Rabu, 04 Desember 2013

Komite sekolah

Peranan Komite Sekolah Dalam Manajemen Berbasis Sekolah Oleh : Nelson Sihaloho Mencermati pasal 51 UU Sistem Pendidikan Nasional No. 20/2003 yang menyatakan bahwa “Pengelolaan satuan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah dilaksanakan berdasarkan standar pelayanan minimal dengan prinsip manajemen berbasis sekolah/madrasah”. Sebagaimana diketahui bahwa Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) merupakan konsep pengelolaan sekolah yang ditujukan untuk meningkatkan mutu pendidikan di era desentralisasi pendidikan. Tujuan diprogramkannya MBS agar pelaksanaan program pendidikan pada tingkat satuan pendidikan dapat berjalan dengan baik. Kenyataan menunjukkan banyak sekolah yang mengalami kendala dalam menerapkan MBS, sulitnya mengidentifikasi sekolah menerapkan MBS, penyusunan program peningkatan mutu sekolah sering “ terbentur” dengan penolakan dari orangtua siswa serta partisipasi orang tua dan masyarakat dalam pendidikan semakin berkurang. Padahal usaha peningkatan mutu pendidikan di tingkat pendidikan dasar telah banyak dilakukan tetapi hasilnya belum begitu menggembirakan. Berbagai studi dan pengamatan langsung di lapangan menunjukkan bahwa ada beberapa faktor yang menyebabkan mutu pendidikan tidak mengalami peningkatan secara merata.Diantaranya adalah kebijakan penyelenggaraan pendidikan nasional yang berorientasi pada keluaran atau hasil pendidikan terlalu memusatkan pada masukan dan kurang memperhatikan proses pendidikan. Kemudian penyelengaraan pendidikan dilakukan secara sentralistik. Hal demikian menyebabkan tingginya ketergantungan kepada keputusan birokrasi dan seringkali kebijakan pusat terlalu umum dan kurang menyentuh atau kurang sesuai dengan situasi dan kondisi sekolah setempat. Selain itu segala sesuatu yang terlalu diatur menyebabkan penyelenggara sekolah kehilangan kemandirian, insiatif, dan kreativitas. Kondisi tersebut menyebabkan usaha dan daya untuk mengembangkan atau meningkatkan mutu layanan dan keluaran pendidikan menjadi kurang termotivasi. Bahkan peran serta masyarakat terutama orangtua siswa dalam penyelenggaraan pendidikan selama ini hanya terbatas pada dukungan dana. Padahal peran serta mereka sangat penting di dalam proses pendidikan antara lain pengambilan keputusan, pemantauan, evaluasi, dan akuntabilitas. Apabila dikaji secara lebih lanjut, banyak persoalan pendidikan sepatutnya bisa diputuskan dan dilaksanakan oleh unit tataran di bawah atau masyarakat. Hal ini sejalan dengan apa yang terjadi di kebanyakan negara. Faktor-faktor pendorong penerapan desentralisasi pendiddikan antara lain adanya tuntutan orangtua, kelompok masyarakat, para legislator, pebisnis, dan perhimpunan guru untuk turut serta mengontrol sekolah dan menilai kualitas pendidikan. Adanya anggapan bahwa struktur pendidikan yang terpusat tidak dapat bekerja dengan baik dalam meningkatkan partisipasi siswa bersekolah. Ketidakmampuan birokrasi yang ada untuk merespon secara efektif kebutuhan sekolah setempat dan masyarakat yang beragam. Penampilan kinerja sekolah dinilai tidak memenuhi tuntutan baru dari masyarakat maupun munculnya persaingan untuk memperoleh bantuan dan pendanaan. Sebagaimana kita ketahui bahwa desentralisasi pendidikan mencakup tiga hal pokok yaitu manajemen berbasis lokasi, pendelegasian wewenang, inovasi kurikulum dimana intinya adalah meletakkan semua urusan penyelenggaraan pendidikan di sekolah. Pengurangan administrasi pusat adalah konsekuensi dari yang pertama dengan diikuti pendelegasian wewenang dan urusan pada sekolah. Sedangkan inovasi kurikulum menekankan pada pembaharuan kurikulum dalam meningkatkan kualitas dan persamaan hak bagi semua peserta didik. Sesuai dengan UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 38 ayat 2 yang menyatakan bahwa ”Kurikulum pendidikan dasar dan menengah dikembangkan sesuai dengan relevansinya oleh setiap kelompok atau satuan pendidikan dan komite sekolah/madrasah di bawah koordinasi dan supervisi dinas pendidikan atau kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota untuk pendidikan dasar dan Propinsi untuk pendidikan menengah”. Peraturan Keputusan Menteri Nomor 22/2006, dan 23/2006 tentang Standar Isi dan Standar Kompetensi Lulusan menjadi dasar pengembangan kurikulum sekolah yang disebut KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) kini berubah dengan diterapkannya Kurikulum Nasional 2013 (Kurnas,2013). Komite dan Masyarakat Misi desentralisasi pendidikan adalah meningkatkan partisipasi masyarakat ataupun Komite dalam penyelenggaraan pendidikan, meningkatkan pendayagunaan potensi daerah, terciptanya infrastruktur kelembagaan yang menunjang terselenggaranya sistem pendidikan yang relevan dengan tuntutan jaman, antara lain terserapnya konsep globalisasi, humanisasi, dan demokrasi dalam pendidikan. Proses belajar mengajar menekankan terjadinya proses pembelajaran yang menumbuhkan kesadaran lingkungan yaitu memanfaatkan lingkungan baik fisik maupun sosial sebagai media dan sumber belajar, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan alat pemersatu bangsa. MBS pada hakikatnya adalah penyerasian sumber daya yang dilakukan secara mandiri oleh sekolah dengan melibatkan semua pemangku kepentingan yang terkait dengan sekolah secara langsung dalam proses pengambilan keputusan untuk memenuhi kebutuhan peningkatan mutu sekolah atau untuk mencapai tujuan pendidikan nasional. Apabila manajemen berbasis lokasi lebih difokuskan pada tingkat sekolah, maka MBS akan menyediakan layanan pendidikan yang komprehensif dan tanggap terhadap kebutuhan masyarakat di mana sekolah itu berada. Mneuurt “The Future Organization of Education Service for Student, Department of Education, Queensland, Australia bahwa ciri ciri MBS bisa dilihat dari sudut sejauh mana sekolah mampu mengoptimalkan kinerja organisasi sekolah, pengelolaan sumber daya manusia (SDM), proses belajar-mengajar dan sumber daya. Itulah sebabnya bahwa tujuan utama MBS adalah peningkatan mutu pendidikan. Melalui MBS sekolah dan masyarakat tidak perlu lagi menunggu perintah dari atas. Sekolah dapat mengembangkan suatu visi pendidikan yang sesuai dengan keadaan sekolah dan melaksanakan visi secara mandiri. Dalam pelaksanaan MBS alokasi dana kepada sekolah menjadi lebih besar dan sumber daya tersebut dapat dimanfaatkan sesuai kebutuhan sekolah sendiri. Selain itu sekolah akan lebih bertanggung jawab terhadap perawatan, kebersihan, dan penggunaan fasilitas sekolah, termasuk pengadaan buku dan bahan belajar. Kondisi tersebut akan meningkatkan mutu kegiatan belajar mengajar yang berlangsung di kelas. Sekolah membuat perencanaan sendiri dan mengambil inisiatif sendiri untuk meningkatkan mutu pendidikan dengan melibatkan masyarakat sekitarnya. Kepala sekolah dan guru dapat bekerja lebih profesional dalam memberikan pelayanan pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan anak didik. Peran serta masyarakat dan peningkatan mutu kegiatan belajar dan mengajar memiliki peran yang sangat strategis dalam mendukung mutu pendidikan pada tingkat satuan pendidikan. Karena itu hubungan yang baik, harmonis dan sinergis dengan Komite Sekolah dan orangtua wajib dijunjung tinggi oleh pihak sekolah dan guru sebagai pendidik, Peningkatan Mutu Sekolah Mutu adalah derajat kebaikan, kehandalan, keunggulan, kepuasan yang tercapai melalui usaha peningkatan. Mutu itu relatif, namun pada mutu memiliki kriteria yang terukur sehingga dalam sistem peningkatan mutu terkandung dua kata kunci yaitu kriteria dan pengukuran. Peningkatan mutu merupakan serangkaian usaha meningkatkan derajat kebaikan, kehandalan, kecepatan sehingga derajatnya meningkat. Intinya sekolah yang bermutu memiliki tujuan yang jelas. Kejelasan ditandai dengan adanya indikator mutu dan kriteria kinerja yang ditetapkan. Misalnya indikator kinerja sekolah, adalah mampu berkomunikasi dalam taraf internasional. Untuk mencapai itu, maka sekolah menetapkan kriteria mutu belajar siswa. Mutu dikatakan baik apabila memiliki keunggulan pada indikator tertentu dibandingkan dengan produk lain yang sejenis. Sekolah bermutu berarti mampu menghasilkan mutu lulusan yang lebih unggul dibandingkan dengan lulusan dari sekolah lain yang sejenis. Tidak dapat dipungkiri bahwa lulusan yang bermutu datang dari proses yang bermutu dan didukung dengan sumber daya input yang terjaga mutunya. Meskipun ukuran mutu itu relatif namun dapat dipetakan secara komparatif dengan menggunakan pembanding atau benchmarking. Strateginya dapat dilihat dari Visi dan Misi sebagai Poros Pembaharuan, Meningkatkan Pengetahuan dan Keterampilan Terbaik, Meningkatkan Mutu Berbasis SKL, Meningkatkan Penjaminan Mutu Proses serta Peningkatan Mutu Berbasis Data. Visi dan misi diartikan sebagai poros pembaharuan bahwa peningkatan mutu dijabarkan dari visi dan misi ke dalam aksi sehari-hari. Penerapan strategi ini pihak sekolah perlu menjabarkan visi dan misi ke dalam berbagai indikator keberhasilan. Keberhasilannya sangat ditentukan oleh keterampilan tiap individu dan kelompok untuk menjabarkan dan merealisasikan dalam opersional pelaksanaan pada tanggung jawab masing-masing. Peningkatan pengetahuan dan Keterampilan Terbaik dijabarkan bahwa keberhasilan sekolah dalam meningkatkan kapasitas pembaharuannya bergantung pada daya adaptasi sekolah mengembangkan kompetensi pendidik dan tenaga kependidikan menguasai ilmu pengetahuan dan keterampilan terbaiknya. Pengetahuan dan keterampilan yang adaptif terhadap tiap perubahan zaman serta adaptif terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Pengetahuan dan keterampilan yang adaptif untuk selalu melakukan pembaharuan mutu pembelajaran. Untuk Pengembangan Mutu Berbasis Standar Kompetensi Lulusan (SKL) peningkatan mutu dapat menggunakan indikator mutu lulusan sebagai poros pembaharuan. Seluruh komponen standar dikembangkan untuk menunjang terwujudnya SKL tersebut. Sesuai Permendiknas 78 tahun 2009 menggariskan sekolah sekurang-kurangnya menghasilkan lulusan yang memenuhi standar nasional yang diperkuat dengan keunggulan kompetitif dan kolaboratif pada tingkat internasional, Toefl 7,5 (computer based), pemberdayaan TIK. Itulah sebabnya suatu sekolah dikatakan sekolah yang efektif apabila mampu menetapkan target mutu mengembangkan pengetahuan dan keterampilan pendidik dan tenaga kependidikan yang jelas dan terukur. Kaidah yang lazim digunakan adalah memenuhi kriteria SMART ( spesific, measurable, attainable, realistic, and timely). Indikator lainnya adalah sasaran meningkatkan penjaminan mutu proses melalui pengelolaan ISO. Dalam penjaminan mutu tiap lembaga perlu menetapkan indikator operasional sebagai kriteria pencapaian proses. Dengan menggunakan indikator operasional pihak sekolah akan menilai dan memastikan bahwa seluruh proses berjalan sesuai dengan target dan mengarah pada tujuan. Peningkatan mutu berbasis data bahwa apaun bentuk program sekolah harus memiliki sistem informasi atau sistem pengelolaan menjadi bagian yang sangat kritis dalam pengelolaan mutu. Tanpa didukung oleh data yang akurat, pengambilan keputusan cenderung menjadi tidak efektif. Salah satu bentuk mekanisme yang dikembangkan adalah dengan mempertimbangkan semangat otonomi daerah dalam program peningkatan mutu yang menegaskan serta menguatkan kembali peran serta maupun partisipasi orangtua siswa (Komite Sekolah) dalam peningkatan mutu proses pendidikan di sekolah. Sejalan dengan implementasi Otonomi Sekolah dan MBS diharapkan pihak Komite Sekolah mendukung kebijakan pemerintah khususnya Kemdikbud. Meskipun Keputusan tentang RSBI dibekukan oleh Kemdibud program peningkatan mutu dan kualitas pendidikan di tataran sekolah wajib ditingkatkan. Peranan orangtua dan Komite Sekolah sangat strategis dalam mengimplementasikan program peningkatan mutu dalam pendidikan. Keterbatasan anggaran dari pemerintah satu sisi biaya operasional sekolah yang terus cenderung naik dan semakin tinggi memerlukan suatu solusi yang tepat demi keberlangsungan program peningkatan mutu di sekolah. Solusinya setiap proposal atau usulan kegiatan dan anggaran yang diajukan ke pihak orangtua dan Komite Sekolah dimana keputusana akhir mutlak berada ditangan para orangtua mampu mencerminkan azas demokratisasi. Pentingnya konsep harmonisasi, satu visi, sinkronisasi, tanggungjawab dalam meningkatkan mutu pendidikan berbasis keunggulan yang dilandasi oleh iman dan taqwa diharapkan akan memberikan suatu keputusan final tentang pemenuhan anggaran dari pihak orangtua dan Komite Sekolah. Diharapkan melalui prinsip-prinsip keterbukaan, demokratis, partisipasi, pengajuan dan pertanggungjawaban anggaran yang akuntabel dengan mengedepankan transparansi akan mampu meningkatkan mutu dan kualitas anak didik. Terobosan baru dari pihak orangtua dan Komite Sekolah sebagai pemegang kedaulatan mutlak dalam memfinalkan keputusan terakhir demi terealisasinya usulan kegiatan akan menjadi moment penting dan strategis terhadap peningkatan mutu suatu sekolah. Untuk lima tahun ke depan diharapkan dengan adanya bantuan dari pihak orangtua suatu sekolah akan mampu melakukan berbagai terobosan-terobosan baru. Dengan demikian sekolah akan mampu menjadi “Sekolah Percontohan” sesuai kebijakan Kemdikbud serta diharapkan mampu merintis “The Best Practice”, sebagai model perubahan (Agen of Change), pelopor (Advocates), katalisator (Catalyst) serta penggerak (mobilizer) terhadap pembaharuan maupun peningkatan mutu pendidikan. Semoga. (Dihimpun dari berbagai sumber-sumber relevan).

