Kamis, 22 Maret 2012

PSIKOLOGI BELAJAR

Psikologi Belajar dan Motivasi Belajar Oleh: Nelson Sihaloho Pengantar Seringkali kita berhadapan dengan masalah siswa yang kurang didiplin dalam belajar. Bahkan disekolah sering kita temukan para siswa terlambat mengumpulkan pekerjaan rumah (PR) yang ditugaskan oleh guru. Anehnya ketika guru mengajar ada saja siswa yang usil dan ribut dalam kelas. Maka guru ketika sedang kesal maka akan melimpahkan masalah siswa kepada guru Bimbingan Konseling di sekolah. Dengan kondisi itu apakah guru telah benart-benar profesional? Apabila dikaji secara lebih mendalam apakah benar guru yang telah mendapatkan sertifikat pendidik telah menjadi guru profesional? Jika memang sudah menjadi guru profesional megapa dalam mengelola kelas saja guru “kelabakan” dalam menjalankan tugas profesionalnya di kelas. Suatu hal yang sangat “memalukan” jika ada oknum guru bila terjadi sesuatu dalam kelas dan selalu melimpahkan permasalahan kepada Guru Bimbingan Konseling di sekolah merupakan “ Guru Profesional” yang tersurat diatas kertas. Belajar dari berbagai kejadian-kejadian maupun pengalaman tentunya psikologi belajar dan motivasi belajar merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam proses belajar mengajar (PBM). Namun dalam implementasinya seringkali guru mengabaikan faktor-faktor psikologis dan motivasi siswa sehingga memiliki keinginan dan kemauan yang kuat dalam belajar. Pentingnya Psikologi Belajar Banyak pendidik dan psikologis yang kurang paham arti dari kenyataan bahwa psikologi merupakan bidang ilmu pengetahuan dan telah menjadi suatu profesi yang diakui kredibilitasnya. Teori belajar dan penerapannya merupakan masalah umum dalam psikologi. Banyak para ahli psikologi mengidentifikasi diri mereka dengan dasar sebagai ahli ilmu pengetahuan yang menyarankan bahwa betapa pentingnya dasar teori ilmu pengetahuan psikologi dikuasai dalam proses belajar mengajar. Teori belajar misalnya telah ada ribuan tahun yang lalu. Namun teori-teori itu terus digunakan meskipun perkembangan zaman dan teknologi semakin canggih. Padaintinya dasar-dasar ilmu pengetahuan yang sesungguhnya adalah berawal dari teori-teori zaman dulu. Perkembangannya adalah kemudian sesuai dengan fase, tuntutan ilmu pengetahuan dan teknologi. Psikologi belajar misalnya menyoroti tentang bagaimana kondisi psikologis seseorang diarahkan untuk mampu belajar dengan baik. Belajar sepanjang hayat misalnya adalah merupakan sesuatu tuntutan bahwa belajar tidak akan pernah berhenti sebelum ajal menjemput seseorang. Sering kita mendengar bahwa teori dasar dari ilmu pengetahuan merupakan jalan dalam menciptakan kespesifikasian keadaan pendidikan. Munculnya teori Thorndike dan prinsip Gestalt sama halnya dengan seringnya mensejajarkan beberapa bagian teori neo behaviorisme melawan orientasi teori kognitif atau beberapa bagian dari psikologi humanistik. Intinya psikologi memberikan masukan kepada dasar dari penelitian dan penemuan. Kita perlu untuk membuang cerita lain mengenai hubungan dasar ilmu pengetahuan dan resolusi masalah praktek. Metode ilmiah telah didukung untuk digunakan pada ilmu pendidikan termasuk psikologi. Namun pendidik memiliki kebiasaan melihat psikologi sebagai sumber informasi. Sebagian pendidik telah menganggap psikologi sebagai ilmu atau strategi yang dapat digunakan untuk praktek pendidikan. Tetapi umumnya para guru melewatkan tentang pentingnya psikologi. Aspek dasar dari psikologi adalah memasukkan pengetahuan, pemahaman, perkembangan dan kepribadian. Untuk mengetahui dan memahami teori pembelajaran diperlukan adanya pemahaman yang baik terhadap persoalan utama dalam teori psikologi. Teori belajar sering diidentikkan dengan teori instruksional. Beuchamp, 1961 dan Getzels, 1952 menyatakan bahwa pemecahan secara relative dan dengan cara yang tidak sitematis dimana kita membuat ketegasan mengenai praktek pendiidkan. Teori instruksional muncul didalam usahanya untuk menyediakan rencana yang lebih sistematis didalam pengajaran, masih berdasarkan prinsip yang telah diuji secara ilmiah. Siegel salah satu