Selasa, 19 Oktober 2010

PENGANGGURAN

Pengangguran  dan Faktor yang Mempengaruhinya
Oleh: Nelson Sihaloho

Abstrak:
Pengangguran saat ini  merupakan salah satu agenda Pemerintah yang mendesak untuk ditanggulangi bahkan sejak Indonesia mengalami krisis ekonomi pada tahun 1997, jumlah pengangguran terus menunjukkan angka yang siginifikan. Dalam beberapa tahun terakhir meskipun  terjadi penurunan  pada saat ini jumlah penganggur  diperkirakan sekitar 9,5 juta orang.
Di tengah kinerja perekonomian Indonesia yang terus membaik, ditandai dengan stabilitas kondisi ekonomi makro dan pertumbuhan ekonomi berkisar 5 %-6% kenyataan juga bahwa jumlah pengangguran terus bertambah suatu hal yang menjadi ancaman serius munculnya gejolak-gejolak social ditengah-tengah masyarakat.
Selain itu terjadi  pergeseran yang cukup signifikan atas struktur perekonomian Indonesia dimana  beberapa sektor usaha mengalami peningkatan share terhadap total GDP, sementara sektor-sektor usaha lainnya mengalami penurunan bahkan relatif konstan.

Pendahuluan

Sebagaiamana berdasarkan data dari berbagai sumber mengungkapkan bahwa sektor usaha yang mengalami peningkatan share antara lain sektor industri pengolahan dimana semula sebesar 23,46 % pada tahun 1993 meningkat menjadi 27,84 % pada tahun 2006, sektor pengangkutan dan komunikasi 4,52 % pada tahun 1993 meningkat  menjadi 6,74 % pada tahun 2006.
Adapun sector yang mengalami penurunan itu adalah  sektor pertanian  dari sebesar 16,77 % pada tahun 1993 menurun menjadi  14,15 % pada tahun 2006. Perubahan struktur perekonomian itu akhirnya secara signifikan memicu timbulnya pengangguran. Perubahan struktur perekonomian juga mengakibatkan terjadinya
pergeseran seperti semakin banyaknya tenaga kerja bekerja di super market, semakin tingginya persyaratan keahlian serta perubahan produktivitas kerja pada masing masing sektor usaha.
Kemudian  besarnya upah (riil) di masing-masing sektor usaha dimana factor tersebut saling berinteraksi. Persoalannya sekarang bagaimana langkah-langkah konkrit dan upaya nyata yang dilakukan oleh pemerintah untuk mengatasi masalah pengangguran yang terus meningkat tersebut. Perlu dilakukan diversifikasi usaha serta peningkatan kualitas produk Indonesia di dunia internasional. Meskipun skill dan SDM tersedia sementara lapangan pekerjaan semakin sulit didapatkan tenaga-tenaga skill tersebut tetap akan dihargai murah demi memenuhi kebutuhan serta menyambung hidup mereka.
Persoalan dasar dan riil inilah yang sering diabaikan oleh pemerintah  sehingga jumlah pengangguran terus menunjukkan angka yang signifikan dari tahun ke tahun. Sementara elit politik sibuk dengan urusan politiknya, mereka para elit politik yang kini duduk di DPR diduga tumbuh melanggengkan sistem dengan membentuk  “kantong-kantong pemulung intelektual”.
Selain itu munculnya berbagai  kegiatan pemutusan hubungan kerja (PHK) karena kalangan pengusaha mengalihkan usahanya kepada teknologi dan melakukan modernisasi manajemen usaha berbasis teknologi tinggi dengan sedikit menggunakan tenaga kerja.
Adanya modernisasi manajemen usaha berbasis teknologi ini sudah barang tentu membawa akibat terhadap semakin meningkatnya angka pengangguran di tanah air. Tenaga-tenaga kerja produktif seakan-akan kehilangan motivasi dan pesimistis dengan agenda pemerintah yang akan membuka lapangan pekerjaan seluas-luasnya kepada rakyat.
Apabila dikaji dan dianalisis rasio tingkat pengangguran sektoral terhadap tingkat pengangguran nasional,  porsi angkatan kerja sektoral  dan kontribusi sektoral atas besaran pengangguran agregat maka akan semakin ditemukan suatu kesimpulan sementara bahwa mendapatkan kesempatan kerja sudah semakin sulit.
Sebenarnya pengangguran terjadi karena adanya pergeseran permintaan tenaga kerja inter-sektoral dan proses realokasi tenaga kerja antar sektor usaha yang lambat. Bahkan beberapa faktor struktural  lain yang berpengaruh berupa faktor demografi, asuransi pengangguran, labor market hysteresis, upah minimum, serikat pekerja  dan pajak penghasilan.
Menurt  Helwege, 1992  menyebutkan bahwa perbedaan upah antar sektor usaha antara lain terjadi karena adanya industri-specifik  shocks atas permintaan tenaga kerja yang bersifat temporer. Lee dan Pesaran (1993) dalam  analisisnya tentang penentuan upah menyebutkan bahwa perubahan upah relatif (sektoral) merefleksikan perubahan struktural yang tengah berlangsung dalam suatu perekonomian. Perbedaan upah antar sektor usaha yang antara lain disebabkan oleh perubahan struktur perekonomian.
Sedangkan Blien dan Sanner, 2006 menyebutkan bahwa peningkatan produktivitas pada industri-industri tertentu dapat mempunyai efek positif atau pun negatif terhadap employment, tergantung pada besaran labor-saving dan labor-augmenting effect-nya. Peningkatan produktivitas melalui technological progress, yang berdampak pada labor-saving, dapat menyebabkan tingginya pengangguran, bila besarannya tidak dapat dikompensasi oleh laboraug menting effect atas peningkatan permintaan agregat dengan turunnya harga barang seiring dengan naiknya produktivitas.

Analisis dan Kajian

Semakin besarnya pengangguran di Indonesia apabila dianalisis dari tingkat pendidikan berkemungkinan besar jumlahnya lebih banyak pada kalangan sarjana (intelektual), disusul kemudian dengan jenjang pendidikan SMA serta berkemungkinan besar lebih kecil persentasenya terhadap siswa SMK. Perlu dilakukan analisis dan penelitian lebih lanjut tentang ada pengaruh tingkat pendidikan terhadap semakin sempitnya lapangan pekerjaan khususnya bagi kalangan sarjana.
Berkemungkinan besar untuk lima tahun mendatang jenjang pendidikan magister (S2) juga akan semakin sulit mendapatkan lowongan pekerjaan karena pertumbuhan sektor lapangan pekerjaan mengalami stagnan. Menyusul kemudian gelar Doktoral (S3) hingga Professor pun dua puluh tahun mendatang semakin tidak memiliki tempat kecuali memiliki skill yang langka dan benar-benar skill yang dimilikinya langka.
Sektor-sektor usahapun hingga kini tidak mudah untuk menyerap tenaga kerja hal itu seiring dengan dilakukannya modernisasi manajemen lapangan usaha berbasis teknologi tinggi.
Suatu hal yang terus terjadi adalah bahwa tenaga kerja memerlukan waktu untuk mengembangkan kemampuan/keahlian. Ibarat seorang guru dituntut untuk terus meningkatkan kemampuannya meskipun tinggal beberapa tahun lagi pensiun. Begitu kurikulum berganti guru harus mampu menguasai kurikulum yang diberlakukan itu untuk diterapkan pada tingkat satuan kerjanya.
Sama halnya dengan pekerja yang bekerja pada sector industri pengolahan meskipun seorang sarjana/tekhnisi memiliki skill yang tinggi wajib mengembangkan kemampuannya secara terus menerus karena tingkat persaingan usaha disektor pengolahan selalu mengutamakan mutu.
Menuurt Jovanovic dan Moffitt, 1990  dan  Thomas , 1996  mengemukakan bahwa  tenaga kerja cenderung berpindah dalam sektor usaha yang sama, hal itu berkaitan dengan tingginya tingkat upah tenaga kerja yang berpengalaman di suatu sektor usaha.
Kini telah terjadi trend di beberapa sector usaha yang terlihat semakin negative pengaruhnya adalah sektor pertanian, penggalian dan pertambangan serta  jasa-jasa.  Bahkan sektor pertanian kurang menarik bagi pelaku ekonomi termasuk tenaga kerja beralih ke sektor usaha lainnya.
Perusahaan-perusahaan besar yang berorientasi pada profit keuntungan hanya memerlukan peningkatan produktivitas perusahaan dengan memberlakukan sistim pendidikan dan latihan bagaimana meningkatkan produktivitas dan mutu produk mereka. Semua lini yang tergabung dalam suatu sistem manajemen perusahaan benar-benar mengacu pada prinsip-prinsip profesionalisme yang tinggi.
Bahkan tidak jarang selama 5 -10 tahun perusahaan tidak melakukan penambahan tenaga kerja baru karena tenaga-tenaga kerja yang telah direkruit masih memiliki kemampuan yang dapat diandalkan. Satu sisi masyarakat kalangan sekitar justru selalu menganggap “miring” suatu perusahaan bila tidak melakukan penerimaan atau membuka lowongan pekerjaan kepada masyarakat sekitar.

