Sabtu, 04 Agustus 2012

PSIKOLOGI

MEMOTIVASI SISWA GUIT BELAJAR DAN BERKARAKTER Oleh: Nelson Sihaloho Pendahuluan Sering kita melihat anak atau siswa malas belajar bahkan siswa lebih banyak meluangkan waktu untuk bermain. Era sekarang ini anak atau siswa yang sering berlama-lama nongkrong di warung internet (warnet) menjadi kegelisahan para orangtua di negeri ini. Kelak seperti apakah generasi bangsa ini di masa mendatang. Berbagai keluhan pun muncul dalam pemikiran kita. Jika dulunya anak-anak sekolah tawuran sering terjadi diberbagai kota-kota besar saat ini pemandangan tawuran itu semakin berkurang. Begitu juga dengan guru sering mengeluh dengan semakin “cueknya” siswa terhadap materi pembelajaran yang diajarkan dipapan tulis menggunakan spidol. Kini model pembelajaran dengan menggunakan infocus menjadi trend disekolah-sekolah. Komputer-komputer lengkap dengan infocus menjadi kebutuhan utama yang harus disediakan oleh sekolah-sekolah di era teknologi informasi dan komunikasi. Suasana kelas yang gerah akibat pemanasan global sepertinya AC menjadi primadona utama bagi penyelenggara pendidikan untuk menyediakan fasilitas berkelas “hotel”. Tidak mengherankan di negeri ini semakin membengkak saja anggaran pendidikan akibat dampak “pemanasan global” itu. Anak atau siswa tahan berjam-jam di internet main game, bahkan menjelajahi berbagai ilmu pengetahuan yang didapatkan dari situs-situs web. Meskipun murah namun apabila setiap hari siswa ke warnet rata-rata 6 jam sehari akan menghabiskan tarif Rp. 15.000 per hari. Persoalannya sekarang bagaimana seorang seorang pendidik, memotivasi siswa untuk belajar dikaitkan dengan fenomena sebagaimana yang diuraikan diatas. Belum lagi tentang Ujian Nasional (UN) meskipun telah ditandatangani fakta kejujuran dalam UN selalu saja ada oknum atau pihak-pihak tertentu yang membocorkan soal khususnya rahasia negara (dokumen negara). Selain itu benarkan pendidikan kita murah dan bermutu jika anak lebih banyak meluangkan waktunya di internet dari pada belajar dirumah sambil berdiskusi atau bimbingan belajar (bimbel) jika untuk mengerjakan tugas saja para siswa harus mengcopinya ke warnet? Tugas Guru Memotivasi Siswa Beberapa strategi yang dapat dilakukan oleh guru untuk meningkatkan motivasi belajar siswa khususnya dalam kelas adalah menggunakan pertanyaan berpikir kritis. Metode berpikir kritis mengajak siswa untuk tidak selalu memiliki jawaban benar atau salah sehingga mereka diperbolehkan untuk mengungkapkan pendapatnya sendiri. Hal ini jauh lebih baik jika dibandingkan dengan siswa hanya diberitahu untuk menghafal fakta. Banyak guru yang menggunakan musik untuk mengajar. Musik merupakan salah satu alat pembelajaran paling sederhana dan merupakan cara yang baik untuk memicu minat siswa. Bahkan ada yang menggunakan video berupa klip singkat agar waktu dapat digunakan sefektif mungkin sesuai dengan alokasi waktu yang tersedia. Memutar klip video bisa menjadi pemicu untuk memotivasi siswa lebih giat belajar. Selain itu guru juga harus menghubungkan apa yang dipelajari siswa dengan dunia nyata, menghubungkan apa yang dipelajari siswa dengan hal-hal yang penting bagi siswa akan semakin efektif bagi guru dalam memotivasi siswa dalam belajar. Dalam proses belajar mengajar (PBM) guru juga dituntut untuk meningkatkan kecerdasan emosionil siswa. Kecerdasan emosi sangat penting dalam menata kehidupan untuk meraih kesuksesan. Beberapa aspek penting yang perlu diperhatikan untuk meningkatkan kecerdasan emosi. Dua ahli EQ (Emotional Quotient), Salovey & Mayer (1990) yang dikenal sebagai pengembang konsep EQ, jauh sebelum Goleman merangkumnya menjadi lima aspek. Kelima aspek itu adalah kesadaran diri (self awareness), mengelola emosi (managing emotions), memotivasi diri sendiri (motivating oneself), empati (emphaty) serta menjaga relasi (handling relationship). Daniel Goleman menyebut 5 dimensi guna mengembangkan kecerdasan emosi yaitu penyadaran diri, mengelola emosi, motivasi diri, empati dan ketrampilan sosial. Dalam bukunya kompetensi EQ, “The emotionally Intelligent Workplace” Goleman menjelaskan bahwa perilaku EQ tidak bisa hanya dilihat dari sisi setiap kompetensi EQ melainkan harus dari satu dimensi atau setiap cluster-nya. Kemampuan penyadaran sosial (social awareness) misalnya tidak hanya tergantung pada kompetensi empati semata melainkan juga pada kemampuan untuk berorientasi pelayanan dan kesadaran akan organisasi. Ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kecerdasan emosional . Mengenali emosi orang lain berarti kita memiliki empati terhadap apa yang dirasakan orang lain. Penguasaan ketrampilan ini membuat kita lebih efektif dalam berkomunikasi dengan orang lain. Inilah yang disebut sebagai komunikasi empatik. Berusaha mengerti terlebih dahulu sebelum dimengerti. Ketrampilan ini merupakan dasar dalam berhubungan dengan manusia secara efektif. Kemudian mengelola emosi orang lain. Jika ketrempilan mengenali emosi orang lain merupakan dasar dalam berhubungan antar pribadi, maka ketrampilan mengelola emosi orang lain merupakan pilar dalam membina hubungan dengan orang lain. Ketrampilan mengelola emosi orang lain merupakan kemampuan yang dahsyat jika kita dapat mengoptimalkannya. Sehingga kita mampu membangun hubungan antar pribadi yang kokoh dan berkelanjutan. Memotivasi orang lain, ketrampilan memotivasi orang lain adalah kelanjutan dari ketrampilan mengenali dan mengelola emosi orang lain. Ketrampilan ini adalah bentuk lain dari kemampuan kepemimpinan, yaitu kemampuan menginspirasi, mempengaruhi dan memotivasi orang lain untuk mencapai tujuan bersama. Hal ini erat kaitannya dengan kemampuan membangun kerja sama tim yang tangguh