Sabtu, 07 September 2013

TANTANGAN POLITIK TAHUN 2014

KONSTELASI POLITIK JELANG PEMILU 2014 Oleh : Nelson Sihaloho Pemilihan Umum 2014 masih sekitar 2,5 tahun lagi. Meski demikian berbagai persiapan yang dilakukan oleh partai politik untuk mendapatkan dukungan dari rakyat sudah mulai digulirkan. Berbagai kasus-kasus yang mencuat terutama dalam pemilihan DPR-RI, DPD, Presiden/Wakil Presiden, Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, Wali Kota/Wakil Wali Kota menjadi suatu pelajaran yang berharga bahwa sistem pelaksanaan demokrasi di Indonesia masih perlu dikaji ulang. Banyaknya partai-partai yang menjadi kontestan Pemilu menandakan bahwa sebagian besar partai-partai politik di Indonesia tidak mampu meraih simpati rakyat khususnya dalam hal dukungan. Semestinya dengan kondisi riil itu partai-partai yang tidak mampu meraih dukungan dari rakyat semestinya tidak diperkenankan lagi mengikuti pemilihan umum. Solusi terbaik terhadap partai-partai yang tidak mampu meraih dukungan dari rakyat adalah melakukan koalisi sehingga jumlah partai konstestan pemilu di Indonesia semakin ramping. Menelisik dari kondisi pemilu tahun 2009 partai-partai besar diprediksikan masih akan mampu mendulang suara secara signifikan. Namun akan terjadi perubahan kekuatan politik pada tahun 2014 dimana akan ada beberapa partai besar sudah mulai kehilangan pengaruh dan citranya di mata rakyat. Segelintir kasus-kasus yang mencuat sekarang ini seperti kasus-kasus korupsi mengakibatkan kondisi partai menjadi “goyang” kehilangan legimitasi dan banyak oknum-oknum pelaku koruptor berlindung dibalik “ketiak” partai penguasa. Para kepala daerah yang melakukan “putar haluan” dengan “menggemgam” partai poitik penguasa dan meninggalkan perahu-perahu politik pendukungnya ketika mencalonkan diri menjadi kepala daerah akan mengalami hambatan dalam memuluskan langkah politiknya menjadi pemenang demokrasi pada tahun 2014 mendatang. Kebudayaan politik sebagaimana kita ketahui adalah memuji kebaikannya sendiri. Masalahnya sekarang seberapa banyak dan faktor apa yang harus tersedia disebuah negara sebelum pranata demokrasi bekerja menyelaraskan tingkahlaku dan pengharapan. Kebudayaan poltik didasarkan pada dua alasan, yaitu pertama, jika kita ingin mengetahui hubungan antara sikap-sikap politik dan non politik dan pola-pola perkembangan kita harus memisahkan kedua faktor tersebut meskipun batas antara keduanya tidak setajam perbedaan terminologi yang akan kita lihat faktanya dilapangan. Kebudayaan politik mengacu pada orientasi politik,sikap terhadap sistem politik dan bagian-bagiannya yang lain serta sikap terhadap peranan kita dalam sistem tersebut. Itulah sebabnya maka muncul fakta-fakta yang berlaku dilapangan bahwa politik bukan pelaksanaan aturan yang menggariskan kehidupan kelompok hal itu adalah administrasi. Politik lebih berhubungan dengan membuat dan mengubah peraturan meliputi, kompetisi, persaingan, siasat antar individu dan kelompok untuk menguasai sumber daya terutama kekuasaan. Pada masyarakat manapun, ada seseorang yang membuat keputusan besar dan final. Keputusan itu mungkin saja bijaksana atau bodoh, beradsarkan pengetahuan yang baik atau tidak, dengan pertimbangan baik atau buruk, pembahasannya mungkin dilakukan di depan umum atau secara tertutup, pada tingkat intelektual tinggi atau rendah. Karena sulit untuk melihat suatu tendensi