Rabu, 01 Februari 2012
KINERJA GURU BERSERTIFIKASI
MENYOAL KINERJA GURU BERSERTIFIKASI HINGGA "TIDAK NAIK PANGKAT" PULUHAN TAHUN
Oleh : Nelson Sihaloho
Pesimistis memang apabila kita melihat kinerja dan data-data guru saat ini banyak stagnan pada golongan ruang IV/a (Guru Pembina). Meskipun telah lulus sertifikasi jabatan selama 3 tahun telah menerima tunjangan profesi sebesar satu kali dari gaji pokok kinerja guru tidak berubah. Salah satu yang sering menjadi sorotan adalah mengapa bisa seorang guru bisa mentok glongan kepangkatannya antara 7-12 tahun tidak mampu naik pangkat. Padahal dalam Diklat Pendidikan Latihan Profesi Guru (PLPG) telah diajari oleh instruktur/asesor dari Lembaga Penilai Tenaga Pendidik (LPTK) khususnya dosen tentang membuat Penelitian Tindakan Kelas (PTK). Dalam kaitan ini mengapa begitu banyak kuota guru yang lulus sertifikasi itu tidak menunjukkan kinerja yang signifikan? PTK sebagaimana kita ketahui merupakan dasar untuk menyusun karya tulis ilmiah. Bahkan banyak guru meskipun telah lulus sertifikasi dan mendapatkan tunjangan profesi guru perilaku mengajarnya “tidak berubah”.
Penilaian kinerja guru (PKG) sering disebut dengan teacher performance apprasial. Berdasarkan data tahun 2009 sebanyak 569.611 orang guru yang telah memiliki kepangkatan pada golongan ruang IV/a. Saat ini penerapan Permenpan No.16 Tahun2009 tentang Penulisan Karya Tulis Ilmiah, dimulai dari Gol. III/b, agar Guru terbiasa menulis karya tulis ilmiah sedini mungkin. Bahkan Kemendiknas telah merampungkan piranti antiplagiat. Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas) merangkul sejumlah perguruan tinggi untuk membuat piranti lunak antiplagiat.
Pembuatan pirani lunak itu digagas menyusul sejumlah aksi plagiarisme oleh peneliti Indonesia. “Software (antiplagiat) sedang dikembangkan dan akan terus disempurnakan. Laporan terakhir menunjukkan plagiarisme menjerat sejumlah peneliti ternama pada perguruan tinggi besar di Indonesia seperti ITB dan Universitas Parahyangan. Aksi plagiarisme membuat pemerintah dan penyelenggara pendidikan memperketat proses riset maupun pembuatan karya ilmiah.
Dengan kondisi itu semakin susah bagi guru untuk meningkatkan pengembangan profesi berkelanjutan (PPB) sebagaimana diatur dalam Permen PANRB No. 16 Tahun 2009 tentang jabatan fungsional guru dan angka kreditnya. Sesuia dengan Permen PAN RB, Guru merupakan subsistem penting yang memiliki peran strategis dalam meningkatkan proses pembelajaran dan mutu peserta didik. Reformasi pendidikan yang ditandai dengan terbitnya berbagai undang-undang dan peraturan terkait dengan peningkatan mutu pendidikan antara lain, Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Undang-undang Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan serta, Peraturan Pemerintah Nomor 74 tahun 2008 tentang Guru.
Menurut data NUPTK November 2010 terdapat 2.791.204 guru orang guru yang perlu ditingkatkan kompetensi dan profesionalitasnya. Selain itu perlu dilakukan berbagai penyesuaian dalam mereformasi guru, salah satunya adalah dengan diterbitkannya Permennegpan dan RB Nomor 16 tahun 2009 tentang Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya. Peraturan baru ini merupakan pengganti dari Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 84/1993 tentang Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya terdiri 13 Bab dan 47 pasal. Peraturan ini terbit dalam rangka memberi ruang dan mendukung pelaksanaan tugas dan peran guru agar menjadi guru yang professional. Perubahan peraturan ini diharapkan berimplikasi terhadap peningkatan mutu, kreatifitas, dan kinerja guru. Salah satu perubahan mendasar dalam peraturan ini adalah adanya PKG yang sebelumnya lebih bersifat administratif menjadi lebih berorientasi praktis, kuantitatif, dan kualitatif, sehingga diharapkan para guru akan lebih bersemangat untuk meningkatkan kinerja dan profesionalitasnya. Sesuai dengan Permen PAN& RB, Guru harus berlatar belakang pendidikan S1/D4 dan mempunyai Sertifikat Pendidik, Guru mempunyai empat jabatan fungsional yaitu Guru Pertama, Guru Muda, Guru Madya dan Guru Utama. Beban mengajar guru adalah 24 jam – 40 jam tatap muka/minggu atau membimbing 150 konseli/tahun. Guru dinilai kinerjanya secara teratur (setiap tahun) melalui Penilaian Kinerja Guru (PK Guru). Guru wajib mengikuti Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan (PKB) setiap tahun. PKB harus dilaksanakan sejak III/a, dan sejak III/b guru wajib melakukan publikasi ilmiah dan/atau karya inovatif. Untuk naik dari IV/c ke IV/d guru wajib melakukan presentasi ilmiah. Peningkatan karir guru ditentukan PKG dan PKB merupakan satu paket, perolehan angka kredit setiap tahun ditetapkan oleh Tim Penilai, penghargaan angka kredit adalah 125 % (amat baik), 100 % (baik), 75 % (cukup), 50 % (sedang), dan 25 % (kurang). Jumlah angka kredit diperoleh dari unsur utama (Pendidikan, PK Guru, PKB) ≥ 90 % serta unsur penunjang ≤10 %.