Solusi dan terobosan

Untuk mengatasi masalah pengangguran di Indonesia memang tidak mudah serta membutuhkan suatu terobosan baru khususnya niat baik dari pemerintah untuk melakukan diversifikasi usaha sektor tenaga kerja.
Perguruan tinggi yang menerima para mahasiswa, kurikulumnya harus benar-benar mengacu pada kondisi nyata  di lapangan serta perubahan-perubahan yang kelak muncul di kemudian hari. Proyeksi-proyeksi perubahan struktur tenaga kerja harus dilakukan penelitian-penelitian empiric serta hasilnya dipublikasikan kepada public.
Bursa-bursa tenaga kerja juga harus lebih  sering melakukan promosi tentang sector-sektor tenaga kerja yang dibutuhkan baik itu dalam negeri maupun di luar negeri. Mengingat semakin sempitnya lapangan pekerjaan serta dilakukannya modernisasi manajemen tenaga kerja  integritas dengan menjunjung tinggi kejujuran dari pihak lembaga-lembaga penyelur tenaga kerja juga diminta peran aktifnya dalam menyalurkan tenaga kerja Indonesia (TKI).
Pengalaman selama ini banyak TKI-TKI yang disiksa oleh majikan mereka di luar negeri mengindikasikan para pengerah tenaga kerja Indonesia kurang professional dalam menjalankan aktivitas mereka. Mereka seakan-akan berpangku tangan bila terjadi sesuatu yang kurang baik menimpa para TKI di luar negeri.
Padahal para pengerah jasa TKI memperoleh jasa atas pengiriman dan penyaluran para TKI itu ke luar negeri. Dalam konteks ini juga sector perekonomian di pedesaan yang mampu membuka lapangan kerja baru harus terus ditumbuhkan dengan mengacu pada prinsip-prinsip berbasis keunggulan.
Banyak kini oknum sarjana pertanian (SP) yang malu pulang ke pedesaan dan keinginan mereka untuk bekerja menjadi PNS atau pada perusahaan perkebunan lebih besar dari pada menjadi petani professional. Jadi untuk apa para oknum sarjana pertanian itu dididik?. Pengangguran-pengangguran intelektual itulah yang sering menjadi beban karena mereka memiliki “gengsi” yang tinggi namun pada kenyataan dilapangan para sarjana-sarjana dari berbagai perguruan tinggi sudah bertumpuk. Anehnya para pencari kerja tidak seimbang dengan lowongan pekerjaan yang tersedia.
Mengacu pada semua yang dikemukakan diatas memang berat mengatasi masalah pengangguran di negeri. Sektor investasi harus lebih dikembangkan sehingga jumlah tenaga kerja yang terserap semakin lebih banyak. Home-home industry harus menjadi agenda penting yang harus dikembangkan dengan mengembangkan usaha-usaha produktif berbasis keunggulan. Unit-unit usaha yang sudah melampaui unit usaha serta produk-produk mereka membanjiri pasaran perlu dibatasi unit produksinya sehingga tidak menanggung beban kerugian yang semakin besar.
Tidak kalah pentingnya adalah menjalin kerjasama yang kuat dengan Negara-negara berkembang yang membutuhkantenaga kerja dalam jumlah besar. Namun perlu digaris bawahi sebelum para TKI itu dikirim ke luar negeri semua yang menyangkut prosedur pengiriman, dokumen-dokumen, kontrak kerja, kompensasi, asuransi maupun prosedur lainnya harus diikat dengan jelas sehingga para TKI memiliki kepastian usaha dan bekerja di luar negeri.  







PENDIDIKAN LIPP

Guru Profesional dan Kompetensi Keunggukan

Oleh : Nelson Sihaloho

 

Abstrak:

Pendidikan kita sat ini dihadapkan pada masalah rendahnya mutu sumber daya manusia (SDM). Apabila dibandingkan Negara-negara lain di ASEAN terutama Vietnam, Indonesia juga telah tertinggal. Dalam konteks ini perkembangan dunia industry pada era global membutuhkan SDM yang memiliki kompetensi keunggulan dibidangnya masing-masing.

Tendensi pendidikan bermutu sangat bertolak belakang dengan program “pendidikan gratis” yang digulirkan pemerintah sebagai sebuah fenomena “human investment”  tidak bermutu.

Padahal untuk meningkatkan mutu sektor pendidikan membutuhkan biaya yang cukup besar yang tidak hanya pendanaannya dibebankan kepada pemerintah. Khusus guru harus memiliki 5 kompetensi professional yaitu kompetensi pribadi, paedagogik, professional, kemasyarakatan serta iman dan taqwa.

 

Perkembangan kebutuhan masyarakat atas SDM yang berkualitas semakin meningkat dari tahun ke tahun. Hal ini sejalan dengan perkembangan tuntutan dunia kerja yang membutuhkan SDM berorientasi pada kebutuhan dunia industri. SDM yang dibutuhkan saat ini adalah SDM yang memiliki kompetensi unggulan terutama dalam hal kemampuan berpikir dimana kebutuhan SDM saat ini adalah SDM yang berorientasi kepada kerja pikiran.

Sejalan dengan pergerseran kebutuhan itu, restrukturisasi pendidikan harus dilakukan. Pendidikan tidak hanya diarahkan pada aktivitas mencetak tenaga kerja untuk industri melainkan juga tenaga kerja yang mengoptimalkan kemampuan berpikir dalam menjalankan pekerjaanya. Dengan demikian pendidikan diarahkan pada upaya menciptakan situasi agar siswa mampu belajar dan memiliki kemampuan berpikir tahap tinggi.

Untuk mampu mencapai fungsi di atas, pendidikan saat ini harus menekankan pada upaya pembentukan kompetensi kepada para siswa, sekaligus diikuti dengan perubahan radikal atas budaya mengajar saat ini.

Kondisi riil itu menunjukkan bahwa misi guru dalam melaksanakan pendidikan berubah dari menciptakan lulusan hanya untuk dunia industri menjadi lulusan yang siap untuk menghadapi pekerjaan yang mengutamakan kemampuan berpikir tingkat tinggi. Guru diharuskan mampu untuk mempersiapkan seluruh siswa agar memiliki kemampuan berpikir yang meliputi kemampuan menemukan masalah, menemukan, mengintegrasikan dan mensintesis informasi, menciptakan solusi baru, dan menciptakan kemampuan siswa dalam hal belajar mandiri dan bekerja dalam kelompok.

Guru juga dituntut untuk mampu menemukan bagaimana mendorong dan mengembangkan pemenuhan seluruh kebutuhan siswa berdasarkan potensi yang dimilikinya. Tanpa  adanya  tersebut  akan sulit tercipta lulusan yang memiliki bekal kemampuan berpikir tingkat tinggi.
Dalam menjalankan misinya, guru harus benar-benar memahami kognisi dan berbagai cara yang berbeda dalam belajar. Guru harus memahami perkembangan siswa dan berbagai konsep pedagogi sebaik mereka menguasai materi pembelajaran dan penilaian alternatif yang digunakannya untuk mengukur hasil belajar siswa.

Guru harus mampu menempatkan berbagai substansi perbedaan pengalaman belajar, perbedaan bahasa dan budaya, gaya belajar, talenta dan intelegensi sebagai dasar dalam melaksanakan berbagai strategi pengajaran yang kelak dipilihnya dalam proses belajar mengajar (PBM).

Pembelajaran harus dilaksanakan atas dasar apa yang telah diketahui dan dapat dilakukan siswa serta bagaimana siswa berpikir dan belajar dan untuk menyelaraskan proses belajar dengan performa yang dibutuhkan sejalan dengan kebutuhan individu siswa.

Dengan kondisi riil itu guru harus benar-benar memiliki karateristik unggul sehingga mampu melaksanakan misi barunya dalam proses pendidikan. Perekruitan tenaga guru berkarakteristik unggulan ini harus dilakukan baik pada saat guru menempuh proses pendidikan keguruan maupun pada saat guru terjun melaksanakan kewajibannya sebagai tenaga pendidik.