kurikulum 2013

Implementasi Kurikulum 2013 Akankah Berjalan Baik? Oleh: Nelson Sihaloho Perdebatan mengenai Kurikulum 2013 pada tataran politik berakhir pada tanggal 27 Mei 2013 lalu. Rencana pelaksanaan Kurikulum 2013, yang kontroversial selama beberapa bulan menjelang dimulainya tahun ajaran 2013/2014 diputuskan tetap jalan terus dan anggaran senilai Rp 829 miliar. Kini anggarannya telah dinikmati oleh sejumlah sekolah termasuk para stakeholders yang terkait dalam implementasi Kurikulum 2013. Pendahuluan Implementasi Kurikulum 2013 merujuk pada Surat Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) nomor: 0128/MPK/KR/2013 tertanggal 5 Juni 2013 yang ditujukan kepada para Kepala Dinas Pendidikan Provinsi/Kabupaten/Kota di seluruh Indonesia. Intinya Kurikulum 2013 telah disepakati untuk diimplementasikan secara bertahap dan terbatas mulai Tahun Pelajaran 201312014. Implementasi Kurikulum 2013 pada tahun pertama ini mencakup sebanyak 6.325 sekolah sasaran yang tersebar di seluruh provinsi dan 295 kabupaten/kota. Merujuk pada surat Kemdikbud itu Kemdikbud membuka kesempatan terhadap sekolah yang tidak termasuk sekolah sasaran untuk mengimplementasikan Kurikulum 2013 mulai Tahun Pelajaran 201312014 secara mandiri dibawah koordinasi Dinas Pendidikan setempat. Kemdikbud juga memohon dalam suratnya kepada Dinas Pendidikan dapat melakukan pendaftaran terhadap sekolah-sekolah yang berminat. Perlu diperhatikan tentang kesiapan sekolah dalam mengimplementasi Kurikulum 2013 seperti ketersediaan guru, akreditasi serta waktu persiapan yang memadai. Selain itu menyediakan anggaran untuk pengadaan buku bagi sejumlah siswa dan guru sesuai dengan jumlah buku yang harus disiapkan menurut jenjang pendidikan dan buku buku harus sudah siap pada awal Tahun Pelajaran 201312014. Menyiapkan guru untuk mengikuti pelatihan yang diselenggarakan oleh Kemdikbud. Mengingat keterbatasan anggaran yang tersedia, jumlah guru yang dapat dilatih melalui anggaran Kemdikbud adalah sangat terbatas dan diberikan secara proporsional kepada kabupaten/kota yang mengajukan serta menyelenggarakan pelatihan guru secara mandiri dengan anggaran sendiri dan berkoordinasi dengan Kemdikbud untuk penyediaan instruktur yang diperlukan. Implementasi Kurikum 2013 yang sudah dilaksanakan dengan harapan terjadi perubahan terhadap dunia pendidikan kita kelak akan menghadapi banyak hambatan yang datang dari para pelaksana kurikulum di sekolah. Implementasi Kurikulum 2013 jika merujuk pada fakta dan kenyataan seakan-akan kurikulum pendidikan di Indonesia adalah satu-satunya sumber dari keberhasilan pendidikan yang harus terus dibenahi, tanpa melihat unsur lain dalam pendidikan seperti peserta didik, guru, orang tua maupun sarana prasarana yang mendukung juga perlu dibenahi. Padahal pembenahan kurikulum di Indonesia terus dilakukan oleh pemerintah sejak tahun 1947. M. Nuh (2013) mengungkapkan “Tema pengembangan kurikulum 2013” adalah dapat menghasilkan insan Indonesia yang produktif, kreatif, inovatif, dan afektif melalui penguatan sikap (tahu mengapa), keterampilan (tahu bagaimana), dan pengetahuan (tahu apa) yang terintegrasi. Banyak kalangan menyangsikan kesiapan pemerintah melaksanakan kurikulum 2013 seperti seminar dan soasialisasi. Namun dilapangan kenyataannya akan berbeda implementasinya terutama para guru dan sekolah sebagai pelaksana akan kelimpungan mengimplementasikan Kurikulum 2013. Tuntutan impelementasi Kurikulum 2013 itu sangat berat. M. Nuh (2013) menyatakan bahwa, pengembangan kurikulum¬¬ 2013, selain untuk memberi jawaban terhadap beberapa permasalahan yang melekat pa¬da kurikulum 2006, bertujuan ju¬ga untuk mendorong peserta didik atau siswa, mampu lebih baik dalam melakukan observasi, bertanya, bernalar, dan meng¬omunikasikan (mempresentasikan), apa yang di¬ per¬oleh atau diketahui setelah siswa menerima materi pembelaj¬aran. Inti dari Kurikulum 2013, adalah ada pada upaya penyederhanaan, dan tematik-integratif. Kurikulum 2013 disiapkan untuk mencetak generasi yang siap di dalam menghadapi masa depan. Karena itu kurikulum disusun untuk mengantisipasi perkembangan masa depan. Lebh lanjut M. Nuh (2013) menyatakan bahwa sedikitnya ada dua faktor besar dalam ke¬ berhasilan kurikulum 2013. Pertama, penen¬tu, yaitu kesesuaian kompetensi pendidik dan tenaga kependi¬dik¬an (PTK) dengan kurikulum dan buku teks. Kedua, faktor pendukung yang terdiri dari tiga unsur; (i) ketersediaan buku sebagai ba¬han ajar dan sumber belajar yang mengintegrasikan standar pem¬bentuk kurikulum; (ii) penguatan peran pemerintah da¬lam pembinaan dan penga¬wasan; dan (iii) penguatan ma¬naj¬emen dan budaya sekolah. Bahkan Kemdikbud sudah mende¬sain¬¬ strategi penyiapan guru yang mel¬ibatkan tim pengembang kurikulum di tingkat pusat, instruktur diklat terdiri atas unsur dinas pendidikan, dosen, widya¬swara, guru inti, pengawas, ke¬¬pala sekolah, guru uta¬ma meliputi guru inti, penga¬was, dan kepala sekolah dan guru mereka terdiri atas guru kelas, guru mata pelajaran SD, SMP, SMA, SMK. M. Nuh,et.al menyatakan sedikitnya ada empat aspek yang harus di¬beri perhatian khusus dalam rencana implementasi dan ke¬terlaksanaan kurikulum 2013, yaitu kompetensi pedagogi, kompetensi akademik (keilmuan), kompetensi social, dan kompetensi manajerial atau kepemimpinan. Guru sebagai ujung tombak penerapan kurikulum, diharapkan bisa menyiapkan dan membuka diri terhadap beberapa kemung¬kinan terjadinya perubahan. Kesiapan guru lebih penting¬ daripada pengembangan kuri¬kulum 2013, sebab kurikulum 2013 bertujuan mendorong peserta didik, mampu lebih baik dalam melakukan observasi, bertanya, bernalar,¬ dan mengkomunikasikan (mempresentasikan), terhadap apa yang mereka peroleh atau mereka ketahui setelah mene¬rima materi pembelajaran. Melalui empat tujuan itu diharapkan siswa memiliki kompetensi sikap, ketrampilan, dan pengetahuan jauh lebih baik. Mereka akan lebih kreatif, inovatif, dan lebih produktif. Pada posisi ini guru berperan be¬sar di dalam mengimplementa¬sikan tiap proses pembelajaran pada kurikulum 2013. Guru ke depan dituntut tidak hanya cer¬das tapi juga adaptip terhadap perubahan. Akankah implementasi kurikulum 2013 sejalan dengan teori kurikulum sebagaimana digambarkan oleh Anita Lie, 2012?. Banyak Hambatan Anita Lie (2012) menyatakan bahwa keberhasilan suatu kurikulum merupakan proses panjang, mulai dari kristalisasi berbagai gagasan dan konsep ideal tentang pendidikan, perumusan desain kurikulum, persiapan pendidik dan tenaga kependidikan, serta sarana dan prasarana, tata kelola pelaksanaan kurikulum, termasuk pembelajaran dan penilaian pembelajaran dan kurikulum. Struktur kurikulum dalam hal perumusan desain kurikulum, menjadi amat penting. Karena begitu struktur yang disiapkan tidak mengarah sekaligus menopang pada apa yang ingin dicapai dalam kurikulum, maka bisa dipastikan implementasinya pun akan kedodoran. Pendidikan memegang peran penting dalam era globalisasi. Anthony Giddens dalam bukunya yang berjudul “The Global Third Way Debate” mengatakan bahwa kemakmuran ekonomi jangka panjang suatu bangsa berkaitan dengan kemampuannya dalam kapasitas inovasi, pendidikan, dan riset (seperti yang ditunjukkan oleh Jepang, China, dan Korea Selatan). Pemikiran Giddens adalah sangat relevan jika kita melihat kondisi pendidikan Indonesia saat ini yang mengalami penurunan. Permasalahan globalisasi menjadi penting untuk disoroti, karena ia merupakan trend abad ke-21 yang sangat kuat pengaruhnya pada semua sektor kehidupan, termasuk pada sektor pendidikan. Globalisasi mengandung arti terintegrasinya kehidupan nasional ke dalam kehidupan global. Globalisasi pendidikan berarti terintegrasinya pendidikan nasional ke dalam pendidikan dunia. Menurut Kuntowijoyo (2001) dalam era globalisasi kelak akan terjadi pergeseran paradigma tentang keunggulan suatu negara, dari keunggulan komparatif (comperative adventage) kepada keunggulan kompetitif (competitive advantage) dimana keunggulam komparatif bertumpu pada kekayaan sumber daya alam, sedangkan keunggulan kompetitif bertumpu pada pemilikan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas. Menurut Suyanto (2007) “guru memiliki peluang yang amat besar untuk mengubah kondisi seorang anak dari gelap gulita aksara menjadi seorang yang pintar dan lancar baca tulis alfabetikal maupun funfsional yang kemudian akhirnya ia bisa menjadi tokoh kebanggaan komunitas dan bangsanya”. Tetapi segera ditambahkan: “guru yang demikian tentu bukan guru sembarang guru. Ia pasti memiliki profesionalisme yang tinggi, sehingga bisa “digugu dan ditiru”. Kini kurikulum 2013 telah berjalan selama satu semester meskipun banyak pihak menilai memiliki banyak tantangan. Satu sisi Kemendikbud mengklaim bahwa implementasi kurikulum mendapatkan respon positif dari masyarakat dimana memerlukan kajian yang lebih komprehensif terhadap pihak-pihak yang menolak implementasi kurikulum 2013 tersebut. Penolakan dan dukungan terhadap kurikulum 2013 lebih merujuk pada sudut pandang sektoral. Meski kurikulum berubah guru merupakan kunci utama keberhasilan proses pembelajaran di sekolah. Itulah sebabnya keberhasilan pendidikan sering dibebankan pada guru. Fakta dilapangan masih banyak guru yang belum selesai dengan urusannya sendiri. Masih sibuk untuk hal-hal yang di luar konteks menciptakan pembelajaran yang efektif. Substansi suatu kurikulum adalah program pendidikan yang bertujuan membentuk siswa berkarakter, bertanggung jawab, pantang menyerah, dan tertanam jiwa nasionalisme. Penerapan kurikulum 2013 menjadi tantangan sekaligus peluang bagi guru untuk mewujudkan cita-cita pendidikan. Tenaga pendidikan dan kependidikan ditantang untuk menjembatani kondisi ideal dan kondisi nyata dunia pendidikan. Guru secara pribadi harus termotivasi dan tak segan mengeluarkan biaya untuk pengembangan potensi diri. Studi banding penting untuk memperoleh patokan atas apa yang telah dilakukan dan apa-apa saja yang dilakukan oleh sekolah lain. Guru juga perlu menambah durasi membaca buku atau hasil-hasil penelitian tentang pembelajaran dan pendidikan. Sekolah hendaknya dapat memiliki majalah pendidikan dan media komunikasi bagi guru yang idealnya menjadi sarana penyebarluasan informasi dan berbagi pengalaman. M. Nuh (2013) menyatakan dari tiga juta guru yang tercatat, baru 70.000 guru yang menjalani pelatihan dimana pemerintah akan kembali memberikan pelatihan kepada 80.000 guru untuk dijadikan instruktur nasional. M. Nuh,et.el menyatakan ada enam perubahan sebagai implementasi pelaksanaan kurikulum 2013. Pertama, tentang penataan sistem perbukuan yang harganya dapat ditekan semurah mungkin. Kedua, penataan Lembaga Pendidik Tenaga Kependidikan (LPTK) dalam penyiapan dan pengadaan guru. Ketiga, penataan atas pola pelatihan guru. Keempat, memperkuat budaya sekolah. Kelima, memperkuat NKRI, dan keenam, memperkuat integrasi pengetahuan-bahasa dan budaya. Praktisi pendidikan Romo Benny Susetyo (2013) berpendapat, penerapan kurikulum baru yang tidak dibarengi dengan sosialisasi dan pelatihan yang mencukupi tidak akan memberikan manfaat bagi peserta didik. Idealnya para guru akan paham tentang kurikulum baru jika dilatih selama tiga hingga lima pekan setiap tahunnya secara rutin. Intinya masalah pendidikan kita bukan pada kurikulum, melainkan guru, peningkatan kualitas gurulah yang mesti diubah, bukan kurikulumnya. Diklat Guru Meresahkan KBM Implementasi Kurikulum 2013 membawa perubahan sekaligus membawa keresahan pada level sekolah. Adanya beberapa guru yang ditunjuk menjadi guru sasaran, guru pendamping menambah persoalan baru dalam lingkup sekolah. Sistem pelatihan yang “amburadul” dengan tidak mengacu pada kalender pendidikan menjadikan sekolah sering terganggu dengan ulah “diklat-diklat atau pelatihan-pelatihan”. Belum lagi undangan “seminar-seminar” dari berbagai instansi ke lingkup sekolah ikut manambah daftar panjang keresahan dalam proses belajar mengajar. Apalagi dengan keterbatasan jumlah guru dalam lingkup sekolah siapakah yang berhak menggantikan dan mengisi jam mereka jika guru mengikuti pelatihan/seminar?. Belum lagi disiplin guru yang rendah bahkan sering mengabaikan tugas pokoknya sebagai guru menambah daftar panjang keresahan dalam kegiatan belajar mengajar. Ironisnya implementasi Kurikulum 2013 sebagaian ada guru yang menjadi guru sasaran dan guru pendampng yang akan melakukan pemodelan. Layakkah guru dijadikan model jika dalam menjalankan tugas pokok fungsinya saja “amburadul”?. Mampukah Kurikulum 2013 menjawab tantangan Generasi Emas 2045?. Karena itu pemerintah perlu melakukan pengkajian secara matang perihal diklat atau pelatihan terhadap guru khususnya dalam pelatihan kurikulum. Diupayakan agar sekolah tdak sampai terganggu dengan kegiatan diklat/pelatihan. Solusi terbaik pelatihan dilakukan sewaktu libur. Sebab saat ini banyak kegiatan pelatihan-pelatihan dari Kemdikbud selain Diklat Kurikulum 2013, diklat peningkatan kompetensi guru, diklat penulisan karya ilmiah bagi guru, diklat pengembangan profesi berkelanjutan (PKB) dan penilaian kinerja guru (PKG). Bahkan implementasi Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (MENPAN RB) No,. 16 tahun 2009 khusus untuk tenaga pendidik dan tenaga kependidikan belum berjalan dengan optimal. Terbaik Kurikulum 2013 diharapkan mampu memperkuat jati diri bangsa dalam menghadapi berbagai kompleksitas, tantangan baik secara internal maupun eksternal serta dapat mempersiapkan sumber daya manusia yang maju dan kompetitif. Kurikulum merupakan instrumen strategis untuk mencapai tujuan pendidikan. Kurikulum harus mampu memperkuat jati diri bangsa dalam konteks dinamika perkembangan global. Kesiapan sekolah juga dipertaruhkan. Bila dirunut pada tahapannya dimana pada level birokrasi, perubahan kurikulum sampai kurikulum 2013 dilakukan melalui empat tahap. Pertama Kemendikbud mengembangkan kurikulum dengan melibatkan para pakar pendidikan, kebudayaan, sampai ilmuwan. Kedua, presentasi di depan Wakil Presiden RI Boediono pada (13/11/2012. Ketiga, uji publik selama tiga minggu untuk menghimpun berbagai masukan masyarakat. Keempat, memformulasi ulang masukan masyarakat. Landasan digunakannya kurikulum 2013 menggantikan kurikulum sebelumnya (KTSP) adalah pertama landasan filosofi mencakup filosofi pendidikan yang berbasis pada nilai-nilai luhur, nilai akademik, kebutuhan peserta didik dan masyarakat dan kurikulum berorientasi pada pengembangan kompetensi. Kedua lansadan yuridis tertuang dalam RPJMN 2010-2014 Sektor Pendidikan,perubahan metodologi pembelajaran dan penataan kurikulum. Ketiga Inpres No.1 Tahun 2010 tentang percepatan pelaksanaan prioritas pembangunan nasional mengenai penyempurnaan kurikulum dan metode pembelajaran aktif berdasarkan nilai-nilai budaya bangsa untuk membentuk daya saing karakter bangsa. Keempat landasan konseptual mencakup relevansi,model kurikulum berbasis bompetensi,kurikulum lebih dari sekedar dokumen,proses pembelajaran (aktivitas belajar, output belajar, outcome belajar) dan penilaian hasil belajar. Kurikulum 2013 arahnya sangat jelas, yaitu adanya keseimbangan kompetensi antara sikap (attitude), ketrampilan (skill), dan pengetahuan (knowledge). Keseimbangan diperlukan karena kita merasa dirisaukan oleh pesereta didik yang tidak hanya memiliki kompetensi kognitif saja, tetapi juga harus memiliki kompetensi sikap, dan ketrampilan. Ke 4 kompetensi ini didukung oleh 4 pilar yaitu produktif, kreatif, inovatif, dan afektif. Inovatif merupakan gabungan dari sifat produktif dan kreatif. M. Nuh (2013) menyatakan “seseorang produktif dan kreatif, bukan berarti menjadi inovatif, tapi inovatif ini hanya bisa dibentuk kalau ada dua hal tersebut. Kurikulum 2013 adalah kurikulum terbaik yang dikembangkan oleh pemerintah dan merupakan kurikulum hasil koreksi dari kurikulum-kurikulum sebelumnya yaitu kurikulum yang dikembangkan berbasis penguatan penalaran, bukan hafalan semata. Kurikulum pendidikan di Indonesia dipandang perlu disesuaikan dengan tuntutan zaman. Pola pembelajaran harus diarahkan untuk mendorong siswa mencari tahu dan mengobservasi, bukan diberi tahu. Kurikulum 2013 sudah dilakukan uji publik, meskipun kurikulum-kurikulum sebelumnya tidak pernah dilakukan uji publik. Saatnya guru berinovasi mengimplemtasikan kurikulum 2013. Selamat Hari Guru Tahun 2013, Jadilah Guru Yang Profesional Sebagaimana Tertulis Pada Sertifikasi Anda,” GURU PROFESIONAL”. Semoga:!

