Sabtu, 14 September 2013

Pengawas Sekolah

Mungkinkah Pengawas Sekolah Kembali Jadi Guru Biasa? Oleh: Nelson Sihaloho Abstrak: Guru sebagai suatu profesi di Indonedia baru dalam taraf sedang tumbuh (emerging profession) dimana tingkat kematangannya belum sampai pada taraf yang telah dicapai oleh profesi-profesi. Bahkan guru dikatakan sebagai profesi yang setengah-setengah atau semi profesional. Pekerjaan profesional berbeda dengan pekerja non profesional karena suatu profesi memerlukan kemampuan dan keahlian khusus dalam melaksanakan profesinya. Pekerjaan yang bersifat profesional adalah pekerjaan yang hanya dapat dilakukan oleh mereka yang khususnya dipersiapkan untuk itu. Pengembangan profesionalisme guru berlanjut dan berjenjang hingga mendapat tugas tambahan sebagai Kepala Sekolah berjenjang hingga menjadi pengawas. Masalahnya sekarang jika banyak para pengawas awalnya direkrut dari guru setelah puluhan tahun bertugas ternyata mereka tidak menunjukkan kinerja yang baik bahkan tidak mampu meningkatkan jenjang karirnya kearah yang lebih tinggi (stagnan). Berdasarkan atas penilaian itu pemerintah berhak untuk melakukan perubahan kebijakan tentang jabatan pengawas dan apabila tidak mampu menjadi pengawas sekolah agar kembali bertugas menjadi guru biasa. Kata kunci: Pengawas, Pendidikan dan Guru. Pendahuluan Profesi guru memiliki tugas melayani masyarakat dalam bidang pendidikan. Tuntutan profesi ini memberikan layanan yang optimal dalam bidang pendidikan terhadap masyarakat. Guru profesional adalah orang yang memiliki kemamapuan dan keahlian khusus dalam bidang keguruan agar mampu melaksanakan tugas dan fungsinya sebagai guru dengan kemampuan maksimal. Ornstein dsn Levine (1984) menyatakan bahwa profesi itu adalah jabatan yang sesuai dengan pengertian profesinya. Syarat-syarat profesi guru merupakan pekerjaan pekerjaan penuh, memiliki ilmu pengetahuan, memiliki aplikasi ilmu pengetahuan, lembaga profesi termasuk perilaku profesinya. Menurut Benard Barber (1985) perilaku profesional harus memenuhi persyaratan diantaranya mengacu kepada ilmu pengetahuan, berorientasi kepada insterest masyarakat (klien) buka interest pribadi, pengendalian prilaku diri sendiri dengan mepergunakan kode etik, imbalan atau kompensasi uang atau kehormatan merupakan simbol prestasi kerja bukan tujuan dari profesi serta salah satu aspek dari perilaku profesional adalah otonomi atau kemandirian dalam melaksanakan profesinya. Guru juga harus memiliki standar profesi dalam menjalankan tugas profesionalismenya. Standar profesi adalah prosedur dan norma-norma serta prinsip-prinsip yang digunakan sebagai pedoman agar keluaran (out put) kuantitas dan kualitas pelaksanaan profesi tinggi sehingga kebutuhan orang dan masyarakat ketika diperlukan dapat dipenuhi. Dibeberapa negara telah memperkenalkan standar profesional untuk guru dan kepala sekolah. Di USA misalnya National Board of Professional teacher Standards telah mengembangkan standar dan prosedur penilaian berdasarkan pada 5 (lima) prinsip dasar (Depdiknas, 2005). Standar itu adalah guru bertanggung jawab (committed to) terhadap siswa dan belajarnya, gfuru mengetahui materi ajar yang mereka ajarkan dan bagaimana mengajar materi tersebut kepada siswa, guru bertanggung jawab untuk mengelola dan memonitor belajar siswa, guru berfikir secara sistematik tentang apa-apa yang mereka kerjakan dan pelajari dari pengalaman serta guru adalah anggota dari masyarakat belajar. Bagaimana dengan tugas pengawas. Tugas pokok pengawas sekolah/satuan pendidikan adalah melakukan penilaian dan pembinaan dengan melaksanakan fungsi-fungsi supervisi, baik supervisi akademik maupun supervisi manajerial. Berdasarkan tugas pokok dan fungsi diatas minimal ada tiga kegiatan yang harus dilaksanakan pengawas yaitu melakukan pembinaan pengembangan kualitas sekolah, kinerja kepala sekolah, kinerja guru, dan kinerja seluruh staf sekolah. Melakukan evaluasi dan monitoring pelaksanaan program sekolah beserta pengembangannya dan melakukan penilaian terhadap proses dan hasil program pengembangan sekolah secara kolaboratif dengan stakeholder sekolah. Mengacu pada SK Menpan nomor 118 tahun 1996 tentang jabatan fungsional pengawas dan angka kreditnya, Keputusan bersama Mendikbud nomor 03420/O/1996 dan Kepala BAKN nomor 38 tahun 1996 tentang petunjuk pelaksanaan jabatan fungsional pengawas serta Keputusan Mendikbud nomor 020/U/1998 tentang petunjuk teknis pelaksanaan jabatan fungsional pengawas sekolah dan angka kreditnya. Tugas pokok dan tanggung jawab pengawas