ahli yang menentang bahwa teori instruksional diperoleh dari teori belajar “ selengkapnya yang harus dipatuhi bahwa keberhasilan belajar dinyatakan karena berhasilnya instuksi (pengajaran). Gordon, 1968 mendefinisikan bahwa teori iinstruksional lebih luas dan banyak diterima, bahwa serangkaian pernyataan didasari dengan penelitian yang dapat dijawab atau ditemukan jawabanya akan menjadi suatu yang dapat meramalkan perubahan yang khusus didalam lingkungan pendidikan. Pertentangan tersebut membutuhkan jalan tengah antara peneliti psikologi dengan praktisi pendidikan. Para ahli mendukung kesepakatan akan perbaikan dasar dari praktek pendidikan, yang sesuai dengan masukan dari kolaborasi berbagai ahli professional. Para ahli sering menggambarkan penelitian tersebut dan proses perkembangannya benar-benar membutuhkan masukan untuk memperbaiki proses pembelajaran. Motivasi Belajar Motivasi belajar setiap orang, satu dengan yang lainnya adalah tidak sama dan biasanya bergantung dari apa yang diinginkan orang yang bersangkutan. Secara umum beberapa faktor yang dapat memberikan penjelasan mengapa terjadi perbedaaan motivasi belajar pada diri masing-masing orang. Adapun perbedaannya adalah perbedaan fisiologis (physiological needs), seperti rasa lapar, haus, dan hasrat seksual. Perbedaan rasa aman (safety needs), baik secara mental, fisik, dan intelektual. Perbedaan kasih sayang atau afeksi (love needs) yang diterimanya. Perbedaan harga diri (self esteem needs). Contohnya prestise memiliki mobil atau rumah mewah, jabatan, dan lain-lain serta perbedaan aktualisasi diri (self actualization), tersedianya kesempatan bagi seseorang untuk mengembangkan potensi yang terdapat dalam dirinya sehingga berubah menjadi kemampuan nyata. Sedangkan stimulus motivasi belajar terdapat 2 faktor yang membuat seseorang dapat termotivasi untuk belajar, yaitu, pertama, motivasi belajar berasal dari faktor internal. Motivasi ini terbentuk karena kesadaran diri atas pemahaman betapa pentingnya belajar untuk mengembangkan dirinya dan bekal untuk menjalani kehidupan. Kedua, motivasi belajar dari faktor eksternal, yaitu dapat berupa rangsangan dari orang lain, atau lingkungan sekitarnya yang dapat memengaruhi psikologis orang yang bersangkutan. Motivasi belajar tidak akan terbentuk apabila orang tersebut tidak mempunyai keinginan, cita-cita, atau menyadari manfaat belajar bagi dirinya. Oleh karena itu, dibutuhkan pengkondisian tertentu, agar diri kita atau siapa pun juga yang menginginkan semangat untuk belajar dapat termotivasi. Adapun tips meningkatkan motivasi belajar adalah bergaullah dengan orang-orang yang senang belajar, belajar apapun, belajar dari internet, bergaullah dengan orang-orang yang optimis dan selalu berpikiran positip. Menurut William A. Ward Resep sukses: Belajar ketika orang lain tidur, bekerja ketika orang lain bermalasan, dan bermimpi ketika orang lain berharap. Sukses dalam Belajar Adapun faktor yang mempengaruhi kesuksesan dalam belajar adalah lingkungan sekitar, sarana belajar dan cara belajar. Lingkungan sekitar terdiri dari orangtua, guru dan teman. Sarana belajar harus tersedia seperti tersedianya buku yang berkualitas, suasana tempat belajar, alat bantu komputer dan koneksi internet. Sedangkan cara belajar adalah belajar sedikit demi sedikit dan membaca cepat “spead reading”. Satu ungkapan terkenal dari Bill Gates, pendiri Microsoft adalah “You do it bit by bit”. Bill Gates mengungkapkan itu itu untuk menjelaskan proses pembuatan program komputer. Pembuatan program adalah proses yang memakan waktu yang panjang yang tidak bisa dilakukan seketika yang memerlukan energi besar dan pikiran yang mendalam untuk menyelesaikannya. Ungkapan itu bisa juga diterapkan dalam proses belajar. Pada umumnya siswa-siswa masih terbiasa dengan belajar pada saat-saat akhir, sehari sebelum ulangan. Tidak mengherankan bila prestasi belajarnya juga tidak terlalu baik. Dalam belajar kita juga memerlukan teknologi dalam pendidikan. Mantan sekretaris pendidikan negara Amerika, Rod Paige mengatakan, “pendidikan adalah sektor industri yang