dan andal. Thomas Amstrong dalam bukunya In Their Own Way: Discovering and Encouraging Your Child’s Multiple Intelligences, 2003) mengungkapkan bahwa pada dasarnya semua anak terlahir dengan potensi genius. Kecerdasan bukan hanya dilihat dari skor IQ dan nilai yang diperoleh seseorang. Kecerdasan merupakan kemampuan yang dimiliki oleh seseorang untuk melihat suatu masalah, lalu menyelesaikan masalah tersebut atau membuat sesuatu yang dapat berguna bagi orang lain. Sayangnya baik sekolah maupun orang tua seringkali terjebak melihat sisi kecerdasan anak hanya pada nilai raportnya yang mengukur kecerdasan matematika dan verbal semata. Padahal ada banyak kecerdasan (multiple Intellegences) yang harus dikenali pada diri anak agar bisa dikembangkan secara maksimal. Beberapa macam kecerdasan yang diungkapkan oleh Gardner (1983) dalam Multiple Intellegences yaitu kecerdasan Verbal-bahasa (Word Smart) pandai berbicara, gemar bercerita, dengan tekun mendengarkan cerita atau membaca merupakan tanda anak yang memiliki kecerdasan linguistik yang menonjol. Kecerdasan ini menuntut kemampuan anak untuk menyimpan berbagai informasi yang berarti berkaitan dengan proses berpikirnya. Kecerdasan Matematika – Logika (Number Smart) Anak-anak dengan kecerdasan matematika-logika yang tinggi memperlihatkan minat yang besar terhadap kegiatan eksplorasi. Mereka sering bertanya tentang berbagai fenomena yang dilihatnya. Mereka menuntut penjelasan logis dari setiap pertanyaan. Selain itu mereka juga suka mengklasifikasikan benda dan senang berhitung. Kecerdasan Spatial – Visual (Picture Smart) Anak-anak dengan kecerdasan visual – spatial yang tinggi cenderung berpikir secara visual. Mereka kaya dengan khayalan internal (internal imagery), sehingga cenderung imaginatif dan kreatif. Kecerdasan Fisik- Olah Tubuh (Body Smart). Anak-anak dengan kecerdasan bodily – kinesthetic di atas rata-rata, senang bergerak dan menyentuh. Mereka memiliki kontrol pada gerakan, keseimbangan, ketangkasan, dan keanggunan dalam bergerak. Mereka mengeksplorasi dunia dengan otot-ototnya. Kecerdasan Musik (Music Smart). Anak dengan kecerdasan musical yang menonjol mudah mengenali dan mengingat nada-nada. Ia juga dapat mentranformasikan kata-kata menjadi lagu, dan menciptakan berbagai permainan musik. Mereka pintar melantunkan beat lagu dengan baik dan benar. Mereka pandai menggunakan kosakata musical, dan peka terhadap ritme, ketukan, melodi atau warna suara dalam sebuah komposisi musik. Kecerdasan Interpersonal/Bergaul (People Smart). Anak dengan kecerdasan interpersonal yang menonjol memiliki interaksi yang baik dengan orang lain, pintar menjalin hubungan sosial, serta mampu mengetahui dan menggunakan beragam cara saat berinteraksi. Mereka juga mampu merasakan perasaan, pikiran, tingkah laku dan harapan orang lain, serta mampu bekerja sama dengan orang lain. Kecerdasan Intra personal/Cerdas Diri (Self Smart). Anak dengan kecerdasan intra personal yang menonjol memiliki kepekaan perasaan dalam situasi yang tengah berlangsung, memahami diri sendiri, dan mampu mengendalikan diri dalam situasi konflik. Ia juga mengetahui apa yang dapat dilakukan dan apa yang tidak dapat dilakukan dalam lingkungan sosial. Mereka mengetahui kepada siapa harus meminta bantuan saat memerlukan. Kecerdasan Lingkungan/Natural (Nature Smart). Anak-anak dengan kecerdasan naturalist yang menonjol memiliki ketertarikan yang besar terhadap alam sekitar, termasuk pada binatang, di usia yang sangat dini. Mereka menikmati benda-benda dan cerita yang berkaitan dengan fenomena alam, misalnya terjadinya awan dan hujan, asal usul binatang, pertumbuhan tanaman, dan tata surya. Kecerdasan Eksistensi (Spiritual). Anak yang memiliki kecerdasan ini memiliki ciri-ciri yaitu cenderung bersikap mempertanyakan segala sesuatu mengenai keberadaan manusia, arti kehidupan, mengapa manusia mengalami kematian, dan realitas yang dihadapinya. Kecerdasan ini dikembangkan oleh Gardner pada tahun 1999. Multiple Intelligences memberikan pandangan bahwa terdapat sembilan macam kecerdasan yang dimiliki oleh setiap orang. Yang membedakan antara yang satu dengan yang lainnya adalah komposisi atau dominasi dari kecerdasan tersebut. Setiap kecerdasan dalam Multiple intelligences dapat dikembangkan hingga batas maksimalnya. Peran orang tua sangat besar dalam mengembangkan kecerdasan majemuk ini. Memberi stimulus pada setiap sisi kecerdasan memberi peluang berkembangnya setiap kecerdasan tersebut. Pendidikan karakter Masih segar diingatan kita Pidato Medikbud Prof. Dr. Muhammad Nuh, DEA, mengawali pidato pada saat pembukaan Sarase¬han Nasional Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa yang diselenggarakan pada Tanggal 14 Januari 2010 yang lalu di Jakarta. “Hari ini merupakan hari yang sangat mem¬bahagiakan, kesempatan bagi kita untuk menggagas, menganalisis dan memberikan masukan untuk pengembangan budaya dan karakter bangsa dalam rangka menjawab kerisauan masyarakat karena kekhawatiran akan hilangnya nilai-nilai budaya dan karak¬ter bangsa serta kerinduan terhadap kehidu¬pan yang harmoni”. Mengutip pendapat M.Nuh ada beberapa kebiasaan yang harus di bangun dinegeri ini yaitu kebiasaan men¬gapresiasi setiap prestasi, kebiasaan ini akan memban¬gun tumbuh suburnya orang-orang yang berprestasi. Tradisi obyektif dan komprehensif, intelektual dan “curiosity” yaitu kebiasaan eksploratif, pemikir, kreatif, inovatif yang didukung oleh pembelajar mengingat dan memahami. Tega terhadap orang sakit harus digeser menjadi tidak tega, kesediaan belajar dari orang lain dan pendidikan tidak boleh dibiarkan lepas dari budaya. Pendidikan karakter saat ini masuk dalam kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP). Intinya setiap KTSP wajib memuat pendidikan karakter sehingga jati diri bangsa Indonesia lebih dikedepankan sebagai bangsa yang berbudaya dan berkarakter. Pendidikan karakter juga berkaitan erat dengan kecerdasan emosionil seseorang dimana setiap orang akan memiliki karakternya sendiri, jati dirinya sendiri dan menghargai budayanya sendiri. Budaya-budaya nasional bangsa kita merupakan hasil olah pikiran, hasil kecerdasan yang tidak hanya tercipta semudah membalikkan telapak tangan. Itulah kunci kecerdasan emosionil yang sudah ribuan tahun turun temurun dari generasi ke generasi namun kita belum menyadari kekuatan atas karakter bangsa kita. Kecerdasaran-kecerdasaran sebagaimana yang diuraikan diatas perlu digali lebih mendalam oleh guru sehingga anak didik/siswa yang kita didik benar-benar potensinya dikembangkan secara optimal. Optimalisasi kecerdasan siswa bisa dipadukan dengan pendidikan berbasis karakter melalui motivasi terhadap anak didik disekolah. Pendidikan berbasis karakter akan menunjukkan eksistensi dan kekuatannya apabila bangsa ini tetap berpegang teguh pada nilai-nilai, norma-norma serta tradisi-tradisi yang dibingkai dalam suatu harmonisasi budaya yaitu karakter yang sesungguhnya. (dihimpun dari berbagai sumber). Tulisan ini telah dimuat pada Majalah TEGAS

TEORI PEMBELAJARAN BANDURA DAN IMPLEMENTASINYA

TEORI PEMBELAJARAN BANDURA DAN IMPLEMENTASINYA Oleh: NELSON SIHALOHO Pada tahun 1941, Miller dan Dollard telah mencanangkan bahwa teori pembelajaran dan peniruan yang menolak anggapan teori tingkah laku tradisional. Hal itu disebabkan karena teori pembelajaran tersebut gagal untuk mengambil perihal respons baru, dimana prosesnya melambat dalam proses peniruan. Para ahli psikologi behavioris ramai-ramai mengkritik tentang teori tersebut bahkan ada diantara para ahli yang meluaskan pandangan mereka tentang pembelajaran dengan menambah proses- proses kognitif. Albert Bandura dalam teori kognitif sosial, percaya bahwa pandangan ahli teori behavioris tentang pembelajaran meskipun tepat tidak lengkap. Menurut mereka hanya sebahagian saja informasi tentang pembelajaran dan tidak memunculkan aspek- aspek penting terutama pengaruh- pengaruh sosial dalam pembelajaran. Pada tahun 1963, Albert Bandura dan Walters telah menghasilkan buku berjudul “Concept Learning and Personality Development” dimana Bandura mengembangkan teori pembelajaran dengan menjelaskan lebih rinci prinsip pembelajaran perhatian serta peneguhan dalam implementasinya. Albert Bandura sangat terkenal dengan teori pembelajaran sosial ( Social Learning Teory ) salah satu konsep dalam aliran behaviorisme yang menekankan pada komponen kognitif dari pikiran, pemahaman dan evaluasi. Bandura merupakan seorang ahli psikologi yang terkenal dengan teori belajar sosial atau kognitif sosial serta efikasi diri. Eksperimen yang sangat terkenal adalah eksperimen “Bobo Doll” yang menunjukkan anak–anak meniru seperti perilaku agresif dari orang dewasa disekitarnya. Teori kognitif sosial (social cognitive theory) yang dikemukakan oleh Albert Bandura menyatakan bahwa faktor sosial dan kognitif serta faktor pelaku memainkan peran penting dalam pembelajaran. Faktor kognitif berupa ekspektasi/ penerimaan siswa untuk meraih keberhasilan. Faktor sosial mencakup pengamatan siswa terhadap perilaku orangtuanya. Albert Bandura merupakan salah satu perancang teori kognitif sosial. Menurut Bandura ketika siswa belajar mereka dapat merepresentasikan atau mentrasformasi pengalaman mereka secara kognitif. Bandura mengembangkan model deterministik resipkoral yang terdiri dari tiga faktor utama yaitu perilaku, person/kognitif dan lingkungan. Faktor ini bisa saling berinteraksi dalam proses pembelajaran. Faktor lingkungan mempengaruhi perilaku, perilaku mempengaruhi lingkungan, faktor person/kognitif mempengaruhi perilaku. Faktor person Bandura tak punya kecenderungan kognitif terutama pembawaan personalitas dan temperamen. Faktor kognitif mencakup ekspektasi, keyakinan, strategi pemikiran dan kecerdasan. Dalam model pembelajaran Bandura, faktor person (kognitif) memainkan peranan penting. Faktor person (kognitif) yang dimaksud saat ini adalah self-efficasy atau efikasi diri. Reivich dan Shatté (2002) mendefinisikan efikasi diri sebagai keyakinan pada kemampuan diri sendiri untuk menghadapi dan memecahkan masalah dengan efektif. Efikasi diri juga berarti meyakini diri sendiri mampu berhasil dan sukses. Individu dengan efikasi diri tinggi memiliki komitmen dalam memecahkan masalahnya dan tidak akan menyerah ketika menemukan bahwa strategi yang sedang digunakan itu tidak berhasil. Menurut Bandura (1994), individu yang memiliki efikasi diri yang tinggi akan sangat mudah dalam menghadapi tantangan. Individu tidak merasa ragu karena ia memiliki kepercayaan yang penuh dengan kemampuan dirinya. Individu ini menurut Bandura (1994) akan cepat menghadapi masalah dan mampu bangkit dari kegagalan yang ia alami. Menurut Bandura proses mengamati dan meniru perilaku dan sikap orang lain sebagai model merupakan tindakan belajar. Teori Bandura menjelaskan perilaku manusia dalam konteks interaksi timbal balik yang berkesinambungan antara kognitif, perilaku dan pengaruh lingkungan. Kondisi lingkungan sekitar individu sangat berpengaruh pada pola belajar sosial jenis ini. Teori Pemodelan Bandura Bandura dan Walters menggunakan sekumpulan anak- anak berusia 3- 6 tahun untuk menjalankan teori dan kajian untuk membuktikan bahwa anak- anak secara keseluruhan meniru model yang diberikan oleh gaya orangtuanya yang agresif. Albert Bandura dilahirkan di Mundare Northern Alberta Kanada, pada tanggal 4 Desember 1925. Masa