Jumat, 09 September 2011

POLITIK DAN DEMOKRASI


KONSTELASI POLITIK JELANG PEMILU 2014
Oleh : Nelson Sihaloho

Pemilihan Umum 2014 masih sekitar 2,5 tahun lagi. Meski demikian berbagai persiapan yang dilakukan oleh partai politik untuk mendapatkan dukungan dari rakyat sudah mulai digulirkan. Berbagai kasus-kasus yang mencuat terutama dalam pemilihan DPR-RI, DPD, Presiden/Wakil Presiden, Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, Wali Kota/Wakil Wali Kota menjadi suatu pelajaran yang berharga bahwa sistem pelaksanaan demokrasi di Indonesia masih perlu dikaji ulang.
Banyaknya partai-partai yang menjadi kontentastan Pemilu menandakan bahwa sebagian besar partai-partai politik di Indonesia tidak mampu meraih simpati rakyat khususnya dalam hal dukungan. Semestinya dengan kondisi riil itu partai-partai yang tidak mampu meraih dukungan dari rakyat semestinya tidak diperkenankan lagi mengikuti pemilihan umum. Solusi terbaik terhadap partai-partai yang tidak mampu meraih dukungan dari rakyat adalah melakukan koalisi sehingga jumlah partai konstestan pemilu di Indonesia semakin ramping.
Menelisik dari kondisi pemilu tahun 2009 partai-partai besar diprediksikan masih akan mampu mendulang suara secara signifikan. Namun akan terjadi perubahan kekuatan politik pada tahun 2014 dimana akan ada beberapa partai besar sudah mulai kehilangan pengaruh dan citranya di mata rakyat.
Segelintir kasus-kasus yang mencuat sekarang ini seperti kasus-kasus korupsi mengakibatkan kondisi partai menjadi “goyang” kehilangan legimitasi dan banyak oknum-oknum pelaku koruptor berlindung dibalik “ketiak” partai penguasa.
Para kepala daerah yang melakukan “putar haluan” dengan “menggemgam” partai poitik penguasa dan meninggalkan perahu-perahu politik pendukungnya ketika mencalonkan diri menjadi kepala daerah akan mengalami hambatan dalam memuluskan langkah politiknya menjadi pemenang demokrasi pada tahun 2014 mendatang.
Kebudayaan politik sebagaimana kita ketahui adalah memuji kebaikannya sendiri. Masalahnya sekarang seberapa banyak dan faktor apa  yang harus tersedia disebuah negara sebelum pranata demokrasi bekerja menyelaraskan tingkahlaku dan pengharapan. Kebudayaan poltik didasarkan pada dua alasan, yaitu pertama, jika kita ingin mengetahui hubungan antara sikap-sikap politik dan non politik dan pola-pola perkembangan kita harus memisahkan kedua faktor tersebut meskipun batas antara keduanya tidak setajam perbedaan terminologi yang akan kita lihat faktanya dilapangan.
Kebudayaan politik mengacu pada orientasi politik,sikap terhadap sistem politik dan bagian-bagiannya yang lain serta sikap terhadap peranan kita dalam sistem tersebut. Itulah sebabnya maka muncul fakta-fakta yang berlaku dilapangan bahwa politik bukan pelaksanaan aturan yang menggariskan kehidupan kelompok hal itu adalah administrasi.
Politik lebih berhubungan dengan membuat dan mengubah peraturan meliputi, kompetisi, persaingan, siasat antar individu dan kelompok untuk menguasai sumber daya terutama kekuasaan.
Pada masyarakat manapun, ada seseorang yang membuat keputusan besar dan final. Keputusan itu mungkin saja bijaksana atau bodoh, beradsarkan pengetahuan yang baik atau tidak, dengan pertimbangan baik atau buruk, pembahasannya mungkin dilakukan di depan umum atau secara tertutup, pada tingkat intelektual tinggi atau rendah.
Karena sulit untuk  melihat suatu tendensi evolusi yang jelas, dapat diduga bahwa beberapa ungkapan seperti “perkembangan politik” dan “modernisasi politik” tidak banyak artinya.
Menguitp pendapat Apter, bahwa “tidak ada gunanya untuk menilai pemerintah atas dasar organisasainya. Negara satu partai misalnya mungkin sangat demokratis. Adanya Mahkamah Agung mungkin tidak menentukan dalam pengembangan tertib hukum, jelas bahwa yang penting adalah isinya, bukan bentuknya,”.
Pada bagian lain misalnya diartikan sangat berbeda diberikan kepada “modernisasi politik” dan “pembangunan politik” sebagai suatu gerakan menuju sasaran akhir negara yang dianggap baik dan barangkali tidak terelakkan, dalam masyarakat demokratis, demokrasi multi partai ataupun bentuk negara lainnya.
Pendapat Paul Sigmund juga mengatakan, banyak pemimpin nasional melihat pemerintahan yang kuat sebagai satu-satunya jalan untuk mensukseskan pembangunan.
Beberapa pernyataan besar tentang kekuatan “partai” dan identitas “bangsa” dengan jelas menggambarkan bahwa tendensi untuk menyatakan seolah-olah merupakan fakta yang sebetulnya tidak lebih dari suatu harapan, suatu aspirasi atau bahkan suatu keinginan yang besar sekali, suatu tendensi yang menurut Riggs disebut  “percakapan ganda” atau “double talk”.
Persaingan sering menjadi panas mengenai masalah-masalah pembangunan ekonomi yang direncanakan oleh pusat seperti penentuan lokasi ibukota pemekaran baru, kawasan ekonomi khusus serta pembagian kue-kue pembangunan yang “ kurang adil” bahkan Kementrian-kementrian  “basah” selalu mendominasi peringkat tertinggi penerima nilai daftar isian anggaran proyek serta adanya kementrian “gersang” dengan jumlah dana anggaran proyek yang minim.