sekolah meliputi melaksanakan pengawasan penyelenggaraan pendidikan di sekolah sesuai dengan penugasannya pada TK, SD, SLB, SLTP dan SLTA serta meningkatkan kualitas proses belajar-mengajar/bimbingan dan hasil prestasi belajar/bimbingan siswa dalam rangka mencapai tujuan pendidikan. Menurut Ofsted (2003) tugas pengawas mencakup beberapa hal diantaranya, inspecting (mensupervisi), advising (memberi advis atau nasehat), monitoring (memantau), reporting (membuat laporan), coordinating (mengkoordinir) dan performing leadership dalam arti memimpin dalam melaksanakan kelima tugas pokok tersebut. Saat ini muncul paradigma baru dalam jabatan pengawas. Pengawas yang selama ini ditakuti dan menjadi momok bagi guru dan kepala sekolah, kini kinerja pengawas sekolah dan pendidikan juga menjadi sorotan berbagai pihak. Hal itu muncul karena tuntutan tentang sumber daya manusia (SDM) pengawas dinilai berbagai kalangan belum memenuhi persyaratan bahkan cenderung kurang mampu menjadi contoh dihadapan guru dan kepala sekolah. Padahal tugas pengawas sekolah salah satunya adalah tugas pokok performing leadership/memimpin meliputi tugas memimpin pengembangan kualitas SDM di sekolah binaannya, memimpin pengembangan inovasi sekolah, partisipasi dalam memimpin kegiatan manajerial pendidikan di Diknas yang bersangkutan, partisipasi pada perencanaan pendidikan di kabupaten/kota, partisipasi pada seleksi calon kepala sekolah/calon pengawas, partisipasi dalam akreditasi sekolah, partisipasi dalam merekruit personal untuk proyek atau program-program khusus pengembangan mutu sekolah, partisipasi dalam mengelola konflik di sekolah dengan win-win solution dan partisipasi dalam menangani pengaduan baik dari internal sekolah maupun dari masyarakat. Masalahnya sekarang sudahkah para pengawas satuan pendidikan telah banyak berperan sebagai penilai, peneliti, pengembang, pelopor/inovator, motivator, konsultan dan kolaborator dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan di sekolah binaannya. Apabila dikaitkan dengan tugas pokok pengawas sebagai pengawas atau supervisor akademik yaitu tugas pokok supervisor yang lebih menekankan pada aspek teknis pendidikan dan pembelajaran, dan supervisor manajerial yaitu tugas pokok supervisor yang lebih menekankan pada aspek manajemen sekolah sesuai dengan matriknya apakah telah benar-benar berjalan dengan baik?. Harus Menjadi Contoh Dan Teladan Seringkali pengawas datang ke sekolah tidak menjalankan tugas pokok fungsinya dengan baik. Bahkan ada oknum pengawas “tidak merasa malu” meski guru yang diawasinya pangkat dan golongannya “lebih tinggi” dari pangkat golongan pengawas. Sangat memalukan memang di negeri ini. Pangkat dan Golongan sejak dulu menjadi ukuran keberhasilan maupun karir dari PNS. Di jajaran TNI/Polri berlaku aturan kepangkatan lebih tinggi mengatur kepangkatan yang lebih rendah. Dalam dunia pendidikan bisa posisinya terbalik bahkan bisa salah. Artinya sistim kepangkatan di PNS tidak memiliki wibawa lagi. Termasuk dalam dunia pendidikan. Akar masalahnya adalah Permendiknas nomor 28 tahun 2010 tentang penugasan guru mendapatkan tugas tambahan sebagai Kepala Sekolah. Demikian halnya dengan jabatan pengawas sekolah dimana eksistensi pengawas sekolah dinaungi oleh sejumlah dasar hukum. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 dan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 adalah landasan hukum yang terbaru yang menegaskan keberadaan pejabat fungsional itu. Selain itu, Keputusan Menteri Pendayagunaan aparatur Negara Nomor 118 Tahun 1996 (disempurnakan dengan keputusan nomor 091/2001) dan Keputuan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 020/U/1998 (disempurnakan dengan keputusan nomor 097/U/2001) merupakan menetapan pengawas sebagai pejabat fungsional yang permanen sampai saat ini. Jika ditilik sejumlah peraturan dan perundang-undangan yang ada, terkait dengan pendidikan, ternyata secara hukum pengawas sekolah tidak diragukan lagi keberadaannya. Dengan demikian, tidak ada alasan apapun dan oleh siapapun yang memarjinalkan dan mengecilkan eksistensi pengawas sekolah. Institusi pengawas sekolah adalah institusi yang sah. Keabsahannya itu diatur oleh ketentuan yang berlaku. Semestinya aturan-aturan itu tidak boleh dilanggar oleh manajemen atau birokrasi yang mengurus pengawas sekolah. Aturan itu mulai dari aturan merekrut calon pengawas, sampai kepada memberdayakan dan menfugsikan pengawas sekolah untuk operasional pendidikan. Pelecehan atau pelanggaran terhadap aturan-aturan yang ada itulah yang