Sabtu, 14 September 2013

Pengawas Sekolah

Mungkinkah Pengawas Sekolah Kembali Jadi Guru Biasa? Oleh: Nelson Sihaloho Abstrak: Guru sebagai suatu profesi di Indonedia baru dalam taraf sedang tumbuh (emerging profession) dimana tingkat kematangannya belum sampai pada taraf yang telah dicapai oleh profesi-profesi. Bahkan guru dikatakan sebagai profesi yang setengah-setengah atau semi profesional. Pekerjaan profesional berbeda dengan pekerja non profesional karena suatu profesi memerlukan kemampuan dan keahlian khusus dalam melaksanakan profesinya. Pekerjaan yang bersifat profesional adalah pekerjaan yang hanya dapat dilakukan oleh mereka yang khususnya dipersiapkan untuk itu. Pengembangan profesionalisme guru berlanjut dan berjenjang hingga mendapat tugas tambahan sebagai Kepala Sekolah berjenjang hingga menjadi pengawas. Masalahnya sekarang jika banyak para pengawas awalnya direkrut dari guru setelah puluhan tahun bertugas ternyata mereka tidak menunjukkan kinerja yang baik bahkan tidak mampu meningkatkan jenjang karirnya kearah yang lebih tinggi (stagnan). Berdasarkan atas penilaian itu pemerintah berhak untuk melakukan perubahan kebijakan tentang jabatan pengawas dan apabila tidak mampu menjadi pengawas sekolah agar kembali bertugas menjadi guru biasa. Kata kunci: Pengawas, Pendidikan dan Guru. Pendahuluan Profesi guru memiliki tugas melayani masyarakat dalam bidang pendidikan. Tuntutan profesi ini memberikan layanan yang optimal dalam bidang pendidikan terhadap masyarakat. Guru profesional adalah orang yang memiliki kemamapuan dan keahlian khusus dalam bidang keguruan agar mampu melaksanakan tugas dan fungsinya sebagai guru dengan kemampuan maksimal. Ornstein dsn Levine (1984) menyatakan bahwa profesi itu adalah jabatan yang sesuai dengan pengertian profesinya. Syarat-syarat profesi guru merupakan pekerjaan pekerjaan penuh, memiliki ilmu pengetahuan, memiliki aplikasi ilmu pengetahuan, lembaga profesi termasuk perilaku profesinya. Menurut Benard Barber (1985) perilaku profesional harus memenuhi persyaratan diantaranya mengacu kepada ilmu pengetahuan, berorientasi kepada insterest masyarakat (klien) buka interest pribadi, pengendalian prilaku diri sendiri dengan mepergunakan kode etik, imbalan atau kompensasi uang atau kehormatan merupakan simbol prestasi kerja bukan tujuan dari profesi serta salah satu aspek dari perilaku profesional adalah otonomi atau kemandirian dalam melaksanakan profesinya. Guru juga harus memiliki standar profesi dalam menjalankan tugas profesionalismenya. Standar profesi adalah prosedur dan norma-norma serta prinsip-prinsip yang digunakan sebagai pedoman agar keluaran (out put) kuantitas dan kualitas pelaksanaan profesi tinggi sehingga kebutuhan orang dan masyarakat ketika diperlukan dapat dipenuhi. Dibeberapa negara telah memperkenalkan standar profesional untuk guru dan kepala sekolah. Di USA misalnya National Board of Professional teacher Standards telah mengembangkan standar dan prosedur penilaian berdasarkan pada 5 (lima) prinsip dasar (Depdiknas, 2005). Standar itu adalah guru bertanggung jawab (committed to) terhadap siswa dan belajarnya, gfuru mengetahui materi ajar yang mereka ajarkan dan bagaimana mengajar materi tersebut kepada siswa, guru bertanggung jawab untuk mengelola dan memonitor belajar siswa, guru berfikir secara sistematik tentang apa-apa yang mereka kerjakan dan pelajari dari pengalaman serta guru adalah anggota dari masyarakat belajar. Bagaimana dengan tugas pengawas. Tugas pokok pengawas sekolah/satuan pendidikan adalah melakukan penilaian dan pembinaan dengan melaksanakan fungsi-fungsi supervisi, baik supervisi akademik maupun supervisi manajerial. Berdasarkan tugas pokok dan fungsi diatas minimal ada tiga kegiatan yang harus dilaksanakan pengawas yaitu melakukan pembinaan pengembangan kualitas sekolah, kinerja kepala sekolah, kinerja guru, dan kinerja seluruh staf sekolah. Melakukan evaluasi dan monitoring pelaksanaan program sekolah beserta pengembangannya dan melakukan penilaian terhadap proses dan hasil program pengembangan sekolah secara kolaboratif dengan stakeholder sekolah. Mengacu pada SK Menpan nomor 118 tahun 1996 tentang jabatan fungsional pengawas dan angka kreditnya, Keputusan bersama Mendikbud nomor 03420/O/1996 dan Kepala BAKN nomor 38 tahun 1996 tentang petunjuk pelaksanaan jabatan fungsional pengawas serta Keputusan Mendikbud nomor 020/U/1998 tentang petunjuk teknis pelaksanaan jabatan fungsional pengawas sekolah dan angka kreditnya. Tugas pokok dan tanggung jawab pengawas sekolah meliputi melaksanakan pengawasan penyelenggaraan pendidikan di sekolah sesuai dengan penugasannya pada TK, SD, SLB, SLTP dan SLTA serta meningkatkan kualitas proses belajar-mengajar/bimbingan dan hasil prestasi belajar/bimbingan siswa dalam rangka mencapai tujuan pendidikan. Menurut Ofsted (2003) tugas pengawas mencakup beberapa hal diantaranya, inspecting (mensupervisi), advising (memberi advis atau nasehat), monitoring (memantau), reporting (membuat laporan), coordinating (mengkoordinir) dan performing leadership dalam arti memimpin dalam melaksanakan kelima tugas pokok tersebut. Saat ini muncul paradigma baru dalam jabatan pengawas. Pengawas yang selama ini ditakuti dan menjadi momok bagi guru dan kepala sekolah, kini kinerja pengawas sekolah dan pendidikan juga menjadi sorotan berbagai pihak. Hal itu muncul karena tuntutan tentang sumber daya manusia (SDM) pengawas dinilai berbagai kalangan belum memenuhi persyaratan bahkan cenderung kurang mampu menjadi contoh dihadapan guru dan kepala sekolah. Padahal tugas pengawas sekolah salah satunya adalah tugas pokok performing leadership/memimpin meliputi tugas memimpin pengembangan kualitas SDM di sekolah binaannya, memimpin pengembangan inovasi sekolah, partisipasi dalam memimpin kegiatan manajerial pendidikan di Diknas yang bersangkutan, partisipasi pada perencanaan pendidikan di kabupaten/kota, partisipasi pada seleksi calon kepala sekolah/calon pengawas, partisipasi dalam akreditasi sekolah, partisipasi dalam merekruit personal untuk proyek atau program-program khusus pengembangan mutu sekolah, partisipasi dalam mengelola konflik di sekolah dengan win-win solution dan partisipasi dalam menangani pengaduan baik dari internal sekolah maupun dari masyarakat. Masalahnya sekarang sudahkah para pengawas satuan pendidikan telah banyak berperan sebagai penilai, peneliti, pengembang, pelopor/inovator, motivator, konsultan dan kolaborator dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan di sekolah binaannya. Apabila dikaitkan dengan tugas pokok pengawas sebagai pengawas atau supervisor akademik yaitu tugas pokok supervisor yang lebih menekankan pada aspek teknis pendidikan dan pembelajaran, dan supervisor manajerial yaitu tugas pokok supervisor yang lebih menekankan pada aspek manajemen sekolah sesuai dengan matriknya apakah telah benar-benar berjalan dengan baik?. Harus Menjadi Contoh Dan Teladan Seringkali pengawas datang ke sekolah tidak menjalankan tugas pokok fungsinya dengan baik. Bahkan ada oknum pengawas “tidak merasa malu” meski guru yang diawasinya pangkat dan golongannya “lebih tinggi” dari pangkat golongan pengawas. Sangat memalukan memang di negeri ini. Pangkat dan Golongan sejak dulu menjadi ukuran keberhasilan maupun karir dari PNS. Di jajaran TNI/Polri berlaku aturan kepangkatan lebih tinggi mengatur kepangkatan yang lebih rendah. Dalam dunia pendidikan bisa posisinya terbalik bahkan bisa salah. Artinya sistim kepangkatan di PNS tidak memiliki wibawa lagi. Termasuk dalam dunia pendidikan. Akar masalahnya adalah Permendiknas nomor 28 tahun 2010 tentang penugasan guru mendapatkan tugas tambahan sebagai Kepala Sekolah. Demikian halnya dengan jabatan pengawas sekolah dimana eksistensi pengawas sekolah dinaungi oleh sejumlah dasar hukum. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 dan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 adalah landasan hukum yang terbaru yang menegaskan keberadaan pejabat fungsional itu. Selain itu, Keputusan Menteri Pendayagunaan aparatur Negara Nomor 118 Tahun 1996 (disempurnakan dengan keputusan nomor 091/2001) dan Keputuan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 020/U/1998 (disempurnakan dengan keputusan nomor 097/U/2001) merupakan menetapan pengawas sebagai pejabat fungsional yang permanen sampai saat ini. Jika ditilik sejumlah peraturan dan perundang-undangan yang ada, terkait dengan pendidikan, ternyata secara hukum pengawas sekolah tidak diragukan lagi keberadaannya. Dengan demikian, tidak ada alasan apapun dan oleh siapapun yang memarjinalkan dan mengecilkan eksistensi pengawas sekolah. Institusi pengawas sekolah adalah institusi yang sah. Keabsahannya itu diatur oleh ketentuan yang berlaku. Semestinya aturan-aturan itu tidak boleh dilanggar oleh manajemen atau birokrasi yang mengurus pengawas sekolah. Aturan itu mulai dari aturan merekrut calon pengawas, sampai kepada memberdayakan dan menfugsikan pengawas sekolah untuk operasional pendidikan. Pelecehan atau pelanggaran terhadap aturan-aturan yang ada itulah yang merupakan titik pangkal permasalahan pengawas sekolah sebagai institusi di dalam sistem pendidikan termasuk ketidakmampuan oknum pengawas dalam merencanakan karir dan kepangkatannya. Dalam Keputusan Menpan No. 118/1996 ditegaskan ”Pengawas sekolah adalah Pegawai Negeri Sipil yang diberi tugas, tanggungjawab, dan wewenang secara penuh oleh pejabat yang berwenang untuk melakukan pengawasan pendidikan di sekolah dengan melaksanakan penilaian dan pembinaan dari segi teknis pendidikan dan administrasi pada satuan pendidikan prasekolah, dasar, dan menengah.” Penilaian menurut PP 19/2005, bab I, pasal 1, ayat (17) adalah seperti betikut ini, ”Penilaian adalah proses pengumpulan dan pengolahan informasi untuk mengukur pencapaian hasil belajar peserta didik.” Sedangkan Kepmenpan No. 118/1996, bab I, pasal 1, ayat (8) menyatakan, ”Penilaian adalah penentuan derajat kualitas berdasarkan kriteria (tolok ukur) yang ditetapkan terhadap penyelenggaraan pendidikan di sekolah.” Kompetensi dalam membina juga harus dipahami oleh para pengawas sekolah. Pengawas sekolah harus memahami konsep pembinaan, jenis-jenis pembinaan, strategi pembinaan, komunikasi dalam membina, hubungan antarpersonal dalam membina, dan sebagainya. Berdasarkan hal itu tugas pokok pengawas sekolah dapat dirumuskan selaras dengan ayat 1, pasal 2, Kepmenpan Nomor 118/1996 sebagai beirkut, ”Pengawas Sekolah mempunyai tugas pokok menilai dan membina penyelenggaraan pendidikan pada sejumlah sekolah tertentu baik negeri maupun swasta yang menjadi tanggungjawabnya.” Dalam PP nomor 19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Pasal 19 ayat (1) misalnya menyatakan, ”Proses pembelajaran pada satuan pendidikan diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan psikologis peserta didik.” Jika hal ini dijadikan sebagai standar kelayakan penyajian program, tentu perlu dirumuskan indikator dari setiap item kelayakan itu. Selanjutnya dalam PP 19/2005, pasal 19, ayat (3) menyatakan, ”Setiap satuan pendidikan melakukan perencanaan proses pembelajaran, pelaksanaan proses pembelajaran, penilaian hasil pembelajaran, dan pengawasan proses pembelajaran untuk terlaksananya proses pembelajaran yang efektif dan efisien.” Pada pasal 23 ditegaskan, ”Pengawasan proses pembelajaran sebagaimana dimaksud dalam pasal 19 ayat (3) meliputi pemantauan, supervisi, evaluasi, pelaporan, dan pengambilan langkah tindak lanjut yang diperlukan.” Pengawas sekolah berkewajiban menyusun laporan atas kegiatan supervisinya. Laporan tersebut selain digunakan untuk menyusun perencanaan supervisi tahun berikutnya, juga digunakan sebagai pertanggungjawaban atas tugas-tugas yang dipikulkan kepadanya. Pasal 58 ayat (5) PP 19/2005 menyatakan, ”Untuk pendidikan dasar, menengah, dan nonformal laporan oleh pengawas atau penilik satuan pendidikan ditujukan kepada Bupati/ Walikota melalui Dinas Pendidikan Kabupaten/ Kota yang bertanggungjawab di bidang pendidikan dan satuan pendidikan bersangkutan.” Karena itu pengawas sekolah harus mampu menjadi contoh terhadap guru-guru dan kepala sekolah dalam menjalankan tugas-tugas profesionalismenya. Saat ini banyak guru yang mengalami karir stagnan atau mentok pada golongan ruang (IV/a). Pengawas sebagai pembina dan peneliti dituntut untuk membina atau membimbing guru untuk membuat karya tulis ilmiah sehingga karir guru bisa meningkat. Jika pengawas dan kordinator pengawas sekolah saja sudah puluhan tahun tidak naik pangkat apa yang bisa dicontoh dari pengawas itu?. Supaya adil maka pemerintah juga harus membuat kebijakan tentang penugasan kembali pengawas sekolah untuk bertugas menjadi guru biasa. Sebab pengawas juga berasal dari guru dan apabila tidak mampu menjalankan tugas-tugas jabatan pengawas sekolah harus legowo dan kembali mengajar di sekolah. Perbaiki Kuliatas Guru Penataan manajemen pendidikan dan upaya mewujudkan manusia terdidik yang memiliki kecakapan hidup memerlukan guru yang handal (the good high teachers). Secara rasional guru yang berkualitas dengan gaji yang cukup, akan lebih kreatif, antusias, dedikatif dan konsentrasi pada bidang pekerjaannya. Hasil studi Fiske (1996) di Spanyol, Brazil, Argentina, New Zealand, Mexico, Chili, Cina, dan Venezuela menunjukkan bahwa sistem desentralisasi pendidikan tidak selamanya membawa berkah. Hal itu tergantung dari potensi sumber-sumber pendukung di daerah. Otonomi daerah berpotensi memberikan efek negatif bagi guru yang kreatif, sebab ia tidak bisa mengembangkan dan melaksanakan tugasnya dengan efektif. Hal itu karena mereka digaji rendah. Penataan manajemen pendidikan harus mengubah operasional paradigma school based management (SBM) ke dalam school based budgeting (SBB). Hal itu berarti penganggaran keuangan didasarkan kepada kebutuhan sekolah. Jika sekolah ingin menfokuskan kepada peningkatan kualitas guru, berarti membawa implikasi bahwa segala kebutuhan guru harus terakomodasi. Misalnya pemenuhan gaji, honor, insentif, penghargaan, promosi, pemotongan birokrasi, pengembangan karier, dan sebagainya. Penerapan school based budgeting (SBB) ini cukup efektif dalam meningkatkan kualitas guru (Hadderman, 1999). Penataan manajemen pendidikan, utamanya untuk perbaikan kualitas dan gaji guru memerlukan persyaratan. Menurut Bray (1996) ada lima syarat yaitu commitment, collaboration, concern, consideration, and change. Menurut Uzer Usman (1992) bahwa kompetensi yang harus dimiliki seorang guru yaitu kemampuan yang ada pada diri guru agar dapat mengembangkan kondisi belajar sehingga hasil belajar dapat tercapai dengan lebih efektif, kemampuan sosial yaitu kemampuan guru yang realisasinya memberi manfaat bagi pemenuhan yang diperuntukan bagi masyarakat serta kompetensi profesional adalah kemampuan yang dimiliki guru sebagai pengajar yang baik. Pidarta (1999) mengatakan merupakan kewajiban guru sebagai seorang profesional untuk mengadakan penelitian dalam profesinya. Penelitian merupakan alat utama dalam mengembangkan ilmu dan aplikasinya. Dengan penelitian guru akan menemukan materi-materi yang lebih tepat, alat yang cocok untuk mengajarkan sesuatu, cara mendidik siswa yang lebih aktif, dan cara membina kemampuan siswa secara lebih baik. Penelitian merupakan bagian dari pengembangan profesi. Menurut Bafadal I, (2003) bahwa untuk menciptakan suasana kerja yang baik ada dua hal yang dilakukan dan diperhatikan antara lai, guru sendiri dan hubungan dengan orang lain dan masyarakat sekeliling. Menurut Pusat Inovasi Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pendidikan Nasional (2003) bahwa terdapat tiga kategori permasalahan yang berkaitan dengan peningkatan mutu guru dalam pembangunan pendidikan. Tiga kategori itu adalah sistem pelatihan guru, kemampuan profesional, profesi, jenjang karier dan kesejahteraan. Untuk kategori profesi, jenjang karier dan kesejahteraan dapat diambil langkah-langkah antara lain, memperketat persyaratan untuk menjadi calon guru pada Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK), menumbuhkan apresiasi karier guru dengan memberikan kesempatan yang lebih luas untuk meningkatkan karier, perlunya ketentuan sistem credit point yang lebih fleksibel untuk mendukung jenjang karier guru, yang lebih menekankan pada aktivitas dan kreativitas guru dalam melaksanakan proses pengajaran serta perlunya sistem dan mekanisme anggaran yang ditujukan untuk meningkatkan pendapatan guru. Simpulan Tugas pokok dan fungsi pengawas sekolah adalah melaksanakan penilaian dan pembinaan. Penilaian dan pembinaan dilakukan terhadap bidang teknik pembelajaran dan teknik administrasi. Dalam melakukan pembinaan pengawas sekolah melaksanakannya dengan memberi arahan, bimbingan, contoh, dan saran. Implementasi dari supervisi satuan pendidikan (sekolah) adalah melakukan penilaian dan pembinaan, mutu pendidikan adalah mutu proses dan mutu hasil yang mengacu kepada standar nasional pendidikan (PP 19/2005). Pengawas sekolah harus mampu menjadi contoh terhadap guru-guru dan kepala sekolah dalam menjalankan tugas-tugas profesionalismenya. Selain kepangkatannya harus lebih tinggi yang diawasinya juga harus mampu menjaga wibawanya sebagai pengawas. Pengawas juga harus mampu membimbing dan membina guru dalam melakukan penelitian sehingga guru mampu merencanakan karir dan kepangakatannya dengan tepat waktu. Untuk para pengawas sekolah yang tidak mampu bekerja optimal dan kinerjanya stagnan harus dibarengi dengan kebijakan atau peraturan pemerintah yang mengatur kembali jabatan pengawas kembali bertugas jadi guru. Pidarta (1999) mengatakan merupakan kewajiban guru sebagai seorang profesional untuk mengadakan penelitian dalam profesinya. Penelitian merupakan alat utama dalam mengembangkan ilmu dan aplikasinya. Dengan penelitian guru akan menemukan materi-materi yang lebih tepat, alat yang cocok untuk mengajarkan sesuatu, cara mendidik siswa yang lebih aktif, dan cara membina kemampuan siswa secara lebih baik. Penelitian merupakan bagian dari pengembangan profesi. (Penulis adalah guru SMP Negeri 11 Kota Jambi, tulisan ini dihimpun dari berbagai sumber-sumber relevan,email: sihaloho11@yahoo.com).

