Kamis, 30 April 2015

HARI PENDIDIKAN NASIONAL DAN PENGEMBANGAN MANDIRI

Hardiknas dan Self Directed Development Oleh: Drs. Nelson Sihaloho Abstrak: Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) setiap tahun menjadi perhelatan rutin diselenggarakan di negeri ini. Kemajuan dan mutu pendidikan suatu negara tidak bisa dipisahkan dari kondisi guru. Semakin maju ilmu pengetahuan dan teknologi maka tuntutan akan pengembangan kemandirian (self direct development) profesi guru harus sejalan dengan tuntuan era global. Peningkatan mutu SDM akan meningkatkan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi, sekaligus menciptakan pemerataan pendapatan masyarakat. Untuk meningkatkan mutu pendidikan perlu peningkatan pendidikan dan spesialisasi guru. Salah satu yang selama ini terlupakan atau sengaja dilupakan pihak sekolah adalah menyertakan orang tua atau masyarakat dalam proses pembelajaran (authentic and meaningful learning through field experiences and community connections). Banyak contoh kecil yang bisa dilakukan sekolah, seperti menciptakan parents-day, pada saat para orang tua ikut serta dalam Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) sebagai suatu hari yang disepakati bersama dapat mengajar anak-anak mereka secara langsung di sekolah. Orang tua/masyarakat harus berpartisipasi dalam memberikan pandangannya bahwa sekolah sebagai sumber informasi paling berharga dalam penambahan wawasan para guru dan siswa. Memberi kesempatan secara luas kepada orang tua/masyarakat dalam proses belajar-mengajar akan mempermudah tugas guru dan sekolah dalam melakukan bimbingan dan pengajaran dalam waktu yang bersamaan. Kata kunci: Hardiknas, Guru, Pengembangan kemandirian. Pendahuluan Ki Hajar Dwantara (HOS Cokroaminoto) merupakan sosok penting dalam dunia pendidikan di Indonesia bukan hanya sebagai pelopor tentang pendidikan namun salah tokoh yang berhasil menegakkan tonggak sejarah dalam dunia pendidikan di negeri ini yang diawali pada tanggal 2 Mei 1908 silam. Hingga tahun 2015 telah 107 tahun dunia pendidikan telah berjalan, berlangsung higga ke masa depan pun dunia pendidikan juga akan bergerak sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek). Sejatinya dengan usia lebih dari satu abad itu dunia pendidikan Indonesia semestinya telah mampu menjadi salah satu negara yang disegani dalam kualitas sumber daya manusia (SDM). Kenyataan dan fakta menunjukkan kualitas SDM bangsa ini masih jauh tertinggal apabila dibandingkan negara-negara di ASEAN. Sumber daya alam (SDA) yang melimpah ruah juga kini terus digerus oleh perusahaan-perusahaan asing dengan dalih investasi saling menguntungkan. Maka pada tahun 2015 bertepatan dengan Peringatan Hardiknas perlu dilakukan evaluasi secara menyeluruh dan konstruktif terhadap perjalanan pendidikan kita. Adapun thema Peringatan Hardiknas tahun ini adalah “ Pendidikan dan Kebudayaan sebagai Gerakan Pencerdasan dan Penumbuhan Generasi Berkarakter Pancasila”. Thema ini ditetapkan sesuai dengan Surat Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor: 0379/ MPK.F/ LL/2015 tertanggal 17 April 2015. Namun thema hari peringatan pendidikan itu belum dipertajam dengan kebijakan pemerintah untuk menumbuhkembangkan kesadaran masyarakat bahwa sekolah merupakan bentuk pelayanan pemerintah terhadap masyarakat (opening the school to serve the community). Berkaitan dengan itu salah satu hal yang selama ini terlupakan atau sengaja dilupakan pihak sekolah adalah menyertakan orang tua atau masyarakat dalam proses pembelajaran (authentic and meaningful learning through field experiences and community connections). Kerja sama sekolah dan orang tua merupakan strategi yang baik untuk digunakan dalam upaya peningkatan mutu