merupakan titik pangkal permasalahan pengawas sekolah sebagai institusi di dalam sistem pendidikan termasuk ketidakmampuan oknum pengawas dalam merencanakan karir dan kepangkatannya. Dalam Keputusan Menpan No. 118/1996 ditegaskan ”Pengawas sekolah adalah Pegawai Negeri Sipil yang diberi tugas, tanggungjawab, dan wewenang secara penuh oleh pejabat yang berwenang untuk melakukan pengawasan pendidikan di sekolah dengan melaksanakan penilaian dan pembinaan dari segi teknis pendidikan dan administrasi pada satuan pendidikan prasekolah, dasar, dan menengah.” Penilaian menurut PP 19/2005, bab I, pasal 1, ayat (17) adalah seperti betikut ini, ”Penilaian adalah proses pengumpulan dan pengolahan informasi untuk mengukur pencapaian hasil belajar peserta didik.” Sedangkan Kepmenpan No. 118/1996, bab I, pasal 1, ayat (8) menyatakan, ”Penilaian adalah penentuan derajat kualitas berdasarkan kriteria (tolok ukur) yang ditetapkan terhadap penyelenggaraan pendidikan di sekolah.” Kompetensi dalam membina juga harus dipahami oleh para pengawas sekolah. Pengawas sekolah harus memahami konsep pembinaan, jenis-jenis pembinaan, strategi pembinaan, komunikasi dalam membina, hubungan antarpersonal dalam membina, dan sebagainya. Berdasarkan hal itu tugas pokok pengawas sekolah dapat dirumuskan selaras dengan ayat 1, pasal 2, Kepmenpan Nomor 118/1996 sebagai beirkut, ”Pengawas Sekolah mempunyai tugas pokok menilai dan membina penyelenggaraan pendidikan pada sejumlah sekolah tertentu baik negeri maupun swasta yang menjadi tanggungjawabnya.” Dalam PP nomor 19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Pasal 19 ayat (1) misalnya menyatakan, ”Proses pembelajaran pada satuan pendidikan diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan psikologis peserta didik.” Jika hal ini dijadikan sebagai standar kelayakan penyajian program, tentu perlu dirumuskan indikator dari setiap item kelayakan itu. Selanjutnya dalam PP 19/2005, pasal 19, ayat (3) menyatakan, ”Setiap satuan pendidikan melakukan perencanaan proses pembelajaran, pelaksanaan proses pembelajaran, penilaian hasil pembelajaran, dan pengawasan proses pembelajaran untuk terlaksananya proses pembelajaran yang efektif dan efisien.” Pada pasal 23 ditegaskan, ”Pengawasan proses pembelajaran sebagaimana dimaksud dalam pasal 19 ayat (3) meliputi pemantauan, supervisi, evaluasi, pelaporan, dan pengambilan langkah tindak lanjut yang diperlukan.” Pengawas sekolah berkewajiban menyusun laporan atas kegiatan supervisinya. Laporan tersebut selain digunakan untuk menyusun perencanaan supervisi tahun berikutnya, juga digunakan sebagai pertanggungjawaban atas tugas-tugas yang dipikulkan kepadanya. Pasal 58 ayat (5) PP 19/2005 menyatakan, ”Untuk pendidikan dasar, menengah, dan nonformal laporan oleh pengawas atau penilik satuan pendidikan ditujukan kepada Bupati/ Walikota melalui Dinas Pendidikan Kabupaten/ Kota yang bertanggungjawab di bidang pendidikan dan satuan pendidikan bersangkutan.” Karena itu pengawas sekolah harus mampu menjadi contoh terhadap guru-guru dan kepala sekolah dalam menjalankan tugas-tugas profesionalismenya. Saat ini banyak guru yang mengalami karir stagnan atau mentok pada golongan ruang (IV/a). Pengawas sebagai pembina dan peneliti dituntut untuk membina atau membimbing guru untuk membuat karya tulis ilmiah sehingga karir guru bisa meningkat. Jika pengawas dan kordinator pengawas sekolah saja sudah puluhan tahun tidak naik pangkat apa yang bisa dicontoh dari pengawas itu?. Supaya adil maka pemerintah juga harus membuat kebijakan tentang penugasan kembali pengawas sekolah untuk bertugas menjadi guru biasa. Sebab pengawas juga berasal dari guru dan apabila tidak mampu menjalankan tugas-tugas jabatan pengawas sekolah harus legowo dan kembali mengajar di sekolah. Perbaiki Kuliatas Guru Penataan manajemen pendidikan dan upaya mewujudkan manusia terdidik yang memiliki kecakapan hidup memerlukan guru yang handal (the good high teachers). Secara rasional guru yang berkualitas dengan gaji yang cukup, akan lebih kreatif, antusias, dedikatif dan konsentrasi pada bidang pekerjaannya. Hasil studi Fiske (1996) di Spanyol, Brazil, Argentina, New Zealand, Mexico, Chili, Cina, dan Venezuela menunjukkan bahwa sistem desentralisasi pendidikan tidak selamanya membawa berkah. Hal itu tergantung dari potensi sumber-sumber pendukung di daerah. Otonomi daerah berpotensi memberikan efek negatif bagi guru yang kreatif, sebab ia tidak bisa mengembangkan dan melaksanakan tugasnya dengan efektif. Hal itu karena mereka digaji