Guru Berkinerja

Guru Berkinerja dan Tuntutan Pengembangan Profesi Oleh: Nelson Sihaloho Abstrak: Sejalan dengan tantangan kehidupan global, peran dan tanggung jawab guru di masa depan semakin kompleks dan menuntut guru untuk senantiasa melakukan berbagai peningkatan dan penyesuaian penguasaan kompetensinya. Guru juga dituntut untuk lebih dinamis dan kreatif dalam mengembangkan profesinya. Dimasa depan guru bukan satu-satunya yang paling well informed terhadap berbagai informasi dan pengetahuan. Guru bukan satu-satunya orang yang paling pandai di tengah-tengah siswanya. Apabila guru tidak mampu memahami mekanisme dan pola penyebaran informasi yang demikian cepat, maka guru akan terpuruk secara profesional. Jika ini terjadi, maka ia akan kehilangan kepercayaan, baik dari siswa, orang tua, maupun masyarakat. Untuk menghadapi tantangan profesionalitas tersebut, maka guru perlu berpikir secara antisipatif dan proaktif. Guru harus melakukan pembaharuan terhadap lmu dan pengetahuan yang dimilikinya secara berkelanjutan. Guru wajib memahami penelitian guna mendukung efektivitas pembelajaran yang menjadi tugas pokok fungsinya. Dengan dukungan dari hasil penelitian guru maka guru tidak terjebak pada praktik pembelajaran yang menurut asumsinya sudah efektif, namun pada kenyataannya justru mematikan kreativitas siswanya sendiri. Dukungan hasil penelitian yang mutakhir lebih memungkinkan guru melakukan pembelajaran variatif. Guru berkinerja merupakan guru yang secara terus menerus mengembangkan tugas profesionalismenya muali dari merencanakan pembelajaran hingga membuat karya-karya inovatif. Kata kunci: Guru, Kinerja dan Profesi Pendahuluan Tuntutan terhadap guru professional berkinerja tinggi sudah menjadi sebuah kebutuhan. Sebab guru memegang peranan penting dan strategis dalam penentuan tujuan pembelajaran. Selain itu guru wajib menciptakan suasana belajar yang menyenangkan. Selengkap apapun sarana prasarana pendidikan, kurikulum, media, sumber atau hebatnya teknologi pendidikan semuanya tidak berarti apabila tidak dibarengi dengan kinerja tinggi. Kinerja guru akan terlihat profesional jika guru mampu mempersiapkan sendiri perangkat pengajaran yang menjadi tanggung jawabnya.Menurut Nuraini (2009: 90) menyatakan bahwa harapan tersebut ternyata berbanding terbalik dengan fakta yang ditemukan di lapangan. Nuraini, et.al, menyebutkan masih ditemukan guru yang memiliki kinerja yang rendah dengan tidak menyusun sendiri silabus, rencana pembelajaran, tes yang terstandar dan perangkat pengajaran lainnya. Sanusi dkk. (1999: 34) menjelaskan bahwa kinerja guru dapat dirinci empat fungsi. Pertama, merencanakan PBM seperti perumusan tujuan instruksional, menguraikan dan mendiskripsikan satuan pokok bahasan, merancang KBM, pemilihan media dan sumber belajar serta penyusunan instrumen evaluasi. Kedua adalah melaksanakan dan memimpin PBM mencakup kegiatan: pembimbingan dan pengarahan PBM, pengaturan dan pengubahan suasana belajar-mengajar, penetapan dan pengubahan urutan KBM. Ketiga, menilai kemajuan belajar yang meliputi pemberian skor hasil evaluasi, pentransformasian skor menjadi nilai serta penetapan peringkat. Keempat adalah guru menafsirkan dan memanfaatkan berbagai informasi basil penilaian dan penelitian untuk memecahkan masalah profesional kependidikan. Sebagaimana kita ketahui bahwa pendidikan merupakan salah satu bentuk investasi utama peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) yang bermanfaat untuk mengembangkan potensi individu dalam hubungannya dengan kehidupan bermasyarakat. Kemajuan hidup di masyarakat akan diraih melalui terciptanya lulusan yang kompeten seiring dengan tuntutan dunia kerja. Relevansinya kualitas pendidikan ditentukan oleh kualitas gurunya sebagai pelaksana tugas pendidikan. Kulaitas guru terlihat dari kinerjanya dalam melaksanakan tugas profesinya. Kinerja guru merupakan hasil kerja yang dicapainya sesuai dengan wewenang dan tanggungjawab yang didasarkan pada pengetahuan, sikap, keterampilan, dan motivasi dalam pelaksanaan tugas. Kinerja guru akan terpenuhi melalui motivasi kerja guru itu sendiri. Menuurt Megarry dan Dean, 1999:12-14 menyatakan, guru sebagai pendidik profesional wajib mengembangkan dan memanfaatkan kemampuan profesionalnya, sehingga dapat meningkatkan kinerja dalam melaksanakan tugas dan fungsionalnya, karena “pendidikan masa datang menuntut keterampilan profesi pendidikan yang berkualitas. Sementara itu Surya, 2000:4 menyatakan dalam tingkatan operasional, guru merupakan penentu keberhasilan pendidikan melalui kinerjanya pada tingkat institusional, instruksional, dan eksperiensial. Lebih lanjut Depdikbud, 1994:63 menyatakan “guru merupakan SDM yang mampu mendayagunakan faktor-faktor lainnya sehingga tercipta PBM yang bermutu dan menjadi faktor utama yang menentukan mutu pendidikan. Guru harus terdidik dan terlatih secara akademik dan profesional serta mendapat pengakuan formal sebagaimana mestinya dan profesi mengajar harus memiliki status profesi yang membutuhkan pengembangan (Tilaar, 2001:142). Menurut Lengkanawati, 2006: 10 menyatakan program sertifikasi terhadap guru akan menjadi kontrol yang mendorong para penyelenggara pendidikan untuk meningkatkan profesionalismenya dan memberikan layanan maksimal kepada para stakeholders. Menurut Raths sebagaimana dikutip Sukmadinata, 2002:192, mengemukakan bahwa untuk menjadi guru yang profesional dan berkualitas harus memiliki 12 kemampuan. Kemampuan itu adalah: (1).Explaining, informing, showing how, (2).Initiating, directing, administering,(3).Unifying the group, (4) Giving security, (5) Clarifying attitudes, beliefs, problems, (6) Dagnosing learning problems, (7) Making curriculum materials, (8) Evaluating, recording, reporting, (9) Enrichment community activities, (10) Organizing and arranging classroom, (11) participating in professional and civic life, and (12) Participating in school activities. Ke 12 kemampuan tersebut sebaiknya dapat diterapkan oleh para guru untuk menuju profesionalisme. Guru yang profesional harus selalu kreatif dan produktif dalam melakukan inovasi pendidikan untuk meningkatkan kualitas pendidikan (Danumihardja, 2001:39). Peningkatan Kinerja Sebuah Keharusan Peningkatan motivasi kerja guru dalam melaksanakan tugas-tugas pendidikan dalam organisasi pendidikan sangat penting dilakukan oleh manajer pendidikan. Sweeney and McFarlin, 2002:83, menyimpulkan bahwa motivasi merupakan “The Big Issue, … the most important issue in organizational behavior”. Dalam konteks manajemen personalia, Deesler,1993:19, menyebut motivasi sebagai “isu sentral dalam manajemen”. Namun kenyataan menunjukkan bahwa kondisi kerja para guru, baik sifatnya fisik maupun non fisik masih belum memberikan derajat kepuasan kerja sehingga mempengaruhi kinerja guru. Kondisi kerja berupa kelas bocor, lantai pecah, kekurangan alat bantu, iklim hubungan guru kurang baik, dan sebagainya merupakan faktor yang mempengaruhi kinerja dan kepuasaan kerja guru. Kinerja guru tidak hanya ditunjukkan berupa hasil kerja, akan tetapi termasuk perilaku kerja. Menurut Murphy dan Cleveland, 1991:92, menyatakan bahwa: “Job Performance should be defined in term of behavior or in term of the results of behavior”. Dipertegas oleh Stoner dan Wankel, 1993:159, bahwa kinerja merupakan hasil kerja secara nyata yang ditunjukkan oleh individu. Lembaga Administrasi Negara, 1993:3, menyebut performansi sebagai kinerja yaitu gambaran tentang tingkat pencapaian pelaksanaan suatu kegiatan dalam mewujudkan sasaran. Harley sebagaimana dikutip Siagian, 1996:14, menyebut kinerja sebagai upaya yang dilakukan dalam menyelesaikan pekerjaan untuk menghasilkan keluaran dalam periode tertentu. Pendidikan bermutu memiliki kaitan ke depan (forward linkage) dan kaitan ke belakang (backward linkage). Forward linkage diartikan bahwa pendidikan bermutu merupakan syarat utama untuk mewujudkan kehidupan bangsa yang maju, modern, dan sejahtera. Backward linkage berarti bahwa pendidikan yang bermutu tergantung pada keberadaan guru yang bermutu, guru yang profesional, sejahtera, dan bermartabat. Danim, 2002, mengungkapkan bahwa salah satu ciri krisis pendidikan di Indonesia adalah guru belum mampu menunjukkan kinerja (work performance) yang memadai. Kinerja guru belum sepenuhnya didukung derajat penguasaan kompetensi yang memadai dan apabila masalah tersebut tidak diatasi akan berakibat pada rendahnya mutu pendidikan. Banyak para ahli menyatakan, kepuasan kerja ditentukan oleh tiga faktor, yaitu gaji yang sesuai, adanya kebebasan berpikir dan mengekspresikan kreativitasnya, serta penghargaan atas pekerjaan yang dilakukan. Kondisi kerja yang baik akan membuat guru diterima dan nyaman dalam bekerja sehingga guru bekerja sukarela dan tanpa paksaan. Sebagai pembanding, National Board for Professional Teaching Standards (2002) telah merumuskan standar kompetensi terhadap guru di Amerika yang menjadi dasar bagi guru untuk mendapatkan sertifikasi guru, dengan rumusan “What Teachers Should Know and Be Able To Do”. Di dalamnya memuat lima proposisi utama yaitu (1), Guru harus berkomitmen terhadap siswa dan pembelajarannya, (2), Guru harus tahu mata pelajaran yang diajarkan dan bagaimana mengajarnya kepada siswa, (3), Guru harus bertanggung jawab untuk mengelola dan memantau pembelajaran siswanya, (4). Guru harus berpikir secara sistematis tentang praktek pembelajaran dan belajar dari pengalaman, serta (5), Guru harus menjadi anggota komunitas pembelajar. Banyak hasil penelitian menunjukkan bahwa kepemimpinan pendidikan memerlukan perhatian yang utama. Sebab melalui kepemimpinan yang baik