kecil dan remaja dihabiskannya di Mundare. Pada tahun 1949 Bandura mendapat pendidikan di University of British Columbia mengambil jurusan psikologi. Memperoleh gelar Master didalam bidang psikologi pada tahun 1951 dan setahun kemudian Bandura juga meraih gelar doctor (Ph.D). Bandura menyelesaikan program doktornya dalam bidang psikologi klinik. Kemudian bekerja di Standford University. Bandura banyak terjun dalam pendekatan teori pembelajaran untuk meneliti tingkah laku manusia dan tertarik pada nilai eksperimen. Selanjutnya pada tahun 1964 Albert Bandura dilantik sebagai professor kemudian menerima anugerah American Psychological Association untuk Distinguished scientific contribution pada tahun 1980. Pada tahun 1981, Bandura bertemu dengan Robert Sears dan belajar tentang pengaruh keluarga dengan tingkah laku sosial dan proses identifikasi. Sejak itu Bandura mulai meneliti tentang agresi pembelajaran sosial dan mengambil Richard Walters, muridnya yang pertama mendapat gelar doctor sebagai asistennya. Dalam teorinya Bandura berpendapat, meskipun prinsip belajar cukup untuk menjelaskan dan meramalkan perubahan tingkah laku, prinsip itu harus memperhatikan dua fenomena penting yang diabaikan atau ditolak oleh paradigma behaviorisme. Albert Bandura sangat terkenal dengan teori pembelajaran sosial, salah satu konsep dalam aliran behaviorime yang menekankan pada komponen kognitif dari pemikiran, pemahaman, dan evaluasi. Teori Pembelajaran Sosial merupakan perluasan dari teori belajar perilaku yang tradisional (behavioristik). Teori pembelajaran sosial ini dikembangkan oleh Albert Bandura pada tahun 1986. Teori ini menerima sebagian besar dari prinsip – prinsip teori – teori belajar perilaku, tetapi memberikan lebih banyak penekanan pada kesan dan isyarat – isyarat perubahan perilaku, dan pada proses – proses mental internal. Teori pembelajaran sosial menggunakan penjelasan–penjelasan reinforcement eksternal dan penjelasan–penjelasan kognitif internal untuk memahami bagaimana belajar dari orang lain. Dalam pandangan belajar sosial “manusia“tidak didorong oleh kekuatan–kekuatan dari dalam dan juga tidak dipengaruhi oleh stimulus–stimulus lingkungan. Namun pada dasarnya teori belajar sosial menekankan bahwa lingkungan–lingkungan yang dihadapkan pada seseorang secara kebetulan dimana lingkungan–lingkungan itu kerap kali dipilih dan diubah oleh orang itu melalui perilakunya sendiri. Mengutip pendapat Kard tahun 1997, bahwa sebagian besar manusia belajar melalui pengamatan secara selektif dan mengingat tingkah laku orang lain. Inti dari pembelajaran sosial adalah pemodelan (modelling), dan pemodelan ini merupakan salah satu langkah paling penting dalam pembelajaran terpadu. Ada dua jenis pembelajaran melalui pengamatan yaitu pembelajaran melalui pengamatan dapat terjadi melalui kondisi yang dialami orang lain serta pembelajaran melalui pengamatan meniru perilaku model meskipun model itu tidak mendapatkan penguatan positif atau penguatan negatif. Model ini juga dikuatkan oleh Nur M (1998) dimana diungkapkannya bahwa tidak harus diperagakan oleh seseorang secara langsung, tetapi kita dapat juga menggunakan seseorang pemeran atau visualisasi tiruan sebagai model. Tahun 1941, dua orang ahli psikologi, yaitu Neil Miller dan John Dollard dalam laporan hasil eksperimennya mengatakan bahwa peniruan (imitation) merupakan hasil proses pembelajaran yang ditiru dari orang lain. Proses belajar tersebut dinamakan “social learning”. Menurut Bandura, sebagian besar tingkah laku manusia dipelajari melalui peniruan maupun penyajian, contoh tingkah laku ( modeling ). Pada tahun 1971 Bandura kemudian menyarankan agar teori pembelajaran sosial diperbaiki memandang teori pembelajaran sosial yang sebelumnya hanya mementingkan perilaku tanpa mempertimbangan aspek mental seseorang. Perlakuan seseorang adalah hasil interaksi faktor dalam diri(kognitif) dan lingkungan. Bersama Walter (1963) melakukan kajian dan perlakuan terhadap anak-anak apabila mereka menonton orang dewasa memukul, mengetuk dengan palu besi dan menumbuk sambil menjerit-jerit dalam video. Menurut teori belajar sosial, perbuatan melihat saja menggunakan gambaran kognitif dari tindakan, secara rinci dasar kognitif dalam proses belajar dapat diringkas dalam 4 tahap , yaitu perhatian/atensi, mengingat/retensi, reproduksi gerak dan motivasi. “Attention”pada intinya subjek harus memperhatikan tingkah laku model untuk dapat mempelajarinya. Subjek memberi perhatian tertuju kepada nilai, harga diri, sikap, dan lain-lain yang dimiliki. Bandura & Walters(1963) dalam buku mereka “Sosial Learning & Personality Development” menekankan bahwa hanya dengan memperhatikan orang lain pembelajaran dapat dipelajari. “Retention” maksudnya adalah subjek yang memperhatikan harus merekam peristiwa itu dalam sistem ingatannya. Kemampuan untuk menyimpan informasi juga merupakan bagian penting dari proses belajar. “Reproduction” yaitu setelah mengetahui atau mempelajari sesuatu tingkahlaku, subjek juga dapat menunjukkan kemampuannya atau menghasilkan apa yang disimpan dalam bentuk tingkah laku. “Motivasi” adalah penting dalam pemodelan Albert Bandura karena motivasi merupakan penggerak individu untuk terus melakukan sesuatu. Eksperimen dan Implementasinya Eksperimen paling terkenal dari Bandura adalah eksperimen “Bobo Doll” yang menunjukkan anak–anak meniru seperti perilaku agresif dari orang dewasa disekitarnya. Tokoh teori belajar sosial ini menyatakan bahwa proses pembelajaran dapat dilaksanakan dengan lebih berkesan dengan menggunakan pendekatan “permodelan “. Adapun jenis-jenis peniruan menurut Albert Bandura adalah peniruan langsung. Ciri khas pembelajaran