rendah. Penataan manajemen pendidikan harus mengubah operasional paradigma school based management (SBM) ke dalam school based budgeting (SBB). Hal itu berarti penganggaran keuangan didasarkan kepada kebutuhan sekolah. Jika sekolah ingin menfokuskan kepada peningkatan kualitas guru, berarti membawa implikasi bahwa segala kebutuhan guru harus terakomodasi. Misalnya pemenuhan gaji, honor, insentif, penghargaan, promosi, pemotongan birokrasi, pengembangan karier, dan sebagainya. Penerapan school based budgeting (SBB) ini cukup efektif dalam meningkatkan kualitas guru (Hadderman, 1999). Penataan manajemen pendidikan, utamanya untuk perbaikan kualitas dan gaji guru memerlukan persyaratan. Menurut Bray (1996) ada lima syarat yaitu commitment, collaboration, concern, consideration, and change. Menurut Uzer Usman (1992) bahwa kompetensi yang harus dimiliki seorang guru yaitu kemampuan yang ada pada diri guru agar dapat mengembangkan kondisi belajar sehingga hasil belajar dapat tercapai dengan lebih efektif, kemampuan sosial yaitu kemampuan guru yang realisasinya memberi manfaat bagi pemenuhan yang diperuntukan bagi masyarakat serta kompetensi profesional adalah kemampuan yang dimiliki guru sebagai pengajar yang baik. Pidarta (1999) mengatakan merupakan kewajiban guru sebagai seorang profesional untuk mengadakan penelitian dalam profesinya. Penelitian merupakan alat utama dalam mengembangkan ilmu dan aplikasinya. Dengan penelitian guru akan menemukan materi-materi yang lebih tepat, alat yang cocok untuk mengajarkan sesuatu, cara mendidik siswa yang lebih aktif, dan cara membina kemampuan siswa secara lebih baik. Penelitian merupakan bagian dari pengembangan profesi. Menurut Bafadal I, (2003) bahwa untuk menciptakan suasana kerja yang baik ada dua hal yang dilakukan dan diperhatikan antara lai, guru sendiri dan hubungan dengan orang lain dan masyarakat sekeliling. Menurut Pusat Inovasi Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pendidikan Nasional (2003) bahwa terdapat tiga kategori permasalahan yang berkaitan dengan peningkatan mutu guru dalam pembangunan pendidikan. Tiga kategori itu adalah sistem pelatihan guru, kemampuan profesional, profesi, jenjang karier dan kesejahteraan. Untuk kategori profesi, jenjang karier dan kesejahteraan dapat diambil langkah-langkah antara lain, memperketat persyaratan untuk menjadi calon guru pada Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK), menumbuhkan apresiasi karier guru dengan memberikan kesempatan yang lebih luas untuk meningkatkan karier, perlunya ketentuan sistem credit point yang lebih fleksibel untuk mendukung jenjang karier guru, yang lebih menekankan pada aktivitas dan kreativitas guru dalam melaksanakan proses pengajaran serta perlunya sistem dan mekanisme anggaran yang ditujukan untuk meningkatkan pendapatan guru. Simpulan Tugas pokok dan fungsi pengawas sekolah adalah melaksanakan penilaian dan pembinaan. Penilaian dan pembinaan dilakukan terhadap bidang teknik pembelajaran dan teknik administrasi. Dalam melakukan pembinaan pengawas sekolah melaksanakannya dengan memberi arahan, bimbingan, contoh, dan saran. Implementasi dari supervisi satuan pendidikan (sekolah) adalah melakukan penilaian dan pembinaan, mutu pendidikan adalah mutu proses dan mutu hasil yang mengacu kepada standar nasional pendidikan (PP 19/2005). Pengawas sekolah harus mampu menjadi contoh terhadap guru-guru dan kepala sekolah dalam menjalankan tugas-tugas profesionalismenya. Selain kepangkatannya harus lebih tinggi yang diawasinya juga harus mampu menjaga wibawanya sebagai pengawas. Pengawas juga harus mampu membimbing dan membina guru dalam melakukan penelitian sehingga guru mampu merencanakan karir dan kepangakatannya dengan tepat waktu. Untuk para pengawas sekolah yang tidak mampu bekerja optimal dan kinerjanya stagnan harus dibarengi dengan kebijakan atau peraturan pemerintah yang mengatur kembali jabatan pengawas kembali bertugas jadi guru. Pidarta (1999) mengatakan merupakan kewajiban guru sebagai seorang profesional untuk mengadakan penelitian dalam profesinya. Penelitian merupakan alat utama dalam mengembangkan ilmu dan aplikasinya. Dengan penelitian guru akan menemukan materi-materi yang lebih tepat, alat yang cocok untuk mengajarkan sesuatu, cara mendidik siswa yang lebih aktif, dan cara membina kemampuan siswa secara lebih baik. Penelitian merupakan bagian dari pengembangan profesi. (Penulis adalah guru SMP Negeri 11 Kota Jambi, tulisan ini dihimpun dari berbagai sumber-sumber relevan,email: sihaloho11@yahoo.com).