masih memperdebatkan kegunaan teknologi”. Bill Gates, pendiri Microsoft mengatakan dalam bukunya, The Road Ahead: “Saya selalu peduli tentang pendidikan, tetapi sekarang saya seorang ayah sehingga saya memberikan pemikiran yang lebih mendalam. Saya melihat dari pengalaman pribadi bagaimana pembelajaran akan meningkat jika alat-alat yang tepat ada di tangan dan bagaimana sulitnya itu ketika alat yang baik dan informasi tidak tersedia. Potensi manusia terbuang ketika siswa-siswi di mana saja – terutama sekali anak-anak, yang secara alamiah mencintai komputer dan interaksi – tidak mempunyai akses ke teknologi informasi yang menjadi barang biasa dalam dunia bisnis yang berpikir ke depan.” Susan Brooks – Young menulis dalam bukunya, Digital-Age Literacy for Teachers: Applying Technology Standards to Everyday Practice: “Hari ini guru-guru harus mendapatkan kenyataan bahwa menyelesaikan tugas-tugas dengan metode tradisional masih bisa berjalan, tetapi ini akan membuat siswa-siswi menjadi dingin. Kenapa? Karena di luar kelas siswa-siswi mempunyai akses ke teknologi yang dapat membuat mereka dapat mengerjakan tugas-tugas yang sama yang lebih masuk akal bagi mereka. Daripada memegang cara lama bagaimana dahulu guru-guru belajar, guru-guru seharusnya memanfaatkan teknologi di dunia nyata dan paling tidak, mencerminkan, kalau tidak memimpin, penggunaan teknologi di kelas.” BOCSoft eQuestion adalah aplikasi manajemen pengetahuan yang dibuat dengan Microsoft® Office oleh BOCSoft sebagai mitra terdaftar Microsoft.BOCSoft eQuestion alat untuk mengumpulkan, meringkas, merangkai ilmu pengetahuan yang metode pembelajarannya melalui gabungan beberapa cara, yaitu, membaca, mendengar, melihat, melatih dan mengulang. Filosofi BOCSoft eQuestion adalah AIM – CURIOSITY – SPEED yaitu bidik apa yang ingin diketahui, tumbuh kembangkan keingintahuan serta dapatkan pengetahuan dengan cepat. BOCSoft eQuestion diperlukan untuk mempercepat belajar, mempercepat pengajaran, menghemat biaya dan waktu serta umpan balik yang cepat. BOCSoft eQuestion juga mempercepat pengajaran bila pengajar telah menyiapkan bahan-bahan yang menarik dan bermutu. Hanya dengan membagikan satu database yang mungkin bisa digunakan untuk satu tahun secara terus menerus dan kemudahan dalam perubahannya maka hal ini akan mempercepat pengajaran karena tidak lagi diharuskan membuat dari awal lagi. Tidak perlu lagi guru harus menulis di depan papan tulis yang pada akhirnya menghabiskan waktu yang berharga yang seharusnya diisi dengan tanya jawab atau berdiskusi. Karena pembelajaran dapat dilakukan secara elektronik maka proses belajar dan mengajar akan menghemat penggunaan kertas, walaupun dalam aplikasi tersedia fasilitas untuk mencetak. Tidak perlu lagi mengumpulkan koleksi soal dalam bentuk kertas yang akan memenuhi rak lemari. Satu database bisa menyimpan maksimal 290.344 pertanyaan dengan besar maksimum 2 GB (gigabyte). Jika satu keping DVD berkapasitas 4 GB maka dalam satu DVD bisa menyimpan 580.688 soal-soal. Jika satu kertas bisa menampung kurang lebih 7 soal maka akan diperlukan 82.955 lembar. Jika kertas berukuran F4 (21,5 cm x 33 cm) beratnya 80 gram/m2 maka beratnya akan kurang lebih sama dengan 555,8 kg atau sama dengan 55 kuintal kertas lebih. Berapa lemari yang harus disiapkan untuk menyimpan kertas-kertas tersebut? BOCSoft eQuestion dapat diterapkan dalam pendidikan khususnya para pencipta (pembuat), pemakai serta para pembuat dan pemakai. Bahkan dapat dibuat langsung di rumah, di sekolah dan pada perusahaan. BOCSoft eQuestion diciptakan untuk para siswa, orangtua, guru pembimbing, guru disekolah, pengarang buku maupun departemen sumber daya mnusia pada sebuah perusahaan. Adapun perbedaan BOCSoft eQuestion dengan metode/media pembelajaran lainnya adalah terletak pada kesederhanaan dalam pemakaian, mempunyai beberapa versi dengan harga yang terjangkau serta adanya dukungan. Motivasi Mengubah Keadaan Semenjak Daniel Golemen menggagasnya dalam karya fenomenal bertajuk Emotional Intelligence, kini makin diyakini pentingnya makna kecerdasan emosional dalam