Kondis riil inilah yang terjadi sejak dulu bahkan pada pemilu 2014 mendatang berbagai agenda pembangunan akan digulirkan oleh pemerintah namun elit politik sepertinya tidak pernah akan berpihak  kepada rakyat. Masalahnya sekarang bagaimana konstelasi poltik jelang Pemilu 2104 mendatang? Bagaimana situasi politik menjelang dilakukanya perhelatan demokrasi pada tahun 2014.  Siapakah figur-figur yang kelak akan mencalonkan diri menjadi Presiden dan Wakil Presiden?
“Mencederai Demokrasi”
Partisipasi politik seseorang tidak hanya dikaitkan dengan penampilan khusus sebuah sistem maupun dengan sistem politik pada tingkatan simbolik tetapi tidak juga terhadap politik aktual.
Perlu dicermati bahwa, mereka yang menganggap dirinya berhak untuk ambil bagian juga lebih mungkin percaya bahwa sebuah partisipasi demokratis adalah sistem yang sebenarnya harus dimiliki. Di dalam tiap-tiap negara para responden yang memiliki kompetensi subyektif yang lebih tinggi, lebih mungkin dari pada mereka dengan kompetensi yang lebih rendah untuk melaporkan bahwa berkampanye dalam pemilihan adalah hal yang baik.
Apabila ada kesenjangan antara sikap  umum terhadap hubungan interpersonal dengan sikap yang lebih khusus terhadap hubungan dengan orang yang menyandang atribut politik memastikan dalam pikiran bahwa individu menaruh simpati dalam politik atau bermusuhan, menunjukkan tidak adanya integrasi struktur sosial dalam sistem politik.
Konflik-konflik kepartaian yang terjadi di Indonesia saat ini masih akan tetap berlangsung meskipun jarang menyebabkan terjadinya perpecahan sosial menjadi kelompok-kelompok politik ideologis yang tertutup ada antagonistis.
Terjadinya konflik-konflik itu dapat kita analisis melalui  kejadian perpecahan partisan diluar partai yang memutuskan hubungan seseorang dari para kolaborator yang potensial. Seperti kampanye dengan perkumpulan-perkumpulan, paguyuban-paguyuban termasuk salah satu bentuk yang mencederai demokrasi. Meskipun belum ada larangan dan sanski tegas atas kampanye terhadap perkumpulan-perkumpulan, paguyuban-paguyuban itu secara tegas telah mampu melampaui prediksi situasi politik yang diciptakan.
Di negara ini “mencederai” sistim politik yang telah dibentuk memang sudah lazim bahkan “mencampuradukkan” kegiatan sosial dengan politik. Tameng-tameng dengan agenda sosial sambil berkampanye untuk meminta dukungan dari para kandidat legislatif ataupun eksekutif dengan merapatkan barisan ke tokoh-tokoh ketua perkumpulan dan paguyuban.
Menarik untuk dikaji, bagaimana keanggotaan perserikatan sukarela mempengaruhi sikap-sikap politik. Berbagai macam tipe perserikatan dan organisasi yang ada dimasyarakat saat ini bahkan seseorang calon pemimpin akan mengharapkan pengaruh yang besar dari oragansiasi dan perkumpulan-perkumpulan itu.
Beberapa perserikatan itu mungkin saja murni sosial, perserikatan lain mungkin berorientasi langsung terhadap bidang politik. Umumnya orang juga menilai bahwa organisasi yang terlibat intens didalam percaturan politik akan mempunyai pengaruh lebih besar terhadap perspektif politik para anggotanya.
Untuk melacak pengaruh keanggotaan organisasi berdasarkan sikap politik penting dipertimbangkan sampai sejauh mana individu memainkan peranan aktif didalam organisasi mereka. Organisasi juga memberikan kesempatan kepada mereka untuk berpartisipasi aktif mungkin sama pentingnya terhadap perkembangan kewarganegaraan demokratis seperti halnya organisasi sukarela umumnya.
Jika timbul issu yang dipandang penting oleh individu atau jika terjadi ketidakpuasan tertentu yang relatif serius dengan pemerintah, individu akan didodorong untuk memikirkan topik itu dan dengan demikian akan berada dalam tekanan yang lebih tinggi untuk memecahkan inkonsistensi itu untuk membuat sikap dan tingkahlaku senada antara satu dengan yang lain.
Intinya  inkonsistensi antara sikap dan tingkahlaku berproses sebagai sumber laten atau potensial terhadap pengaruh politk dan kegiatan politik. Kebudayaan juga menegaskan bahwa mengapa issu-issu penting dibidang politik yang tidak dapat dipecahkan sewaktu-waktu dapat instabilitas dalam sebuah sistem politik demokrasi. Keseimbangan antara kegiatan dan sikap pasif  dapat dipertahankan apabila issu-issu politik tidak begitu gawat.
Jika politik menjadi lebih intens atau tetap intens disebabkan oleh perkara-perkara penting, maka inkonsistensi antara sikap dan tingkahlaku akan menjadi tidak stabil. Namun sejumlah resolusi yang relatif permanen mengenai inkonsistensi cenderung melahirkan sejumlah konsekuensi yang cukup merugikan. Jika tingkahlaku diselaraskan dengan sikap, intensitas pengawasan terhadap kaum elite yang dicoba oleh non elite akan menciptakan ketidakefektifan didalam pemerintahan sekaligus instabilitas. Sebaliknya apabila berubah menentang tingkahlaku-tingkahlaku, akibat perasaan tidak mampu dan ketidakterlibatan melahirkan konsekeuensi yang merusak terhadap kualitas demokratis sistem politik.
Pemimpin Berwawasan Global
Pemilu 2014 sebenarnya menjadi momentum penting terhadap calon-calon pemimpin yang kelak bertarung pada bursa calon Presiden/Wakil Presiden ataupun para menteri yang kelak dipilih oleh pemimpin terpilih adalah kader-kader berwawasan global. Namun dari sisi kemampuan untuk mendapatkan simpati rakyat tergantung kepada calon pemimpin untuk mematuhi aturan demokrasi. Barangkali masih banyak partai-partai di Indonesia belum mampu memiliki kader yang siap berkompetisi secara global. Bahaya ekonomi global yang menjadi salah satu issu-issu terkini saat ini kelak akan kita hadapi dan harus dipecahkan melalui kemampuan global.