Tugas berat guru saat ini memang dihadapkan pada tugas profesionalitasnya dan harus mampu menunjukkan kinerja yang terus menerus baik secara berkelanjutan. PKG saat ini tidak lagi seperti yang sudah-sudah bahkan lebih sulit lagi untuk mencapai jenjang kepangkatan yang lebih tinggi. Namun bagi guru profesional sesulit apapun sistem yang diciptakan apabila memberikan waktu ataupun ruang dan gerak untuk mengembangkan profesi akan bisa naik pangkat dengan tepat waktu.
Penilaian Kinerja Guru
Penilaian Kinerja Guru (PKG) merupakan penilaian dari tiap butir kegiatan tugas utama guru dalam rangka pembinaan karier kepangkatan dan jabatannya. Penilaian kinerja guru sebanyak 14 (empat belas) kompetensi guru pembelajaran dan dilakukan setiap tahun. Untuk guru bimbingan konseling (BK) adalah sebanyak 17 (tujuh belas) kompetensi guru BK/konselor serta pelaksanaan tugas tambahan lain yang relevan dengan fungsi sekolah/madrasah.
PKB merupakan pembaruan secara sadar akan pengetahuan dan peningkatan kompetensi guru sepanjang kehidupan kerjanya, PKB dilakukan terus menerus, PKB berkaitan dengan pengembangan diri dalam rangka peningkatan kinerja dan karir guru serta PKB bagi guru memiliki tujuan umum untuk meningkatkan kualitas layanan pendidikan di sekolah/madrasah dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan.
Karena itu Kemdikbud saat ini dituntut untuk memfasilitasi guru untuk terus memutakhirkan kompetensi yang menjadi tuntutan ke depan berkaitan dengan profesinya, memotivasi guru agar memiliki komitmen melaksanakan tugas pokok dan fungsinya sebagai tenaga profesional serta mengangkat citra, harkat, martabat profesi guru, rasa hormat dan bangga kepada penyandang profesi guru.
Adapun kegiatan PKB yaitu Pengembangan Diri yaitu Diklat Fungsional, Kegiatan Kolektif Guru. Publikasi Ilmiah yaitu presentase pada forum ilmiah, publikasi ilmiah atas hasil penelitian atau gagasan ilmu dibidang pendidikan formal, publikasi buku pelajaran, buku pengayaan dan buku pedoman guru.
Karya inovatif adalah menemukan teknologi tepat guna, menemukan/menciptakan karya seni, membuat/memodifikasi alat pelajaran/ peraga/praktikum serta mengikuti pengembangan penyusunan standar pedoman, soal dan sejenisnya.
Mengacu pada Permen PAN&RB no. 16 tahun 2009 ada dua penilaian yang bisa dilakukan dalam melakukan PKG yaitu formal dan informal. Dibidang formal, pada tahap ini, guru yang bersangkutan bersama koordinator PKB atau Kepala sekolah, menganalisis hasil penilaian kinerjanya dan menetapkan solusi untuk mengatasinya. Guru kemudian diberikan kesempatan selama 4 – 6 minggu sebelum pelaksanaan observasi ulang ke-satu untuk meningkatkan kompetensi-nya secara individu melalui belajar mandiri atau bersama kelompok serta semua hal yang dilakukan guru selama tahap ini harus sesuai dengan recana kegiatan guru yang telah diketahui oleh koordinator PKB.
Sedangkan Informal yaitu apabila guru tidak/belum menunjukkan peningkatan kompetensi pada penilaian/pelaksanaan pengamatan kemajuan ke-satu setelah mengikuti tahap informal, koordinator PKB dapat menentukan proses peningkatan selanjutnya yang harus dilakukan oleh guru yang dinilai.
Berdasarkan pengalaman yang sudah-sudah banyak terjadi kasus tentang pembayaran dana sertifikiasi hingga adanya guru-guru yang menjiplak karya-karya tulis orang lain seperti yang tejadi di Riau sebanyak 1280 orang guru diturunkan pangkatnya oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Suatu hal yang sangat memalukan dan mencoreng “dunia pendidikan” kita mengapa begitu gampangnya guru-guru di Riau itu menjiplak karya orang lain.
Begitu juga dengan guru bersertifikasi yang mengalami penurunan kinerja akan terkena sanksi yaitu tunjangan profesinya ditunda. Penurunan kinerja bisa terlihat dari tingkat absensi atau mengajar kurang dari 40 jam per pekan. Penyesuaian jabatan guru tersebut ditargetkan selesai pada 2013. Meski telah disertifikasi, guru yang tidak memenuhi syarat juga bisa tidak naik pangkat, dilarang mengajar, hingga dipensiundinikan. Pemerintah akan melakukan treatment bagi guru yang mengalami penurunan kinerja. Jika tetap tidak ada perubahan, maka yang bersangkutan tinggal memilih untuk dipindahkan dan dilarang mengajar karena bisa mengganggu atau sebaiknya pensiun dini.