evolusi yang jelas, dapat diduga bahwa beberapa ungkapan seperti “perkembangan politik” dan “modernisasi politik” tidak banyak artinya. Menguitp pendapat Apter, bahwa “tidak ada gunanya untuk menilai pemerintah atas dasar organisasainya. Negara satu partai misalnya mungkin sangat demokratis. Adanya Mahkamah Agung mungkin tidak menentukan dalam pengembangan tertib hukum, jelas bahwa yang penting adalah isinya, bukan bentuknya,”. Pada bagian lain misalnya diartikan sangat berbeda diberikan kepada “modernisasi politik” dan “pembangunan politik” sebagai suatu gerakan menuju sasaran akhir negara yang dianggap baik dan barangkali tidak terelakkan, dalam masyarakat demokratis, demokrasi multi partai ataupun bentuk negara lainnya. Pendapat Paul Sigmund juga mengatakan, banyak pemimpin nasional melihat pemerintahan yang kuat sebagai satu-satunya jalan untuk mensukseskan pembangunan. Beberapa pernyataan besar tentang kekuatan “partai” dan identitas “bangsa” dengan jelas menggambarkan bahwa tendensi untuk menyatakan seolah-olah merupakan fakta yang sebetulnya tidak lebih dari suatu harapan, suatu aspirasi atau bahkan suatu keinginan yang besar sekali, suatu tendensi yang menurut Riggs disebut “percakapan ganda” atau “double talk”. Persaingan sering menjadi panas mengenai masalah-masalah pembangunan ekonomi yang direncanakan oleh pusat seperti penentuan lokasi ibukota pemekaran baru, kawasan ekonomi khusus serta pembagian kue-kue pembangunan yang “ kurang adil” bahkan Kementrian-kementrian “basah” selalu mendominasi peringkat tertinggi penerima nilai daftar isian anggaran proyek serta adanya kementrian “gersang” dengan jumlah dana anggaran proyek yang minim. Kondis riil inilah yang terjadi sejak dulu bahkan pada pemilu 2014 mendatang berbagai agenda pembangunan akan digulirkan oleh pemerintah namun elit politik sepertinya tidak pernah akan berpihak kepada rakyat. Masalahnya sekarang bagaimana konstelasi poltik jelang Pemilu 2104 mendatang? Bagaimana situasi politik menjelang dilakukanya perhelatan demokrasi pada tahun 2014. Siapakah figur-figur yang kelak akan mencalonkan diri menjadi Presiden dan Wakil Presiden? “Mencederai Demokrasi” Partisipasi politik seseorang tidak hanya dikaitkan dengan penampilan khusus sebuah sistem maupun dengan sistem politik pada tingkatan simbolik tetapi tidak juga terhadap politik aktual. Perlu dicermati bahwa, mereka yang menganggap dirinya berhak untuk ambil bagian juga lebih mungkin percaya bahwa sebuah partisipasi demokratis adalah sistem yang sebenarnya harus dimiliki. Di dalam tiap-tiap negara para responden yang memiliki kompetensi subyektif yang lebih tinggi, lebih mungkin dari pada mereka dengan kompetensi yang lebih rendah untuk melaporkan bahwa berkampanye dalam pemilihan adalah hal yang baik. Apabila ada kesenjangan antara sikap umum terhadap hubungan interpersonal dengan sikap yang lebih khusus terhadap hubungan dengan orang yang menyandang atribut politik memastikan dalam pikiran bahwa individu menaruh simpati dalam politik atau bermusuhan, menunjukkan tidak adanya integrasi struktur sosial dalam sistem politik. Konflik-konflik kepartaian yang terjadi di Indonesia saat ini masih akan tetap berlangsung meskipun jarang menyebabkan terjadinya perpecahan sosial menjadi kelompok-kelompok politik ideologis yang tertutup ada antagonistis. Terjadinya konflik-konflik itu dapat kita analisis