Guru Berkinerja

Guru Berkinerja dan Tuntutan Pengembangan Profesi Oleh: Nelson Sihaloho Abstrak: Sejalan dengan tantangan kehidupan global, peran dan tanggung jawab guru di masa depan semakin kompleks dan menuntut guru untuk senantiasa melakukan berbagai peningkatan dan penyesuaian penguasaan kompetensinya. Guru juga dituntut untuk lebih dinamis dan kreatif dalam mengembangkan profesinya. Dimasa depan guru bukan satu-satunya yang paling well informed terhadap berbagai informasi dan pengetahuan. Guru bukan satu-satunya orang yang paling pandai di tengah-tengah siswanya. Apabila guru tidak mampu memahami mekanisme dan pola penyebaran informasi yang demikian cepat, maka guru akan terpuruk secara profesional. Jika ini terjadi, maka ia akan kehilangan kepercayaan, baik dari siswa, orang tua, maupun masyarakat. Untuk menghadapi tantangan profesionalitas tersebut, maka guru perlu berpikir secara antisipatif dan proaktif. Guru harus melakukan pembaharuan terhadap lmu dan pengetahuan yang dimilikinya secara berkelanjutan. Guru wajib memahami penelitian guna mendukung efektivitas pembelajaran yang menjadi tugas pokok fungsinya. Dengan dukungan dari hasil penelitian guru maka guru tidak terjebak pada praktik pembelajaran yang menurut asumsinya sudah efektif, namun pada kenyataannya justru mematikan kreativitas siswanya sendiri. Dukungan hasil penelitian yang mutakhir lebih memungkinkan guru melakukan pembelajaran variatif. Guru berkinerja merupakan guru yang secara terus menerus mengembangkan tugas profesionalismenya muali dari merencanakan pembelajaran hingga membuat karya-karya inovatif. Kata kunci: Guru, Kinerja dan Profesi Pendahuluan Tuntutan terhadap guru professional berkinerja tinggi sudah menjadi sebuah kebutuhan. Sebab guru memegang peranan penting dan strategis dalam penentuan tujuan pembelajaran. Selain itu guru wajib menciptakan suasana belajar yang menyenangkan. Selengkap apapun sarana prasarana pendidikan, kurikulum, media, sumber atau hebatnya teknologi pendidikan semuanya tidak berarti apabila tidak dibarengi dengan kinerja tinggi. Kinerja guru akan terlihat profesional jika guru mampu mempersiapkan sendiri perangkat pengajaran yang menjadi tanggung jawabnya.Menurut Nuraini (2009: 90) menyatakan bahwa harapan tersebut ternyata berbanding terbalik dengan fakta yang ditemukan di lapangan. Nuraini, et.al, menyebutkan masih ditemukan guru yang memiliki kinerja yang rendah dengan tidak menyusun sendiri silabus, rencana pembelajaran, tes yang terstandar dan perangkat pengajaran lainnya. Sanusi dkk. (1999: 34) menjelaskan bahwa kinerja guru dapat dirinci empat fungsi. Pertama, merencanakan PBM seperti perumusan tujuan instruksional, menguraikan dan mendiskripsikan satuan pokok bahasan, merancang KBM, pemilihan media dan sumber belajar serta penyusunan instrumen evaluasi. Kedua adalah melaksanakan dan memimpin PBM mencakup kegiatan: pembimbingan dan pengarahan PBM, pengaturan dan pengubahan suasana belajar-mengajar, penetapan dan pengubahan urutan KBM. Ketiga, menilai kemajuan belajar yang meliputi pemberian skor hasil evaluasi, pentransformasian skor menjadi nilai serta penetapan peringkat. Keempat adalah guru menafsirkan dan memanfaatkan berbagai informasi basil penilaian dan penelitian untuk memecahkan masalah profesional kependidikan. Sebagaimana kita ketahui bahwa pendidikan merupakan salah satu bentuk investasi utama peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) yang bermanfaat untuk mengembangkan potensi individu dalam hubungannya dengan kehidupan bermasyarakat. Kemajuan hidup di masyarakat akan diraih melalui terciptanya lulusan yang kompeten seiring dengan tuntutan dunia kerja. Relevansinya kualitas pendidikan ditentukan oleh kualitas gurunya sebagai pelaksana tugas pendidikan. Kulaitas guru terlihat dari kinerjanya dalam melaksanakan tugas profesinya. Kinerja guru merupakan hasil kerja yang dicapainya sesuai dengan wewenang dan tanggungjawab yang didasarkan pada pengetahuan, sikap, keterampilan, dan motivasi dalam pelaksanaan tugas. Kinerja guru akan terpenuhi melalui motivasi kerja guru itu sendiri. Menuurt Megarry dan Dean, 1999:12-14 menyatakan, guru sebagai pendidik profesional wajib mengembangkan dan memanfaatkan kemampuan profesionalnya, sehingga dapat meningkatkan kinerja dalam melaksanakan tugas dan fungsionalnya, karena “pendidikan masa datang menuntut keterampilan profesi pendidikan yang berkualitas. Sementara itu Surya, 2000:4 menyatakan dalam tingkatan operasional, guru merupakan penentu keberhasilan pendidikan melalui kinerjanya pada tingkat institusional, instruksional, dan eksperiensial. Lebih lanjut Depdikbud, 1994:63 menyatakan “guru merupakan SDM yang mampu mendayagunakan faktor-faktor lainnya sehingga tercipta PBM yang bermutu dan menjadi faktor utama yang menentukan