merajut kanvas kehidupan yang dilimpahi oleh kesuksesan dan kebahagiaan. Kecerdasan intelektual ternyata hanya separo dari sebuah perjalanan. Ia mesti juga dilengkapi dengan kecerdasan emosional (dan juga kecerdasan spiritual) agar kita semua bisa menggapai hidup yang penuh arti kemuliaan. Secara eksploratif, kecerdasan emosional sendiri pada dasarnya merujuk pada dua dimensi kunci yang mesti kita praktekkan dengan penuh kesempurnaan. Dimensi yang pertama adalah tentang dunia intra-personal – atau sebuah dunia sunyi untuk melihat dengan penuh kebeningan relung diri kita sendiri. Dimensi yang kedua adalah tentang dunia inter-personal – atau sebuah dunia dengan mana kita menghamparkan berderet perjumpaan dengan orang lain. Knowing yourself is the beginning of all wisdom, demikian filsuf Aristoteles pernah bersenandung. Maknanya jelas : kita tak akan pernah mampu mengenggam buah kebajikan tanpa kemampuan untuk secara jernih dan jujur menelisik setiap sudut raga dan jiwa kita. Kemampuan untuk secara bening menelusuri segenap jejak kelebihan dan potensi yang ada pada diri kita; dan juga sekaligus mau mengakui kekurangsempurnaan yang ada dalam diri kita dengan penuh kelapangan dada. Dengan kesadaran-diri yang kokoh itulah, kita kemudian bergerak maju merajut self-esteem dengan optimal. Self-esteem sendiri bermakna tumbuh-mekarnya rasa respek pada diri sendiri – tanpa harus tergelincir menjadi arogan atau takabur. Sebaliknya, self esteem ini lebih mewujud pada tumbuhnya rasa bangga (self-pride) atas jati diri kita dan juga terhadap segenap jejak karya dan impian yang tengah ingin anda ukir. Tanpa self-respect yang kuat, kita tak akan pernah mampu membangun respek pada orang lain. Dan tanpa self-esteem yang menjejak dengan kokoh, kita tak akan pernah melenting menjadi insan yang unggul, penuh kemuliaan dan bermartabat. Dimensi kedua dari kecerdasan emosional berkaitan dengan dimensi inter-personal atau dunia tentang jalinan interaksi dengan orang lain (others). Disini terdapat dua elemen kunci yang juga layak diperhatikan, yakni elemen interaksi antar manusia dan elemen empati. Kecerdasan emosional pada akhirnya amat berkaitan dengan ketrampilan kita dalam merajut relasi dengan orang lain (interpersonal relationship). Disitulah kemudian kita diuji untuk selalu bisa merekahkan pola relasi yang santun, penuh rasa respek dan saling-menghargai, serta dilimpahi spirit untuk berbuat baik kepada sesama. Disini pula kita diajak untuk selalu mampu menghadirkan rajutan komunikasi yang konstruktif dan suportif, dan bukan pola komunikasi yang dipenuhi rasa kedengkian dan negative thinking lainnya. Kita tahu, segenap kecerdasan semacam diatas hanya bisa digelarkan jika kita juga diguyur oleh spirit empati yang kuat. Inilah sebuah sikap untuk mau memahami dan menghargai perasaan orang lain. Sebuah sikap untuk juga mau bersikap welas asih pada sesama. Sebuah sikap untuk selalu menghadirkan momen perjumpaan yang penuh keramahan, menebar kebaikan kepada sesama tanpa pamrih, dan menyodorkan jabat tangan erat dalam balutan rasa cinta dan empati. Demikianlah empat tema utama yang menaungi makna kecerdasan emosional – yakni dimensi self awareness, self esteem, interpersonal relations dan empathic understanding. Simpulan Bahwa antara psikologi belajar dan motivasi belajar memiliki bagian yang integral dan tidak bisa dipisahkan antara satu dengan yang. Pemahaman kita tentang psikologi belajar akan menyadarkan kita bahwa pertumbuhan dan semangat belajar hanya bisa dilakukan jika orang-orang atau siswa memiliki keinginan yang kuat untuk maju. Semangat dan motivasi belajar yang tinggi akan selalu mampu mengubah prediksi dan keadaan. Ibarat bermain sepakbola tim underdog mampu mempecundangi tim tangguh dengan motivasi berlatih dan berlatih untuk menjadi yang terbaik. Penerapan teknologi dalam pembelajaran sangat membantu untuk mensukseskan siswa maupun para pembelajar. Semoga sekelumit karya tulis ini dapat memberikan kontribusi positip dalam peningkatan motivasi belajar. (dihimpun dan disarikan dari berbagai sumber-sumber relevan).