 

Perbaikan Mutu Guru

 

Kebutuhan akan guru berkualitas saat ini semakin tinggi dan harus disikapi secara positif oleh para pengelola pendidikan guru khususnya Perguruan Tinggi. Perguruan Tinggi harus mampu  meningkatkan mutu program pendidikan yang ditawarkan kepada masyarakata. Kunci pokok utama perbaikan mutu pendidikan pada jenjang pendidikan tinggi harus jelas  serta mampu membawa efek positif  terhadap kinerja  guru yang berkualitas di masa mendatang.

Berdasarkan hasil penelitian Darling-Hammond dan Bransford  (2005: 394)  menyatakan bahwa minimal ada tiga elemen penting dalam desain program pendidikan guru yang harus diperbaiki. Ketiga elemen itu adalah, pertama adalah konten pendidikan guru, berkenaan dengan materi yang harus diberikan kepada para mahasiswa, bagaimana cara memberikannya, bagaimana memadukan berbagai materi tersebut sehingga bermakna, termasuk juga bagaimana perluasannya agar mahasiswa memiliki peta kognitif yang akan membantu mereka melihat hubungan antara domain pengetahuan keguruan dengan penggunaanya secara praktis di lapangan untuk mendorong para siswanya belajar.

Kedua, adalah proses pembelajaran, berkenaan dengan penyusunan kurikulum yang sejalan dengan kesiapan mahasiswa dan mendasar pada materi serta proses pembelajaran praktis yang mampu menimbulkan pemahaman mahasiswa melalui kreativitas aktifnya dalam kelas.
Ketiga, adalah konteks pembelajaran, yang berkenaan dengan penciptaan proses pembelajaran kontekstual guna mengembangkan keahlian praktis mahasiswa. Konteks pembelajaran ini harus diterapkan baik dalam domain-domain materi ajar maupun melalui pembelajaran di komunitas professional (sekolah).

Sedangkan Lang dan Evans (2006: 3) menyatakan bahwa penciptaan program pendidikan bermutu dapat didasarkan atas esensi-esensi program pendidikan guru. Esensi-esensi itu adalah keberartian teori disertai pengalaman praktisnya, kerja sama antara perguruan tinggi dengan komunitas pendidikan lainnya, teori dan praktis dalam keterampilan generic dan refleksi serta diskusi tentang efektivitas keterampilan tersebut. Memberikan penekanan proses pada bagaimana cara mahasiswa belajar untuk meningkatkan kreativitas dan kemampuan berpikir kritis. Kemampuan untuk mengorganisasikan pembelajaran. Penerapan pendekatan konstruktivisme dalam pembelajaran. Penerapan alternatif asesmen dan teori motivasi serta  meningkatkan profesionalisme berbasis penelitian.

Program pendidikan bermutu pada dasarnnya adalah program pendidikan guru yang senantiasa mempertimbangkan pertanyaan apa yang harus dipelajari guru dan apa yang dapat dilakukan guru. Pertanyaan apa yang harus dipelajari guru akan mendorong program pendidikan guru senantiasa mengajarkan materi-materi kontekstual kepada siswanya.

Materi-materi kontekstual tersebut tidak hanya disajikan secara teoretis melainkan disajikan secara praktis sehingga para calon guru mampu memperoleh dua pengalaman sekaligus yakni konsep dan praktis. Program pendidikan guru harus mampu mendidik calon guru dalam asumsi dasar belajar tentang konsep praktis dalam praktiknya.

Apa yang dapat dilakukan guru akan mendorong pelaksanaan program pendidikan guru mengarah pada penggalian potensi dan kebutuhan para mahasiswa disesuaikan dengan kondisi nyata kinerja guru di lapangan. Dengan demikian, program pendidikan guru akan senantiasa menitikberatkan pada penciptaan hard skills dan soft skills yang harus dimiliki guru. Hal ini berarti bahwa program pendidikan guru harus mampu memberikan keterampilan profesional kepada para lulusan sekaligus menciptakan lulusan yang memiliki kemampuan berpikir tinggi yang akan sangat bermanfaat untuk mengembangkan profesionalisme ketika mereka sudah menjadi guru kelak. Oleh karenanya, pelaksanaan proses pendidikan pada program pendidikan guru haruslah diarahkan pada upaya mengenalkan dan memainkan mahasiswa sebagai guru selama ia menempuh studinya.

Program pendidikan guru yang berkualitas bukanlah program pendidikan guru yang memberikan pengetahuan berbagai model dan strategi pembelajaran kepada para mahasiswa melainkan yang mampu menerapkan berbagai model dan strategi tersebut kepada mahasiswa sehingga mahasiswa memperoleh konsep teori dan gambaran aplikasinya sekaligus. Melalui pengalaman nyata ini, keluhan atas ketidaktahuan guru atas berbagai model dan strategi pembelajaran serta ketidakmampuan guru menerapkan berbagai model dan strategi tersebut akan mampu ditepiskan. Selain itu dengan menerapkan berbagai model dan strategi tersebut langsung kepada para mahasiswa, kreativitas mahasiswa akan meningkat dan para calon guru ini akan memahami benar bahwa menjadi guru pada dasarnya adalah usaha untuk senantiasa menjadi pembelajar yang professional.

Pengembangan pendidikan guru yang professional juga dapat dibentuk melalui peningkatan proses pembelajaran berbasis penelitian. Hal ini berarti bahwa sejak awal para mahasiswa seharusnya sudah diajak untuk melakukan penelitian sederhana pada setiap mata kuliah. Melalui gaya pembelajaran seperti ini, para calon guru diharapkan mampu menemukan esesi guru yang sebenarnya sekaligus membangun kompetensi mereka untuk terampil melaksanakan penelitian ketika kelak mereka menjadi guru. Selain itu, pembelajaran berbasis penelitian juga dapat ditafsirkan bahwa proses pembelajaran yang dilakukan di perguruan tinggi senantiasa didasarkan atas hasil-hasil penelitian terkini sejalan dengan scientific vision dan market signal sehingga lulusan akan memiliki sejumlah keterampilan yang benar-benar dibutuhkan di lapangan.
Pada akhirnya, penciptaan program pendidikan yang berkualitas akan sangat bergantung pada kesadaran mutu para pengelolanya. Sekait dengan hal ini, para pengelola lembaga pendidikan tinggi keguruan sudah seyogyanya menjalankan proses pendidikan berdasarkan penjaminan mutu yang jelas. Para pengelola program pendidikan guru diharuskan mampun memberikan pelayanan prima kepada mahasiswa sehingga seluruh program yang dilaksanakannya mampu mengantarkan mahasiswa menjadi SDM yang berkualitas. Selain itu, dampak hirau mutu ini akan bermuara pula pada kepercayaan masyarakat terhadap lembaga pendidikan keguruan tersebut sehingga keberlangsung program pendidikan guru tersebut akan terjamin pada masa yang akan datang.

Membangun Kapabilitas Guru

Pembangunan guru yang berkualitas guna menunjang pembentukan pendidikan bermutu tidak sebatas bergatung pada program pendidikan guru yang ditempuhnya. Pengembangan kualitas guru sesungguhnya adalah terletak pada kemauan dan kemampuan guru untuk mengembangkan dirinya ketika mereka sudah menduduki jabatan guru. Dengan kata lain, pembangunan kualitas guru terletak pula pada usaha membangun kapabilitas guru itu sendiri.
Minimal ada lima kapabilitas yang harus terus menerus dibangun guru dalam rangka mengembangkan kualitasnya (Darling-Hammond. et.al. ,1999; Nicholss, G., 2002, dan Lang dan Evans, 2006). Kelima kapabilitas tersebut dapat diuraikan sebagai berikut.

Kapabilitas pertama yang harus terus dibangun guru adalah konten pengetahuan yang ia ajarkan. Kapabilitas ini berhubungan dengan kemampuan guru untuk terus mengembangkan dirinya dengan meningkatkan penguasaan konten pengetahuan secara terus menerus sehingga pengetahuan yang dimilikinya akan senantiasa berkembang dan up-to-date. Kapabilitas ini juga berhubungan dengan kemampuan guru dalam memahami kurikulum yang berlaku sehingga proses pembelajaran yang dilaksanakannya benar-benar berorientasi pada kurikulum terbaru. Selain itu, kapabilitas ini berkaitan erat dengan kemampuan guru untuk senantiasa berpikir kritis memaknai setiap materi ajar sehingga akan mampu memperluas pengetahuan siswa dan bahwa mampu merestrukturisasi pengetahuan agar sejalan dengan potensi dan kebutuhan siswa. Melalui pembangunan kapabilitas ini jelaslah sosok guru yang berkualitas bukanlah sebuah impian belaka.
Kapabilitas kedua adalah tingkat konseptualisasi. Kapabilitas ini berhubungan dengan kemampuan guru untuk mengidentifikasi wilayah pengembangan dirinya sehingga guru akan mampu secara terus menerus meningkatkan kompetensi yang dimilikinya. Kapabilitas ini jug berhubungan pula dengan kemampuan guru dalam menerapkan konsep dan ide-ide kreatifnya dalam setiap proses pembelajaran. Lebih lanjut, kapabilitas ini mempersyaratkan kemampuan guru untuk membuat desain rencana pengembangan professional dirinya secara tepat guru dan berhasil guna. Melalui desain rencana pengembangan professional yang dibuat guru, guru akan mampu merencanakan berbagai aktivitas pengembangan diri sehingga mitos guru adalah individu statis akan tertepiskan.