ini adalah adanya modeling, yaitu suatu fase dimana seseorang memodelkan atau mencontohkan sesuatu melalui demonstrasi bagaimana suatu ketrampilan itu dilakukan. Kemudian penurian tidak langsung, adalah melalui imaginasi atau perhatian secara tidak langsung. Peniruan gabungan adalah dengan cara menggabungkan tingkah laku yang berlainan yaitu peniruan langsung dan tidak langsung. Peniruan seketika merupakan tingkah laku yang ditiru hanya sesuai untuk situasi tertentu saja. Peniruan berkelanjutan adalah tingkah laku yang ditiru boleh ditonjolkan dalam situasi apapun. Menurut Bandura hal lainnya yang perlu diperhatikan dalam pemodelan atau teladan harus mempunyai prinsip–prinsip. Prinsip itu adalah tingkat tertinggi belajar dari pengamatan diperoleh dengan cara mengorganisasikan sejak awal dan mengulangi perilaku secara simbolik kemudian melakukannya. Proses mengingat akan lebih baik dengan cara perilaku yang ditiru dituangkan dalam kata–kata, tanda atau gambar daripada hanya melihat saja. Individu lebih menyukai perilaku yang ditiru jika sesuai dengan nilai yang dimilikinya. Individu akan menyukai perilaku yang ditiru jika model tersebut disukai dan dihargai serta perilakunya mempunyai nilai yang bermanfaat. Teori belajar sosial dari Bandura ini merupakan gabungan antara teori belajar behavioristik dengan penguatan dan psikologi kognitif, dengan prinsip modifikasi tingkah laku. Proses belajar masih berpusat pada penguatan, hanya terjadi secara langsung dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Motivasi banyak ditentukan oleh kesesuaian antara karakteristik pribadi pengamat dengan karakteristik modelnya. Ciri – cirri model seperti usia, status sosial, keramahan dan kemampuan penting dalam menentukan tingkat imitasi. Teori Albert Bandura lebih lengkap dibandingkan teori belajar lainnya sebab lebih menekankan bahwa lingkungan dan perilaku seseorang dihubungkan melalui sistem kognitif orang tersebut. Bandura memandang tingkah laku manusia bukan semata – mata reflex atas stimulus (S-R bond), melainkan juga akibat reaksi yang timbul akibat interaksi antara lingkungan dengan kognitif manusia itu sendiri. Pendekatan teori belajar sosial lebih ditekankan pada perlunya conditioning (pembiasan merespon ) dan imitation (peniruan). Selain itu pendekatan belajar sosial menekankan pentingnya penelitian empiris dalam mempelajari perkembangan anak–anak. Selain itu teori Bandura dapat diimplementasikan di sekolah dengan melakukan pemodelan yang lebih selektif. Intinya pemodelan yang lebih cocok dan sesuai dengan kondisi siswa dapat diterapkan di sekolah sehingga hal-hal positif dapat dilakukan secara berulang-ulang. Apabila siswa terus mendapatkan respon pembelajaran sosial yang berkelanjutan dan bermakna maka model atau teori pembelajaran Bandura dapat diimplementasikan disekolah untuk menumbuhkembangkan sikap-sikap positif khususnya dalam pemodelan atau memperkenalkan tokoh-tokoh penting yang perlu diteladani. (dihimpun dari berbagai sumber-sumber relevan). TULISAN INI TELAH DIMUAT PADA MAJALAH TEGAS

KURIKULUM

KURIKULUM BERMUTU DAN DEEP LEARNING Oleh: Nelson Sihaloho Abstrak: Kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) diberlakukan untuk memberikan kewenangan kepada guru ataupun sekolah untuk menyusun sendiri kurikulum dengan tetap mengacu pada standar nasional pendidikan (KTSP). Kurikulum bermutu akan melahirkan siswa bermutu. Kewenangan yang diberikan oleh pemerintah pusat harus dimanfaatkan oleh semua pihak khususnya para guru untuk membuktikan kompetensi profesionalismenya. Selain itu kurikulum yang disusun akan menggambarkan suatu kedalam isi (SI), kompetensi dasar (KD) sehingga standar kelulusan siswa (SKL) akan dapat terukur, akuntabel dan berbanding lurus dengan prestasi anak didik. Kurikulum yang disusun hendaknya mampu menciptakan suasanan belajar yang mendalam (deep learning) sehingga inovasi kurikulum yang berkelanjutan akan memberikan kontribusi terhadap pendidikan bermutu. Hasil penelitian dan pengamatan menunjukkan bahwa kurikulum bermutu dan deep learning ada hubungan yang signifikan antara keduanya. Kata kunci : kurikulum, deep learning. Pendahuluan Pembaharuan sistem pendidikan kita memasuki era baru. Kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) yang diberlakukan sejak beberapa tahun silam memberikan pencerahan maupun suasana yang beru terhadap para pendidik untuk menyusun sendiri kurikulum yang menjadi bidang tugas pokoknya. Meski demikian pembaharuan kurikulum sering dikaitkan adanya perubahan sistem politik. Berbagai kepentingan yang termasuk masuk di dalamnya menimbulkan lebih banyak ”penolakan” terhadap adanya perubahan itu. Mengutip pendapat Fullan (2001) ”The New Meaning of Educational Charge” mengatakan bahwa akan timbul perbedaan persepsi antara pemegang kebijakan dan pelaku kebijakan untuk setiap perubahan pada sektor pendidikan. Dari sisi pemegang kebijakan, terdapat asumsi dasar bahwa guru cenderung kurang menyukai adanya perubahan. Umumnya pemegang kebijakan kurang memahami kenyataan-kenyataan yang terjadi pada saat dilaksanakannya proses pembelajaran. Bennie dan Newstead (1999) juga menguraikan ada beberapa faktor yang menyebabkan timbulnya kendala dalam implementasi kebijakan pendidikan apabila dikaitkan dengan kurikulum. Beberapa faktor itu adalah waktu, harapan-harapan dari pihak orangtua, minimnya buku-buku pelajaran pada saat implementasi kurikulum baru dilaksanakan serta kurang jelasnya konsep kurikulum dan pengetahuan. Charles dan Jones (1973) juga mengungkapkan bahwa, setiap perubahan pada sektor pendidikan seharusnya diikuti dengan upaya mengamati berbagai bentuk operasional dilapangan sebagai tindak