BIMBINGAN DAN KONSELING

Perkembangan dan Masa Depan Konseling Oleh : Nelson Sihaloho Konseling saat ini berkembang sesuai dengan tuntutan zaman maupun perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek). Kondisi dunia yang semakin kompleks dan sarat dengan berbagai persoalan menjadikan manusia cenderung kehilangan pegangan dalam hidup. Bahkan nilai-nilai religius pun semakin hari semakin merosot. Termasuk nilai-nilai spritual pun semakin menipis. Manusia semakin kehilangan arah dan tujuan karena didera persoalan tuntutan ekonomi yang terus merangkak naik. Sektor pendidikan misalnya meskipun telah ada aturan tentang “pendidikan gratis” dan “tidak boleh ada pungutan” nyatanya beban masyarakat khususnya para orangtua yang menyekolahkan anaknya di lembaga pendidikan terus mengeluh sepanjang tahun karena banyaknya tuntutan tentang pengeluaran biaya pendidikan. Bahaya-bahaya narkoba yang kini telah merambah ke kawasan pedesaan semakin lebih mengkhawatirkan. Akibatnya semakin banyak kalangan masyarakat yang mengkonsumsi narkoba. Mata rantai masalah sosial juga muncul semakin merebak karena akibat yang ditimbulkannya bukan hanya menyentuh orang per orang saja tetapi telah merambah ke kalangan komunitas, paguyuban hingga bangsa dan negara pun terkena imbas dari masalah-masalah sosial itu. Ditengah kondisi yang semakin sulit itu masyarakat selain kehilangan kepercayaan dan integritas terhadap masyarakat sekelilingya juga kehilangan kepercayaan terhadap penyelenggara pemerintah. Aparatur-aparatur negara yang diberikan kepercayaan oleh negara untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat juga semakin kehilangan citra ditengah merebaknya kasus-kasus penyelewengan jabatan dan kekuasaan yang dilakukan oleh kalangan oknum kepala daerah hingga pejabat negara. Menyikapi hal demikian tentu berimbas pada kalangan pendidikan. Sekolah misalnya sebagai lembaga pendidikan yang diberikan amanah dan menyelenggarakan pelayanan bermutu juga semakin tidak mendapatkan kepercayaan dari berbagai kalangan masyarakat. Meskipun guru telah mendapatkan tunjangan sertifikasi berbagai pungutan-pungutanpun masih saja terjadi. Oknum-oknum yang melakukan pungutan-pungutan terhadap anak didik selain tidak jelas dasar hukum dan aturannya akhirnya memberatkan pihak orangtua. Dari berbagai persoalan diatas sudah barang tentu akan menimbulkan akibat yang lebih luas, munculnya stress, depresi bahkan sebagian masyarakat memikul beban yang makin berat. Beban berat pada sebagian kalangan masyarakat itu selain membutuhkan pencerahan berkemungkinan juga membutuhkan konseling. Namun tetap saja para Guru Pembimbing r disekolah sering “dianak tirikan” dalam menjalankan tugasnya sebagai pendidik. Sejarah Konseling Perkembangan konseling dimulai pada awal tahun 1900, ketika terjadi reformasi sosial dan pendidikan karena kondisi masyarakat yang saat itu sedang kurang baik. Di Amerika misalnya pada abad 19 terjadi pergerakan reformasi. Para aktifis sosial menentang dan mendesak agar pemerintah lebih humanis dalam memperlakukan masyarakat terutama para imigran, kaum miskin, para penganggur termasuk orang yang terganggu secara mental. Merunut pada fakta sejarah sebagaimana dinyatakan oleh Nugent, 1994, dalam Gladding, 2000) bahwa Jane Addams dan Dorothea Dix adalah contoh orang-orang yang termasuk dalam pergerakan tersebut meskipun bukan para konselor. Tiga orang pionir yang patut dicatat karena jasanya dalam membangun arah konseling adalah Frank Parson, Jesse Davis, dan Clifford Beer. Frank Parson misalnya adalah orang yang memfokuskan diri pada kepentingan konseling dan pengembangan karir para calon penerbang. Sedangkan Jesse Davis, menekankan pelayanan kepentingan bimbingan dan konseling di sekolah-sekolah sebagai suatu ukuran yang mendukung pembentukan kewarganegaraan yang baik. Clifford Beers, mulai mereformasi pergerakan kesehatan mental terutama yang bersifat preventif, seperti bagaimana memperlakukan individu yang mengalami gangguan emosional. Ketignya telah memantapkan pertumbuhan konseling. Gagasan-gagasan dan aktifitas-aktifitas mereka dalam