Kapabilitas yang ketiga berhubungan dengan kemampuan guru dalam melaksanakan proses pembelajaran. Guru yang kapabel adalah guru yang senantiasa memilih pendekatan, model, metode, dan teknik pembelajaran yang tepat sesuai materi dan karakteristik siswa. Melalui pemilihan strategi pembelajaran yang tepat inilah guru lebih jauh diharapkan mampu mengelola kelas sehingga berbagai tujuan pembelajaran yang ditetapkan akan tercapai. Sejalan dengan kenyataan ini, guru harus secara berkesinambungan meningkatkan pengetahuannya tentang berbagai strategi pembelajaran terkini sehingga guru tidak hanya terpaku menggunakan satu jenis strategi pembelajaran.

Kapabilitas keempat adalah komunikasi interpersonal. Kapabilitas ini berhubungan dengan kemampuan guru dalam menjalin komunikasi dengan siswa sehingga guru akan benar-benar memahami karakteristik siswa dan mengetahui kebutuhan siswa. Selain kemampuan berkomunikasi dengan siswa, kapabilitas ini berkenaan dengan kemampuan guru berkomunikasi dengan seluruh unsur sekolah dan orang tua siswa. Melalui berbagai jenis komunikasi ini guru diharapkan mampu memainkan peran pentingnya dalam mencetak lulusan yang unggul.
Kapabilitas terakhir adalah ego. Kapabilitas ini berhubungan dengan usaha mengetahui diri sendiri dan usaha membangun responsibilitas diri terhadap lingkungan. Hal ini berarti guru yang kapabel adalah guru yang memperhatikan diri sendiri dan orang lain, merespons positif segala bentuk masukan yang dia terima, bersikap objektif, membantu orang lain untuk berkembang, berpikir positif, dan senantiasa meningkatan self esteem. Melalui pembangunan kapabilitas kelima ini diharapkan guru akan mampu merefleksi diri sehingga kompetensinya akan senantiasa berkembang.

Berbagai kapabilitas yang telah dikemukakan tersebut pada prinsipnya merupakan wilayah pengembangan guru yang harus secara terus-menerus dikembangkan. Melalui kepemilikan dan pengembangan kelima kapabilitas tersebut, guru akan mampu memiliki kemampuan teknis dalam melaksanakan pembelajaran, kemampuan mengambil keputusan, dan kemampuan merefleksi kritis kinerjanya sebagai wujud nyata sosok guru yang berkualitas.

Mewujudkan Guru sebagai Peneliti

Aspek lain yang penting dalam rangka membangun kualitas guru adalah usaha mewujudkan guru sebagai peneliti. Hal ini sejalan dengan kenyataan bahwa guru harus mampu merefleksi diri dan kinerjanya. Melalui usaha ini guru akan mengetahui kekuranganya dan sekaligus mampu memperbaikinya. Lebih lanjut, melalui penelitian yang dilakukan guru, pembelajaran yang dilaksanakan akan lebih efektif dan efisien dalam rangka mencapai tujuan pendidikan yang telah ditetapkan.

Pertanyaannya adalah penelitian seperti apa yang cocok dilakukan guru? Jenis penelitian yang tepat digunakan tentu saja adalah penelitian tindakan kelas. Sebagaimana telah kita ketahui bahwa penelitian tindakan kelas pada dasarnya adalah penelitian yang dilakukan guru untuk meningkatkan profesionalismenya. Penelitian ini menitikberatkan kajian atas kegiatan praktis pembelajaran yang dilakukan guru dalam menjalankan tugas keseharianya. Dengan demikian, melalui penelitian ini guru akan secara sadar dan terus menerus melakukan analisis atas kelemahan pembelajaran yang dilaksanakannya serta memperbaiknya dengan melaksanakan berbagai tindakan perbaikan.

Pelaksanaan penelitian di dalam kelas merupakan upaya meningkatkan kualitas pendidik untuk menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi saat menjalankan tugasnya akan memberi dampak positif ganda. Pertama, peningkatan kemampuan dalam menyelesaikan masalah pendidikan dan pembelajaran yang nyata. Kedua, peningkatan kualitas isi, masukan, proses, dan hasil belajar. Ketiga, peningkatan keprofesionalan pendidik. Keempat, penerapan prinsip pembelajaran berbasis penelitian.

Berdasarkan uraian di atas, jelaslah bahwa mewujudkan guru sebagai penelitian pada dasarnya adalah usaha untuk meningkatkan profesionalisme guru sepajang kariernya. Lebih jauh melalui prosedur penelitian yang dilakukannya, guru dapat mengembangkan pengetahuan professional sehingga diharapkan guru akan mampu membanggun pengetahuannya secara mandiri. Akhirnya diharapkan guru di sekolah akan menjadi kaya dengan pengetahuan, pengalaman, dan keterampilan. Sosok guru yang demikian jelaslah merupakan sosok guru yang berkualitas yang akan sangat mendukung terbentuknya pendidikan bermutu.

Penutup
Pendidikan bermutu tidak akan terwujud tanpa adanya guru berkualitas. Sejalan dengan kenyataan tersebut, upaya awal yang harus dilakukan untuk mewujudkan pendidikan bermutu adalah meningkatkan kualitas guru. Melalui peningkatan mutu guru, guru akan mampu mengembangkan mutu pembelajaran yang dilaksanakannya. Peningkatan mutu pembelajaran ini akan berdampak pada peningkatan mutu lulusan. Pada akhirnya kepemilikan karakter guru yang efektif akan berdampak pada peningkatan mutu pendidikan. Melalui guru yang berkualitas, pendidikan bermutu bukan sebuah keniscayaan. Semoga.



Sebagai referensi..........buat pak nelson saja ...................oke...........
Pendidikan Bermutu Untuk Semua
Saat ini salah satu problem terbesar yang mendera pendidikan nasional adalah belum terlalu baiknya mutu dan relevansi pendidikan. Banyak indikator yang mengafirmasi akan realitas ini berdasar berbagai ukuran dan bencmarking. Untuk itulah 12 Universitas Penyelenggara Pendidikan, LPTK, ex IKIP, menjadikan isu ini sebagai sebuah tema besar dalam momentum penting Konvensi Nasional Pendidikan Indonesia (KONASPI) IV (digelar sekali 4 tahun) yang diadakan pada 17-19 November ini di Hotel Aston Grand, Denpasar-Bali. Tema besar itu berbunyi “Pendidikan Bermutu Untuk Semua”.
Dalam acara konvensi yang dihadiri oleh peserta sekitar 1004 orang itu, Dirjen menuturkan bahwa tema acara ini menemukan relevansinya saat di mana EFA dan MDGs seluruh Negara saat ini sedang dievaluasi. Konvensi yang dijalankan secara rutin menurut Dirjen menjadi pertanda bahwa LPTK dengan segenap sivitas akademika tidak pernah berhenti memikirkan masalah pendidikan nasional ini
Ada dua hal penting yang diusulkan Dirjen kepada peserta KONASPI untuk ditindaklanjuti pertama, agar LPTK melakukan analisa, penelitian dan lesson learned, terhadap kabupaten-kabupaten di Indonesia di dalam permasalahan pendidikan. Karenanya LPTK harus membina kerjasama dan komunikasi yang intens dengan pemerintah daerah. Kedua, tidak cukup hanya konvensi, LPTK pertematik harus punya kegiatan tahunannya. Satu tema didalami, dianalisa dalam kelompok dan “diledakkan” dalam setiap konvensi ini.
Dalam sidang pleno pertama, sebagai pembicara utama secara ekstensif dan komprehensif, Dirjen Dikti mendedah bagaimana sebetulnya tantangan pendidikan tinggi ke depan dalam konteks mutu dan relevansi ini. Level of thinking anak-anak Indonesia masih banyak di level 1 dan 2, belum ada korelasi positif antara lama pendidikan dengan produktifitas dan kemandirian anak bangsa. Produktifitas ilmuwan Indonesia dalam publikasi Internasional hanya 0,8 per sejuta penduduk dan lain sebagainya.
Ada lima tema besar yang dibahas dalam konvensi ini yaitu Pendidikan Guru dan Dosen, Lembaga Pendidikan Bertaraf Internasional, Manajemen Pendidikan Nasional, Pendidikan bagi Masyarakat Kurang Beruntung dan Inovasi Pendidikan. Lima tema ini sekaligus menjadi nama dan pembagian bagi lima sidang komisi yang akan diikuti oleh peserta selama tiga hari ini. Makalah-makalah berasal dari makalah pembicara kunci/pembicara utama dan pembicara terseleksi.
Ajang konvensi empat tahunan LPTK yang telah dimulai semenjak tahun 1988 ini, pada konvensi VI Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja menjadi panitia pelaksana. Selama interval waktu ini konvensi telah memberikan kontribusi bagi lahirnya berbagai regulasi pendidikan di Indonesia, dimulai dari UU.2/1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional sampai UU revisinya, yaitu UU No. 20 tahun 2003 tentang Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional.