diharapkan akan lahir tenaga-tenaga berkualitas dalam berbagai bidang sebagai pemikir, pekerja yang pada akhirnya dapat meningkatkan SDM berkualitas. Kepala Sekolah sebagai sosok pimpinan yang mendapatkan tugas tambahan kepemimpinannya akan sangat berpengaruh menentukan kemajuan sekolah. Seorang Kepala Sekolah juga tidak lepas dari adanya penilaian dari para guru di organisasi sekolah, karena sebagai tokoh panutan tidak: hanya sebagai penganjur saja, melainkan harus dapat juga memberi contoh dan bimbingan dalam pelaksanaannya. Kepuasan kerja terhadap guru sebagai pendidik diperlukan untuk meningkatkan kinerjanya. Kepuasan kerja berkenaan dengan kesesuaian antara harapan seseorang dengan imbalan yang disediakan. Karena itu peningkatan peningkatan kinerja guru sangat urgen dilakukan dan perlu mendapatkan penelusuran yang lebih mendalam. Guru berkinerja adalah guru profesional yang secara terus menerus mengembangkan profesionalismenya. Melaksanakan tugas profesional, melakukan penelitian, publikasi ilmiah ataupun membuat karya-karya inovatif merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kinerja guru. Evaluasi Kinerja Guru Profesional Guru sebagai pemegang sertifikat apabila sudah lulus sertifikasi dalam piagam sertifikat guru sudah jelas tertera ada kata/kalimat “ guru profesional”. Para dosen-dosen Lembaga Pendidikan dan Tenaga Keppendidikan (LPTK) Perguruan Tinggi Negeri ditunjuk oleh Pemerintah (Kemdikbud) untuk melakukan sertifikasi guru. Namun pada prakteknya sering materi Diklat yang diberikan oleh assesor ataupun dosen tidak sinkron dengan profesionalisme guru ketika mereka kembali bertugas ke tempat masing-masing. Fakta-fakta menunjukkan misalnya saja adalah Penelitian Tindakan Kelas (PTK) atau menyusun Karya Tulis Ilmiah (KTI) pada materi Diklat Pendidikan Latihan Profesi Guru (PLPG). Diduga meskipun guru sudah 3 tahun mendapatkan tunjangan sertifikasi 1 (satu) karya tulispun belum ada dihasilkan oleh guru yang sudah mendapatkan sertifikat pendidik itu. Perlu dipertanyakan kembali terhadap dosen LPTK dan Panitia penyelenggara Sertifikasi Guru (Sergur) mengapa sampai 3 (tiga) tahun guru tersebut tidak mampu menunjukkan kinerjanya?. Akhirnya guru yang telah menerima sertifikat pendidik pada kenyataanya memunculkan dampak positif dan negatif. Efek positif terlihat dari tanggungjawab guru untuk meningkatkan profesionalismenya sesuai bidang keahliannya terhadap aktifitas pembelajaran baik untuk guru itu sendiri maupun untuk peserta didik. Dampak negatif terlihat pada penurunan aktifitas pembelajaran yang seharusnya dilaksanakan. Rasa telah memiliki sertifikat beserta tunjangan profesional yang diberikan pemerintah dianggap merupakan puncak pencapaian kinerja sehingga tanpa peningkatan apapun mereka sudah mendapatkannya. Kondisi ini menyebabkan tidak ada perubahan bahkan kemungkinan terjadi penurunan kinerja bila dibandingkan antara sebelum dan setelah menerima sertifikat. Agar tidak terjadi dampak negatif, maka perlu dilaksanakan penilaian berkelanjutan atau resertifikasi bagi guru profesional sebagai wujud nyata penjaminan mutu guru profesional. Menurut Setya Raharjo, dkk, 2008, tentang kinerja guru profesional menyatakan dampak negatifnya menemukan bahwa: (1) upaya atau aktivitas guru yang telah lulus sertifikasi dan telah menerima tunjangan profesi dalam rangka mengembangkan dirinya melalui mengikuti diklat, mengikuti forum ilmiah belum menunjukkan upaya yang cukup menggembirakan. Meskipun ada sebagian guru dengan gigih mencari informasi diklat atau forum ilmiah yang mungkin diikuti. Sebagian besar guru masih belum aktif mengikuti diklat dan forum ilmiah baik yang dibiayai oleh sekolah atau pemerintah maupun dengan biaya sendiri, (2) upaya atau aktivitas guru pasca lulus sertifikasi untuk meningkatkan kemampuan akademik yang banyak dilakukan oleh sebagian besar guru adalah membimbing siswa mengikuti lomba atau olimpiade, sedangkan aktivitas yang lain masih perlu perhatian secara serius, antara lain penulisan karya tulis ilmiah dan kursus Bahasa Inggris, dan (3) upaya atau aktivitas guru untuk mengembangkan profesi yang banyak ditekuni oleh sebagian guru adalah membuat modul dan membuat media pembelajaran, sedangkan yang berkenaan dengan penulisan artikel, penelitian, membuat karya seni/teknologi, menulis soal Ujian Nasional (UN), serta mereview buku baru dilakukan oleh sebagian kecil guru. Kurnas 2013 Guru Bersertifikat “Bingung” Pembaharuan sistem pendidikan, termasuk di dalamnya pembaharuan kurikulum sering disikapi sebagai akibat dari perubahan sistem politik. Berbagai kepentingan masuk di dalamnya yang menimbulkan lebih banyak ”penolakan” terhadap adanya perubahan terhadap Kurikulum Nasional (2013). Menurut Fullan (2001) ”The New Meaning of Educational Charge” mengatakan bahwa akan timbul perbedaan persepsi antara pemegang kebijakan dan pelaku kebijakan untuk setiap perubahan pada sektor pendidikan. Sedangkan dari sisi pemegang kebijakan, terdapat asumsi dasar bahwa guru cenderung kurang menyukai adanya perubahan. Mereka juga meyakini bahwa umumnya pemegang kebijakan kurang memahami kenyataan-kenyataan yang terjadi pada saat dilaksanakannya proses pembelajaran. Kurnas 2013 resmi diberlakukan pada jenjang SD kelas I dan IV, SMP kelas VII dan SMA/K kelas X. Triliyunan rupiah dana dialokasikan oleh pemerintah untuk pelaksanaan Kurnas 2013 itu. Mulai sosialisasi, pengadaan buku, diklat kurikulm mengaji instruktur hingga biaya-biaya akomodasi hingga biaya-biaya hotel dialokasikan oleh pemerintah. Meski demikian hingga kini guru masih kebingungan melaksanakan Kurnas 2013 itu. Menurut Bennie dan Newstead, 1999, menguraikan beberapa faktor yang menyebabkan timbulnya kendala dalam implementasi kebijakan pendidikan terutama dikaitkan dengan kurikulum. Faktor itu antara lain waktu, harapan-harapan dari pihak orangtua, ketidakberadaan bahan pembelajaran termasuk buku-buku pelajaran pada saat implementasi kurikulum yang baru, kekurangjelasan konsep kurikulum dan pengetahuan dikaitkan dengan kuriklum baru tersebut. Charles dan Jones, 1973, menyatakan setiap perubahan pada sektor pendidikan seharusnya diikuti dengan upaya mengamati berbagai bentuk operasional di lapangan sebagai tindak lanjut dan implikasi dari kebijakan perubahan tersebut. Setiap kendala atau hambataan harus segera diantisipasi sebelum menimbulkan masalah yang besar dan kompleks. Ketidakmampuan mengatasi kendala-kendala tersebut akan menyebabkan kegagalan dalam implementasi kebijakan atau perubahan kurikulum KTSP ke Kurnas 2013. Suatu studi menunjukkan bahwa umumnya hambatan yang ditemui dalam implementasi suatu kurikulum adalah kurangnya kompetensi guru-guru. Menurut Hargreaves, 1995, menungkapkan bahwa seringkali terjadi bahwa implementasi suatu kurikulum baru tidak diikuti dengan pengimbangan kemampuan guru dan tindakan bagaimana meningkatkan guru-guru sebagai ujung tombak dalam impelementasi kurikulum tersebut. Bahkan Fennema dan Franke,1992, mendukung pernyataan Hargreaves, bahwa kemampuan baik secara keterampilan dan pengetahuan seorang guru akan mempengaruhi proses pembelajaran di kelas dan menentukan sejauh mana kurikulum baru dapat diterapkan. Studi yang dilakukan oleh Taylor dan Vinjevold, 1999, mengungkapkan bahwa kegagalan implementasi kurikulum disebabkan oleh rendahnya pengetahuan konseptual guru, kurang penguasaan terhadap topik yang diajarkan dan kesalahan interpretasi dari apa yang tertulis dalam dokumen kurikulum. Middleton, 1999, menyatakan berhasil tidaknya implementasi kurikulum yang diperbarui cenderung ditentukan oleh persepsi atau keyakinan yang dimiliki oleh tenaga pengajar atau guru dimana perubahan kurkikulum berkaitan dengan perubahan paradigma pembelajaran. Perubahan paradigma baik langsung atau tidak langsung akan memberikan dampak bagi para guru di mana para guru perlu melakukan penyesuaian pemberlakuan Kurnas 2013. Penyesuaian yang dilakukan kemungkinan akan memberikan ketidaknyamanan lingkungan pembelajaran terhadap guru. Beberapa kasus menunjukkan bahwa para guru akan bersikap mendukung implementasi kurikulum apabila mereka memahami kurikulum baru tersebut secara rasional dan praktikal. Karena itu Bennie dan Newstead, 1999, menyarankan untuk diadakannya penataran terhadap guru secara intensif untuk dapat memahami filosofi dan substansi dari kurikulum yang baru. Agar berhasil, mereka menyarankan untuk cenderung menunda implementasi kurikulum sebelum diperoleh keyakinan secara faktual bahwa para guru benar-benar tahu apa yang semestinya dilakukan dengan kurikulum yang baru itu. Implementasi suatu kurikulum baru memerlukan waktu dalam proses transisinya dan perlu waktu untuk mengetahui apakah kebijakan baru mengenai kurikulum telah menyebabkan adanya perubahan, dapat dievaluasi oleh setidak-tidaknya tiga indikator. Menurut Fullan, 2001, ada tiga indikator yaitu pertama, sejauh mana materi-materi baru atau yang direvisi digunakan oleh guru guru. Kedua, sejauh mana pendekatan-pendekatan pengajaran yang baru telah diterapkan dalam proses kegiatan-kegiatan belajar di kelas. Ketiga, sejauhmana guru guru berkeyakinan bahwa kebijakan berdampak kepada perbaikan mutu dan proses pembelajaran. Ketiga indikator ini secara bersama-sama akan menentukan tercapai tidaknya tujuan-tujuan perubahan pendidikan. Terjadinya perubahan yang cepat di era globalisasi diikuti perubahan dalam dunia pendidikan, yaitu dengan diberlakukannya penggantian KTSP ke Kurikulum 2013. Dengan kondisi disibukkan dengan implementasi Kurikulum 2013 akankah guru berkinerja profesional atau menjalankan Kurikulum 2013 dengan penuh kebingungan?.(***).