pendidikan (sekolah). Partisipasi masyarakat diyakini sebagai prasyarat untuk mewujudkan good education governance, yakni terselenggaranya pelayanan pendidikan yang baik dan amanah. Dengan adanya komitmen tersebut sekolah dan para guru senantiasa akan dituntut untuk meningkatkan sikap profesionalisme untuk belajar dari masyarakat tentang konsep dan pelayanan pendidikan yang bagaimana diinginkan dalam menghadap masa depan. Mengutip pendapat Glatthorm (1990) mengemukakan bahwa dalam melihat profesionalisme guru, disamping kemampuan dalam melaksanakan tugas, juga perlu mempertimbangkan aspek komitmen dan tanggung jawab (responsibility), serta kemandirian (autonomy).. Membicarakan tentang profesionalisme guru, secara garis besar kegiatan pengembangannya adalah pengembangan intensif (intensive development), pengembangan kooperatif (cooperative development), serta pengembangan mandiri (self directed development, Glatthorm, 1991). Pengembangan mandiri (self directed development) adalah bentuk pengembangan yang dilakukan melalui pengembangan diri sendiri dimana bentuknya adalah memberikan otonomi secara luas kepada guru. Teknik yang digunakan bisa melalui evaluasi diri (self evaluation) atau penelitian tindakan (action research. Hingga kini paradigma pengembangan profesionalisme masih mengacu dengan pendekatan proyek dan program-program pragmatis yang kurang menghargai pengalaman empiris guru sebagai tacit knowledge. Paradigma pengembangan profesionalisme guru seharusnya dilandasi oleh pemahaman bagaimana proses belajar seorang profesional. Pengembangan profesionalisme guru selama ini tidak merujuk informasi diagnostik bersumber dari konteks pembelajaran riil yang bisa menjadi dasar integratif bagi strategi pengembangan motivasi belajar berkelanjutan. Guru sebagai seorang profesional harus dipandang sebagai individu yang memiliki “tacit knowledge” sebagai pengetahuan empiris yang sangat berharga. Era ekonomi pengetahuan sangat menghargai adanya tacit knowledge bahkan dalam pengembangan teori-teori pembelajaran bisa menjadi sumber informasi berharga (Reigeluth, 2009). Diperlukan konsep pengembangan profesionalisme berkelanjutan yang berangkat dari perspektif mempertimbangkan latar sosio-kultur guru dalam konteks keseharian guru menjalankan profesi disertai adanya kehadiran supervisi (Ann Webster, 209:714). Linda Darling Hammond (1997:67) mengatakan solusi birokratis terhadap masalah-masalah praktek profesionalisme akan selalu gagal karena praktek secara inheren tidak tentu dan tidak bisa diprediksi. Bahkan Barnet, (2000), Usher and Edwards, (1994) menawarkan untuk menilai ketrampilan profesional lebih kepada kualitatif dan bersifat empati. Konsep pengembangan pada diri seorang guru perlu ditransformasi menjadi berkelanjutan (continuous professional learning) dan diletakkan dalam konsep belajar dalam bekerja (workplace learning) dimana hal ini sejalan dengan suatu model pengembangan model belajar mandiri yang dikemukakan Haris Mudjiman yang bersifat siklikal dalam menimbulkan motivasi berkelanjutan (2010:47-54). Pemberdayaan Profesi Peringatan Hardiknas Tahun 2015 harus menjadi moment penting untuk meningkatkan mutu dan kualitas pendidikan di negeri ini. Pemerintah harus secara terus menerus mengingatkan para pendidik dan guru dinegeri ini untuk terus mengembangkan serta memberdayakan profesinya. Pemberdayaan profesi dapat diselenggarakan melalui pengembangan diri yang dilakukan secara demokratis, berkeadilan, tidak diskriminatif, dan berkelanjutan, dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, kemajemukan bangsa dan kode etik profesi Dari data berbagai sumber mengungkapkan bahwa negara-negara yang sudah melaksanakan sertifikasi adalah Amerika Serikat