OPINI


Renstra Depdiknas dan Penguatan Mutu Pendidikan
Oleh: Nelson Sihaloho

Pendahuluan
Program Better Education Through Reformed Management and Universal Teacher Upgrading (Bermutu) digulirkan sejak tahun 2008 dan akan berakhir pada tahun 2013 yang membutuhkan dana untuk pengembangan pendidikan Indonesia senilai  USD 195.06 Juta. Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Bambang Sudibyo ketika meluncurkan program “Bermutu”  mengatakan dana sebesar 195.06 juta dolar AS itu merupakan kontribusi pemerintah Indonesia sebesar 57,1 juta dolar AS yang terdiri atas kontribusi pemerintah pusat sebesar 39,1 juta dolar dan 18 juta dolar dari pemerintah daerah. Hibah dari pemerintah Belanda sebesar 52 juta dolar AS, IDA sebesar 61,5 juta dolar AS dan IBRD sebesar 24,5 juta dolar AS. Program “Bermutu” merupakan sebuah program terintegrasi dalam menangani manajemen guru di Indonesia yang berlangsung di Jakarta itu dihadiri Duta Besar Belanda untuk Indonesia Nikolas Van Dam, Country Director Bank Dunia untuk Indonesia, Joachim Von Amsberg.
Intinya program ‘Bermutu’ tidak hanya akan mengembangkan sendiri berbagai rancangan kegiatan tetapi juga berkolaborasi dengan berbagai proyek internasional lain yang sedang beroperasi di Indonesia terutama dalam peningkatan pembelajaran yang berhasil seperti Pakem, Lesson Studi, Multigrade Teaching dan sebagainya. Acara yang dikemas dan disaksikan melalui layanan video conference oleh 75 walikota/bupati, para rektor dari sejumlah perguruan tinggi dan wakil Bank Dunia di Washington DC, Chris Thomas. Country Director Bank Dunia untuk Indonesia, Joachim Von Amsberg mengatakan, program ‘Bermutu’ mendapat dukungan penuh Bank Dunia dan dilaksanakan untuk meningkat mutu pendidikan di Indonesia melalui peningkatan kualitas tenaga pendidik.Indonesia telah berinisiatif untuk memimpin dan mengembangkan program ini secara baik melalui penyusunan rencana strategis, sehingga berhasil mengatasi persoalan pendidikan tidak lagi pada project by project base tetapi sukses mengelola permasalahan khususnya peningkatan kualitas guru dalam satu pengelolaan. Salah satu indikator keberhasilan program ‘Bermutu’ yang diterapkan di 75 kabupaten/kota adalah adanya peningkatan prestasi siswa Indonesia dalam kurun waktu tiga tahun sejak 2003. Berdasarkan data pada tahun 2003  penilaian internasional tentang prestasi siswa Indonesia dalam kemampuan membaca, matematika dan literasi ilmu pengetahuan masih berada di skor 360, maka pada tahun 2006 menjadi 391 naik 31 poin.
Duta Besar Belanda untuk Indonesia, Nikolas Van Dam mengatakan, masyarakat miskin tidak memiliki peluang terhadap kehidupan ekonomi layak bila tidak memiliki akses yang baik terhadap pendidikan. Program “Bermutu” juga dinilai cukup berhasil dalam meningkatkan kualitas peserta didik dan tenaga pendidik. Rencana Strategis Depdiknas antara lain memuat visi, dan misi Pendidikan Nasional. Visi Pendidikan Nasional Indonesia adalah terwujudnya sistem pendidikan sebagai pranata sosial yang kuat dan berwibawa untuk memberdayakan semua warga negara Indonesia berkembang menjadi manusia yang berkualitas sehingga mampu dan proaktif menjawab tantangan zaman yang selalu berubah (Zamroni:2008). Sementara itu Misi Pendidikan Nasional adalah. mengupayakan perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan yang bermutu bagi seluruh rakyat Indonesia, membantu dan memfasilitasi pengembangan potensi anak bangsa secara utuh sejak usia dini sampai akhir hayat dalam rangka mewujudkan masyarakat belajar, meningkatkan kesiapan masukan dan kualitas proses pendidikan untuk mengoptimalkan pembentukan kepribadian yang bermoral. Selanjutnya adalah meningkatkan keprofesionalan dan akuntabilitas lembaga pendidikan sebagai pusat pembudayaan ilmu pengetahuan, keterampilan, pengalaman, sikap, dan nilai berdasarkan standar nasional dan global serta memberdayakan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan berdasarkan prinsip otonomi dalam konteks Negara Kesatuan RI. Manusia Indonesia yang dimaksud dalam visi pendidikan nasional Indonesia adalah manusia berkualitas dalam kecendekiawanan, kecerdasan spiritual, emosional, sosial, serta kinestetis (gerak tubuh) dan kepiawaian, serta mampu menghadapi perkembangan dan persaingan global. Menurut Zamroni, 2008 menyatakan bahwa peningkatan mutu pendidikan yang berpusat pada peningkatan mutu sekolah merupakan suatu proses yang dinamis, berjangka panjang yang mesti dilakukan secara sistematis lagi konsisten untuk diarahkan menuju suatu tujuan tertentu. Lebih lanjut Zamroni, 2008 menyatakan bahwa dalam peningkatan mutu sekolah tidak dikenal sesuatu yang gampang segampang teori, seperti yang disitir oleh Kurt Lewin: “There is nothing to practical as good as a theory”. Intinya, bahwa tidak mungkin ada peningkatan mutu sekolah tanpa didasari oleh suatu teori (Levin, 2008). Peningkatan mutu sekolah memerlukan teori, namun implementasinya tidak akan bisa mulus dan semudah teori yang ada. Teori-teori dan gagasan-gagasan amat diperlukan dalam peningkatan mutu sekolah. Namun, peran teori dan gagasan-gagasan tersebut tidak sepenting aktivitas riil peningkatan mutu sekolah itu sendiri. Peningkatan mutu atau kualitas pembelajaran merupakan inti dari reformasi pendidikan. Peningkatan kualitas pembelajaran sangat bersifat kontekstual dan sangat dipengaruhi oleh kondisi sosial dan kultural sekolah dan lingkungannya. Berbagai penelitian menunjukan bagaimana bagaimana pentingnya kondisi dan lingkungan sekolah mempengaruhi kualitas pembelajaran, seperti, dalam penelitian tentang sekolah efektif (Purkey & Smith, 1983), kerja guru dan pembelajaran (McLaughlin Talbert, 1993), retrukturisasi sekolah dan kinerja organisasi (Darling-Hammond, 1996).Dalam kaitan dengan peningkatan mutu, pengalaman menunjukan terdapat berbagai model yang dilaksanakan yang mencakup berbagai kebijakan dalam upaya meningkatkan mutu seperti model UNESCO, Model Bank Dunia, Model Orde Baru dan Model Orde Reformasi (Zamroni:2008).
Kurikulum Pendidikan
Pendidikan merupakan suatu proses yang sangat kompleks dan berjangka panjang, di mana berbagai aspek yang tercakup dalam proses saling erat berkaitan satu sama lain dan bermuara pada terwujudnya manusia yang memiliki nilai hidup, pengetahuan hidup dan keterampilan hidup. Kurikulum merupakan seperangkat rancangan nilai, pengetahuan, dan keterampilan yang harus ditransfer kepada peserta didik dan bagaimana proses transfer tersebut harus dilaksanakan. Suatu kurikulum pendidikan ditentukan oleh dua faktor dasar, yakni, faktor internal yang berupa pemahaman atas bagaimana sistem kerja otak, dan, faktor eksternal yang berupa kualifikasi dan kemampuan yang dibutuhkan oleh dunia kerja. Laporan Eral Hunt (1995) menunjukkan bahwa sistem kerja otak statis, penyebaran intelegensi sebagai kurva normal berbentuk be// shape, terdapat kemungkinan untuk menentukan secara spesifik berapa besar intelegensi yang diperlukan untuk mempelajari konsep dan skill  tertentu di sekolah dan menguasai fungsi-fungsi vokasional yang diperlukan dalam kehidupan, tes standarisasi dapat dipergunakan untuk mengukur intelegensi seseorang dan memprediksi kemampuan yang akan dapat dicapai serta  intelegensi terdiri dari kemampuan numeric dan fingual.  Penelitian mutakhir sistem kerja otak sebagaimana diuraikan Caineand Caine (1991) dalam bukunya Making connection: Teaching and human brain, menunjukkan bukti yang berbeda. Intelegensi ternyata bersifat dinamis dan dapat berkembang. Lebih daripada itu, intelegensi tidak hanya berkaitan dengan aspek cognitive semata, namun berkaitan dengan emosi maka disebut Emotion Intellegence (EQ) sebagai pelengkap IQ. Bukti-bukti menunjukan bahwa dalam keberhasilan pendidikan seseorang peranan IQ hanya sekitar 20 %. Sisanya 80 % sebagian besar ditentukan oleh EQ dan faktor kedewasaan sosial. EQ adalah kemampuan seseorang untuk mengendalikan aspek-aspek psikologis dalam diri sendiri yang mencakup, amarah, kesedihan, rasa takut, kenikmatan, cinta, terkejut, jengkel dan malu. Kemampuan mengendalikan aspek psikologis diperlukan agar EQ ini bisa bekerja secara harmonis dengan IQ. Hasil-hasil penelitian sistem kerja otak mutakhir juga menunjukkan bahwa, pemahaman adalah merupakan hasil interaksi siswa dengan informasi dalam situasi spesifik. Keahlian memerlukan pengalaman yang banyak dan analitik. Ingatan dan penggunaan apa yang diingat tersebut membutuhkan proses informasi yang mendalam yang ditentukan oleh kebermaknaan informasi tersebut. Intelegensi tidak hanya memiliki aspek cognitive (berwajah cognitive atau didominasi oleh aspek cognitive) tetapi memiliki multi aspek  (banyak wajah). Howard Gardner, ahli psikologi Cognitive dari Harvard University, telah mengembangkan teori multiple abilities, talents, and skills. Teori lama hanya menekankan pendidikan pada dua kemampuan yaitu verbal-linguistics dan logical-mathematical, dan telah  ketinggalan zaman. Intinya kurikulum yang didesain harus mampu mengembangkan seluruh potensi anak didik sehingga anak didik mampu berkembang secara optimal.