Sabtu, 07 September 2013

TANTANGAN POLITIK TAHUN 2014

KONSTELASI POLITIK JELANG PEMILU 2014 Oleh : Nelson Sihaloho Pemilihan Umum 2014 masih sekitar 2,5 tahun lagi. Meski demikian berbagai persiapan yang dilakukan oleh partai politik untuk mendapatkan dukungan dari rakyat sudah mulai digulirkan. Berbagai kasus-kasus yang mencuat terutama dalam pemilihan DPR-RI, DPD, Presiden/Wakil Presiden, Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, Wali Kota/Wakil Wali Kota menjadi suatu pelajaran yang berharga bahwa sistem pelaksanaan demokrasi di Indonesia masih perlu dikaji ulang. Banyaknya partai-partai yang menjadi kontestan Pemilu menandakan bahwa sebagian besar partai-partai politik di Indonesia tidak mampu meraih simpati rakyat khususnya dalam hal dukungan. Semestinya dengan kondisi riil itu partai-partai yang tidak mampu meraih dukungan dari rakyat semestinya tidak diperkenankan lagi mengikuti pemilihan umum. Solusi terbaik terhadap partai-partai yang tidak mampu meraih dukungan dari rakyat adalah melakukan koalisi sehingga jumlah partai konstestan pemilu di Indonesia semakin ramping. Menelisik dari kondisi pemilu tahun 2009 partai-partai besar diprediksikan masih akan mampu mendulang suara secara signifikan. Namun akan terjadi perubahan kekuatan politik pada tahun 2014 dimana akan ada beberapa partai besar sudah mulai kehilangan pengaruh dan citranya di mata rakyat. Segelintir kasus-kasus yang mencuat sekarang ini seperti kasus-kasus korupsi mengakibatkan kondisi partai menjadi “goyang” kehilangan legimitasi dan banyak oknum-oknum pelaku koruptor berlindung dibalik “ketiak” partai penguasa. Para kepala daerah yang melakukan “putar haluan” dengan “menggemgam” partai poitik penguasa dan meninggalkan perahu-perahu politik pendukungnya ketika mencalonkan diri menjadi kepala daerah akan mengalami hambatan dalam memuluskan langkah politiknya menjadi pemenang demokrasi pada tahun 2014 mendatang. Kebudayaan politik sebagaimana kita ketahui adalah memuji kebaikannya sendiri. Masalahnya sekarang seberapa banyak dan faktor apa yang harus tersedia disebuah negara sebelum pranata demokrasi bekerja menyelaraskan tingkahlaku dan pengharapan. Kebudayaan poltik didasarkan pada dua alasan, yaitu pertama, jika kita ingin mengetahui hubungan antara sikap-sikap politik dan non politik dan pola-pola perkembangan kita harus memisahkan kedua faktor tersebut meskipun batas antara keduanya tidak setajam perbedaan terminologi yang akan kita lihat faktanya dilapangan. Kebudayaan politik mengacu pada orientasi politik,sikap terhadap sistem politik dan bagian-bagiannya yang lain serta sikap terhadap peranan kita dalam sistem tersebut. Itulah sebabnya maka muncul fakta-fakta yang berlaku dilapangan bahwa politik bukan pelaksanaan aturan yang menggariskan kehidupan kelompok hal itu adalah administrasi. Politik lebih berhubungan dengan membuat dan mengubah peraturan meliputi, kompetisi, persaingan, siasat antar individu dan kelompok untuk menguasai sumber daya terutama kekuasaan. Pada masyarakat manapun, ada seseorang yang membuat keputusan besar dan final. Keputusan itu mungkin saja bijaksana atau bodoh, beradsarkan pengetahuan yang baik atau tidak, dengan pertimbangan baik atau buruk, pembahasannya mungkin dilakukan di depan umum atau secara tertutup, pada tingkat intelektual tinggi atau rendah. Karena sulit untuk melihat suatu tendensi evolusi yang jelas, dapat diduga bahwa beberapa ungkapan seperti “perkembangan politik” dan “modernisasi politik” tidak banyak artinya. Menguitp pendapat Apter, bahwa “tidak ada gunanya untuk menilai pemerintah atas dasar organisasainya. Negara satu partai misalnya mungkin sangat demokratis. Adanya Mahkamah Agung mungkin tidak menentukan dalam pengembangan tertib hukum, jelas bahwa yang penting adalah isinya, bukan bentuknya,”. Pada bagian lain misalnya diartikan sangat berbeda diberikan kepada “modernisasi politik” dan “pembangunan politik” sebagai suatu gerakan menuju sasaran akhir negara yang dianggap baik dan barangkali tidak terelakkan, dalam masyarakat demokratis, demokrasi multi partai ataupun bentuk negara lainnya. Pendapat Paul Sigmund juga mengatakan, banyak pemimpin nasional melihat pemerintahan yang kuat sebagai satu-satunya jalan untuk mensukseskan pembangunan. Beberapa pernyataan besar tentang kekuatan “partai” dan identitas “bangsa” dengan jelas menggambarkan bahwa tendensi untuk menyatakan seolah-olah merupakan fakta yang sebetulnya tidak lebih dari suatu harapan, suatu aspirasi atau bahkan suatu keinginan yang besar sekali, suatu tendensi yang menurut Riggs disebut “percakapan ganda” atau “double talk”. Persaingan sering menjadi panas mengenai masalah-masalah pembangunan ekonomi yang direncanakan oleh pusat seperti penentuan lokasi ibukota pemekaran baru, kawasan ekonomi khusus serta pembagian kue-kue pembangunan yang “ kurang adil” bahkan Kementrian-kementrian “basah” selalu mendominasi peringkat tertinggi penerima nilai daftar isian anggaran proyek serta adanya kementrian “gersang” dengan jumlah dana anggaran proyek yang minim. Kondis riil inilah yang terjadi sejak dulu bahkan pada pemilu 2014 mendatang berbagai agenda pembangunan akan digulirkan oleh pemerintah namun elit politik sepertinya tidak pernah akan berpihak kepada rakyat. Masalahnya sekarang bagaimana konstelasi poltik jelang Pemilu 2104 mendatang? Bagaimana situasi politik menjelang dilakukanya perhelatan demokrasi pada tahun 2014. Siapakah figur-figur yang kelak akan mencalonkan diri menjadi Presiden dan Wakil Presiden? “Mencederai Demokrasi” Partisipasi politik seseorang tidak hanya dikaitkan dengan penampilan khusus sebuah sistem maupun dengan sistem politik pada tingkatan simbolik tetapi tidak juga terhadap politik aktual. Perlu dicermati bahwa, mereka yang menganggap dirinya berhak untuk ambil bagian juga lebih mungkin percaya bahwa sebuah partisipasi demokratis adalah sistem yang sebenarnya harus dimiliki. Di dalam tiap-tiap negara para responden yang memiliki kompetensi subyektif yang lebih tinggi, lebih mungkin dari pada mereka dengan kompetensi yang lebih rendah untuk melaporkan bahwa berkampanye dalam pemilihan adalah hal yang baik. Apabila ada kesenjangan antara sikap umum terhadap hubungan interpersonal dengan sikap yang lebih khusus terhadap hubungan dengan orang yang menyandang atribut politik memastikan dalam pikiran bahwa individu menaruh simpati dalam politik atau bermusuhan, menunjukkan tidak adanya integrasi struktur sosial dalam sistem politik. Konflik-konflik kepartaian yang terjadi di Indonesia saat ini masih akan tetap berlangsung meskipun jarang menyebabkan terjadinya perpecahan sosial menjadi kelompok-kelompok politik ideologis yang tertutup ada antagonistis. Terjadinya konflik-konflik itu dapat kita analisis melalui kejadian perpecahan partisan diluar partai yang memutuskan hubungan seseorang dari para kolaborator yang potensial. Seperti kampanye dengan perkumpulan-perkumpulan, paguyuban-paguyuban termasuk salah satu bentuk yang mencederai demokrasi. Meskipun belum ada larangan dan sanski tegas atas kampanye terhadap perkumpulan-perkumpulan, paguyuban-paguyuban itu secara tegas telah mampu melampaui prediksi situasi politik yang diciptakan. Di negara ini “mencederai” sistim politik yang telah dibentuk memang sudah lazim bahkan “mencampuradukkan” kegiatan sosial dengan politik. Tameng-tameng dengan agenda sosial sambil berkampanye untuk meminta dukungan dari para kandidat legislatif ataupun eksekutif dengan merapatkan barisan ke tokoh-tokoh ketua perkumpulan dan paguyuban. Menarik untuk dikaji, bagaimana keanggotaan perserikatan sukarela mempengaruhi sikap-sikap politik. Berbagai macam tipe perserikatan dan organisasi yang ada dimasyarakat saat ini bahkan seseorang calon pemimpin akan mengharapkan pengaruh yang besar dari oragansiasi dan perkumpulan-perkumpulan itu. Beberapa perserikatan itu mungkin saja murni sosial, perserikatan lain mungkin berorientasi langsung terhadap bidang politik. Umumnya orang juga menilai bahwa organisasi yang terlibat intens didalam percaturan politik akan mempunyai pengaruh lebih besar terhadap perspektif politik para anggotanya. Untuk melacak pengaruh keanggotaan organisasi berdasarkan sikap politik penting dipertimbangkan sampai sejauh mana individu memainkan peranan aktif didalam organisasi mereka. Organisasi juga memberikan kesempatan kepada mereka untuk berpartisipasi aktif mungkin sama pentingnya terhadap perkembangan kewarganegaraan demokratis seperti halnya organisasi sukarela umumnya. Jika timbul issu yang dipandang penting oleh individu atau jika terjadi ketidakpuasan tertentu yang relatif serius dengan pemerintah, individu akan didodorong untuk memikirkan topik itu dan dengan demikian akan berada dalam tekanan yang lebih tinggi untuk memecahkan inkonsistensi itu untuk membuat sikap dan tingkahlaku senada antara satu dengan yang lain. Intinya inkonsistensi antara sikap dan tingkahlaku berproses sebagai sumber laten atau potensial terhadap pengaruh politk dan kegiatan politik. Kebudayaan juga menegaskan bahwa mengapa issu-issu penting dibidang politik yang tidak dapat dipecahkan sewaktu-waktu dapat instabilitas dalam sebuah sistem politik demokrasi. Keseimbangan antara kegiatan dan sikap pasif dapat dipertahankan apabila issu-issu politik tidak begitu gawat. Jika politik menjadi lebih intens atau tetap intens disebabkan oleh perkara-perkara penting, maka inkonsistensi antara sikap dan tingkahlaku akan menjadi tidak stabil. Namun sejumlah resolusi yang relatif permanen mengenai inkonsistensi cenderung melahirkan sejumlah konsekuensi yang cukup merugikan. Jika tingkahlaku diselaraskan dengan sikap, intensitas pengawasan terhadap kaum elite yang dicoba oleh non elite akan menciptakan ketidakefektifan didalam pemerintahan sekaligus instabilitas. Sebaliknya apabila berubah menentang tingkahlaku-tingkahlaku, akibat perasaan tidak mampu dan ketidakterlibatan melahirkan konsekeuensi yang merusak terhadap kualitas demokratis sistem politik. Pemimpin Berwawasan Global Pemilu 2014 sebenarnya menjadi momentum penting terhadap calon-calon pemimpin yang kelak bertarung pada bursa calon Presiden/Wakil Presiden ataupun para menteri yang kelak dipilih oleh pemimpin terpilih adalah kader-kader berwawasan global. Namun dari sisi kemampuan untuk mendapatkan simpati rakyat tergantung kepada calon pemimpin untuk mematuhi aturan demokrasi. Barangkali masih banyak partai-partai di Indonesia belum mampu memiliki kader yang siap berkompetisi secara global. Bahaya ekonomi global yang menjadi salah satu issu-issu terkini saat ini kelak akan kita hadapi dan harus dipecahkan melalui kemampuan global. Sebenarnya kunci pokok utama ada pada 2 pilar yaitu hubungan luar negeri dan ekonomi global. Secara politik apabila calon presiden terpilih kelak tidak mampu menempatkan calon menteri luar negeri dan Menko Ekonomi Keuangan dan Industri yang memiliki wawasan global dan memiliki hubungan serta pengaruh yang luas maka Indonesia kelak akan tetap menjadi bangsa yang tertinggal dibandingkan dengan bangsa-bangsa lain. Dibutuhkan suatu keberanian dari pemimpin terpilih kelak untuk mengangkat calon-calon menteri-menteri yang sukses membina mitra dan bekerjasama dengan berbagai perusahaan kelas dunia serta memiliki pengaruh yang luas. Para calon menteri luar negeri yang diangkat kelak adalah kader-kader yang telah lama berkutat dalam hubungan diplomatik khususnya yang bermarkas di PBB. Calon Menlu yang bermarkas di PBB itu dinilai oleh berbagai kalangan lebih kompeten serta lebih qualified dalam menjalin hubungan dengan berbagai negara. Prediksi sementara, sederatan calon pemimpin Indonesia yang kelak akan bertarung di bursa calon Presiden adalah Sultan Hamengku Buwono X, Anas Urbaningrum, Aburizal Bakrie, Prabowo Subianto. Sedangkan Megawati Sukarno Putri diprediksikan kelak tidak akan mencalonkan diri lagi mengingat usia dan faktor lainnya. Perlu diwaspadai kader-kader PDIP pada pertarungan pemilihan calon legislatif (Pemilu legislatif) diprediksikan akan mampu meraup suara seperti pada pemilu sebelumnya. Namun akan ada partai besar yang kehilangan pendukung akibat terlilit dan tersandung kasus-kasus. Meskipun banyak para kader-kader partai besar saat ini menjadi Gubernur, Bupati, Wali Kota pada Pemilu 2014 diprediksikan akan terjadi perubahan besar dalam peta kekuatan politik. Calon-calon pemimpin yang terus mengumbar janji-janji politiknya namun tidak pernah direalisasikan kelak akan ditinggalkan rakyat. Salah satu catatan dan torehan manis dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono termasuk salah satu tokoh yang sukses membangun demokrasi di negeri ini. Kesuksesan SBY dalam membangun demokrasi di negeri ini meskipun berkarir di militer ternyata dalam memimpin lebih arif dan bijaksana. Meskipun Susilo Bambang Yudhoyono kelak tidak menjadi presiden di masa mendatang, SBY tetap akan diingat rakyat sebagai pemimpin yang berhasil menanamkan tatanan demokrasi di negeri ini. Suatu langkah maju yang patut ditiru oleh para calon-calon pemimpin yang kelak bertarung di bursa calon presiden dan wakil presiden pada tahun 2014 mendatang. Keberanian SBY untuk melepaskan Sri Mulyani hijrah ke Bank Dunia adalah salah satu diantara sekian banyak alasan untuk mempersiapkan calon-calon pemimpin berwawasan global? Konstelasi politik menjelang Pemilu 2014 memang masih samar-samar, perhelatannya saja belum dimulai termasuk partai-partai pun belum diverifikasi. Meski demikian tidak ada akar rotanpun jadi. (* Penulis tinggal di kota Jambi).