Kompetensi dan profesionalisme guru akan teruji apabila terus mengalami peningkatan kinerja. Kinerja guru erat kaitannya dengan kualitas guru. Pendidik profesional akan menjalankan tugas-tugas profesinya sesuai dengan standar kinerja yang dipersyaratkan. Pekerjaan profesi harus didukung suatu ilmu tertentu secara mendalam yang hanya mungkin didapatkan dari lembaga pendidikan yang sesuai, sehingga kinerjanya didasarkan kepada keilmuan yang dimilikinya yang dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah.
Untuk mewujudkan seorang guru yang professional harus difokuskan pada peningkatan kompetensinya. Kompetensi menurut Lefrancois (1995:5) berpendapat adalah merupakan kapasitas untuk melakukan sesuatu yang dihasilkan dari proses belajar. Richard N. Cowell (1988:95-96) menyatakan bahwa kompetensi dilihat sebagai suatu keterampilan/kemahiran yang bersifat aktif. Cowell (1988:101) mengatakan bahwa kompetensi dikategorikan mulai dari tingkat sederhana atau dasar hingga lebih sulit atau kompleks yang pada gilirannya akan berhubungan dengan proses penyusunan bahan atau pengalaman belajar. Lazimnya adalah penguasan minimal kompetensi dasar, praktik kompetensi dasar serta penambahan penyempurnaan atau pengembangan terhadap kompetensi atau keterampilan.
Tinjau Ulang Pemberain Sertifikat
Para guru yang tidak mampu naik pangkat selama kurun waktu 5 tahun keatas meskipun telah lulus sertifikasdi dalam jabatan perlu ditinjau ulang sertifikat pendidiknya. Asesor LPTK juga harus meneliti semua berkas-berkas para guru mulai dari masa kerja hingga berapa tahun belum naik pangkat.Apabila ada guru yang senior telah lebih dari 10 tahun tidak naik pangkat sudah sewajarnya tidak diberikan lagi sertifikat pendidiknya. Termasuk para kepala sekolah sudah sepatutnya direformasi. Para kepala sekolah yang tidak mampu naik pangkat tepat waktu supaya diganti saja. Bahkan diduga banyak kepala sekolah sudah “enggan” mengajar dan tidak mau lagi masuk kelas namun dana sertifikasi (tunjangan sertifikasi) satu kali gaji pokok terus dimintakan. Padahal menjadi kepala sekolah adalah tugas tambahan. Untuk guru pertama mau naik pangkat ke guru pertama dari III/b ke III/c apabila tidak mampu naik pangkat selama 7 tahun sudah selayaknya tidak dipertahankan. Persoalannya sekarang mengapa banyak guru-guru di Indonesia mentok pada golongan ruang IV/A (guru pembina). Menurut hemat penulis dan berdasarkan penelusuran diberbagai sekolah memang guru-guru umumnya malas mengembangkan profesi berkelanjutan terutama karya pengembangan profesi untuk menulis karya tulis ilmiah (KTI). Namun dengan adanya sertifikasi mereka para guru yang berada pada level IV/A seakan-akan “terlena” dan merasakan “manisnya” menerima tunjangan profesi satu kali dari gaji pokok. Menyikapi hal itu tentu kelak akan ada penilaian dan evaluasi dari pemerintah untuk menilai kinerja guru bersertifikasi. Bila kelak lebih banyak pembohongan atas kinerja guru bersertifikasi sudah selayaknya sertifikat pendidik guru perlu ditinjau ulang. Langkah-langkah antisipatif sebenarnya untuk meningkatkan kinerja guru adalah penyesuaian tunjangan golongan dan kepangkatan.
Semestinya guru yang mampu naik pangkat dari IV/A ke IV/B tunjangan dan penghargaan harus diberikan lebih tinggi. Minimal guru yang mampu mencapai golongan kepangkatan IV/B diberikan tunjangan fungsional Rp. 3.500.000, IV/C Rp. 4.000.0000, IV/D (Guru Utama) Rp.4.500.000 dan IV/E (Guru Utama) Rp.5.000.000 setiap bulan dan dosen juga harus menyesuaikan kepangkatannya bukan gelar dan titelnya. Apabila hal demikian dilakukan akan memberikan spirit terhadap guru untuk terus bersiang secara sehat dalam mengembangkan tugas profesionalnya.
