan moralitas.
KKN tidah hanya mengandung pengertian penyalahgunaan kekuasaan ataupun kewenangan yang mengakibatkan kerugian keuangan dan asset negara, tetapi juga setiap kebijakan dan tindakan yang menimbulkan depresiasi nilai publik, baik tidak sengaja, atau pun terpaksa.
Semangat anti korupsi terus berlanjut antara lain tercermin dalam “Declaration of 8th International Conference Against Corruption” yang diselenggarakan di Lima, Peru, pada tangal 11 September 1997 dan dihadiri oleh wakil-wakil masyarakat dari 93 negara. Konferensi tersebut meyakini bahwa untuk memerangi korupsi diperlukan kerjasama antara masyarakat, dunia usaha, dan pemerintah. Struktur pemerintahan yang dibangun dengan latar belakang korupsi akan menjadi struktur yang korup dan akan hancur manakala korupsi tersebut dihilangkan. Berbagai lembaga luar negeri baik swasta maupun pemerintah juga berpendapat bahwa fenomena korupsi di Indonesia sudah sangat parah. Hal ini ditunjukan antara lain dari berbagai hasil survei atau penelitian yang mereka lakukan dan dibandingkan dengan kondisi di berbagai negara lainnya, antara lain seperti hasil penelitian Political and Economic Risk Consultancy (PERC) tahun 2000. Di tahun 2000 Indonesia memperoleh skor 8 (yaitu kisaran skor nol untuk terbaik dan 10 untuk yang terburuk) yang berarti jauh dibawah rata-rata kualitas birokrasi di negara-negara Asia. Terpuruknya Indonesia dalam kategori korupsi dan birokrasi, juga dilengkapi dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh PERC (2001) dan Price Water House Cooper (2001) tentang ranking negara-negara Asia dalam implementasi good governance. Indonesia menempati ranking/urutan ke 89 dari 91 negara yang disurvei; dan dari sisi competitiveness Indonesia menempati urutan ke-49 dari 49 negara yang diteliti. Terlepas dari berbagai paramater yang mungkin bisa diperdebatkan, hasil-hasil penelitian itu harus kita perhatikan untuk mengantisipasi pembesaran akibatnya. Berbagai fenomena dan sejarah perkembangan korupsi di Indonesia tersebut menunjukkan adanya kaitan erat antara KKN dengan perilaku kekuasaan dan birokrasi yang melakukan penyimpangan termasuk perilaku “pilon”.
Apabila perilaku birokrasi berkembang dalam pengaruh politik dan menjadi tidak netral, maka birokrasi yang seharusnya mengemban misi menegakkan “kualitas, efisiensi, dan efektivitas pelayanan secara netral dan optimal kepada masyarakat”, cenderung berorientasi pada kepentingan partai atau partai-partai, sehingga terjadi pergeseran keberpihakan dari “kepentingan publik” kepada “pengabdian pada pihak penguasa atau partai-partai yang berkuasa”. Dalam kondisi seperti itu, KKN akan tumbuh dan birokrasi akan kehilangan jati dirinya, dari pengemban misi perjuangan negara bangsa, menjadi partisan kelompok kepentingan yang sempit. “Birokrasi yang sakit” seperti akan menjadi corong dan memberikan kontribusi pada penguasa. Semangat keberpihakannya banyak diarahkan pada kepentingan segelintir orang atau pun kelompok-kelompok tertentu dalam masyarakat, bekerja dengan lamban, tidak akurat, berbelit-belit, Sebaliknya, birokrasi yang terlalu kuat dengan kemampuan profesional yang tinggi tapi tanpa etika dan integritas pengabdian, akan cendrung menjadi tidak konsisten, bahkan arogan, sulit dikontrol, masyarakat menjadi serba tergantung pada birokrasi. Dalam perkembangan birokrasi seperti ini, juga akan memberikan akibat negative pada pengembangan inisiatif masyarakat, dan sudah barang tentu tidak efisien serta sangat memberatkan masyarakat. Namun pada sisi yang berseberangan hal tersebut telah sangat menguntungkan pihak-pihak tertentu yang jumlahnya sangat sedikit bila dibandingkan dengan masyarakat Indonesia secara keseluruhan.
Sasaran hingga 2025
Reformasi Birokrasi mengacu pada Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 dan Perpres Nomor 5 Tahun 2010. Perbaikan Tata Kelola Pemerintahan juga menjadi agenda utama dalam pembangunan nasional 2010-2014. Kebulatan tekad pemerintah untuk melanjutkan pelaksanaan reformasi gelombang kedua pun ditegaskan dalam Pidato Presiden pada 14 Agustus 2009. Tujuan dari reformasi gelombang kedua ini adalah untuk membebaskan Indonesia dari dampak dan ekor krisis yang terjadi 10 tahun lalu dan diharapkan pada tahun 2025 Indonesia sudah berada pada fase yang benar-benar bergerak menuju negara maju.
Terdapat tiga sasaran yang dituju dalam pelaksanaan Reformasi Birokrasi yaitu terwujudnya pemerintahan yang bersih dan bebas korupsi, kolusi dan nepotisme, meningkatnya kualitas pelayanan publik kepada masyarakat serta meningkatnya kapasitas dan akuntabilitas kinerja birokrasi. Melalui penerapan Reformasi Birokrasi maka beberapa hal positif yang muncul seperti mengurangi dan akhirnya menghilangkan setiap penyalahgunaan kewenangan public, menjadikan negara yang meiliki most-improved beraucracy, meningkatkan mutu pelayanan kepada masyarakat, meningkatkan mutu, merumusan dan pelaksanaan kebijakan/program instansi, meningkatkan efisiensi (biaya dan waktu) serta menjadikan birokrasi Indonesia antisipatif, proaktif, dan efektif . Pelaksanaan program dalam Road Map Reformasi Birokrasi ini dibagi dalam tiga tingkatan yaitu tingkat makro, meso dan tingkat mikro. Diharapkan melalui perjuangan serta tidak kenal menyerah diharapkan Indonesia pada tahun 2025 mendatang merupakan salah satu Negara maju didunia yang mampu melakukan reformasi birokrasi secara berkelanjutan. Aparatur-aparatur dan oknum-oknum pejabat yang berperilaku “pilon” yang menghambat tugas reformai birokrasi dapat kita deteksi melalui perilaku dan kinerjanya.
(* Tulisan ini dihimpun dan disarikan dari berbagai sumber-sumber relevan)