Penguatan Kultur
Sekolah sebagai suatu sistem memiliki tiga aspek pokok yang sangat berkaitan erat dengan mutu sekolah, yaitu proses belajar mengajar, kepemimpinan dan manajemen sekolah, serta kultur sekolah. Program aksi untuk peningkatan mutu sekolah secara konvensional menekankan pada aspek pertama, yaitu meningkatkan mutu proses belajar mengajar, sedikit menyentuh aspek kepemimpinan dan manajemen sekolah dan sama sekali tidak pernah menyentuh aspek kultur sekolah. Kultur merupakan pandangan hidup yang diakui bersama oleh suatu kelompok masyarakat, mencakup cara berfikir, perilaku, sikap, nilai yang tercermin baik dalam ujud fisik maupun abstrak.  Kultur ini dapat dilihat sebagai suatu perilaku, nilai-nilai, sikap hidup, cara hidup untuk melakukan penyesuaian dengan lingkungan sekaligus cara untuk memandang persoalan dan memecahkannya.  Salah satu ilmuwan yang memberikan sumbangan penting dalam hal ini adalah Antropolog Clifford Geertz yang mendefinisikan kultur sebagai suatu pola pemahaman terhadap fenomena sosial, yang terekspresikan secara eksplisit maupun implisit. Berdasarkan pengertian kultur menurut Clifford Geertz itu, kultur sekolah dapat dideskripsikan sebagai pola nilai-nilai, norma-norma, sikap, ritual, mitos dan kebiasaan-kebiasaan yang dibentuk dalam perjalanan panjang sekolah. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa pengaruh kultur sekolah atas prestasi siswa di Amerika Serikat telah dibuktikan lewat penelitian empiris. Kultur yang "sehat" memiliki korelasi yang tinggi dengan, prestasi dan motivasi siswa untuk berprestasi, sikap dan motivasi kerja guru,  produktivitas dan kepuasan kerja guru. Kaitannya dengan aspek lain adalah  rangsangan untuk berprestasi, penghargaan yang tinggi terhadap prestasi, komunitas sekolah yang tertib, pemahaman tujuan sekolah,  ideologi organisasi yang kuat, partisipasi orang tua siswa, kepemimpinan Kepsek dan hubungan akrab diantara guru. Kultur sekolah akan baik apabila Kepsek dapat berperan sebagai model, mampu membangun tim kerjasama,  belajar dari guru, staf, dan siswa dan harus memahami kebiasaan yang baik untuk terus dikembangkan
Guru besar ekonomi, Richard J. Murname dari Harvard University dan Frank Levy dari MIT telah melakukan studi mendalam di Honda of American Manufacturing (HAM) dan di Industri Motorola. Hasil kajiannya dalam bukunya 'Teaching The New Basic Skills' (1996) membuktikan bahwa meskipun di Amerika Serikat kemampuan rata-rata matematik telah meningkat dari skor 219 pada tahun 1982 menjadi 230 pada tahun 1992 untuk anak usia 9 tahun dan dari skor 289 pada tahun 1982 menjadi  307 pada tahun 1992 untuk anak usia 17 tahun, tetap saja terjadi fenomena degradasi ijazah. Dengan mengacu perkembangan ekonomi dan masyarakat yang cepat dan kemampuan tenaga kerja yang diperlukan, menurut Murname dan Levy, reformasi yang diperlukan di dunia  pendidikan adalah menetapkan skill dasar yang harus dikembangkan pada diri setiap peserta didik. Skill dasar tersebut meliputi, The hard skids, yang mencakup dasar-dasar matematik, problem solving, kemampuan membaca yang jauh lebih tinggi dan lebih cepat dibandingkan yang ada sekarang ini pada SMA, The soft skills, yang meliputi kemampuan bekerja sama dalam kelompok dan kemampuan untuk menyampaikan ide dengan jelas baik dengan lisan maupun tulis serta kemampuan memahami bahasa komputer yang sederhana, seperti seperti word processor.
Basic skills yang mencakup ketiga aspek yaitu kognitif (the hard skills dan kemampuan memahami bahasa komputer), sosial, dan emosi (the soft skills). Persoalan yang muncul adalah bagaimanakah ketiga aspek tersebut dapat dikembangkan pada diri peserta didik sebagai suatu satu kesatuan yang utuh.  Perkembangan teori baru di bidang perkembangan kognitif, seperti dikemukakan oleh  Baxter Magolda (dalam Knowing and Reasoning in College: Gender-Related Patterns in Students' Intellectual Development, 1995) menekankan bahwa ketiga aspek pendidikan tersebut, intelektual, sosial dan emotional harus merupakan satu kesatuan yang terintegrasi. Untuk mencapai integrasi ini peranan konteks sosial dan hubungan antar pribadi sangat penting. Proses yang berlangsung di sekolah harus senantiasa dikaitkan dengan proses yang ada di luar sekolah. Goleman dalam buku 'Emotion intelligence' (terjemahan Gramedia, 1995) juga menekankan betapa proses learning sangat ditentukan oleh emosi, yang dapat merangsang motivasi atau sebaliknya malah menekan motivasi unuk berprestasi menjadi rendah.  Reformasi pendidikan perlu mempertimbangkan perkembangan teori-teori pembelajaran baru tersebut. Teori Pembebasan Freire menekankan pada prinsip bahwa sistem budaya masyarakat merupakan sumber kekuatan warga masyarakat, bagaikan jaring laba-laba di mana laba-laba hidup. Teori pembelajaran Collaborative menekankan pada proses pembelajaran yang digerakkan oleh keterpaduan aktivitas bersama baik intelektual, sosial dan emosi secara dinamis baik dari fihak siswa maupun guru. Teori ini didasarkan poda ide bahwa pencarian dan pengembangan pengetahuan adalah merupakan proses aktivitas sosial, di mana siswa perlu mempraktekkannya. Pendidikan bukannya proses di mana siswa hanya menjadi penonton dan pendengar yang pasif.
Dari Fondasi ke Aksi
Reformasi pendidikan adalah proses yang kompleks, berwajah majemuk dan memiliki jalinan tali-temali yang amat interaktif, sehingga reformasi pendidikan memerlukan pengerahan segenap potensi yang ada dan dalam tempo yang panjang. Betapa kompleksnya reformasi pendidikan dapat difahami karena tempo yang diperlukan amat panjang, jauh lebih panjang apabila dibandingkan tempo yang diperlukan untuk melakukan reformasi ekonomi, apalagi dibandingkan tempo yang diperlukan untuk reformasi politik.  Reformasi pendidikan pada dasarnya memiliki tujuan agar pendidikan dapat berjalan lebih etektif dan efisien mencapai tujuan pendidikan nasional. Untuk itu dalam reformasi dua hal yang perlu dilakukan yaitu mengidentifikasi atas berbagai problem yang menghambat terlaksananya pendidikan dan merumuskan reformasi yang bersifat strategik dan praktis sehingga dapat diimplementasikan di lapangan. Reformasi harus menekankan pada faktor kunci yang akan mempengaruhi faktor-faktor lain secara simultan, sehingga reformasi akan melibatkan seluruh faktor yang penting, dan menempatkan semua faktor tersebut dalam suatu sistem yang bersifat organik. Aspek kultural dapat dibangun dan dikembangkan berdasarkan nilai-nilai dan keyakinan yang ada dalam dunia pendidikan itu sendiri. Nilai-nilai dan keyakinan ini merupakan inti dari reformasi pendidikan. Perbaikan dalam suatu aspek sekolah harus mempertimbangkan aspek yang lain. Dengan pendekatan sistem thinking tersebut dapat diidentifikasi struktur, umpan balik, dan dampak, seperti keterbatasan perubahan pendidikan, pergeseran sasaran reformasi pendidikan,  perkembangan pendidikan  dan  sektor pendidikan yang kurang dijamah.Renstra pendidikan kita memang harus difokuskan pada penguatan mutu pendidikan. Untuk meningkatkan mutu pendidikan dibutuhkan biaya yang tidak sedikit serta kerja keras. Sia-sia saja dana dianggarkan begitu besar namun hasil tidak berbanding lurus dengan  peningkatan mutu. Seharusnya fondasi pendidikan kita yang telah kokoh harus diiringi dengan program aksi.