Apabila hal demikian dilakukan akan memberikan penghematan terhadap anggaran keuangan negara. Jutaan guru yang digaji dengan tiap bulan apabila diberikan tunjangan profesi satu kali dari gaji pokok tentunya pemerintah kelimpungan dalam mengalokasikan anggaran. Pemerintah sejak dini harus realistis apakah sudah benar kita menghargai guru sesuai dengan profesionalismenya. Guru profesional adalah guru yang rutin mengembangkan profesinya dengan mengembangkan profesi secara berkelanjutan. Pengembangan profesi melalui karya tulis ilmiah (KTI), penelitian tindakan kelas (PTK) maupun publikasi ilmiah akan menjadi tolok ukur sampai sejauh mana seorang guru mampu mengembangkan profesinya secara berkesinambungan. Perjuangan dan hasil jerih payah guru dalam mengembangkan profesi berkelanjutan ternyata naik pangkat itu lebih sulit dari pelaksanaan sertifikasi. Data dan hasil pengelaman penulis menunjukkan betapa guru-gur saat ini sudah mulai enggan mengembangkan profesi berkelanjutan setelah menerima tunjangan sertifikasi.Artinya “biarlah tidak naik pangkat asal dana sertifikasi terus berjalan lancar meskipun pembayarannya dilakukan triwulan atau semesteran”. Inilah type-type guru yang bukan mengutamakan tugas profesionalismenya tetapi lebih utama adalah mengejar “uangnya”. Padahal dalam sertifikatnya telah tertulis dan tertera “GURU PROFESIONAL”. Sekelumit persoalan yang mendera guru saat ini diberbagai penjuru tanah aiar akhirnya melahirkan guru-guru yang hanya profesional waktu PLPG. Anehnya sudah diajari oleh dosen-dosen LPTK untuk membuat penelitian tindakan kelas (PTK) ternyata dilapangan banyak guru-guru yang tidak mampu melaksanakan PTK sebagai pengembangan profesi berkelanjutan. Ada apa sebenarnya. Benarkah guru-guru tersebut profesional?. Sudaj sewajarnya Departemen Pendidikan dan Kebudayaan untuk mengkaji ulang kinerja Panitia Sertifikasi Guru diseluruh Indonesia. Termasuk para dosen-dosen dan asesor yang ditunjuk adalah kompeten dibidangnya. Semoga ke depan pelaksanaan sertifikasi guru harus lebih mengedepankan prinsip-prinsip keadilan. Guru yang mampu naik pangkat dari IV/B ke atas tidak perlu lagi disertifikasi. Yang perlu disertifikasi adalah guru-guru yang tidak mampu naik pangkat 6 tahun ke atas atau khususnya guru yang banyak mentok pada golongan ruang IV/A. Semoga. (disarikan dan dihimpun dari berbagai sumber).
TULISAN INI TELAH DIMUAT PADA MAJALAH TEGAS
Selasa, 31 Januari 2012
Cara Belajar Abad2 1
Belajar dan Mega Trend Abad 21
Oleh : Nelson Sihaloho
Saat ini banyak tulisan yang membahas tentang cara-cara belajar praktis dalam menghadapi era globalisasi termasuk cara belajar pada era mega trend abad 21. Itulah thinking development (life long learning) yaitu menuju belajar melalui kehidupan kita, belajar dalam organisasi, institusi, asosiasi, jaringan, belajar berfokus pada kebutuhan nyata, belajar dengan seluruh kemampuan otak, belajar bersama, belajar melalui multi media, teknologi, format, dan gaya, belajar langsung dari berpikir, belajar melalui pengajaran/pembelajaran, belajar melalui sistem pendidikan kita yang akan berubah cepat (atau lambat?) untuk membantu belajar sepanjang hayat dan masyarakat belajar serta belajar bagaimana belajar.
Secara konseptual hasil belajar dapat dilihat dari ketrampilan intelektual seperti potensi akademik, fakta, konsep dan prinsip-prinsip. Sedangkan non akademik yaitu problem solving, creative thinking, dicision making, colaboration dan learning how to learn.
Secara tegas bahwa pembelajaran bertujuan untuk meningkatkan pemahaman dan memperbaiki proses belajar, mendorong prakarsa belajar siswa, mempreskripsikan strategi yang optimal, kondisi membelajarkan siswa simultan, memudahkan proses internal yg belajar serta menjadikan Belajar lebih efektif, efisien, dan menarik.
Karena prinsip-prinsip pembelajaran seharusnya merefleksikan tentang apa yang kita ketahui tentang bagaimana terjadinya proses belajar, belajar merupakan proses interaktif dan sistem yang kompleks, pemusatan belajar dapat menjadi luas dan interdisipliner, kurikulum memberi ruang kepada sikap, persepsi, dan kebiasaan mental dalam memfasilitasi belajar, pendekatan pembelajaran lebih berpusat pada siswa serta gunakan pengetahuan dan reasoning yg kompleks lebih bermakna dari pada menghafal informasi. Masalahnya sekarang bagaimana kita menghadapi era teknologi informasi dan komunikasi yang akan dihadapi oleh anak didik serta bagaimana guru mempersiapkan anak didik dalam era global itu.
Pendidikan Era Global
Pendidikan pada era teknologi informasi dan komunikasi akan ditandai dengan berbagai perubahan dimana era teknologi informasi & komunikasi menyebabkan ketidakselarasan pendidikan dengan tuntutan kebutuhan siswa dan masa depan, penguasaan teknologi informasi & komunikasi menjadi literasi dasar (di samping baca-tulis-hitung), sekolah/ pendidikan bukan lagi sebagai satu-satunya pangkalan ilmu pengetahuan, proses pendidikan bergeser dari pendekatan konvensional ke arah multi sumber serta kesenjangan antara school knoledge dan out of school knowledge semakin lebar .
Persoalannya sekarang apakah para guru bisa menjadi manajer pembelajaran dengan menempatkan siswa menjadi klien, sama seperti klien pengacara atau profesi lain ? Apabila kita mempraktikkannya maka kita akan menuju suatu khasanah bahwa kita belajar berbicara dengan berbicara, kita belajar berjalan dengan berjalan, kita belajar menyetir mobil dengan berkendara, kita belajar mengetik dengan mengetik, cara belajar yang paling baik adalah dengan mempraktikkan, memecahkan masalah dengan mempraktikkan memecahkan masalah serta belajar menulis, dengan anda mempraktikan menulis.