tiga bidang keahlian profesional itu menjadi akar munculnya fondasi-fondasi konseling. Secara teoritis konseling terdiri dari 4 teori utama yakni directive (E.G. Williamson), nondirective (Carl Rogers), psychoanalysis, dan behaviorism. Tahun 1950, banyak pendekatan-pendekatan baru diciptakan. Teori-teori tersebut memberikan kepercayaan terhadap konseling dan diterima oleh masyarakat umum. Frank Parson merupakan orang yang pertama mengadakan gerakan Bimbingan Pekerjaan (Vocational GuidanceMovement) di Boston. Kemajuan industri di Amerika Serikat (AS), mengakibatkan banyak siswa sekolah menengah yang mengikuti pendidikan termasuk mengikuti wajib militer. Parson memberi bantuan terhadap orang muda yaitu bimbingan pekerjaan dan pendidikan serta memberikan layanan bimbingan dengan menelusuri aspek-aspek internal di dalam diri siswa seperti minat, bakat, dan kemampuan, menelusuri aspek-aspek eksternal yang berada di sekitar siswa seperti faktor sosial ekonomi, keluarga dan menggali upaya-upaya pengembangan pendidikan dan karir siswa ke masa depan, mengaitkannya dengan masalah lapangan kerja dan pendidikan yang tersedia melalui berbagai informasi. Bukunya yang berjudul “Choosing a Vocation” diterbitkan satu tahun setelah meninggalnya Parson menurut fakta sejarah sangat berpengaruh di Boston. Gerakan bimbingan pekerjaan (Vocational Guidance) yang dipelopori Parson ini akhirnya berkembang luas ke berbagai negara bagian di AS. Tokoh lainnya adalah Jesse B. Davis merupakan orang pertama yang membuat program bimbingan secara sistematik di sekolah-sekolah publik. Munculnya Gerakan Kesehatan Mental (Mental Hygiene Movement) pada awal abad ke-20 menandakan bahwa perkembangan bimbingan semakin menunjukkan eksistensinya. Gerakan awal kesehatan mental ditandai dengan terbitnya buku “Mind That Found Itself” karangan C.W. Beers (1908). Buku tersebut menekankan mental break down dan mental hospital. Tahun 1909 Beers mendirikan The National Committee for Mental Hygiene. Peran psikologi konseling makin meluas. Apalagi munculnya Gerakan Psikometrika (The Psychometric Movement) yang ditandai dengan munculnya studi tentang perbedaan individu (individual differences) dimana gerakan pertama muncul di Perancis oleh Alfred Binet. Alfred Binet merupakan pelopor yang pertama kali melakukan pengukuran intelegensi pada tahun 1905 yang dikenal dengan test Binet Simon. Kemudian berkembang lagi alat tes psikologi untuk PD I dengan tujuan rekruitmen calon tentara oleh Waltetr Dill Scott yang disebut Army’s Committee on Classification of Personal. Fase berikutnya adalah berkembangnya konseling dan psikoterapi non-medikal dan nonpsikoanalitik oleh Carl R. Roger dengan bukunya yang terkenal “Counseling and Psychotherapy” pada tahun 1942. Pada tahap ini muncul gerakan para ahli psikometrika dengan melakukan assessment dan diagnosis (1930-an) dan pada tahun 1955 Donald Super mengembangkan tes psikologi untuk pekerjaan / karir. Pada era tahun 1960-an terjadi eksplosi profesi konseling sekolah dengan semakin meningkatnya penelitian yang terfokus pada konseling dan ditingkatkannya standar untuk sertifikasi dan kinerja konselor sekolah. Pada masa ini banyak muncul teori-teori humanistik yang baru seperti Abraham Maslow, Dugald Arbuckle, dan Sidney Jourad. Selain itu terjadi pergeseran paradigma dari konseling individual (face to face) menjadi konseling kelompok, serta berdirinya Community Mental Health Centers Act (CMHCA) dan untuk pertama kalinya kode etik konselor dipublikasikan. Dekade Tahun 1970-1990 Pada dekade ini CMHCA memperluas layanan anak dan remaja dengan penyakit mental. Dibentuk American Mental Health Counseling Association (AMHCA), dan terbentuknya badan lisensi konselor yang pertama di Virginia. Terdapat diversifikasi setting dalam layanan konseling, mulai dari sekolah hingga pusat-pusat kesehatan mental maupun pada agen-agen masyarakat sehingga dikenal istilah baru yaitu community counselor. Adanya perkembangan helping skill program yang dikemukakan oleh Truax dan Carkhuff pada tahun 1967 dan Ivey pada tahun 1971. Pada masa ini dibentuk