terdapat badan independen yang disebut The American Association of Colleges for Teacher Education (AACTE). Badan independen ini yang berwenang menilai dan menentukan apakah ijazah yang dimiliki oleh calon pendidik layak atau tidak layak untuk diberikan lisensi pendidik. Kemudian Jepang, telah memiliki Undang-undang tentang guru sejak tahun 1974 dan Undang-undang Sertifikasi sejak tahun 1949. Tiongkok sendiri, telah memiliki Undang-undang guru sejak tahun 1993, dan PP yang mengatur kualifikasi guru diberlakukan sejak tahun 2001 serta negara Philipina dan Malaysia, belakangan ini telah mempersyaratkan kualifikasi akademik minimum dan standar kompetensi bagi guru. Menurut Toffler (1981) memprakirakan bahwa dimasa mendatang mengajar adalah membuat subjek didik “belajar bagaimana untuk belajar” (“learning how to learn”), “bagaimana menghapuskan hasil belajar” (“unlearn”), dan bagaimana belajar kembal” (“relearn”). Sehingga menurut Toffler ketunaan (illiteracy) dimasa mendatang adalah bukan ketunaan aksara (ketidaktahuan membaca) tetapi ketidaktahuan belajar bagaimana untuk belajar. Pemberdayaan guru secara mandiri dapat mengadopsi klasifikasi model model mengajar Joyce (1987) dengan mengklasifikasikan pendekatan mengajar pada 4 golongan. Adapun pendekatannya adalah model interaksi sosial yang menekankan pada hubungan antar individu atau pengembangan kemampuan individu untuk berhubungan dengan orang lain. Kemudian model prosesing-informasi, yaitu model yang mengacu pada cara manusia mengatasi rangsangan lingkungan, mengorganisasi data, memahami masalah, mengembangkan konsep dan memecahkan masalah dan menggunakan simbol-simbol verbal dan non verbal. Pendekatan lainnya adalah model personal berorientasi pada pengembangan diri individu yaitu ditekankan pada proses yang unik serta model modifikasi tingkah laku dan cybernetic yang mengembangkan sistem efisien untuk tugas yang runtut dan membentuk tingkah laku dengan memanipulasi penguatan. Seiring dan sekait dengan itu maka pemberdayaan profesionalitas guru harus mengacu pada continuing, professional, dan development (CDP). Pengembangan profesional tenaga kependidikan harus dipandang sebagai suatu pola pengembangan berkelanjutan dari pendidik yang tidak atau kurang memiliki kompetensi yang andal (unqualified) sampai pendidik senior di sekolah, kepala sekolah, atau pengawas. Kemampuan profesional guru, kepala sekolah, dan pengawas itu bersifat dinamis. Intinya setiap kegiatan CPD merupakan bagian dari sebuah rencana jangka panjang yang koheren serta memberi kesempatan pada peserta CPD untuk menerapkan apa yang mereka pelajari, mengevaluasi dampak pada praktek pembelajaran mereka, mengembangkan praktek-praktek mereka. Sikap mental (mind set) tenaga kependidikan di sekolah menjadi prasyarat bagi upaya meningkatkan mutu serta sejalan dengan pendapat Edward Sallis (1993) tentang sekolah bermutu. Investasi pada SDM didukung dengan komitmen yang tinggi perlu terus dijaga sehingga tidak mengalami “kerusakan”, atau berdampak pada “kerusakan psikologis” sehingga amat sulit untuk memperbaikinya. Dalam konteks inilah Hardiknas 2015 harus menjadi “moment urgent” bagi semua pemangku kebijakan “stakeholders” untuk mampu memberikan keleluasaan terhadap guru dalam pengembangan mandiri profesionalismenya. Pengembangan mandiri profesionalisme guru yang sebenarnya telah diakomodasi oleh pemerintah melalui tunjangan profesi semestinya menyadarkan guru tentang tugas dan kewajibannya. Selamat Hari Pendidikan Nasional Tahun 2015, Semoga Thema Pendidikan dan Kebudayaan sebagai Gerakan Pencerdasan dan Penumbuhan Generasi Berkarakter Pancasila” bisa terwujud. (Penulis Tinggal di Kota Jambi, tulisan ini dihimpun dari berbagai sumber relevan).