mutu pendidikan. Guru harus terdidik dan terlatih secara akademik dan profesional serta mendapat pengakuan formal sebagaimana mestinya dan profesi mengajar harus memiliki status profesi yang membutuhkan pengembangan (Tilaar, 2001:142). Menurut Lengkanawati, 2006: 10 menyatakan program sertifikasi terhadap guru akan menjadi kontrol yang mendorong para penyelenggara pendidikan untuk meningkatkan profesionalismenya dan memberikan layanan maksimal kepada para stakeholders. Menurut Raths sebagaimana dikutip Sukmadinata, 2002:192, mengemukakan bahwa untuk menjadi guru yang profesional dan berkualitas harus memiliki 12 kemampuan. Kemampuan itu adalah: (1).Explaining, informing, showing how, (2).Initiating, directing, administering,(3).Unifying the group, (4) Giving security, (5) Clarifying attitudes, beliefs, problems, (6) Dagnosing learning problems, (7) Making curriculum materials, (8) Evaluating, recording, reporting, (9) Enrichment community activities, (10) Organizing and arranging classroom, (11) participating in professional and civic life, and (12) Participating in school activities. Ke 12 kemampuan tersebut sebaiknya dapat diterapkan oleh para guru untuk menuju profesionalisme. Guru yang profesional harus selalu kreatif dan produktif dalam melakukan inovasi pendidikan untuk meningkatkan kualitas pendidikan (Danumihardja, 2001:39). Peningkatan Kinerja Sebuah Keharusan Peningkatan motivasi kerja guru dalam melaksanakan tugas-tugas pendidikan dalam organisasi pendidikan sangat penting dilakukan oleh manajer pendidikan. Sweeney and McFarlin, 2002:83, menyimpulkan bahwa motivasi merupakan “The Big Issue, … the most important issue in organizational behavior”. Dalam konteks manajemen personalia, Deesler,1993:19, menyebut motivasi sebagai “isu sentral dalam manajemen”. Namun kenyataan menunjukkan bahwa kondisi kerja para guru, baik sifatnya fisik maupun non fisik masih belum memberikan derajat kepuasan kerja sehingga mempengaruhi kinerja guru. Kondisi kerja berupa kelas bocor, lantai pecah, kekurangan alat bantu, iklim hubungan guru kurang baik, dan sebagainya merupakan faktor yang mempengaruhi kinerja dan kepuasaan kerja guru. Kinerja guru tidak hanya ditunjukkan berupa hasil kerja, akan tetapi termasuk perilaku kerja. Menurut Murphy dan Cleveland, 1991:92, menyatakan bahwa: “Job Performance should be defined in term of behavior or in term of the results of behavior”. Dipertegas oleh Stoner dan Wankel, 1993:159, bahwa kinerja merupakan hasil kerja secara nyata yang ditunjukkan oleh individu. Lembaga Administrasi Negara, 1993:3, menyebut performansi sebagai kinerja yaitu gambaran tentang tingkat pencapaian pelaksanaan suatu kegiatan dalam mewujudkan sasaran. Harley sebagaimana dikutip Siagian, 1996:14, menyebut kinerja sebagai upaya yang dilakukan dalam menyelesaikan pekerjaan untuk menghasilkan keluaran dalam periode tertentu. Pendidikan bermutu memiliki kaitan ke depan (forward linkage) dan kaitan ke belakang (backward linkage). Forward linkage diartikan bahwa pendidikan bermutu merupakan syarat utama untuk mewujudkan kehidupan bangsa yang maju, modern, dan sejahtera. Backward linkage berarti bahwa pendidikan yang bermutu tergantung pada keberadaan guru yang bermutu, guru yang profesional, sejahtera, dan bermartabat. Danim, 2002, mengungkapkan bahwa salah satu ciri krisis pendidikan di Indonesia adalah guru belum mampu menunjukkan kinerja (work performance) yang memadai. Kinerja guru belum sepenuhnya didukung derajat penguasaan kompetensi yang memadai dan apabila masalah tersebut tidak diatasi akan berakibat pada rendahnya mutu pendidikan. Banyak para ahli menyatakan, kepuasan kerja ditentukan oleh tiga faktor, yaitu gaji yang sesuai, adanya kebebasan berpikir dan mengekspresikan kreativitasnya, serta penghargaan atas pekerjaan yang dilakukan. Kondisi kerja yang baik akan membuat guru diterima dan nyaman dalam bekerja sehingga guru bekerja sukarela dan tanpa paksaan. Sebagai pembanding, National Board for Professional Teaching Standards (2002) telah merumuskan standar kompetensi terhadap guru di Amerika yang menjadi dasar bagi guru untuk mendapatkan sertifikasi guru, dengan rumusan “What Teachers Should Know and Be Able To Do”. Di dalamnya memuat lima proposisi utama yaitu (1), Guru harus berkomitmen terhadap siswa dan pembelajarannya, (2), Guru harus tahu mata pelajaran yang diajarkan dan bagaimana mengajarnya kepada siswa, (3), Guru harus bertanggung jawab untuk mengelola dan memantau pembelajaran siswanya, (4). Guru harus berpikir secara sistematis tentang praktek pembelajaran dan belajar dari pengalaman, serta (5), Guru harus menjadi anggota komunitas pembelajar. Banyak hasil penelitian menunjukkan bahwa kepemimpinan pendidikan memerlukan perhatian yang utama. Sebab melalui kepemimpinan yang baik