Sebenarnya kunci pokok utama ada pada 2 pilar yaitu hubungan luar negeri dan ekonomi global. Secara politik apabila calon presiden terpilih kelak tidak mampu menempatkan calon menteri luar negeri dan Menko Ekonomi Keuangan dan Industri yang memiliki wawasan global dan memiliki hubungan serta pengaruh yang luas maka Indonesia kelak akan tetap menjadi bangsa yang tertinggal dibandingkan dengan bangsa-bangsa lain. Dibutuhkan suatu keberanian dari pemimpin terpilih kelak  untuk mengangkat calon-calon menteri-menteri yang sukses membina mitra dan bekerjasama dengan berbagai perusahaan kelas dunia serta memiliki pengaruh yang luas.
Para calon menteri luar negeri yang diangkat kelak adalah kader-kader yang telah lama berkutat dalam hubungan diplomatik khususnya yang bermarkas di PBB. Calon Menlu yang bermarkas di PBB itu dinilai oleh berbagai kalangan lebih kompeten serta lebih qualified dalam menjalin hubungan dengan berbagai negara.
Prediksi sementara, sederatan calon pemimpin Indonesia yang kelak akan bertarung di bursa calon Presiden adalah Sultan Hamengku Buwono X, Anas Urbaningrum, Aburizal Bakrie, Prabowo Subianto. Sedangkan Megawati Sukarno Putri diprediksikan kelak tidak akan mencalonkan diri lagi mengingat usia dan faktor lainnya.
Perlu diwaspadai kader-kader PDIP pada pertarungan pemilihan calon legislatif (Pemilu legislatif) diprediksikan akan mampu meraup suara seperti pada pemilu sebelumnya. Namun akan ada partai besar yang kehilangan pendukung akibat terlilit dan tersandung kasus-kasus. Meskipun banyak para kader-kader partai besar saat ini menjadi Gubernur, Bupati, Wali Kota pada Pemilu 2014 diprediksikan akan terjadi perubahan besar dalam peta kekuatan politik. Calon-calon pemimpin yang terus mengumbar janji-janji politiknya namun tidak pernah direalisasikan kelak akan ditinggalkan rakyat.
Salah satu catatan dan torehan manis dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono termasuk salah satu tokoh yang sukses membangun demokrasi di negeri ini. Kesuksesan SBY dalam membangun demokrasi di negeri ini meskipun berkarir  di militer ternyata dalam memimpin lebih arif dan bijaksana.
Meskipun Susilo Bambang Yudhoyono kelak tidak menjadi presiden di masa mendatang, SBY tetap akan diingat rakyat sebagai pemimpin yang berhasil menanamkan tatanan demokrasi di negeri ini. Suatu langkah maju yang patut ditiru oleh para calon-calon pemimpin yang kelak bertarung di bursa calon presiden dan wakil presiden pada tahun 2014 mendatang.
Keberanian SBY untuk melepaskan Sri Mulyani hijrah ke Bank Dunia adalah salah satu diantara sekian banyak alasan untuk mempersiapkan calon-calon pemimpin berwawasan global? Konstelasi politik menjelang Pemilu 2014 memang masih samar-samar, perhelatannya saja belum dimulai termasuk partai-partai pun belum diverifikasi.  Meski demikian tidak ada akar rotanpun jadi. (* Penulis tinggal di kota Jambi).

PENDIDIKAN


MDGs, SDM dan Tantangan Pendidikan Kita
Oleh: Nelson Sihaloho
Target waktu pencapaian semua tujuan pembangunan milenium atau millenium development goals (MDGs) adalah pada 2015. Indonesia termasuk salah satu negara yang berkomitmen untuk mencapai MDGs, apakah Indonesia mampu memenuhi janji pencapaian target MDGs itu? Sebagaimana diekathui bahwa MDGs berisi daftar sasaran-sasaran pembangunan yang menjadi tantangan pembangunan di seluruh dunia. Deklarasi MDGs telah diadopsi oleh 189 negara dan ditandatangani oleh 147 kepala pemerintahan dan kepala negara, termasuk Indonesia, pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Milenium di New York, 8 September 2000 silam yang  difasilitasi oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Sebanyak  8 tujuan MDGs yang dikonkretkan dalam 18 target dan indikator kemajuan yang terukur. Ke-8 tujuan itu adalah, menanggulangi kemiskinan dan kelaparan, mencapai pendidikan untuk semua, mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan, mengurangi kematian anak, meningkatkan kesehatan ibu, memerangi HIV/AIDS dan penyakit menular lainnya, memastikan kelestarian lingkungan hidup, dan mengembangkan kemitraan global. Indonesia setiap tahun  mempublikasikan laporan pencapaian MDGs dimana secara nasional, pelaporannya dikoordinasikan oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional / Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) telah melaporkan pencapaian kumulatif Indonesia dalam target-target MDGs hingga tahun 2010 lalu.
Laporan Bappenas menunjukkan bahwa  pencapaian MDGs Indonesia dinyatakan optimistik.  Laporan pencapaian MDGs Indonesia menunjukkan bahwa sebagian target sudah berhasil, bahkan ada target-target yang dilaporkan  melebihi target.
Contohnya adalah penanggulangan kemiskinan, proporsi penduduk dengan pendapatan per kapita kurang dari 1 USD per hari telah menurun dari 20,6 persen pada 1990 menjadi 5,9 persen pada 2008, atau lebih dari separuh dari kondisi pada tahun 1990.  Data Bappenas juga menunjukkan pencapaian MDGs Indonesia dalam tiga kategori, yaitu target-target yang telah dicapai, target-target yang telah mencapai kemajuan signifikan serta  target-target yang masih perlu kerja keras untuk mencapai sasaran pada 2015.