komite untuk menilai dan memberikan izin praktek terhadap konselor yang dikelola oleh APA dan APGA. Pada tahun 1973 Association of Counselor Educators and Supervisors (ACES) mulai menetapkan rambu-rambu terhadap standardisasi program master dan doktoral dalam bidang konseling. Era tahun 1980-an ditandai dengan diterapkan dan ditingkatkannya standardissi pelatihan konselor dan sertifikasi. Tahun 1981 Council of Accreditation of Counselling and Related Educational Programs (CACREP) terbentuk untuk menstandarkan pelatihan terhadap konselor ddan kekhususannya. CACREP ini merupakan organisasi afiliasi APGA dan anggota Counseling on Post Secondary Accreditation (COPA), selanjutnya CACREP membuat standardisasi program master dan doktoral. Sebagai pelengkap CACREP, National Board for Certified Counselors (NBCC) yang dibentuk pada tahun 1983 mulai memberikan sertifikasi terhadap para konselor. Pada masa ini mulai banyak diterbitkan jurnal-jurnal ilmiah di bidang konseling dan dikemukakannya dimensi cross cultural dalam layanan konseling yang berimplikasi pada munculnya multicultural counseling. Pada tahun 1983, APGA berganti nama menjadi American Association of Counseling and Development (AACD). Pada tanggal 1 Juli 1992 AACD berganti nama menjadi American Counseling Association (ACA) untuk merefleksikan hubungan antara anggota asosiasi dan menguatkan kesatuan dan persatuan. Pada masa ini pedoman etik ACA dan standar CACREP direvisi. Pada masa ini terjadi gerakan perubahan dari istilah bimbingan dan perkembangan ke arah program konseling sekolah yang komprehensif. Bahkan terjadi pertumbuhan yang berlanjut dalam permasalahan keragaman dan multikultural dalam konseling serta terdapat penekanan terhadap model spiritual / kebaikan / holistik. Pada tahun 1991, Sears & Coy menekankan kebutuhan konselor sekolah untuk mencapai semua siswa melalui suatu model proaktif alih-alih model remedial. Pada tahun 1997, ASCA mengusulkan standar nasional untuk program konseling sekolah. Masih pada tahun 1997, DeWitt-Wallace-Reader’s Digest Fund mendirikan Transforming School Counseling Initiative (TSCI). Era Tahun 2000 Era tahun 2000 ditandai dengan munculnya berbagai krisis diberbagai belahan dunia. Profesi konseling sudah menjadi profesi yang dikenal secara luas. Pengembangan teori-teori konseling mulai merambah dan berkolaborasi dengan teori-teori lain, seperti dikemukakannya dance theraphy, musical theraphy, art theraphy, traumatic counseling, dan sebagainya. Paradigma konseling bergeser dari yang layanannya bersifat kuratif ke arah developmental dengan diterbitkannya buku “Collaborative, Competency-Based Counseling” pada tahun 2002, dan “Developmental Counseling”. Pada tahun 2011, ekonomi AS mengalami resesi, kemajuan yang terjadi dalam tahun 1990-an belum solid. Pada masa ini program bimbingan dan konseling komprehensif secara cepat menggantikan orientasi tradisional yang berorientasi pada layanan posisi. Selain itu, program bimbingan dan konseling komnprehensif menjadi cara utama untuk menata dan mengelola bimbingan dan konseling sekolah di seluruh AS. Juni 2002, model ASCA yang baru diumumkan sebagai cermin dari perubahan era layanan konseling. Kemudian tahun 2003, ASCA menerbitkan model nasional untuk program konseling sekolah (Model for School Counseling Programs). Pada musim panas 2003, TSCI mengadakan pertemuan di Las Vegas, membicarakan masalah penelitian konseling sekolah. Makin maraknya bencana alam seperti gunung meletus maupun berbagaai bencana lainnya semakin menambah derita dan trauma di berbagai negara termasuk di Indonesia. Sejak awal tahun 2000 telah terjadi banyak bencana Indonesia. Di samping kerusakan fisik bencana juga telah mengakibatkan gangguan psikis pada orang yang mengalaminya. Resiko psikologis yang dialami oleh individu yang mengalami kehilangan sumber daya yang bernilai, seperti kehilangan orang yang dicintai, harta benda yang dimiliki, hubungan sosial dan komunitas atau ketika kehilangan pegangan hidupnya akan menyebabkan stress dan trauma. Menurut Friedman & Schnurr dalam Green (2004) individu-individu yang memiliki pengalaman trauma akan menunjukan persoalan fisik konstan yang lebih besar, termasuk di antaranya rasa sakit yang kronis, gangguan gastrointestional, sakit kepala, dan serangan jantung. Menurut Green (2004) kegagalan coping dan adaptasi terhadap pengalaman traumatik akan menimbulkan efek bola salju yang luas dan mendalam, berjangka panjang dan mungkin tidak dapat diubah (irreversible). Gangguan kecemasan pascatrauma (PTSD) merujuk pada gangguan psikologis dan luka emosional yang dialami oleh individu yang mengalami suatu peristiwa tragis dan luar biasa.