lanjut dan implementasi dari kebijakan. Banyak kendala yang harus diantisipasi agar tidak menimbulkan masalah yang besar dan kompleks khususnya dalam bidang pendidikan itu sendiri. Hargreaves ( 1995) juga menyatakan seringkali terjadi bahwa implementasi suatu kurikulum baru tidak diikuti dengan pengimbangan kemampuan guru dan tindakan bagaimana meningkatkan guru-guru sebagai ujung tombak dalam impelemtasi kurikulum. Hal tersebut juga didukung oleh Fennema dan Franke (1992) bahwa kemampuan baik secara keterampilan dan pengetahuan seorang guru akan mempengaruhi prose pembelajaran di kelas dan menentukan sejauh mana kurikulum dapat diterapkan. Studi yang dilakukan oleh Taylor dan Vinjevold (1999) mengungkapkan bahwa kegagalan implementasi kurikulum disebabkan oleh rendahnya pengetahuan konseptual guru, kurang penguasaan terhadap topik yang diajarkan dan kesalahan interpretasi dari apa yang tertulis dalam dokumen kurikulum. Menurut Middleton (1999) juga menyatakan bahwa, berhasil tidaknya implementasi kurikulum yang diperbarui cenderung ditentukan oleh persepsi atau keyakinan yang dimiliki oleh tenaga pengajar atau guru. Bennie dan Newstead (1999) menyarankan untuk diadakannya penataran bagi guru secara intensif untuk dapat memahami filosofi dan substansi dari kurikulum yang baru. Laporan UNDP tahun 2006 menunjukkan Human development Indeks (HDI) Indonesia berada pada posisi 108 dari 109 negara bahkan disinyalir Indonesia sudah berada dibawah negara Vietnam. Untuk menjawab tantangan peningkatan mutu pendidikan diperlukan inovasi kurikulum yaitu kurikulum bermutu. Inovasi kurikulum dilakukan untuk menjadikan siswa sebagai subjek dan siswa didorong untuk menemukan sendiri apa yang mereka pelajari. Dalam kondisi inilah deep learning (belajar mendalam) akan dialami oleh siswa sebagai bentuk implementasi siswa sebagai subjek. Maka usaha yang perlu dilakukan adalah perbaikan kurikulum (inovasi kurikulum) melalui inovasi dokumen, inovasi pengembangan dan inovasi praktek kurikulum di dalam kelas. Seperti perubahan pola pembelajaran di dalam kelas dari traditional rote learning menjadi inquiry based learning. Sebagaimana menurut Joyce & Weil, 1991:198, inquiry adalah “designed to bring students directly into scientific process through exercise that compress the scientific process into small periods of time” . Inquiry adalah pola dan pendekatan pembelajaran dengan meletakkan siswa sebagai subjek dan harus didorong menemukan sendiri apa yang sedang mereka pelajari. Inquiry based learning, dikenal ada level dalam proses pemebelajaran, yaitu surface learning (belajar dangkal) dan deep learning (belajar mendalam). Inquiry based learning akan berkorelasi dengan Deep learning . Menurut Marton&Saljo (1976) mengidentifikasi dua level proses belajar yang dinamakan “surface process” dan “deep process”. Lebih lanjut kedua ahli menyimpulkan surface level process ditandai bila siswa hanya belajar text itu sendiri atau hanya melalui proses menghafal. Deep level process siswa belajar menangkap arti dari materi yang sedang dipelajari, belajar untuk mengerti dan mengidentifikasi hubungan antar konsep dan variable-variabel yang dipalajari. Brown&Atkin (1991) juga membedakan proses belajar siswa atas dua yaitu “surface learning” dan “deep learning”. Deep learning ditandai oleh proses keaktifan siswa untuk mmenemukan arti dan pengertian terhadap materi yang sedang dipelajari, sedangkan surface learning ditandai oleh proses menghafal materi yang sedang dipelajari. Biggs (1988: 130) menegaskan “ deep learning is used by many the more successful students in high school and university, they search for structure and meaning and do so while organizing their time and context optimally”. Artinya deepapproach to learning sangat penting dilakukan untuk meningkatkan keterlibatan siswa secara fisik dan mental dalam proses pembelajaran. Keterlibatan mental siswa secara mendalam dalam operasi berfikir, menganalisa, mensintesa hingga pada tahap menemukan apa yang dituntut oleh tujuan pembelajaran kompetens/ materi yang sedang dipelajari akan meningkatkan pengauasaan materi pelajaran secara tingkat tinggi. Ryan (1974) mengatakan keterlibatan siswa dalam proses pembelajaran tingkat tinggi (higer involvement) adalah suatu yang sangat penting untuk mewujudkan hasil belajar yang lebih tinggi. Untuk mewujudkan pendekatan belajar mendalam (deep learning approach) harus melakukan proses pembelajaran berbasis riset. Menurut Gay, 1992:7, riset (research) “ is the formal, systematic application of scientific methods to the study of problems”. Belajar dengan melakukan penelitian atau setidak-tidaknya memakai pola pemikiran riset dalam pembelajaran akan membawa anak didik ke dalam proses belajar mendalam. Untuk melaksanakan pola pembejalaran berbasis riset maka, minimal ada lima langkah yang harus ditempuh dalam proses pembelajaran. Ke lima langkah itu adala, ada masalah yang merupakan masalah penelitian, mengajukan hipotesis, mengumpulkan data melalui prosedur dan tehnik yang tepat, mengolah data dengan tehnik yang tepat serta menguji hipotesis untuk mengambil kesimpulan. Menurut Bari Djamarah (1994:21) belajar merupakan suatu aktivitas yang dilakukan secara sadar untuk mendapatkan sejumlah kesan dari bahan yang telah dipelajari. James O. Wittaker menyatakan belajar dapat didefinisikan sebagai proses dimana tingkah laku ditimbulkan atau diubah melalui latihan atau pengalaman. Sedangkan Cronbach menyatakan belajar yang efektif adalah melalui penglaman. Lebih lanjut Howard L. Kingsley menyatakan belajar adalah proses dimana tingkah laku (dalam arti luas) ditimbulkan atau diubah melalui praktek dan latihan sebagaimana dikutip (dalam Dalyono, 2006: 104). Dari beberapa pendapat para ahli tentang pengertian belajar adalah suatu kegiatan yang dilakukan dengan melibatkan 2 unsur yaitu jiwa dan raga. Gerak raga yang ditunjukkan harus sejalan dengan proses jiwa untuk mendapatkan perubahan sebagai hasil dari proses belajar. Sehingga dilihat dari pengertian prestasi dan belajar tersebut maka dapat diambil kesimpulan prestasi belajar adalah hasil yang diperoleh berupa kesan-kesan yang mengakibatkan perubahan. Bentuk perubahan dari hasil belajar meliputi tiga aspek, yaitu aspek kognitif, afektif dan psikomotorik. Ranah Benjamin S. Bloom Dalam sistem pendidikan nasional rumusan tujuan pendidikan, baik tujuan kurikuler maupun tujuan instruksional, menggunakan klasifikasi hasil belajar dari Benyamin S. Bloom yang secara garis besar membaginya menjadi tiga ranah, yakni ranah kognitif, ranah afektif, dan ranah psikomotorik. Benjamin S. Bloom itu berpendapat bahwa pengelompokkan tujuan pendidikan itu harus senantiasa mengacu kepada tiga jenis domain (daerah binaan atau ranah) yang melekat pada diri peserta didik, yaitu ranah proses berfikir (cognitive domain), ranah nilai atau sikap (affective domain) serta ranah keterampilan (psychomotor domain). Ranah kognitif adalah ranah yang mencakup kegiatan mental (otak). Ranah kognitif berhubungan dengan kemampuan berfikir, termasuk didalamnya kemampuan menghafal, memahami, mengaplikasi, menganalisis, mensintesis, dan kemampuan mengevaluasi. Dalam ranah kognitif itu terdapat enam aspek atau jenjang proses berfikir, mulai dari jenjang terendah sampai dengan jenjang yang paling tinggi. Keenam jenjang atau aspek itu adalah pengetahuan/hafalan/ingatan (knowledge), pemahaman (comprehension), penerapan (application), analisis (analysis), sintesis (syntesis) serta penilaian/penghargaan/evaluasi (evaluation). Menurut Taksonomi Bloom (Sax ,1980), kemampuan kognitif adalah kemampuan berfikir secara hirarki yang terdiri dari pengetahuan, pemahaman, aplikasi, analisis, sintesis dan evaluasi. Ranah afektif adalah ranah yang berkaitan dengan sikap dan nilai. Ranah afektif mencakup watak perilaku seperti perasaan, minat, sikap, emosi, dan nilai. Ranah afektif menjadi lebih rinci lagi ke dalam lima jenjang, yaitu receiving, responding, valuing, organization and characterization by evalue or calue complex. Menurut Andersen (1981:4) menyatakan bahwa pemikiran atau perilaku harus memiliki dua kriteria untuk diklasifikasikan sebagai ranah afektif. Kedua, perilaku harus tipikal perilaku seseorang. Kriteria lain yang termasuk ranah afektif adalah intensitas, arah, dan target. Ada 5 tipe karakteristik afektif yang penting berdasarkan tujuannya, yaitu sikap, minat, konsep diri, nilai, dan moral. Menurut Fishbein dan Ajzen (1975) sikap adalah suatu predisposisi yang dipelajari untuk merespon secara positif atau negatif terhadap suatu objek, situasi, konsep, atau orang. Sikap peserta didik ini penting untuk ditingkatkan (Popham, 1999). Menurut Getzel (1966), minat adalah suatu disposisi yang terorganisir melalui pengalaman yang mendorong seseorang untuk memperoleh objek khusus, aktivitas, pemahaman, dan keterampilan untuk tujuan perhatian atau pencapaian. Menurut Smith, konsep diri adalah evaluasi yang dilakukan individu terhadap kemampuan dan kelemahan yang dimiliki. Target, arah, dan intensitas konsep diri pada dasarnya seperti ranah afektif yang lain. Nilai menurut Rokeach (1968) merupakan suatu keyakinan tentang perbuatan, tindakan, atau perilaku yang dianggap baik dan yang dianggap buruk. Definisi lain tentang nilai disampaikan oleh Tyler (1973:7), yaitu nilai adalah suatu objek, aktivitas, atau ide yang dinyatakan oleh individu dalam mengarahkan minat, sikap, dan kepuasan. Piaget dan Kohlberg banyak membahas tentang per-kembangan moral anak. Namun Kohlberg mengabaikan masalah hubungan antara judgement moral dan tindakan moral. Ranah psikomotor merupakan ranah yang berkaitan dengan keterampilan (skill) tau kemampuan bertindak setelah seseorang menerima pengalaman belajar tertentu. Ranah psikomotor adalah ranah yang berhubungan dengan aktivitas fisik, misalnya lari, melompat, melukis, menari, memukul, dan sebagainya. Simpson (1956) yang menyatakan bahwa hasil belajar psikomotor ini tampak dalam bentuk keterampilan (skill) dan kemampuan bertindak individu. Ranah psikomotor berhubungan dengan hasil belajar yang pencapaiannya melalui keterampilan manipulasi yang melibatkan otot dan kekuatan fisik. Beberapa ahli banyak menjelaskan penilaian hasil belajar psikomotor. Ryan (1980) menjelaskan bahwa hasil belajar keterampilan dapat diukur melalui pengamatan langsung dan penilaian tingkah laku peserta didik selama proses pembelajaran praktik berlangsung. Tes untuk mengukur ranah psikomotorik adalah tes untuk mengukur penampilan atau kinerja (performance) yang telah dikuasai oleh peserta didik. Tes tersebut dapat berupa tes paper and pencil, tes identifikasi, tes simulasi, dan tes unjuk kerja. Kurikulum Bermutu Webster’s (1857), mendefenisikan kurikulum sebagai sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh oleh para siswa untuk dapat naik kelas atau mendapat ijazah. Robert Zais (1976) mengatakan kurikulum adalah sejumlah mata pelajaran atau ilmu pengetahuan yang harus ditempuh oleh siswa untuk mencapai suatu tingkat tertentu atau untuk memperoleh ijazah. William B. Ragan (1963), Beauchamp (1964), dan Harold B. Alberti Cs. (1965) mendefinisikan kurikulum menekankan pada aspek pengalaman dan kegiatan belajar siswa. Intinya kurikulum adalah semua pengalaman dan kegiatan belajar yang direncanakan oleh (guru) sekolah dan dialami siswa, baik itu yang dilaksanakan di kelas, di halaman