Teknologi Pembelajaran
Sebagaimana diketahui bahwa teknologi pembelajaran dapat dilihat sebagai bidang yang mempunyai perhatian khusus terhadap aplikasi, meskipun prinsip dan prosedurnya berdasar pada teori. Kawasan bidang ini telah melalui pergulatan antara pengaruh nilai, penelitian,dan pengalaman praktisi, khususnya pengalaman dengan teknologi yang digunakan dalam pembelajaran. Bidang ini kemudian berkembang tidak hanya berupa pengetahuan teoritik tetapi juga pengetahuan praktis.
Itulah sebabnya setiap kawasan dibentuk oleh landasan penelitian dan teori, nilai dan perspektif yang berlaku serta kemampuan teknologi itu sendiri. Teknologi pembelajaran dipengaruhi oleh teori dari berbagai bidang kajian. Akar teorinya dapat ditemui dalam berbagai disiplin seperti psikologi, rekayasa, komunikasi, ilmu komputer, bisnis, dan pendidikan secara umum.
Teori diterapkan melalui aplikasi model-model perancangan sistem pembelajaran, terutama dengan didukung logika deduktif, penilaian praktek dan pengalaman yang sukses. Hasil-hasil penelitian yang ada tentang desain sistematik dapat mendukung terhadap komponen-komponen proses perancangan.
Penelitian dan teori psikologi yang berkembang pun telah memberikan kontribusi terhadap perancangan, baik yang dikembangkan oleh kelompok aliran psikologi behaviorisme, maupun kognitivisme dan konstruktivisme. Selain itu, sumbangsih teori dan penelitian psikologi tentang motivasi juga berpengaruh terhadap proses perancangan.
Teori dan penelitian tentang Belajar-Mengajar memiliki pengaruh terhadap desain, baik dalam penentuan tugas-tugas belajar, penentuan tujuan pembelajaran, pemilihan metode dan media pembelajaran, penentuan materi pembelajaran dan sebagainya.
Teori komunikasi dan penelitian tentang pesepsi-atensi telah memberikan pengaruh terhadap proses perancangan, seperti dalam tata letak, halaman, desain layar, desain grafis visual. Studi Flemming (1987) menyimpulkan tentang karakteristik-karakteristik persepsi yang relevan untuk perancangan, meliputi pengorganisasian, perbandingan dan kontras, warna kemiripan, nilai dan informasi yang disajikan.
Adapun proses pengembangan bergantung pada prosedur desain, akan tetapi prinsip-prinsip utamanya diturunkan dari hakekat komunikasi dan proses belajar. Pada kawasan pengembangan tidak hanya dipengaruhi oleh teori komunikasi semata, tetapi juga oleh teori pemrosesan visual-audial, berfikir visual, dan estetika.
Teori Shannon dan Weaver (1949) tentang proses penyampaian pesan dari pengirim kepada penerima dengan menggunakan sarana sensorik. Berikutnya, pemikiran Belo tentang Model SMCR (Sender, Massage, Channel, Receiver), dan beberapa teori lainnya dalam bidang komunikasi secara umum telah menjadi landasan dalam proses pengembangan.
Proses pengembangan juga telah dipengaruhi oleh teori berfikir visual, belajar visual dan komunikasi visual. Teori berfikir visual sangat berguna terutama dalam mencari ide untuk perlakuan berfikir visual. Menurut Seels (1993) bahwa berfikir visual merupakan manipulasi bayangan mental dan asosiasi sensor dan emosi. Arnhem (1972) menjelaskan berfikir visual sebagai fikiran kiasan dan di bawah sadar. Berfikir visual menuntut kemampuan mengorganisasi bayangan sekitar unsur-unsur garis, bentuk, warna, tekstur, atau komposisi.
Sementara itu, prinsip-prinsip estetika juga menjadi landasan dalam proses pengembangan. Molenda dan Russel (1993) mengidentifikasi unsur kunci seni yang digunakan dalam perancangan visual, yaitu pengaturan, keseimbangan dan kesatuan. Teori dan penelitian dalam bidang komputer yang dikombinasikan dengan teori-teori lainnya, khususnya dengan teori pembelajaran telah memungkinkan lahirnya berbagai bentuk pembelajaran, seperti pembelajaran jarak jauh yang di dalamnya memerlukan prinsip-prinsip komunikasi umum, prinsip-prinsip desain grafis, prinsip-prinsip belajar interaktif dan teknologi elektronik yang canggih.
Gagasan tentang pemanfaatan media lebih berkonotasi pada aspek-aspek penggunaan, sehingga teori dan penelitian lebih dipusatkan pada hal-hal yang berkenaan dengan pemanfaatan media, terutama mengkaji tentang masalah-masalah seputar penggunaan media secara optimal, kemudian berkembang dengan mencakup pada upaya difusi, karena bagaimana pun disadari bahwa pemanfaatan teknologi sangat bergantung pada proses difusi.
Rogers (1962) mengeksplorasi tentang gejala difusi inovasi. Menurut Rogers, terdapat empat elemen utama yang beroperasi dalam proses difusi, yaitu bentuk atau karakter inovasi itu sendiri, saluran komunikasi yang ada, waktu, dan sistem sosial yang berlaku.