Era global syarat dengan berbagai persaingan yang semakin ketat dalam berbagai bidang.  Era glogal abad 21 memiliki banyak tantangan yang harus siap dan sigap dilakukan oleh segenap umat manusia untuk bisa berbenah diri dalam peningkatan SDM  termasuk dalam upaya peningkatan kualitas dan kuantitas ekonomi. Secara mendasar, ada dua hal penting menyangkut kondisi SDM Indonesia, yaitu ketimpangan antara jumlah kesempatan kerja dan angkatan kerja serta tingkat pendidikan angkatan kerja masih relatif rendah. Menurut catatan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Ditjen Dikti) Kemdiknas angka pengangguran sarjana di Indonesia lebih dari 300.000 orang.
Rendahnya alokasi APBN untuk sektor pendidikan meski pada saat ini dikategorikan pada tataran 20 %  belum menunjukkan perbaikan kualitas SDM. Hal itu bisa dilihat dari  hambatan pasar kerja dimana  faktor penyebabnya  adalah rendahnya kualitas SDM untuk memenuhi kebutuhan pasar kerja.
Ekonomi abad ke-21 yang ditandai dengan globalisasi ekonomi, merupakan suatu proses kegiatan ekonomi dan perdagangan, dimana negara-negara di seluruh dunia menjadi satu kekuatan pasar yang semakin terintegrasi dengan tanpa rintangan batas teritorial negara. Berdasarkan data,  posisi Indonesia dalam kancah persaingan global menurut World Competitiveness Report menempati urutan ke-45 atau terendah dari seluruh negara yang diteliti, di bawah Singapura (8), Malaysia (34), Cina (35), Filipina (38), dan Thailand (40). Kondisi sumber daya manusia Indonesia juga ditemukan adanya ketimpangan antara jumlah kesempatan kerja dan angkatan kerja. Jumlah angkatan kerja nasional pada krisis ekonomi tahun pertama (1998) sekitar 92,73 juta orang, sementara jumlah kesempatan kerja hanya sekitar 87,67 juta orang dan sekitar 5,06 juta orang penganggur terbuka (open unemployment). Angka ini meningkat terus selama krisis ekonomi yang kini berjumlah sekitar 8 juta.
Salah satu problem struktural yang dihadapi dalam dunia pendidikan adalah bahwa pendidikan merupakan subordinasi dari pembangunan ekonomi. Pada era sebelum reformasi pembangunan dengan pendekatan fisik begitu dominan. Hal ini sejalan dengan kuatnya orientasi pertumbuhan ekonomi. Sementara itu pengaruh Iptek terhadap peningkatan SDM Indonesia khususnya dalam persaingan global dewasa ini meliputi berbagai aspek. Aspek-aspek  itu adalah akibat yang ditimbulkan oleh aspek teknologi dalam era globalisasi. Kemudian aspek ekonomi dan aspek sosial budaya.
Perubahan Global dan Kurikulum
Menurut Peter Drucker era globalisasi merupakan zaman transformasi sosial. Fenomena globalisasi ini dari hari ke hari terus berkembang secara dinamis. Waktu hari ini tidak bisa digantikan untuk hari esok. Namun hari esok bisa saja muncul peristiwa dan sejarah baru. Selain itu peningkatan interaksi kultural melalui perkembangan media massa terutama televisi, film, musik, dan transmisi berita dan olah raga internasional. Globalisasi dalam bidang budaya, ditandai dengan berkembangnya pertukaran kebudayaan internasional.
Sektor pendidikan kita merupakan garda terdepan dalam mempersiapkan sumber daya manusia. Daya saing suatu bangsa ditentukan oleh kualitas SDM nya. Pada tahun 2008 Indonesia mengusulkan sebanyak delapan program kerjasama pendidikan kepada negara -negara berkembang terbesar di dunia (E-9). Usulan yang disampaikan oleh mantan  Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Bambang Sudibyo pada Pembukaan Senior Officials Meeting of E-9 Countries di Depdiknas, Jakarta, Rabu tanggal 22 Oktober 2008 silam.
Program kerjasama yang ditawarkan adalah untuk mencapai target pendidikan untuk semua atau education for all (EFA) dan Millenium Development Goals (MDGs) pada 2015.Terungkap dalam konferensi itu sebanyak 70 persen permasalahan pendidikan di dunia terdapat di sembilan negara yang tergabung dalam E-9. Negara - negara tersebut adalah India, Cina, Bangladesh, Pakistan, Indonesia, Mesir, Nigeria, Meksiko, dan Brazil.
Program yang diusulkan adalah program beasiswa Sandwich untuk guru dan dosen, program pembelajaran jarak jauh, program pertukaran dan berbagi sumber daya memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) menggunakan Indonesia Higher Education and Research Network (INHERENT), Global Development Learning Network (GDLN), dan Jejaring Pendidikan Nasional (Jardiknas ). Program lainnya adalah model madrasah modern, sertifikasi guru dalam jabatan, pelatihan dan pengembangan profesional berkelanjutan untuk guru dalam jabatan, pertukaran guru formal dan nonformal, dan pelatihan kompetensi ganda untuk guru yang memiliki latar belakang pendidikan yang berbeda dengan mata pelajaran yang diampunya serta program pelatihan terhadap guru dalam jabatan melalui 12 pusat pelatihan guru yang terdapat di Indonesia.
Reformasi Pendidikan dan Daya Saing
Bambang Sudibyo (2009) mengatakan, hasil 10 tahun reformasi di bidang pendidikan nasional baru bisa dinikmati oleh masyarakat Indonesia pada 2014/2015 mendatang. Pasal 31 UUD ’45 lebih tegas menyatakan tentang hak warga negara atas pendidikan dan kewajiban negara memberikan pendidikan kepada warganya.
Pada pasal 31 dinyatakan setiap warga berhak mendapat pendidikan, setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya, negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 % dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) dan anggaran pendapatan belanja daerah (APBD).
Adapun persoalan pendidikan di Indonesia yaitu pendidikan rata-rata penduduk Indonesia masih sangat rendah.  Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa 61 persen penduduk Indonesia diatas 15 tahun hanya berpendidikan SD ke bawah. Dua puluh dua (22) persen diantaranya bahkan tidak pernah lusus SD atau tidak sekolah sama sekali.