(Schiraldi, 2000). Secara formal mengkategorikannya sebagai suatu gangguan kecemasan dengan indikator dan ciri-ciri diagnostik tertentu yang berbeda dengan kecemasan biasa. (The American Psychiatric Association) Menurut Friedman & Schnurr dalam Green (2004) individu-individu yang memiliki pengalaman trauma akan menunjukan persoalan fisik konstan yang lebih besar, termasuk di antaranya rasa sakit yang kronis, gangguan gastrointestional, sakit kepala, dan serangan jantung. Menurut Green (2004) kegagalan coping dan adaptasi terhadap pengalaman traumatik akan menimbulkan efek bola salju yang luas dan mendalam, berjangka panjang dan mungkin tidak dapat diubah (irreversible). Menurut Schiraldi (2000), peristiwa yang menjadi pemicu kecemasan pascatrauma dikategorikan sebagai traumatic stressor, sedangkan yang menjadi pemicu kecemasan biasa disebut “ordinary stressor” atau sebagai “adjustment stressor”. Gangguan kecemasan pascatrauma (PTSD) biasanya terjadi dan membawa akibat pada fisik (physical fatigue), emosi (emotional fatigue), mental (mental fatigue), perilaku (behavioral fatigue), spiritual (spiritual fatigue). Untuk fisik mengakibatkan suhu badan meninggi (tension), menggigil (trembling), badan terasa lesu (fatigue), mual-mual (tingling), pening (nausea), ketidakmampuan menyelesaikan masalah (digestive track problem), sesak napas (rapid breathing), panik (event panic attack). Kebingungan (confussion), tidak dapat berkonsentrasi (inability to concentrate), tidak mampu mengingat dengan baik (remember), tidak dapat menyelesaikan masalah (lack decision making). Sedangkan untuk mental akibatnya sulit tidur, kehilangan selera makan, makan berlebihan, banyak merokok, minum alkohol, menghindar, sering menangis, tidak mampu berbicara, tidak bergerak, gelisah, terlalu banyak gerak, mudah marah, ingin bunuh diri, menggerakkan anggota tubuh secara berulang-ulang, rasa malu berlebihan, mengurung diri, menyalahkan orang lain. Untuk perilaku adalah putus asa (discouragement), hilang harapan (hopeless), menyalahkan Tuhan, berhenti ibadah, tidak berdaya (despair), meragukan keyakinan, dan tidak tulus, dll. Pendekatan untuk menangani anak-anak berpengalaman traumatik menuurt (Bryson, 2005) adalah Cognitif Behavioral Therapy terdiri dari, Exposure Terapy, Brief Psychodinamic Psikoterapy, Eye Movement Decensitization and Reprocessing, Family Terapy and Self-Help or Support Group Terapy. Dimasa depan konseling akan terus menunjukkan eksistensinya sebagai profesi yang akan banyak memberikan kontribusi terhadap penanganan klien. Meskipun saat ini meskipun ada anggapan bahwa profesi konseling “kurang setara” dengan profesi “menggiurkan” lainnya namun ke depan profesi konseling akan semakin menunjukkan eksistensinya. Pihak-pihak yang selama ini beranggapan bahwa konseling tidak memiliki peran strategis dalam pembangunan dan kemajuan bangsa dan ditengah semakin banyaknya tuntutan era global justeru akan memunculkan berbagai persoalan termasuk traumatik, depresi, kekalutan menta bahkan bemacam-macam penyakit mental lainnya.”Korupsi” umpamanya merupakan penyakit mental dilakukan oleh oknum-oknum yang suka mengambil yang bukan haknya. Secara psikologis apabila dilakukan uji mental terhadap pelaku koruptor jelas memiliki penyakit “maling”. Dari berbagai uraian diatas dapat disimpulkan bahwa profesi konseling di masa depan akan berkembang sesuai dengan perkembangan zaman dan teknologi, bahkan akan merambah pada instansi-instansi strategis. (dihimpun dari berbagai sumber-sumber relevan).