Menuurt studi Havelock (1971) tentang model pengembangan dan penyebaran dan interaksi sosial, lebih menekankan pada usaha-usaha menghubungkan para pemakai dengan sumber pengetahuan baru. Studi Lazarfield (1944) mengungkapkan tentang informasi yang sampai kepada para tokoh yang berpengaruh (opnion leaders), yang pada awalnya berupa transfer informasi sederhana, kemudian informasi itu diteruskan kepada para pengikutnya. Dari berbagai pengalaman kegagalan inovasi teknologi pada skala besar, telah mendorong perlunya perencanaan dan perubahan keorganisasian, administratif dan individu (Cuban, 1986). Sekarang ini muncul perkembangan pengetahuan yang berhubungan dengan cara-cara organisasi beradaptasi dengan tantangan masyarakat modern, dengan segala sistem pemasaran yang baru, teknologi baru dan tuntutan perubahan yang terus menerus, sehingga pada akhirnya menggiring pemanfaatan sebagai implementasi dan institusionalisasi.
Persoalan-persoalan pengelolaan dalam bidang Teknologi Pembelajaran muncul akibat pengaruh aliran perilaku dan berfikir sistematik behaviorisme serta aspek humanisme dalam komunikasi, motivasi, dan produktivitas. Metodologi dan teori pengelolaan telah banyak diaplikasikan pada berbagai bidang pengelolaan sumber dan proyek, termasuk pengelolaan perubahan. Sebagian besar prinsip-prinsip pengelolaan berasal dari manajemen/administrasi bisnis, seperti dalam pengelolaan proyek, pengelolaan sumber dan efektivitas pembiayaan.
Akhir-akhir ini mulai tumbuh perhatian mengenai efektivitas pembiayaan, sehingga kerangka teori ekonomi pun mulai digunakan dalam teknologi pembelajaran, seperti penggunaan teori ekonomi pengelolaan sumber yang dikembangkan oleh Henderson dan Quandt (1980).
Pengelolaan sumber telah lama menjadi masalah utama bagi guru dan petugas perpustakaan media karena keduanya diharapkan sebagai manajer sumber belajar. Sekarang ini konsep sumber lebih mengacu pada pengertian sumber belajar yang lebih luas dan bukan sekedar diartikan sebagai sarana audio-visual, melainkan mencakup pula barang cetak, lingkungan dan nara sumber (Eraut, 1989). Pengelolaan proyek sebagai suatu konsep, pada awalnya diperkenalkan sebagai “cara yang efisien dan efektif dalam menghimpun suatu tim, dimana pengetahuan dan keahlian anggotanya sesuai dengan siatuasi unik dan tuntutan teknis jangka pendek yang ditentukan oleh pemberi kerja”(Rothwell dan Kazanas, 1992).
Kelanjutan dari pengelolaan sumber ini adalan pengelolaan sistem penyampaian, yang berkaitan dengan sarana, seperti perangkat lunak dan keras, dukungan teknis untuk operator dan pemakai, serta karakteristik lain tentang pengoperasian sistem teknologi. Ini merupakan era baru praktek mendahului analisis teoritik tentang model. Komponen terakhir dari masalah pengelolaan adalah pengelolaan informasi. Teori informasi melahirkan suatu landasan yang dapat digunakan untuk memahami dan memprogram komputer. Hal ini berhubungan dengan perancangan dan penggunaan jaringan komputer untuk tranmisi, penerimaan dan penyimpanan informasi. Penerapan teori informasi ini jangkauannya semakin luas, dengan mencakup berbagai bidang kehidupan.
Analisis, asesmen dan penilaian memainkan peranan penting dalam proses desain pembelajaran dan teknologi pembelajaran. Pada awalnya, penilaian sering dihubungkan dengan orientasi behavioristik. Tumbuhnya desain pembelajaran yang beorientasi pada tujuan (tercapainya perubahan perilaku), sehingga memunculkan pengujian dengan menggunakan acuan patokan. Hal ini terjadi pula dalam analisis kebutuhan atau analisis masalah.
Dengan masuknya pandangan kognitivisme dan konstruktivisme dalam desain pembelajaran, telah membawa implikasi terhadap proses analisis kebutuhan dengan cakupan yang lebih luas, yang tidak hanya berfokus pada isi semata, tetapi juga memberikan perhatian pada analisis pembelajar, analisis organisasi dan analisis lingkungan (Richey, 1992; Tessmer dan Harris, 1992). Penilaian dengan paradigma kognitif lebih banyak diorientasikan untuk kepentingan fungsi diagnostik.
Secara khusus, nilai-nilai yang mempengaruhi terhadap perkembangan teknologi pembelajaran, yaitu replikabilitas pembelajaran, individualisasi, efisiensi, penggeneralisasian proses isi lintas, perencanaan terinci, analisis dan spesifikasi, kekuatan visual serta pemanfaatan pembelajaran bermedia.
Konsep paradigma alternatif dalam menemukan pengetahuan baru-baru ini telah menjadi fokus utama dalam berbagai disiplin ilmu. Dalam perpektif ilmiah, paradigma alternatif ini memiliki kecenderungan untuk menerima metodologi penelitian kualitatif, penelitian fenomenologis dan gerakan ke arah psikologi kontruktivis.