Persoalan lainnya adalah angka partisipasi sekolah (APS)—rasio penduduk yang bersekolah menurut kelompok usia sekolah—masih belum sebagaimana yang diharapkan. Susenas 2003 menunjukkan bahwa APS untuk penduduk usia 7-12 tahun sudah mencapai 96,4 persen, namun APS penduduk usia 13-15 tahun baru mencapai 81,0 persen. Kemudian  angka drop out (DO) masih tinggi, fasilitas pelayanan pendidikan dasar belum tersedia secara merata, kualitas pendidikan yang rendah. Hasil survei Depdiknas tahun 2004 menunjukkan rendahnya kualitas tenaga pendidik dan rendahnya kesejahteraan pendidik.
Keterbatasan anggaran pendidikan menggiring pemerintah menempuh kebijakan membagi dua jalur pendidikan. Kebijakan ini dikeluarkan dengan Peraturan Pemerintah (PP) no 19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Secara formal PP tentang standar nasional pendidikan ini membedakan pendidikan menjadi dua jalur yaitu sekolah formal mandiri dan sekolah formal standar. Ada dua hal yang patut dikritisi dari kebijakan pembagian dua jalur pendidikan ini. Pertama berkaitan dengan substansi kebijakan itu sendiri dan kedua berkaitan dengan proses terbitnya kebijakan.
Kemudian adalah masalah daya saing dalam pasar dunia yang semakin terbuka merupakan isu kunci dan tantangan yang sangat. Tanpa dibekali kemampuan dan keunggulan daya saing yang tinggi produk suatu negara, termasuk produk Indonesia, tidak akan mampu menembus pasar internasional.
Masuknya produk impor dapat mengancam posisi pasar domestik. Intinya dengan kondisi pasar yang bersaing, keunggulan kompetitif (competitive advantage) merupakan faktor yang desisif dalam meningkatkan kinerja perusahaan.
Diperlukan upaya meningkatkan daya saing dan meningkatkan keunggulan kompetitif terhadap produk Indonesia baik itu pelaku bisnis, aparat birokrasi, berbagai organisasi dan anggota masyarakat serta lingkungan kerja sehingga bisnis corporate Indonesia memiliki keunggulan dalam pasar luar negeri.
Realitas globalisasi mmeunculkan sejumlah implikasi terhadap pengembangan SDM di Indonesia termasuk tuntutan globalisasi daya saing ekonomi. Daya saing ekonomi akan terwujud apabila didukung oleh SDM yang handal. Untuk menciptakan SDM berkualitas dan handal yang diperlukan adalah pendidikan.
Pendidikan sebagai suatu mekanisme kelembagaan pokok dalam mengembangkan keahlian dan pengetahuan merupakan kegiatan investasi dimana pembangunan ekonomi sangat berkepentingan. Pembangunan ekonomi membutuhkan kualitas SDM yang unggul baik dalam kapasitas penguasaan Iptek, sikap mental sehingga mampu menjadi subyek atau pelaku pembangunan yang handal. Dalam kerangka globalisasi, penyiapan pendidikan perlu juga disinergikan dengan tuntutan kompetisi. Dimensi daya saing dalam SDM menjadi semakin penting untuk memacu kualitas SDM melalui pendidikan.
Problem utama dalam pembangunan sumberdaya manusia adalah terjadinya missalocation of human resources. Pada era sebelum reformasi, pasar tenaga kerja mengikuti aliran ekonomi konglomeratif, dimana tenaga kerja yang ada cenderung memasuki dunia kerja yang bercorak konglomeratif yaitu mulai dari sektor industri manufaktur hingga perbankan. Termasuk dunia pendidikan akhirnya masuk dalam kemelut ekonomi politik, yakni terjadinya kesenjangan ekonomi yang diakselerasi struktur pasar.
Kenyataan menunjukkan banyak lulusan terbaik pendidikan masuk ke sektor-sektor ekonomi yang justru bukannya memecahkan masalah ekonomi, tapi malah memperkuat proses konsentrasi ekonomi dan konglomerasi, yang mempertajam kesenjangan ekonomi. Visi pengembangan SDM melalui pendidikan terkait dengan kondisi ekonomi politik yang diciptakan pemerintah. Disisi lain Indonesia kekurangan berbagai keahlian untuk mengisi berbagai tuntutan globalisasi.
Untuk mengantisipasi tuntutan globalisasi diperlukan suatu kebijakan link and match serta sebuah terobosan melalui strategi yang mengintegrasikan pembangunan ekonomi dengan pendidikan.
Paradigma pembangunan pendidikan berbasis ekonomi dan profit akan menjadikan sektor pendidikan kita kehilangan jati diri dan karakter. Itulah sebabnya pendidikan seminimal mungkin harus dijauhkan dari praktek bisnis. Apabila praktik bisnis diberlakukan dalam dunia pendidikan maka daya saing dan mutu suatu sekolah atau lembaga pendidikan akan semakin tidak sehat.
Melineum Develompent Goals (MDGS) sebagai acuan untuk mengukur keberhasilan Indonesia dalam berbagai sektor khususnya pendidikan harus diimplementasikan dengan langkah konkrit. Anggaran pendidikan yang mencapai 286 trilyun lebih pada tahun 2012 sebagaiamana Pidato Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 16 Agustus 2011 dalam Pengantar Rencana APBN 2012 diharapkan mampu meningkatkan kualitas dan mutu pendidikan.
Pendidikan karakter yang telah digulirkan sebenarnya menjadi kekuatan utama bangsa Indonesia untuk kembali menggali nilai-nilai luhur budaya bangsa sebagai kearifan lokal berbasis global.