diharapkan akan lahir tenaga-tenaga berkualitas dalam berbagai bidang sebagai pemikir, pekerja yang pada akhirnya dapat meningkatkan SDM berkualitas. Kepala Sekolah sebagai sosok pimpinan yang mendapatkan tugas tambahan kepemimpinannya akan sangat berpengaruh menentukan kemajuan sekolah. Seorang Kepala Sekolah juga tidak lepas dari adanya penilaian dari para guru di organisasi sekolah, karena sebagai tokoh panutan tidak: hanya sebagai penganjur saja, melainkan harus dapat juga memberi contoh dan bimbingan dalam pelaksanaannya. Kepuasan kerja terhadap guru sebagai pendidik diperlukan untuk meningkatkan kinerjanya. Kepuasan kerja berkenaan dengan kesesuaian antara harapan seseorang dengan imbalan yang disediakan. Karena itu peningkatan peningkatan kinerja guru sangat urgen dilakukan dan perlu mendapatkan penelusuran yang lebih mendalam. Guru berkinerja adalah guru profesional yang secara terus menerus mengembangkan profesionalismenya. Melaksanakan tugas profesional, melakukan penelitian, publikasi ilmiah ataupun membuat karya-karya inovatif merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kinerja guru. Evaluasi Kinerja Guru Profesional Guru sebagai pemegang sertifikat apabila sudah lulus sertifikasi dalam piagam sertifikat guru sudah jelas tertera ada kata/kalimat “ guru profesional”. Para dosen-dosen Lembaga Pendidikan dan Tenaga Keppendidikan (LPTK) Perguruan Tinggi Negeri ditunjuk oleh Pemerintah (Kemdikbud) untuk melakukan sertifikasi guru. Namun pada prakteknya sering materi Diklat yang diberikan oleh assesor ataupun dosen tidak sinkron dengan profesionalisme guru ketika mereka kembali bertugas ke tempat masing-masing. Fakta-fakta menunjukkan misalnya saja adalah Penelitian Tindakan Kelas (PTK) atau menyusun Karya Tulis Ilmiah (KTI) pada materi Diklat Pendidikan Latihan Profesi Guru (PLPG). Diduga meskipun guru sudah 3 tahun mendapatkan tunjangan sertifikasi 1 (satu) karya tulispun belum ada dihasilkan oleh guru yang sudah mendapatkan sertifikat pendidik itu. Perlu dipertanyakan kembali terhadap dosen LPTK dan Panitia penyelenggara Sertifikasi Guru (Sergur) mengapa sampai 3 (tiga) tahun guru tersebut tidak mampu menunjukkan kinerjanya?. Akhirnya guru yang telah menerima sertifikat pendidik pada kenyataanya memunculkan dampak positif dan negatif. Efek positif terlihat dari tanggungjawab guru untuk meningkatkan profesionalismenya sesuai bidang keahliannya terhadap aktifitas pembelajaran baik untuk guru itu sendiri maupun untuk peserta didik. Dampak negatif terlihat pada penurunan aktifitas pembelajaran yang seharusnya dilaksanakan. Rasa telah memiliki sertifikat beserta tunjangan profesional yang diberikan pemerintah dianggap merupakan puncak pencapaian kinerja sehingga tanpa peningkatan apapun mereka sudah mendapatkannya. Kondisi ini menyebabkan tidak ada perubahan bahkan kemungkinan terjadi penurunan kinerja bila dibandingkan antara sebelum dan setelah menerima sertifikat. Agar tidak terjadi dampak negatif, maka perlu dilaksanakan penilaian berkelanjutan atau resertifikasi bagi guru profesional sebagai wujud nyata penjaminan mutu guru profesional. Menurut Setya Raharjo, dkk, 2008, tentang kinerja guru profesional menyatakan dampak negatifnya menemukan bahwa: (1) upaya atau aktivitas guru yang telah lulus sertifikasi dan telah menerima tunjangan profesi dalam rangka mengembangkan dirinya melalui mengikuti diklat, mengikuti forum ilmiah belum menunjukkan upaya yang cukup menggembirakan. Meskipun ada sebagian guru dengan gigih mencari informasi diklat atau forum ilmiah yang mungkin diikuti. Sebagian besar guru masih belum aktif mengikuti diklat dan forum ilmiah baik yang dibiayai oleh sekolah atau pemerintah maupun dengan biaya sendiri, (2) upaya atau aktivitas guru pasca lulus sertifikasi untuk meningkatkan kemampuan akademik yang banyak dilakukan oleh sebagian besar guru adalah membimbing siswa mengikuti lomba atau olimpiade, sedangkan aktivitas yang lain masih perlu perhatian secara serius, antara lain penulisan karya tulis ilmiah dan kursus Bahasa Inggris, dan (3) upaya atau aktivitas guru untuk mengembangkan profesi yang banyak ditekuni oleh sebagian guru adalah membuat modul dan membuat media pembelajaran, sedangkan yang berkenaan dengan penulisan artikel, penelitian, membuat karya seni/teknologi, menulis soal Ujian Nasional (UN), serta mereview buku baru dilakukan oleh sebagian kecil guru. Kurnas 2013 Guru Bersertifikat “Bingung” Pembaharuan sistem pendidikan, termasuk di dalamnya pembaharuan kurikulum sering disikapi sebagai akibat dari perubahan sistem politik. Berbagai kepentingan masuk di dalamnya yang menimbulkan lebih banyak ”penolakan” terhadap adanya perubahan terhadap Kurikulum Nasional (2013). Menurut Fullan (2001) ”The New Meaning of Educational Charge” mengatakan bahwa akan timbul