KEMISKINAN

Kemiskinan dan Siapa Sebenarnya
yang Menikmati Pertumbuhan Ekonomi?
Oleh: Nelson Sihaloho


Pendahuluan

Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang ditargetkan antara  5 persen hingga 6 persen per tahun nampaknya belum mampu mengurangi jumlah penduduk miskin. Ironisnya terjadi peningkatan jumlah penduduk miskin dimana saat ini diperkirakan mencapai 37 juta jiwa.
Berdasarkan studi dari Bank Dunia  sekitar 50 persen dari jumlah penduduk Indonesia masuk kategori miskin dan berada di ambang kemiskinan. Hal tersebut menjadikan permasalahan kemiskinan patut mendapat perhatian besar dari semua pihak. Pertumbuhan ekonomi yang disertai dengan peningkatan jumlah penduduk miskin itulah yang mengundang pertanyaan siapa sebenarnya yang menikmati pertumbuhan ekonomi itu?.
Selain itu terjadinya perubahan struktur perekonomian Indonesia yang selama ini sector Pertanian menjadi tumpuan hidup sebagian besar masyarakat Indonesia semakin menurun.
Satu sisi sektor industri pengolahan dan sektor pengangkutan dan komunikasi sharenya semakin meningkat. Perubahan struktur inilah yang diduga menjadi efek langsung  terhadap tingginya angka kemiskinan di Indonesia.
Fenomena terhadap siapa yang menikmati pertumbuhan ekonomi dan perubahan struktur perekonomian sebenarnya dapat kita analisis dari kemana saja larinya sumber-sumber perekonomian tersebut sehingga peningkatan angka kemiskinan terus terjadi di Indonesia.
Karena itu diperlukan suatu kebijakan terkait dengan langkah-langkah yang diperlukan untuk
mengurangi jumlah penduduk miskin melalui kebijakan pembangunan ekonomi yang mengacu pada ekonomi kerakyatan. Sering dipertanyakan oleh berbagai kalangan ekonomi konsep ekonomi kerakyatan yang digulirkan pada akhirnya yang menikmati pertumbuhan ekonomi tersebut bukanlah masyarakat miskin.
Menurut  Kuznets (1955, 1963) menyebutkan bahwa proses pembangunan akan disertai dengan meningkatnya inequality secara substansial, yang akan berbalik hanya pada tahap perekonomian sudah maju (advanced) dimana dipertegas lagi oleh Ahluwalia, Carter, dan Chenery (1979) diduga  bahwa  pertumbuhan ekonomi disertai dengan meningkatnya inequality sehingga masyarakat miskin mendapat bagian yang kecil dari pertumbuhan ekonomi tersebut.
Beberapa studi ahli ekonomi lainnya seperti  Knowles (2001) mengungkapkan adanya hubungan negatif yang signifikan antara keduanya pada sejumlah negara berkembang, namun pada negara-negara lainnya bukti tersebut tidak ditemukan.
Sedangkan Ravallion dan Chen (1997) juga  tidak menemukan adanya hubungan yang sistematis antara pertumbuhan ekonomi dan ketidakmerataan pendapatan, namun ditemukan adanya hubungan yang kuat antara pertumbuhan ekonomi dan penurunan kemiskinan.
Bourguignon (2002) juga mengidentifikasi adanya hubungan antara pertumbuhan ekonomi, pengurangan kemiskinan  dan perubahan distribusi pendapatan.  Ukuran kemiskinan sebagaimana diuraikan oleh Bigsten dan Shimeles (2005) menyebutkan adanya dua ukuran kemiskinan, yaitu pendapatan per kapita dan income-inequality hal demikian juga digambarkan Kakwani (1991) dan Ravallion (1992) bahkan ada dugaan  bahwa tingkat kemiskinan  disebuah Negara tidak terlepas dari kinerja variabel-variabel ekonomi makro.
Studi  Balke dan Slottje (1993), yang menguji tentang hubungan antara variabel-variabel ekonomi makro dan tingkat kemiskinan mengungkapkan bahwa pengaruh korelasi antar negara juga turut berperan terhadap tingkat kemiskinan di suatu Negara.
Ahli sosiologi Dunia Ketiga J. Goldthorpe (1992) mengemukakan bahwa karakteristik ekonomi Negara miskin dapat dilihat dari ekonomi ganda, sector garis depan, tebaran dan akibat buruk, kerawanan sector tunai, perusahaan besar Negara kecil, pendatang terlambat, tenaga kerja, pekerjaan dan pendapatan, korupsi.