Dalam konteks ini kita patut bersyukur, Indonesia yang memiliki keberagaman budaya dengan sebanyak 16.666 pulau yang terbentang dari Sabang- Merauke apabila digali sumber-sumber dan nilai-nilai yang terkandung didalam budaya itu sendiri berkemungkinan ribuan tahun ke depan belum bisa terkuak. Indonesia harus bangga sebagai bangsa yang memiliki keberagaman budaya. Tugas kita adalah melestarikan nilai-nilai luhurdan budaya bangsa. Pemimpin bangsa harus memiliki visi dan kepedulian yang tinggi dalam melestarikan nilai-nilai budaya bangsa. Persoalannya sekarang mengapa begitu banyak gedung-gedung dan nilai-nilai sejarah yang semakin tergusur dengan program pembangunan super-super blok diperkotaan?
Kebijakan politik pembangunan pemerintah yang kurang tepat dan menggusur bukti-bukti maupun fakta-fakta sejarah membuktikan bahwa pemimpin salah dalam menafsirkan politik pembangunan ekonomi. Politik yang sehat dan santun semakin jauh dari harapan manakala kita melakukan refleksi kembali betapa begitu banyaknya bukti-bukti sejarah budaya, perjuangan hingga hutan adatpun ikut digusur akibat aktivitas pembangunan.
Bangsa ini tidak bisa lagi melihat miniatur budaya-budaya bernilai sejarah tinggi, semestinya meskipun suatu kawasan sejarah akan dilakukan kegiatan pembangunan bukti-bukti sejarah harus didokumentasikan pemerintah sehingga kelak kawasan suatu kegiatan pembangunan dapat direfleksikan kembali.
Karena itu dibutuhkan suatu keraifan dan kebijaksanaan dalam kegiatan pembangunan sehingga bangsa ini memiliki martabat yang tinggi dan berkarakter. MDGs tahun 2015 sudah diambang pintu, kita harus bergegas cepat mengimpelemtasikan semua program kegiatan pembangunan secara terukur.( Penulis dadal Guru SM

PENDIDIKAN


MDGs, SDM dan Tantangan Pendidikan Kita
Oleh: Nelson Sihaloho
Target waktu pencapaian semua tujuan pembangunan milenium atau millenium development goals (MDGs) adalah pada 2015. Indonesia termasuk salah satu negara yang berkomitmen untuk mencapai MDGs, apakah Indonesia mampu memenuhi janji pencapaian target MDGs itu? Sebagaimana diekathui bahwa MDGs berisi daftar sasaran-sasaran pembangunan yang menjadi tantangan pembangunan di seluruh dunia. Deklarasi MDGs telah diadopsi oleh 189 negara dan ditandatangani oleh 147 kepala pemerintahan dan kepala negara, termasuk Indonesia, pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Milenium di New York, 8 September 2000 silam yang  difasilitasi oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Sebanyak  8 tujuan MDGs yang dikonkretkan dalam 18 target dan indikator kemajuan yang terukur. Ke-8 tujuan itu adalah, menanggulangi kemiskinan dan kelaparan, mencapai pendidikan untuk semua, mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan, mengurangi kematian anak, meningkatkan kesehatan ibu, memerangi HIV/AIDS dan penyakit menular lainnya, memastikan kelestarian lingkungan hidup, dan mengembangkan kemitraan global. Indonesia setiap tahun  mempublikasikan laporan pencapaian MDGs dimana secara nasional, pelaporannya dikoordinasikan oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional / Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) telah melaporkan pencapaian kumulatif Indonesia dalam target-target MDGs hingga tahun 2010 lalu.
Laporan Bappenas menunjukkan bahwa  pencapaian MDGs Indonesia dinyatakan optimistik.  Laporan pencapaian MDGs Indonesia menunjukkan bahwa sebagian target sudah berhasil, bahkan ada target-target yang dilaporkan  melebihi target.
Contohnya adalah penanggulangan kemiskinan, proporsi penduduk dengan pendapatan per kapita kurang dari 1 USD per hari telah menurun dari 20,6 persen pada 1990 menjadi 5,9 persen pada 2008, atau lebih dari separuh dari kondisi pada tahun 1990.  Data Bappenas juga menunjukkan pencapaian MDGs Indonesia dalam tiga kategori, yaitu target-target yang telah dicapai, target-target yang telah mencapai kemajuan signifikan serta  target-target yang masih perlu kerja keras untuk mencapai sasaran pada 2015.
Era global syarat dengan berbagai persaingan yang semakin ketat dalam berbagai bidang.  Era glogal abad 21 memiliki banyak tantangan yang harus siap dan sigap dilakukan oleh segenap umat manusia untuk bisa berbenah diri dalam peningkatan SDM  termasuk dalam upaya peningkatan kualitas dan kuantitas ekonomi. Secara mendasar, ada dua hal penting menyangkut kondisi SDM Indonesia, yaitu ketimpangan antara jumlah kesempatan kerja dan angkatan kerja serta tingkat pendidikan angkatan kerja masih relatif rendah. Menurut catatan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Ditjen Dikti) Kemdiknas angka pengangguran sarjana di Indonesia lebih dari 300.000 orang.
Rendahnya alokasi APBN untuk sektor pendidikan meski pada saat ini dikategorikan pada tataran 20 %  belum menunjukkan perbaikan kualitas SDM. Hal itu bisa dilihat dari  hambatan pasar kerja dimana  faktor penyebabnya  adalah rendahnya kualitas SDM untuk memenuhi kebutuhan pasar kerja.
Ekonomi abad ke-21 yang ditandai dengan globalisasi ekonomi, merupakan suatu proses kegiatan ekonomi dan perdagangan, dimana negara-negara di seluruh dunia menjadi satu kekuatan pasar yang semakin terintegrasi dengan tanpa rintangan batas teritorial negara. Berdasarkan data,  posisi Indonesia dalam kancah persaingan global menurut World Competitiveness Report menempati urutan ke-45 atau terendah dari seluruh negara yang diteliti, di bawah Singapura (8), Malaysia (34), Cina (35), Filipina (38), dan Thailand (40). Kondisi sumber daya manusia Indonesia juga ditemukan adanya ketimpangan antara jumlah kesempatan kerja dan angkatan kerja. Jumlah angkatan kerja nasional pada krisis ekonomi tahun pertama (1998) sekitar 92,73 juta orang, sementara jumlah kesempatan kerja hanya sekitar 87,67 juta orang dan sekitar 5,06 juta orang penganggur terbuka (open unemployment). Angka ini meningkat terus selama krisis ekonomi yang kini berjumlah sekitar 8 juta.