sekolah maupun di luar sekolah sekalipun. Pengertian kurikulum yang lebih luas dan komprehensif dikemukakan oleh J. Lloyd Trump dan Delmas F. Miller (1973) dan Alice Miel (1945). Ketiga ahli tersebut melihat kurikulum bukan hanya berkenaan dengan mata pelajaran dan kegiatan belajar, tetapi juga menyangkut sarana prasarana, metode, waktu, sistem evaluasi, dan administrasi supervisi. Simpulannya kurikulum dapat dilihat dari dua dimensi, yaitu kurikulum sebagai sebuah dokumen yang berisi rencana pengalaman-pengalaman belajar yang akan dipelajari dan dikuasai oleh para siswa dalam rentang waktu tertentu atau disebut dengan kurikulum tertulis (written curriculum), dan kurikulum sebagai pengalaman dan kegiatan belajar yang dialami siswa secara nyata atau yang disebut dengan kurikulum nyata (real curriculum). Untuk mengembangkan kurikulum nyata diperlukan sejumlah faktor pendukung mulai dari bahan ajar, sarana prasarana, media/sumber belajar, metode, dan sistem evaluasi. Ada sejumlah prinsip pengembangan kurikulum yang perlu diperhatikan agar kurikulum dapat dinilai bermutu yaitu prinsip relevansi, efektivitas, efesiensi serta fleksibilitas. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dikembangkan dengan mengacu kepada sejumlah aturan perundangan mulai dari UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, PP No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, Permendiknas No. 22/2006 tentang Standar Isi, Permendiknas No. 23/2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan, Permendiknas No. 24/2006 dan No. 6/2007 tentang pelaksanaan Permendiknas No. 22 dan 23/2006. Saat ini kita dihadapkan pada tantangan era globalisasi. Era globalsiasi ditandai dengan perubahan dalam konsep ruang dan waktu, pasar dan produksi ekonomi di negara-negara yang berbeda menjadi saling bergantung sebagai akibat dari pertumbuhan perdagangan internasional, peningkatan pengaruh perusahaan multinasional, dan dominasi organisasi semacam World Trade Organization (WTO). Kemudian terjadinya peningkatan interaksi kultural melalui perkembangan media massa (terutama televisi, film, musik, dan transmisi berita dan olah raga internasional). saat ini, kita dapat mengonsumsi dan mengalami gagasan dan pengalaman baru mengenai hal-hal yang melintasi beraneka ragam budaya, misalnya dalam bidang fashion, literatur, dan makanan serta meningkatnya masalah bersama, misalnya pada bidang lingkungan hidup, krisis multinasional, inflasi regional dan lain-lain. Secara lebih khusus, ciri-ciri globalisasi ditandai dengan berkembangnya pertukaran kebudayaan internasional, penyebaran prinsip multi kebudayaan (multiculturalism), dan kemudahan akses suatu individu terhadap kebudayaan lain di luar kebudayaannya. Berkembangnya turisme dan pariwisata, semakin banyaknya imigrasi dari suatu negara ke negara lain, berkembangnya mode yang berskala global, seperti pakaian, film dan lain lain serta bertambah banyaknya event-event berskala global. Untuk menciptakan pendidikan guru yang berkualitas, berdasarkan beberapa hasil penelitian Darling-Hammond. dan Bransford (Ed.) (2005: 394) menyatakan bahwa minimal ada tiga elemen penting dalam desain program pendidikan guru yang harus diperbaiki. Ketiga elemen tersebut adalah konten pendidikan guru, proses pembelajaran yang berkenaan dengan penyusunan kurikulum serta konteks pembelajaran, yang berkenaan dengan penciptaan proses pembelajaran kontekstual. Lang dan Evans (2006: 3) secara lebih gamblang menyatakan bahwa penciptaan program pendidikan bermutu dapat didasarkan atas esensi-esensi program pendidikan guru diantaranya keberartian teori disertai pengalaman praktisnya, kerja sama antara perguruan tinggi dengan komunitas pendidikan lainnya, teori dan praktis dalam keterampilan generic dan refleksi serta diskusi tentang efektivitas keterampilan tersebut. Memberikan penekanan proses pada bagaimana cara mahasiswa belajar untuk meningkatkan kreativitas dan kemampuan berpikir kritis, kemampuan untuk mengorganisasikan pembelajaran,penerapan pendekatan konstruktivisme dalam pembelajaran, penerapan alternatif asesmen dan teori motivasi serta membangun profesionalisme berbasis penelitian Minimal ada lima kapabilitas yang harus terus menerus dibangun guru dalam rangka mengembangkan kualitasnya (Darling-Hammond. et.al. ,1999; Nicholss, G., 2002, dan Lang dan Evans, 2006). Kelima kapabilitas itu adalah konten pengetahuan yang diajarkan, tingkat konseptualisasi, kemampuan guru dalam melaksanakan proses pembelajaran, komunikasi interpersonal dan kapabilitas ego. Kapabilitas ego berhubungan dengan usaha mengetahui diri sendiri dan usaha membangun responsibilitas diri terhadap lingkungan. Aspek lain yang penting dalam rangka membangun kualitas guru adalah usaha mewujudkan guru sebagai peneliti. Pelaksanaan penelitian di dalam kelas merupakan upaya meningkatkan kualitas pendidik untuk menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi saat menjalankan tugasnya akan memberi kontribusi positif ganda. Kontribusi itu adalah peningkatan kemampuan dalam menyelesaikan masalah pendidikan dan pembelajaran yang nyata, peningkatan kualitas isi, masukan, proses, dan hasil belajar. Peningkatan keprofesionalan pendidik, penerapan prinsip pembelajaran berbasis penelitian. (****). (Dihimpun dari berbagai sumber dan rujukan : Darling-Hammond. (Ed.).1999. Teaching as the Learning Profession. San Francisco: Jossey-Bass Publishing, License to Teach. San Francisco: Jossey-Bass Publishing, Preparing Teachers for a Changing World. San Francisco: Jossey-Bass Publishing, 2005, Powerful Teacher Education. San Francisco: Jossey-Bass Publishing, 2006, etc) TULISAN INI TELAH DIMUAT PADA MAJALAH TEGAS