perbedaan persepsi antara pemegang kebijakan dan pelaku kebijakan untuk setiap perubahan pada sektor pendidikan. Sedangkan dari sisi pemegang kebijakan, terdapat asumsi dasar bahwa guru cenderung kurang menyukai adanya perubahan. Mereka juga meyakini bahwa umumnya pemegang kebijakan kurang memahami kenyataan-kenyataan yang terjadi pada saat dilaksanakannya proses pembelajaran. Kurnas 2013 resmi diberlakukan pada jenjang SD kelas I dan IV, SMP kelas VII dan SMA/K kelas X. Triliyunan rupiah dana dialokasikan oleh pemerintah untuk pelaksanaan Kurnas 2013 itu. Mulai sosialisasi, pengadaan buku, diklat kurikulm mengaji instruktur hingga biaya-biaya akomodasi hingga biaya-biaya hotel dialokasikan oleh pemerintah. Meski demikian hingga kini guru masih kebingungan melaksanakan Kurnas 2013 itu. Menurut Bennie dan Newstead, 1999, menguraikan beberapa faktor yang menyebabkan timbulnya kendala dalam implementasi kebijakan pendidikan terutama dikaitkan dengan kurikulum. Faktor itu antara lain waktu, harapan-harapan dari pihak orangtua, ketidakberadaan bahan pembelajaran termasuk buku-buku pelajaran pada saat implementasi kurikulum yang baru, kekurangjelasan konsep kurikulum dan pengetahuan dikaitkan dengan kuriklum baru tersebut. Charles dan Jones, 1973, menyatakan setiap perubahan pada sektor pendidikan seharusnya diikuti dengan upaya mengamati berbagai bentuk operasional di lapangan sebagai tindak lanjut dan implikasi dari kebijakan perubahan tersebut. Setiap kendala atau hambataan harus segera diantisipasi sebelum menimbulkan masalah yang besar dan kompleks. Ketidakmampuan mengatasi kendala-kendala tersebut akan menyebabkan kegagalan dalam implementasi kebijakan atau perubahan kurikulum KTSP ke Kurnas 2013. Suatu studi menunjukkan bahwa umumnya hambatan yang ditemui dalam implementasi suatu kurikulum adalah kurangnya kompetensi guru-guru. Menurut Hargreaves, 1995, menungkapkan bahwa seringkali terjadi bahwa implementasi suatu kurikulum baru tidak diikuti dengan pengimbangan kemampuan guru dan tindakan bagaimana meningkatkan guru-guru sebagai ujung tombak dalam impelementasi kurikulum tersebut. Bahkan Fennema dan Franke,1992, mendukung pernyataan Hargreaves, bahwa kemampuan baik secara keterampilan dan pengetahuan seorang guru akan mempengaruhi proses pembelajaran di kelas dan menentukan sejauh mana kurikulum baru dapat diterapkan. Studi yang dilakukan oleh Taylor dan Vinjevold, 1999, mengungkapkan bahwa kegagalan implementasi kurikulum disebabkan oleh rendahnya pengetahuan konseptual guru, kurang penguasaan terhadap topik yang diajarkan dan kesalahan interpretasi dari apa yang tertulis dalam dokumen kurikulum. Middleton, 1999, menyatakan berhasil tidaknya implementasi kurikulum yang diperbarui cenderung ditentukan oleh persepsi atau keyakinan yang dimiliki oleh tenaga pengajar atau guru dimana perubahan kurkikulum berkaitan dengan perubahan paradigma pembelajaran. Perubahan paradigma baik langsung atau tidak langsung akan memberikan dampak bagi para guru di mana para guru perlu melakukan penyesuaian pemberlakuan Kurnas 2013. Penyesuaian yang dilakukan kemungkinan akan memberikan ketidaknyamanan lingkungan pembelajaran terhadap guru. Beberapa kasus menunjukkan bahwa para guru akan bersikap mendukung implementasi kurikulum apabila mereka memahami kurikulum baru tersebut secara rasional dan praktikal. Karena itu Bennie dan Newstead, 1999, menyarankan untuk diadakannya penataran terhadap guru secara intensif untuk dapat memahami filosofi dan substansi dari kurikulum yang baru. Agar berhasil, mereka menyarankan untuk cenderung menunda implementasi kurikulum sebelum diperoleh keyakinan secara faktual bahwa para guru benar-benar tahu apa yang semestinya dilakukan dengan kurikulum yang baru itu. Implementasi suatu kurikulum baru memerlukan waktu dalam proses transisinya dan perlu waktu untuk mengetahui apakah kebijakan baru mengenai kurikulum telah menyebabkan adanya perubahan, dapat dievaluasi oleh setidak-tidaknya tiga indikator. Menurut Fullan, 2001, ada tiga indikator yaitu pertama, sejauh mana materi-materi baru atau yang direvisi digunakan oleh guru guru. Kedua, sejauh mana pendekatan-pendekatan pengajaran yang baru telah diterapkan dalam proses kegiatan-kegiatan belajar di kelas. Ketiga, sejauhmana guru guru berkeyakinan bahwa kebijakan berdampak kepada perbaikan mutu dan proses pembelajaran. Ketiga indikator ini secara bersama-sama akan menentukan tercapai tidaknya tujuan-tujuan perubahan pendidikan. Terjadinya perubahan yang cepat di era globalisasi diikuti perubahan dalam dunia pendidikan, yaitu dengan diberlakukannya penggantian KTSP ke Kurikulum 2013. Dengan kondisi disibukkan dengan implementasi Kurikulum 2013 akankah guru berkinerja profesional atau menjalankan Kurikulum 2013 dengan penuh kebingungan?.(***).