Salah satu problem struktural yang dihadapi dalam dunia pendidikan adalah bahwa pendidikan merupakan subordinasi dari pembangunan ekonomi. Pada era sebelum reformasi pembangunan dengan pendekatan fisik begitu dominan. Hal ini sejalan dengan kuatnya orientasi pertumbuhan ekonomi. Sementara itu pengaruh Iptek terhadap peningkatan SDM Indonesia khususnya dalam persaingan global dewasa ini meliputi berbagai aspek. Aspek-aspek  itu adalah akibat yang ditimbulkan oleh aspek teknologi dalam era globalisasi. Kemudian aspek ekonomi dan aspek sosial budaya.
Perubahan Global dan Kurikulum
Menurut Peter Drucker era globalisasi merupakan zaman transformasi sosial. Fenomena globalisasi ini dari hari ke hari terus berkembang secara dinamis. Waktu hari ini tidak bisa digantikan untuk hari esok. Namun hari esok bisa saja muncul peristiwa dan sejarah baru. Selain itu peningkatan interaksi kultural melalui perkembangan media massa terutama televisi, film, musik, dan transmisi berita dan olah raga internasional. Globalisasi dalam bidang budaya, ditandai dengan berkembangnya pertukaran kebudayaan internasional.
Sektor pendidikan kita merupakan garda terdepan dalam mempersiapkan sumber daya manusia. Daya saing suatu bangsa ditentukan oleh kualitas SDM nya. Pada tahun 2008 Indonesia mengusulkan sebanyak delapan program kerjasama pendidikan kepada negara -negara berkembang terbesar di dunia (E-9). Usulan yang disampaikan oleh mantan  Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Bambang Sudibyo pada Pembukaan Senior Officials Meeting of E-9 Countries di Depdiknas, Jakarta, Rabu tanggal 22 Oktober 2008 silam.
Program kerjasama yang ditawarkan adalah untuk mencapai target pendidikan untuk semua atau education for all (EFA) dan Millenium Development Goals (MDGs) pada 2015.Terungkap dalam konferensi itu sebanyak 70 persen permasalahan pendidikan di dunia terdapat di sembilan negara yang tergabung dalam E-9. Negara - negara tersebut adalah India, Cina, Bangladesh, Pakistan, Indonesia, Mesir, Nigeria, Meksiko, dan Brazil.
Program yang diusulkan adalah program beasiswa Sandwich untuk guru dan dosen, program pembelajaran jarak jauh, program pertukaran dan berbagi sumber daya memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) menggunakan Indonesia Higher Education and Research Network (INHERENT), Global Development Learning Network (GDLN), dan Jejaring Pendidikan Nasional (Jardiknas ). Program lainnya adalah model madrasah modern, sertifikasi guru dalam jabatan, pelatihan dan pengembangan profesional berkelanjutan untuk guru dalam jabatan, pertukaran guru formal dan nonformal, dan pelatihan kompetensi ganda untuk guru yang memiliki latar belakang pendidikan yang berbeda dengan mata pelajaran yang diampunya serta program pelatihan terhadap guru dalam jabatan melalui 12 pusat pelatihan guru yang terdapat di Indonesia.
Reformasi Pendidikan dan Daya Saing
Bambang Sudibyo (2009) mengatakan, hasil 10 tahun reformasi di bidang pendidikan nasional baru bisa dinikmati oleh masyarakat Indonesia pada 2014/2015 mendatang. Pasal 31 UUD ’45 lebih tegas menyatakan tentang hak warga negara atas pendidikan dan kewajiban negara memberikan pendidikan kepada warganya.
Pada pasal 31 dinyatakan setiap warga berhak mendapat pendidikan, setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya, negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 % dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) dan anggaran pendapatan belanja daerah (APBD).
Adapun persoalan pendidikan di Indonesia yaitu pendidikan rata-rata penduduk Indonesia masih sangat rendah.  Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa 61 persen penduduk Indonesia diatas 15 tahun hanya berpendidikan SD ke bawah. Dua puluh dua (22) persen diantaranya bahkan tidak pernah lusus SD atau tidak sekolah sama sekali.
Persoalan lainnya adalah angka partisipasi sekolah (APS)—rasio penduduk yang bersekolah menurut kelompok usia sekolah—masih belum sebagaimana yang diharapkan. Susenas 2003 menunjukkan bahwa APS untuk penduduk usia 7-12 tahun sudah mencapai 96,4 persen, namun APS penduduk usia 13-15 tahun baru mencapai 81,0 persen. Kemudian  angka drop out (DO) masih tinggi, fasilitas pelayanan pendidikan dasar belum tersedia secara merata, kualitas pendidikan yang rendah. Hasil survei Depdiknas tahun 2004 menunjukkan rendahnya kualitas tenaga pendidik dan rendahnya kesejahteraan pendidik.
Keterbatasan anggaran pendidikan menggiring pemerintah menempuh kebijakan membagi dua jalur pendidikan. Kebijakan ini dikeluarkan dengan Peraturan Pemerintah (PP) no 19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Secara formal PP tentang standar nasional pendidikan ini membedakan pendidikan menjadi dua jalur yaitu sekolah formal mandiri dan sekolah formal standar. Ada dua hal yang patut dikritisi dari kebijakan pembagian dua jalur pendidikan ini. Pertama berkaitan dengan substansi kebijakan itu sendiri dan kedua berkaitan dengan proses terbitnya kebijakan.
Kemudian adalah masalah daya saing dalam pasar dunia yang semakin terbuka merupakan isu kunci dan tantangan yang sangat. Tanpa dibekali kemampuan dan keunggulan daya saing yang tinggi produk suatu negara, termasuk produk Indonesia, tidak akan mampu menembus pasar internasional.