melalui kejadian perpecahan partisan diluar partai yang memutuskan hubungan seseorang dari para kolaborator yang potensial. Seperti kampanye dengan perkumpulan-perkumpulan, paguyuban-paguyuban termasuk salah satu bentuk yang mencederai demokrasi. Meskipun belum ada larangan dan sanski tegas atas kampanye terhadap perkumpulan-perkumpulan, paguyuban-paguyuban itu secara tegas telah mampu melampaui prediksi situasi politik yang diciptakan. Di negara ini “mencederai” sistim politik yang telah dibentuk memang sudah lazim bahkan “mencampuradukkan” kegiatan sosial dengan politik. Tameng-tameng dengan agenda sosial sambil berkampanye untuk meminta dukungan dari para kandidat legislatif ataupun eksekutif dengan merapatkan barisan ke tokoh-tokoh ketua perkumpulan dan paguyuban. Menarik untuk dikaji, bagaimana keanggotaan perserikatan sukarela mempengaruhi sikap-sikap politik. Berbagai macam tipe perserikatan dan organisasi yang ada dimasyarakat saat ini bahkan seseorang calon pemimpin akan mengharapkan pengaruh yang besar dari oragansiasi dan perkumpulan-perkumpulan itu. Beberapa perserikatan itu mungkin saja murni sosial, perserikatan lain mungkin berorientasi langsung terhadap bidang politik. Umumnya orang juga menilai bahwa organisasi yang terlibat intens didalam percaturan politik akan mempunyai pengaruh lebih besar terhadap perspektif politik para anggotanya. Untuk melacak pengaruh keanggotaan organisasi berdasarkan sikap politik penting dipertimbangkan sampai sejauh mana individu memainkan peranan aktif didalam organisasi mereka. Organisasi juga memberikan kesempatan kepada mereka untuk berpartisipasi aktif mungkin sama pentingnya terhadap perkembangan kewarganegaraan demokratis seperti halnya organisasi sukarela umumnya. Jika timbul issu yang dipandang penting oleh individu atau jika terjadi ketidakpuasan tertentu yang relatif serius dengan pemerintah, individu akan didodorong untuk memikirkan topik itu dan dengan demikian akan berada dalam tekanan yang lebih tinggi untuk memecahkan inkonsistensi itu untuk membuat sikap dan tingkahlaku senada antara satu dengan yang lain. Intinya inkonsistensi antara sikap dan tingkahlaku berproses sebagai sumber laten atau potensial terhadap pengaruh politk dan kegiatan politik. Kebudayaan juga menegaskan bahwa mengapa issu-issu penting dibidang politik yang tidak dapat dipecahkan sewaktu-waktu dapat instabilitas dalam sebuah sistem politik demokrasi. Keseimbangan antara kegiatan dan sikap pasif dapat dipertahankan apabila issu-issu politik tidak begitu gawat. Jika politik menjadi lebih intens atau tetap intens disebabkan oleh perkara-perkara penting, maka inkonsistensi antara sikap dan tingkahlaku akan menjadi tidak stabil. Namun sejumlah resolusi yang relatif permanen mengenai inkonsistensi cenderung melahirkan sejumlah konsekuensi yang cukup merugikan. Jika tingkahlaku diselaraskan dengan sikap, intensitas pengawasan terhadap kaum elite yang dicoba oleh non elite akan menciptakan ketidakefektifan didalam pemerintahan sekaligus instabilitas. Sebaliknya apabila berubah menentang tingkahlaku-tingkahlaku, akibat perasaan tidak mampu dan ketidakterlibatan melahirkan konsekeuensi yang merusak terhadap kualitas demokratis sistem politik. Pemimpin Berwawasan Global Pemilu 2014 sebenarnya menjadi momentum penting terhadap calon-calon pemimpin yang kelak bertarung pada bursa calon Presiden/Wakil