Jumat, 21 Juni 2013

“Learning Based” dan Profesi Guru Abad 21

“Learning Based” dan Profesi Guru Abad 21 Oleh: Nelson Sihaloho Abstrak: Perkembangan dan pendayagunaan teknologi pembelajaran saat ini diarahkan untuk multiakses yang menuntut kemampuan para guru untuk mengimplementasikan kinerja profesionalisme khususnya kompetensi profesionalismenya dalam memberikan layanan pendidikan bermutu kepada anak didik. Teknologi informasi internet, ilmu pengetahuan saat ini dapat di transmisikan pada kecepatan tinggi dimana tuntutan kemampuan dan kesempatan untuk mengakumulasi, mengolah, menganalisis, mensintesa data menjadi informasi, kemudian menjadi ilmu pengetahuan yang bermanfaat sangat penting dalam dunia informasi saat ini. Ilmu pengetahuan yang tersebar dimana-mana bahkan setiap orang akan dengan mudah memperoleh pengetahuan tanpa kesulitan karena diperoleh melalui sarana internet dan media informasi. Distributed intelligence (distributed knowledge), pada akhirnya fungsi guru beralih dari sebuah sumber ilmu pengetahuan menjadi mediator dalam memberikan ilmu pengetahuan kepada anak didik dimana prosesnya berlangsung sepanjang hayat.Maka learning based akan menjadi kunci sukses dalam perkembangan sumber daya manusia dalam mentransfer ilmu pengetahuan apabila dibandingkan dengan teaching based.Peran web, Homepage, Search Engine, CD-ROM akan menjadi alat bantu yang akan mempercepat proses distributed knowledge. Kata kunci: Learning Based, Profesi Guru Abad 21. Pendahuluan Profesionalisme guru saat ini menuntut adanya ksuatu keharusan dalam mengembangkan tiga pilar yaitu learning skills,thinking skills, living skills (Sudjarwadi, dalan Hujair, 2003: 199). Dunia global dan transformasi teknologi kini terus dikembangkan dalam dunia pendidikan. Disatu sisi kemampuan guru untuk mengeoperasionalkan teknologi tinggi juga masih diragukan. Bahkan masih banyak sekolah yang mengandalkan “teknologi usang” dalam proses pembelajaran karena keterbatasan anggaran. Infocus misalnya dirancang untuk mempermudah transfer teknologi pembelajaran terhadap siswa di dalam kelas, namun kenyataan menunjukkan banyak sekolah yang kekurangan sarana infocus bahkan sarana infocus sangat minim. Intinya proses transfer ilmu pengetahuan semakin terhambat diberikan kepada siswa. Jaringan internet yang sering “lelet” dan seringnya listrik padam dan “byar pet” mengakibatkan proses transformasi teknologi pembelajaran khususnya “learning based” semakin sulit diunduh oleh guru maupun siswa. Meski demikian dengan adanya “learning based” semakin mempercepat proses transformasi teknologi khususnya dalam proses belajar mengajar pada satuan tingkat pendidikan. Teknologi “learning based” yang dapat diunduh dalam web, homepage, search engine, CD-ROM akan menjadi alat bantu yang paling strategis dalam mempercepat proses penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi terhadap anak didik. Informasi-informasi mutakhir yang terus dikembangkan oleh para pakar-pakar pendidikan dan teknologi pembelajaran akan lebih mempercepat proses transfer ilmu pengetahuan kepada anak didik. Intinya guru bukan lagi satu-satunya informasi sumber belajar bagi siswa. Adanya kemajuan teknologi tersebut akan menjadi tanda-tanda awal terhadap para guru untuk melakukan reformasi dalam menjalankan tugas profesionalismenya. Implikasinya guru harus berubah dan melakukan reformasi akan tugas prrofesionalismenya sebagai fasilitator yang akan membelajarkan siswa hingga menemukan sesuatu (scientific curiosity), bersikap demokratis serta menjadi profesional yang mandiri dan otonom (Purwanto, http://www.pustekkom.go.id). Sekait dengan itu bahwa proses pembelajaran lebih terfokus pada outcomes competency dan peningkatan relevansi dengan kebutuhan masyarakat (Hujair, 2003:199). Dimana peran guru sejalan dengan era masyarakat madani (civil society) yaitu masyarakat demokratis, plural, taat hukum, menghargai hak asasi manusia. Tuntutan tentang semakin pentingnya uji kompetensi dilakukan terhadap guru secara berkala agar kinerjanya terjamin dan tetap memenuhi syarat profesional juga terus akan dilakukan oleh pemerintah. Sejalan dengan itu peningkatan profesionalisme guru dan tuntutan tentang inovasi dalam pembelajaran juga mutlak dilakukan oleh guru. Upaya peningkatan kualitas guru, seharusnya juga diikuti dengan kesejahteraan yang lebih memadai, tetapi kenyataannya tidak demikian bahkan cenderung menambah beban kerja guru. (Suyanto, 2004) dan pemerintah perlu melihat kembali kemampuan riil yang dimiliki guru untuk melakukan atau mengadopsi setiap inovasi dibidang pendidikan (et.al). Profesi diukur berdasarkan kepentingan dan tingkat kesulitan yang dimiliki. Dalam dunia keprofesian kita mengenal berbagai terminologi kualifikasi profesi yaitu profesi, semi profesi, terampil, tidak terampil, dan quasi profesi. Menurut Gilley dan Eggland (1989) mendefinisikan profesi sebagai bidang usaha manusia berdasarkan pengetahuan, dimana keahlian dan pengalaman pelakunya diperlukan oleh masyarakat. Masalahnya sekarang bagaimana guru mampu berperan aktif dalam mengembangkan based learning dalam menjalankan tugas-tugas profesionalismenya. Bagaimana tantangan profesionalisme guru sesuai dengan tuntutan kompetensi profesionalismenya dikaitkan dengan pengembangan keprofesian berkelanjutan (PKB) dan penilaian kinerja guru (PKG) dan tantangan abad 21?. Tantangan Profesi Guru Diantara beberapa tantangan yang dihadapi oleh guru dalam menjalankan tugas-tugas profesionalismenya adalah perkembangan teknologi khususnya revolusi teknologi informasi. Perkembangan teknologi informasi menyebabkan peranan sekolah sebagai lembaga pendidikan akan mulai bergeser. Wen (2003) mengungkapkan pentingnya mereformasi sistem pendidikan masa depan. Tantangan lain yang dihadapi oleh guru adalah era teknologi informasi dan komunikasi menyebabkan ketidakselarasan pendidikan dengan tuntutan kebutuhan siswa dan masa depan. Penguasaan teknologi informasi dan komunikasi menjadi literasi dasar (di samping baca-tulis-hitung). Sekolah atau pendidikan bukan lagi sebagai satu-satunya pangkalan ilmu pengetahuan, proses pendidikan bergeser dari pendekatan konvensional ke arah multi sumber serta kesenjangan antara school knoledge dan out of school knowledge semakin lebar. Kebutuhan akan informasi juga akan semakin penting dan tantangan dalam profesionalisme guru. Hartono (2000), menyatakan bahwa informasi dapat didefinisikan sebagai hasil pengolahan data dalam suatu bentuk yang lebih berguna dan lebih berarti bagi penerimanya yang mengggambarkan suatu kejadian-kejadian (events) yang nyata (fact) yang digunakan untuk pengambilan keputusan. Apabila dikaitkan dengan lingkungan yang mendorong timbulnya kebutuhan informasi, maka banyak kebutuhan yang dapat dikemukakan. Menurut Katz, Gurevitch dan Haas dalam Yusup (1995) mengemukakan kebutuhan itu antara lain kebutuhan kognitif, afektif, integrasi personal (personal intergrative needs), integrasi sosial (social intergrative needs) serta kebutuhan berkhayal (escapist needs). Rofiq (2006) menyatakan bahwa internet menyediakan berbagai macam informasi, baik informasi ilmiah maupun non ilmiah. Internet dapat disebut sebagai sumber database yang menyediakan beragam koleksi infomasi yang sangat lengkap dan up date. Informasi apapun dapat dengan mudah ditemukan di internet, karena internet merupakan jaringan yang terhubung ke jutaan komputer di seluruh dunia sehingga memungkinkan pertukaran data, berita, dan opini. Perkembangan Iptek yang begitu pesat mengakibatkan kebutuhan manusia akan informasi juga semakin meningkat sehingga dibutuhkan alat teknologi yang mampu menjawab kebutuhan bagi pemakai informasi dan pemakai menuntut kebutuhan informasinya mampu dijawab dengan cara yang mudah, cepat, murah dan relevan. Keinginan itu tidak jarang sulit terwujud, karena dihambat oleh berbagai kendala seperti banjir informasi, informasi yang disajikan tidak sesuai, kandungan informasi yang disajikan tidak relevan, kandungan informasi yang diberikan kurang tepat, atau pun tingkat keakuratan data dan kepercayaan pemakai atas informasi tersebut sangat rendah. Menurut Rowley dalam Hasugian (2000) mengemukakan ada beberapa jenis penelusuran (teknik penelusuran) yang mungkin dilakukan, antara lain penelusuran dengan merawak (browse searching), penelusuran kata kunci (keyword searching) menggunakan satu kata atau lebih, penelusuran frasa, yaitu dengan memasukan frasa dalam kutipan. Hal ini berguna untuk melokalisir frasa yang berisikan kata-kata yang tidak diindeks (stopwords) atau kata-kata umum (common words) serta penelusuran indeks-silang, misalnya menelusur lebih dari satu indeks dalam pernyataan penelusuran tunggal. Guru sebagai tenaga profesional juga dituntut untuk mampu melakukan penelusuran atas apa yang menjadi tugas pokok dan fungsinya. Sebab dengan mengetahui jenis-jenis penelusuran (teknik penelusuran) serta perumusan query yang baik akan menghasilkan panggilan dokumen (recall), kesesuaian (precision) dan relevansi informasi yang cukup bagus serta memudahkan temu balik informasi yang dibutuhkan. Berkenan dengan tantangan profesional yang dihadapi oleh guru, banyak upaya yang bisa dilakukan oleh guru untuk memperkaya bahan-bahan pembelajaran dengan melakukan penelusuran Online melalui jaringan internet. Menurut Chowdury (1997) menyatakan ada sejumlah fasilitas penelusuran yang umum tersedia seperti; Boolean Query Formulation, Proximity Searching, Limiting Searches, Truncation String, Searching Stemming serta format tampilan yang disediakan dari setiap pangkalan data. Boolean Query Formulation merupakan suatu sistem temu balik sebaiknya memberikan perumusan pertanyaan atau permintaan dengan menggunakan operator Boolen AND, OR dan NOT serta menyediakan kolom/ruang untuk penelusuran menggunakan. Fasilitas penelusuran menggunakan atau memperbolehkan pengguna untuk menggabungkan istilah penelusuran pada perintah penelusuran yang diberikan, dengan memberlakukan kondisi tertentu. Proximity Searching