Bowers (1988) juga memberikan suatu tantangan yang meragukan bahwa teknologi betul-betul bersifat netral dan dapat dibentuk untuk memenuhi segala tujuan yang diinginkan.
Teknologi pembelajaran juga merasakan pengaruh ini, sebagai contoh Striebel (1991) mengemukakan pendapatnya bahwa komputer bukanlah hanya sekedar bentuk sistem penyampaian, tetapi sebagai suatu lingkungan yang memiliki nilai-nilai tertentu dengan segala kecenderungannya.
Gerakan psikologi konstruktivisme telah mempengaruhi terhadap Teknologi Pembelajaran. Menurut pandangan konstruktivisme bahwa disamping adanya relaitas fisik, namun pengetahuan kita tentang realitas dibangun dari hasil penafsiran pengalaman. Makna atas sesuatu tidak akan terlepas dari orang yang memahaminya. Belajar merupakan suatu rangkaian proses interpretasi berdasarkan pengalaman yang telah ada, interpretasi tersebut kemudian dicocokan pengalaman-pengalaman baru.
Konstruktivisme cenderung mempersoalkan perancangan lingkungan belajar daripada pentahapan kegiatan pembelajaran. Lingkungan belajar ini merupakan konsteks yang kaya, baik berupa landasan pengetahuan, masalah yang otentik, dan perangkat otentik yang digunakan untuk memecahkan masalah.
Ada semacam keengganan terhadap adanya perumusan pengetahuan secara rinci yang harus dikuasai, dan kengganan terhadap simplikasi atau regulasi isi, karena semua proses itu akan meniadakan arti penting konteks yang kaya yang memungkinkan terjadinya transfer.
Perspektif alternatif lain yang mempengaruhi teknologi pembelajaran adalah dari kelompok yang memandang penting atas keunggulan belajar situasional (situated learning). Belajar situasional terjadi bilamana siswa mengerjakan “tugas otentik” dan berlangsung di latar dunia nyata. Belajar semacam ini tidak akan terjadi apabila pengetahuan dan keterampilan tidak diajarkan secara kontekstual”. Bila orang menekankan pada belajar situasional, maka logika kelanjutannya adalah memahami belajar sebagai suatu proses yang aktif, berkesinambungan dan dinilai lebih pada aplikasi daripada sekedar perolehan.
Gerakan teknologi kinerja yang lebih berbasis terapan (Geis, 1986) juga mengajukan perspektif alternatif lain dalam Teknologi Pembelajaran. Para teknololog kinerja cenderung mengidentifikasi kebutuhan bisnis dan tujuan organisasinya daripada tujuan belajar. Teknologi kinerja sebagai suatu pendekatan pemecahan masalah adalah suatu produk dari berbagai pengaruh teori seperti cybernetic, ilmu menajemen, dan ilmu kognitif (Geis, 1986).
Para teknolog kinerja tidak selalu merancang intervensi pembelajaran sebagai suatu solusi dalam memecahkan masalah. Teknolog kinerja akan cenderung memperhatikan peningkatan insentif, desain pekerjaan, pemilihan personil, umpan balik atau alokasi sumber sebagai intervensi.
Filsafat alternatif pun turut mewarnai terhadap perkembangan teknologi pembelajaran. Filsafat alternatif ini berkembang dari kelompok post-modernis (pasca-modern), yang telah melakukan analisis kritis terhadap berbagai landasan keyakinan tradisional dan nilai-nilai dalam bidang Teknologi Pembelajaran. Dalam perspektif post-modern, bahwa teknologi pembelajaran sebagai suatu kiat sekaligus sebagai ilmu. Hlynka (1991) menjelaskan bahwa post-modern adalah suatu cara berfikir yang menjunjung prinsip keanekaragaman, temporal dan kompleks, dari pada bersifat universal, stabil dan sederhana. Banyak implikasi filsafat post-modern untuk praktek dan teori desain sekarang ini, terutama tentang orientasi pemikiran yang menggunakan paradigma desain baru, dan tidak bersandarkan pada model desain yang sistematis. Filsafat post-modern lebih menyenangi pada hal-hal yang bersifat terbuka dan fleksibel, dari pada hal-hal yang tertutup, terstruktur dan kaku (Hlynka, 1991). Kekuatan teknologi pembelajaran memang terletak pada teknologi itu sendiri. Kemajuan dalam teknologi akan banyak merubah hakekat praktek dalam bidang teknologi pembelajaran. Teknologi telah memberikan prospek munculnya stimulus yang realistik, memberikan akses terhadap sejumlah besar informasi dalam waktu yang cepat, menghubungkan informasi dan media dengan cepat, dan dapat menghilangkan jarak antara pengajar dan pembelajar (Hannfin, 1992).
Perancang yang terampil dan kreatif dapat menghasilkan produk pembelajaran yang dapat memberikan keunggulan dalam mengintegrasikan media, menyelenggarakan pengemdalian atas pembelajar yang jumlahnya hampir tidak terbatas serta mendesain kembali untuk kemudian disesuaikan kebutuhan, latar belakang dan lingkungan kerja setiap individu.
Teknologi, disamping berfungsi menyediakan berbagai kemungkinan tersedianya media pembelajaran yang lebih bervariasi, juga dapat mempengaruhi praktek di lapangan dengan digunakannya sarana berbasis komputer dalam mendukung tugas perancangan.