Masuknya produk impor dapat mengancam posisi pasar domestik. Intinya dengan kondisi pasar yang bersaing, keunggulan kompetitif (competitive advantage) merupakan faktor yang desisif dalam meningkatkan kinerja perusahaan.
Diperlukan upaya meningkatkan daya saing dan meningkatkan keunggulan kompetitif terhadap produk Indonesia baik itu pelaku bisnis, aparat birokrasi, berbagai organisasi dan anggota masyarakat serta lingkungan kerja sehingga bisnis corporate Indonesia memiliki keunggulan dalam pasar luar negeri.
Realitas globalisasi mmeunculkan sejumlah implikasi terhadap pengembangan SDM di Indonesia termasuk tuntutan globalisasi daya saing ekonomi. Daya saing ekonomi akan terwujud apabila didukung oleh SDM yang handal. Untuk menciptakan SDM berkualitas dan handal yang diperlukan adalah pendidikan.
Pendidikan sebagai suatu mekanisme kelembagaan pokok dalam mengembangkan keahlian dan pengetahuan merupakan kegiatan investasi dimana pembangunan ekonomi sangat berkepentingan. Pembangunan ekonomi membutuhkan kualitas SDM yang unggul baik dalam kapasitas penguasaan Iptek, sikap mental sehingga mampu menjadi subyek atau pelaku pembangunan yang handal. Dalam kerangka globalisasi, penyiapan pendidikan perlu juga disinergikan dengan tuntutan kompetisi. Dimensi daya saing dalam SDM menjadi semakin penting untuk memacu kualitas SDM melalui pendidikan.
Problem utama dalam pembangunan sumberdaya manusia adalah terjadinya missalocation of human resources. Pada era sebelum reformasi, pasar tenaga kerja mengikuti aliran ekonomi konglomeratif, dimana tenaga kerja yang ada cenderung memasuki dunia kerja yang bercorak konglomeratif yaitu mulai dari sektor industri manufaktur hingga perbankan. Termasuk dunia pendidikan akhirnya masuk dalam kemelut ekonomi politik, yakni terjadinya kesenjangan ekonomi yang diakselerasi struktur pasar.
Kenyataan menunjukkan banyak lulusan terbaik pendidikan masuk ke sektor-sektor ekonomi yang justru bukannya memecahkan masalah ekonomi, tapi malah memperkuat proses konsentrasi ekonomi dan konglomerasi, yang mempertajam kesenjangan ekonomi. Visi pengembangan SDM melalui pendidikan terkait dengan kondisi ekonomi politik yang diciptakan pemerintah. Disisi lain Indonesia kekurangan berbagai keahlian untuk mengisi berbagai tuntutan globalisasi.
Untuk mengantisipasi tuntutan globalisasi diperlukan suatu kebijakan link and match serta sebuah terobosan melalui strategi yang mengintegrasikan pembangunan ekonomi dengan pendidikan.
Paradigma pembangunan pendidikan berbasis ekonomi dan profit akan menjadikan sektor pendidikan kita kehilangan jati diri dan karakter. Itulah sebabnya pendidikan seminimal mungkin harus dijauhkan dari praktek bisnis. Apabila praktik bisnis diberlakukan dalam dunia pendidikan maka daya saing dan mutu suatu sekolah atau lembaga pendidikan akan semakin tidak sehat.
Melineum Develompent Goals (MDGS) sebagai acuan untuk mengukur keberhasilan Indonesia dalam berbagai sektor khususnya pendidikan harus diimplementasikan dengan langkah konkrit. Anggaran pendidikan yang mencapai 286 trilyun lebih pada tahun 2012 sebagaiamana Pidato Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 16 Agustus 2011 dalam Pengantar Rencana APBN 2012 diharapkan mampu meningkatkan kualitas dan mutu pendidikan.
Pendidikan karakter yang telah digulirkan sebenarnya menjadi kekuatan utama bangsa Indonesia untuk kembali menggali nilai-nilai luhur budaya bangsa sebagai kearifan lokal berbasis global.
Dalam konteks ini kita patut bersyukur, Indonesia yang memiliki keberagaman budaya dengan sebanyak 16.666 pulau yang terbentang dari Sabang- Merauke apabila digali sumber-sumber dan nilai-nilai yang terkandung didalam budaya itu sendiri berkemungkinan ribuan tahun ke depan belum bisa terkuak. Indonesia harus bangga sebagai bangsa yang memiliki keberagaman budaya. Tugas kita adalah melestarikan nilai-nilai luhurdan budaya bangsa. Pemimpin bangsa harus memiliki visi dan kepedulian yang tinggi dalam melestarikan nilai-nilai budaya bangsa. Persoalannya sekarang mengapa begitu banyak gedung-gedung dan nilai-nilai sejarah yang semakin tergusur dengan program pembangunan super-super blok diperkotaan?
Kebijakan politik pembangunan pemerintah yang kurang tepat dan menggusur bukti-bukti maupun fakta-fakta sejarah membuktikan bahwa pemimpin salah dalam menafsirkan politik pembangunan ekonomi. Politik yang sehat dan santun semakin jauh dari harapan manakala kita melakukan refleksi kembali betapa begitu banyaknya bukti-bukti sejarah budaya, perjuangan hingga hutan adatpun ikut digusur akibat aktivitas pembangunan.
Bangsa ini tidak bisa lagi melihat miniatur budaya-budaya bernilai sejarah tinggi, semestinya meskipun suatu kawasan sejarah akan dilakukan kegiatan pembangunan bukti-bukti sejarah harus didokumentasikan pemerintah sehingga kelak kawasan suatu kegiatan pembangunan dapat direfleksikan kembali.
Karena itu dibutuhkan suatu keraifan dan kebijaksanaan dalam kegiatan pembangunan sehingga bangsa ini memiliki martabat yang tinggi dan berkarakter. MDGs tahun 2015 sudah diambang pintu, kita harus bergegas cepat mengimpelemtasikan semua program kegiatan pembangunan secara terukur.( Penulis dadal Guru SM