Presiden ataupun para menteri yang kelak dipilih oleh pemimpin terpilih adalah kader-kader berwawasan global. Namun dari sisi kemampuan untuk mendapatkan simpati rakyat tergantung kepada calon pemimpin untuk mematuhi aturan demokrasi. Barangkali masih banyak partai-partai di Indonesia belum mampu memiliki kader yang siap berkompetisi secara global. Bahaya ekonomi global yang menjadi salah satu issu-issu terkini saat ini kelak akan kita hadapi dan harus dipecahkan melalui kemampuan global. Sebenarnya kunci pokok utama ada pada 2 pilar yaitu hubungan luar negeri dan ekonomi global. Secara politik apabila calon presiden terpilih kelak tidak mampu menempatkan calon menteri luar negeri dan Menko Ekonomi Keuangan dan Industri yang memiliki wawasan global dan memiliki hubungan serta pengaruh yang luas maka Indonesia kelak akan tetap menjadi bangsa yang tertinggal dibandingkan dengan bangsa-bangsa lain. Dibutuhkan suatu keberanian dari pemimpin terpilih kelak untuk mengangkat calon-calon menteri-menteri yang sukses membina mitra dan bekerjasama dengan berbagai perusahaan kelas dunia serta memiliki pengaruh yang luas. Para calon menteri luar negeri yang diangkat kelak adalah kader-kader yang telah lama berkutat dalam hubungan diplomatik khususnya yang bermarkas di PBB. Calon Menlu yang bermarkas di PBB itu dinilai oleh berbagai kalangan lebih kompeten serta lebih qualified dalam menjalin hubungan dengan berbagai negara. Prediksi sementara, sederatan calon pemimpin Indonesia yang kelak akan bertarung di bursa calon Presiden adalah Sultan Hamengku Buwono X, Anas Urbaningrum, Aburizal Bakrie, Prabowo Subianto. Sedangkan Megawati Sukarno Putri diprediksikan kelak tidak akan mencalonkan diri lagi mengingat usia dan faktor lainnya. Perlu diwaspadai kader-kader PDIP pada pertarungan pemilihan calon legislatif (Pemilu legislatif) diprediksikan akan mampu meraup suara seperti pada pemilu sebelumnya. Namun akan ada partai besar yang kehilangan pendukung akibat terlilit dan tersandung kasus-kasus. Meskipun banyak para kader-kader partai besar saat ini menjadi Gubernur, Bupati, Wali Kota pada Pemilu 2014 diprediksikan akan terjadi perubahan besar dalam peta kekuatan politik. Calon-calon pemimpin yang terus mengumbar janji-janji politiknya namun tidak pernah direalisasikan kelak akan ditinggalkan rakyat. Salah satu catatan dan torehan manis dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono termasuk salah satu tokoh yang sukses membangun demokrasi di negeri ini. Kesuksesan SBY dalam membangun demokrasi di negeri ini meskipun berkarir di militer ternyata dalam memimpin lebih arif dan bijaksana. Meskipun Susilo Bambang Yudhoyono kelak tidak menjadi presiden di masa mendatang, SBY tetap akan diingat rakyat sebagai pemimpin yang berhasil menanamkan tatanan demokrasi di negeri ini. Suatu langkah maju yang patut ditiru oleh para calon-calon pemimpin yang kelak bertarung di bursa calon presiden dan wakil presiden pada tahun 2014 mendatang. Keberanian SBY untuk melepaskan Sri Mulyani hijrah ke Bank Dunia adalah salah satu diantara sekian banyak alasan untuk mempersiapkan calon-calon pemimpin berwawasan global? Konstelasi politik menjelang Pemilu 2014 memang masih samar-samar, perhelatannya saja belum dimulai termasuk partai-partai pun belum diverifikasi. Meski demikian tidak ada akar rotanpun jadi. (* Penulis tinggal di kota Jambi).