Analisis dan kajian

Sebagai pendekatan pertama secara kasar ekonomi setiap Negara secara bermanfaat dapat dipandang terdiri atas dua sector yaitu yang secara berbeda-beda disebut sector “uang”, sector “moneter” atau sector “modern dan atau sector “non meneter”, sector “rumah tangga”, sector “tradisionil” atau sector “subsistensi”.
Bila sector pertama yang kita kaji bahwa barang diproduksi dan jasa diberikan demi uang, terjadi transaksi tunai dan apa saja dihargai dengan uang. Dalam sector yang kedua barang diproduksi dan jasa diberikan tanpa pembayaran berupa uang (meskipun uang dapat digunakan  dalam pemberian) dan barang-barang dihargai lebih sebagai timbale baik yang bersifat pribadi dalam hubungan dengan ikatan keluarga, gengsi atau dalam hubungan sebagai tetangga.
Di semua Negara termasuk Indonesia banyak produksi yang dilaksanakan oleh tenaga keluarga yang tidak dibayar dalam sector rumah tangga non moneter, misalnya memasak dan menghidangkan makanan bahkan kebutuhan orang dalam sector ini dipenuhi sampai batas-batas yang jauh lebih luas daripada Negara-negara industry dan menurut tradisi lebih luas lagi.
Intinya di Negara-negara Dunia Ketiga termasuk Indonesia banyak kebutuhan terpenuhi (betapapun tidak memadai) dalam subsistensi tradisionil, tanpa adanya urusannya dengan uang. Sebaliknya uang tunai modern diwakili oleh lembaga-lembaga seperti tambang, pabrik, bank dan kantor-kantor dagang dimana sangat berbau bisnis dengan penggunaan uang sepenuhnya, kredit dan bursa internasional.
Setidaknya satu komiditi atau produk-produk di tiap Negara miskin adalah sangat modern berdasarkan cara ini- bahkan sering sector-sektor  ini kelihatan seperti kantong atau pulau modernitas ekonomi dan teknologi dan berbeda dengan kehidupan sekitarnya.  
Menurut sifatnya sendiri, perkembangan ekonomi itu agaknya cenderung menimbulkan disparitas regional, kelas dan komunitas serta menimbulkan dampak politik lainnya secara serius.
Sekadar mengingatkan Laporan Komisi Brandt pada tahun 1980  mengungkapkan bahwa ada beberapa Negara yang menerima hamper seluruh pendapatan mereka dari ekspor satu komiditi kecuali minyak. Zambia 94 % dari tembaga, Mauritas dan Kuba 90 % dan 85 % dari gula, Gambia 85 % dari kacang tanah dan minyak kacang tanah. Terungkap juga bahwa pada tahun 1980 ekspor barang dagangan berjumlah 20 % atau lebih dari produk domestic bruto Zaire (tembaga), Srilangka (teh dan karet), Guinea (bouksit dan aluminium), El Salvador (Kopi), Nikaragua (Kopi dan kapas).
Aspek lain dari ekonomi internasional modern adalah yang membuatnya menjadi rawan  dan tidak terkendali dilihat dari sudut Negara miskin khususnya pemerintah ialah apa yang disebut sindrom perusahaan besar Negara miskin. Banyak kegiatan sector modern di Negara-negara miskin dikuasai oleh beberapa perusahaan besar yang disebut dengan perusahaan multi nasional.
Kemudian perusahaan seperti itu menyebar berbagai kegiatannya disejumlah Negara dengan demikian memperkecil resiko kerugiannya, tidak hanya karena gangguan alam seperti iklim dan penyakit tanaman, akan tetapi juga karena bahaya politik, kerewelan buruh yang menyebabkan adanya usaha produksi sangat tidak baik untuk Negara secara individual.
Kenaikan produktivitas yang disebabkan oleh kemajuan teknik dapat memungkinkan pembayaran gaji yang relative tinggi, terlebih lagi bila para pekerja dapat mengorganisasikan dirinya sendiri menjadi serikat buruh, meskipun membawa akibat, bertambahnya pengangguran akan tetapi ketergantungan ekonomis maupun politik Negara kepada perusahaan jelas besar dan rawan.
Sebaliknya teknologi yang tersedia untuk dipinjam dari Negara-negara yang kini pada tahap perkembangan ekonomi maju ialah sarat modal yang memberi kesempatan bekerja pada sejumlah kecil orang dengan gaji yang tinggi dan sangat tidak sesuai dengan kondisi Negara yang berpendapatan rendah. Contoh di Indonesia adalah teknologi pembangunan jalan alat-alat berat Jepang begitu banyaknya digunakan dan hanya membutuhkan sedikit tenaga kerja sudah mampu mengerjakan jalan ribuan kilometer. Dengan kondisi demikian harus diakui bahwa Negara Indonesia tidak dapat melalui tahapan-tahapan perkembangan yang sama di dunia yang telah berubah termasuk dalam mengatasi masalah kemiskinan.
Teknologi di sektor industri perkotaan sekarang inipun sudah sangat maju dan sarat modal hanya member pekerjaan pada sedikit orang dengan bayaran yang tinggi.

Analisis Hasil

Dalam industry yang padat modal dengan sedikit pekerja yang relative terlatih baik, gaji memainkan peranan yang relative kecil dari keseluruhan pembiayaan dan pihak manajemen tidak mempunyai banyak alasan untuk menolak tuntutan kenaikan gaji.
Dalam batas yang semakin luas pemilihan untuk jabatan yang bergaji besar dan yang jumlahnya sangat sedikit di sekotor modern, didasarkan atas kualifikasi pendidikan formal yang diperoleh dengan system persekolahan. Hal ini menyebabkan pendidikan sekolah dan sertifikat sangat dihargai dengan konsekuensi yang penting mengenai disparitas pendapatan.
Sektor  informal ribuan perusahaan mini dan orang-orang yang bekerja untuk dirinya sendiri dimana di Indonesia menghasilkan manufaktur kecil-kecilan dengan metode kerajinan tangan, tukang-tukang kecil, masak-memasak penganan dan sebagainya bersama dengan kegiatan pengusaha warung, pedagang kali lima, penjual air serta buruh lepas termasuk pembantu rumah tangga tumbuh subur dan mereka berupaya melepaskan diri dari masalah kemiskinan.
Melalui sector kegiatan informal itu, daya beli menyebar lebih luas dari sejumlah kecil orang yang bernasib baik dalam jabatan sector modern ke orang miskin. Ini jugalah yang terjadi dengan cara lain melalui jaringan kekerabatan, karena pekerja di kota yang bergaji baik, mengirimkan sebagian pendapatan mereka kepada keluarga di daerah pedesaan.
Banyak perhatian telah diberikan kepada pengirim uang seperti itu dalam studi-studi tentang migrasi kaum pekerja dimana pekerjaan di sector meedern merupakan suatu episode meskipun berlangsung sekitar dua hingga duapuluh tahun dan bukan suatu keterlibatan yang tetap.
Pada umumnya, bea masuk yang tinggi dan pengawasan yang kompleks serta ketat akan kehidupan ekonomi sekaligus dengan korupsi  “inefesien” menyebabkan pelanggaran hukum dan peraturan secara luas. Penyelewengan sumber daya khususnya sumber daya yang sungguh langka yaitu tenaga praktis dan terdidik hingga mengurusi dan menetapkan dan tidak memproduksi juga menjadi sumber-sumber baru mata rantai ekonomi. Maka semakin banyak produk-produk undang-undang digulirkan yang tidak ada hubungannya dengan memproduksi barang jelas merupakan inefesiensi dibidang ekonomi. Bahkan orang miskin pun saat ini wajib mengurus “Kartu Miskin” yang tidak ada hubungannya dengan peningkatan ekonomi dan produksi. Maka muncullah produksi-produksi “dokumen” yang wajib dibayar dengan biaya administrasi. Itulah tarif-tarif yang terus menjadi sumber pemasukan yang tidak ada hubungannya dengan kegiatan memproduksi.
Dalam keadaan eksterm, kepentingan asing dengan investasi besar di Negara Indonesia seperti perusahaan-perusahaan besar asing global yang beroperasi mungkin dapat dikatakan memborong pemerintah dan mengatur Negara sebagai anak perusahaan yang tidak resmi namun untuk membuktikannya sangat sulit karena systemnya sangat ketat.
Bahkan orang-orang dalam posisi kekuasaan yang berpengaruh dalam kebanyakan hal telah mendapatkan imbalan yang resmi dan sah dari penghasilan mereka dari gaji dan sebagainya. Sebagaimana dikutip Sharpton “tingkat pajak akan lebih rendah, khususnya atas pendapatan tinggi dan dalam pemerintahan yang korup, uang tersebut dapat menghasilkan uang secara sangat langsung, kontrak pemerintah, bantuan, konsesi, pembebasan dan subsidi diterima oleh mereka yang dapat membayar.

Penutup

Beberapa alternative untuk mengurangi kemiskinan yang terjadi di Indonesia adalah melakukan perubahan nyata melalui program akselerasi pertumbuhan ekonomi, memperbaiki distribusi pendapatan serta mengurangi pertumbuhan penduduk. Pembangunan sector pertanian di kawasan pedesaan dengan konsep pengembangan cluster ekonomi produktif harus dipacu lebih baik. Yang paling banyak menikmati pertumbuhan ekonomi adalah para pengusaha besar, pejabat-pejabat, elit-elit politik serta kalangan birokrat berkualifikasi langka. Sementara masyarakat miskin meskipun ada jutaan pertumbuhan industry manufaktur kecil dikembangkan penghasilan mereka jauh dibawah standar.
Perusahaan-perusahaan tambang, perusahaan-perusahaan multinasional lebih banyak menikmati kemakmuran karena semua sumber daya alam lebih besar dinikmati oleh mereka, bahkan para pekerja yang bergaji tinggi disektor tambang tingkat kemakmuran mereka tidak sebanding dengan pendapatan para pengusaha tambang yang sering disebut pengusaha “Republik Pulau”. Perlu dianalisis lebih lanjut  bahwa penyumbang terbesar terhadap tingkat kemiskinan sektoral-regional hampir di semua daerah sektor pertanian, perkebunan, dan perikanan merupakan penyumbang terbesar terhadap tingginya tingkat kemiskinan di Indonesia.(***)