adalah merupakan penelusuran kedekatan (Proximity Searching) adalah fitur yang biasa atau yang umum disediakan pada sistem temu balik teks, mencakup pangkalan data terpasang, atau OPAC (Online Public Access Catalog). Tujuan penelusuran kedekatan adalah untuk memperbaiki atau memurnikan pertanyaan penelusuran dengan memperbolehkan penelusur menetapkan dalam hubungan kata-kata yang mana suatu istilah harus terdapat. Fasilitas penelusuran ini memperbolehkan pengguna menentukan apakah dua istilah penelusuran harus terdapat saling berdekatan satu sama lain, apakah satu atau lebih kata terdapat diantara istilah penelusuran, atau apakah istilah penelusuran harus terdapat pada satu ruas, kalimat atau pada suatu paragraf yang sama. Limiting Searches yaitu pangkalan data pada sistem temu balik teks terdiri dari sejumlah ruas field yang berbeda dan juga berisikan informasi yang berbeda. Pengguna dalam merumuskan query-nya harus dapat membatasi penelusuran pada satu atau lebih ruas tertentu. Perangkat lunak temu balik teks biasanya memberikan fasilitas pembatasan penelusuran. Pembatasan penelusuran ini, dikenal juga sebagai penelusuran berdasarkan ruas (field searching). Truncation adalah penelusuran dengan cara truncation (pemenggalan) dimaksudkan untuk memungkinkan suatu penelusuran dipandu atau diarahkan untuk mendapatkan semua bentuk kata yang berbeda, akan tetapi mempunyai akar kata yang sama. String Searching menurut Chowdury (1997) bahwa string searching adalah suatu teknik untuk menemukan satu karakter string yang melekat pada suatu istilah tertentu. Istilah-istilah yang mempunyai karakter string tersebut tidak tersimpan dalam interveted file (file yang terindeks), melainkan hanya tersimpan dalam sequential file (file yang tersusun berdasarkan urutan pemasukan data). Penelusuran string (string searching) tidak didasarkan pada interveted file, akan tetapi mengambil data langsung dari cantuman bibliografis dalam sequential file. Stemming, melakukan penelusuran dengan stemming adalah penelusuran dengan mencari kata dasar, sehingga dengan stemming semua dokumen yang mengandung istilah turunan dari suatu kata dasar akan terpanggil. Secara sederhana, penelusuran dengan stemming akan memanggil atau menemukan semua dokumen yang berisikan istilah turunan dari suatu kata dasar. Sedangkan format tampilan yang disediakan dari setiap pangkalan data bahwa setiap pangkalan data yang memuat informasi-informasi ilmiah berusaha semaksimal mungkin untuk mempublikasikan beragam informasi yang tersimpan dalam databasenya kepada khalayak banyak. Karena itu salah satu cara untuk mempermudah pengguna informasi menemukan kembali informasi sesuai dengan kebutuhan adalah dengan menampilkan format di setiap pangkalan data. Kinerja Profesionalisme Guru Abad 21 Kinerja seseorang akan nampak pada situasi dan kondisi kerja sehari-hari. Aktivitas-aktivitas yang dilakukan oleh seseorang dalam melaksanakan pekerjaannya menggambarkan bagaimana ia berusaha mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Menurut A. Dale Timpe dalam bukunya Performance, dikemukakan bahwa kinerja adalah akumulasi dari tiga elemen yang saling berkaitan yaitu keterampilan, upaya, dan sifat-sifat keadaan eksternal. Keterampilan dasar yang dibawa seseorang ke tempat pekerjaan dapat berupa pengetahuan, kemampuan, kecakapan interpersonal dan kecakapan teknis. Kinerja dalam suatu organisasi dapat dikatakan meningkat jika memenuhi indikator-indikator antara lain kualitas hasil kerja, ketepatan waktu, inisiatif, kecakapan, komunikasi yang baik. Kinerja menunjukan suatu penampilan kerja seorang guru dalam menjalankan peran dan fungsinya dalam suatu lingkungan tertentu termasuk dalam pendidikan. Menurut Sutermeister (1976) produktivitas ditentukan oleh kinerja pegawai dan teknologi, sedangkan kinerja pegawai itu sendiri tergantung pada dua hal yaitu kemampuan dan motivasi. Gibson et al (1995) memberikan gambaran lebih rinci dan komprehensif tentang faktor–faktor yang berpengaruh terhadap performance/kinerja, yaitu variabel individu, variabel organisasi serta variabel psikologis. Zane K. Quible (2005) mengemukakan bahwa berkaitan dengan faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja manyatakan: “basic human traits affect employees’ job related behaviour and performance. These human traits include ability, aptitude, perception, values, interest, emotions, needs and personality”. Faktor yang mempengaruhi pencapaian kinerja adalah faktor kemampuan (ability) dan faktor motivasi (motivation). Ainsworth (2002) mengemukakan model kinerja yang komprehensif, dimana dikatakan bahwa kinerja (performance=P) merupakan fungsi dari kejelasan peran (role clarity = Rc), kompetensi (competence = C), lingkungan (environment = E), nilai (value = V), kesesuaian preferensi (preferences fit = Pf), imbalan (reward =Rw) ditambah umpan balik (feedback = F). Secara matematis model kinerja tersebut dapat diformulasikan menjadi: P = Rc x C x E x V x Pf x Rw + F. Menurut Bransford, (2005) mengungkapkan bahwa dalam melaksanakan tugasnya guru dapat mengembangkan keahlian rutin (routine experts) dan keahlian adaptif (adaptive experts). Perbedaan kedua hal tersebut yakni “Routine experts develop a core competencies that they apply throughout their lives with greater and greater efficiency. Adaptive experts are much more likely to change their core competencies and continually axpand the breadth and depth of their expertise”. Atau terjemahannya adalah “keahlian rutin merupakan keahlian guru dalam melaksanakan tugasnya yang berulang-ulang, semakin ahli seorang guru dalam keahlian ini, maka pekerjaan yang dilakukannya akan makin efisien, sebaliknya keahlian adaptif menunjukan kemampuan untuk melakukan perubahan serta memperluas dan memperdalam keahliannya dalam melaksanakan tugasnya sebagai pendidik/pengajar”. Selain itu saat ini guru juga dituntut untuk berkinerja terukur dan inovatif. Kinerja inovatif guru, yakni kinerja dengan mengembangkan cara baru melalui pengembangan kreatifitas dalam melaksanakan tugas guru dalam pembelajaran. Perlunya kinerja inovatif guru menjadi semakin penting tidak hanya berkaitan dengan berbagai kebijakan pembaharuan pendidikan yang berasal dari atas (top-down), namun yang lebih penting adalah tumbuh dan berkembangnya krativitas guru dan menerapkannya dalam meningkatkan kualitas pembelajaran guna meningkatkan kualitas pendidikan. Wayne Morris (2006) menyatakan pendapatnya “Creative teaching may be defined in two ways: firstly, teaching creatively and secondly, teaching for creativity. Teaching creatively might be described as teachers using imaginative approaches to make learning more interesting, engaging, exciting and effective. Teaching for creativity might best be described as using forms of teaching that are intended to develop students own creative thinking and behaviour. However it would be fair to say that teaching for creativity must involve creative teaching. Teachers cannot develop the creative abilities of their students if their own creative abilities are undiscovered or suppressed”. Terjemahannya adalah bahwa “Untuk menghasilkan output/lulusan yang kreatif diperlukan pengajaran yang kreatif. Oleh karena itu kinerja kreatif/inovatif guru dalam melaksanakan tugasnya jelas akan turut menentukan keberhasilan pelaksanaan setiap program pendidikan/pembelajaran, terlebih lagi dalam situasi perubahan yang sangat cepat, di samping kepemimpinan Kepala Sekolah juga motivasi dari guru sendiri dalam melaksanakan kewajibannya. Kepemimpinan Kepala Sekolah mutlak diperlukan dalam memimpin organisasi bekerja, karena sikap kepemimpinan kepala Sekolah dapat mempengaruhi kinerja guru. Pada akhirnya kelak kinerja guru dapat ditingkatkan dan pencapaian tujuan pendidikan dapat dengan mudah terlaksana, serta terwujudnya manusia cerdas komprehensif dan kompetitif akan dapat benar-benar terwujud sebagai hasil dari suatu proses pendidikan/pembelajaran”. Guru juga dituntut untuk mengembangkan profesinya. Profesi menuntut suatu pengembangan kemampuan dan peningkatan kompetensi sehingga memberikan kontribusi yang signifikan terhadap peninkatan kualitas pendidikan dan pembelajaran di sekolah. Untuk menghadapi berbagai tantangan dan perubahan sebagai akibat dari globalisasi guru dituntut untuk lebih memahami makna pengembangan profesinya. Pengembangan professional (professional development) merupakan pengembangan kemampuan profesional yang akan memberikan kontribusi pada peningkatan kemampuan/kompetensi guru yang pada akhirnya akan berdampak pada makin meningkatnya kualitas pembelajaran. Maggioli, (2004) menyatakan bhwa Professional development can be defined as a career-long process in whch educators fine-tune their teaching to meet student needs artinya pengembangan profesinal guru dapat menjadikan proses pendidikan dan pembelajaran makin meningkat karena kemampuan dan kompetensi guru akan terus berkembang. King dan Newmann dalam Peter Cuttance (2001) berpendapat bahwa dalam upaya meningkatkan proses pembelajaran, pengembangan profesional dapat memberikan kontribusinya melalui hal-hal antara lain improving the knowledge, skill and disposition of individual staff member organised, collective enterprise arising from a strong, school-wide professional community and focused, coherent and sustained staff and student learning. Roland S. Barth (1990) mengemukakan pendapatnya “The crux of teachers’ professional growth, I feel, is the development of a capacity to observe and analyze the consequences for students of different teaching behaviour and materials, and to learn to make continous modification of teaching on the basis of cues student convey”. Intinya learning based dan profesi guru abad 21 menuntut guru untuk lebih memahami tugasnya dengan profesional, melakukan perubahan dalam memberikan layanan pembelajaran dan terus menerus melakukan pengembangan profesi dan inovasi pembelajaran. (* Tulisan ini dihimpun dan disarikan dari berbagai sumber-sumber relevan).