Aplikasi Terus Berkembang
Aplikasi teknologi pembelajaran berkembang sesuai dengan tuntutan dan perubahan. Dalam pendidikan khususnya pembelajaran akan berkembang aplikasi teknologi pembelajaran berbasis modern. Hal itu wajar karena teknologi pembelajaran harus up to date. Meski demikian teknologi aplikasi pembelajaran yang semakin canggih dan modern itu akan menjadikan produk media komputer meraup untung yang sangat besar. Termasuk para penyedia teknologi dan perangkat-perangkat lunaknya juga ikut menikmati keuntungan dan profit pengembangan aplikasi model belajar pada abad 21. Sementara penyedia jaringan listrik (PLN) mendapatkan untung dari sumber daya listrik yang digunakan oleh para konsumen. (dihimpun dan disarikan dari berbagai sumber)
Kreativitas Siswa
Kreativitas Siswa dan Ketrampilan Berpikir
Oleh: Nelson Sihaloho
Kreativitas merupakan suatu bidang kajian yang kompleks dan seringkali menimbulkan berbagai perbedaan maupun pandangan. Banyak para ahli yang mendefenisikan tentang kreativitas. Perbedaan sudut pandang tersebut menjadikan dasar dasar perbedaan dari definisi kreativitas. Definisi kreativitas tergantung pada segi penekanannya, kreativitas dapat didefinisikan kedalam empat jenis dimensi sebagai “ Four P’s Creativity” yaitu dimensi Person, Proses, Press dan Product.
Person mendefenisikan kreativitas sebagai upaya yang berfokus pada individu atau person dari individu yang dapat disebut kreatif. Guilford, 1950 menyatakan “creativity refers to the abilities that are characteristics of creative people”. Hulbeck, 1945 menyatakan “creative action is an imposing of one’s own whole personality on the environment in an unique and characteristic way”. Sedangkan
Guilford menyatakan bahwa kreativitas merupakan kemampuan atau kecakapan yang ada dalam diri seseorang dan terkait engan bakat. Adapun Hulbeck menerangkan bahwa tindakan kreatif muncul dari keunikan keseluruhan kepribadian dalam interaksi dengan lingkungannya. Persoalannya sekarang bagaimana upaya yang dapat dilakukan oleh guru ataupun lembaga pendidikan dalam meningkatkan kreativitas siswa melalui ketrampilan berpikir. Bahkan guru disekolah seringkali mengalami berbagai hambatan dalam mengakomodasi kreativitas siswa. Selain wahana, wadah dan waktu yang tidak memungkinkan dalam mengembangkan kreativitas siswa pihak sekolah dituntut untuk selalu memiliki kesiapan dalam segala hal. Tidak jarang guru Bimbingan dan Konseling (BK) disekolah dalam mengembangkan potensi,bakat, minat anak didik sering tidak mampu mengakomodasi berbagai bentuk penyaluran kreativitas siswa.
Meski demikian ketrampilan berpikir merupakan salah satu alternatif yang harus dikembangkan untuk meningkatkan kreativitas siswa disekolah maupun dalam mempersiapkan anak didik menghadapi event-event penting seperti lomba penelitian ilmiah remaja (LPIR), OSN maupun ISPO.
Pengertian Kreativitas
Kreativitas berasal dari kata sifat creative artinya pandai mencipta. Pengertian yang lebih luas, kreativitas merupakan suatu proses yang tercermin dalam kelancaran, kelenturan (fleksibilitas) dan orisinalitas berpikir. Menurut Komite Penasehat Nasional Pendidikan Kreatif dan Pendidikan Budaya, keativitas merupakan bentuk aktivitas imajinatif yang mampu menghasilkan sesuatu yang bersifat orisinal, murni, dan bermakna (Munandar, 1999). Guilford (1967) menyatakan bahwa kreativitas adalah kemampuan untuk melihat bermacam-macam kemungkinan penyelesaian terhadap suatu masalah. Bentuk pemikiran kreatif masih kurang mendapat perhatian dalam pendidikan, sebab, disekolah yang dilatih adalah penerimaan pengetahuan, ingatan, dan penalaran (berfikir logis).
Hurlock (1992) menjelaskan bahwa kreativitas merupakan proses mental yang dilakukan untuk menghasilkan sesuatu yang baru, berbeda, dan orisinal dan menekankan pada pembuatan sesuatu yang baru dan berbeda. Kreativitas juga tidak selalu menghasilkan sesuatu yang dapat diamati dan dinilai.
Sedangkan Chandra (1994) menyatakan bahwa kreativitas adalah kemampuan mental dan berbagai jenis ketrampilan khas manusia yang dapat melahirkan pengungkapan unik, berbeda, orisinal, sama sekali baru, indah, efisien, tepat sasaran dan tepat guna.
Maslow (dalam Schultz, 1991) menyatakan bahwa kreativitas disamakan dengan daya cipta dan daya khayal naif yang dimiliki anak-anak, suatu cara yang tidak berprasangka, dan langsung melihat kepada hal-hal atau bersikap asertif. Kreativitas merupakan suatu sifat yang akan diharapkan seseorang dari pengaktualisasian diri.
Munandar (1999) menguraikan bahwa kreativitas adalah kemampuan untuk membuat kombinasi baru yang berdasarkan data informasi atau unsur-unsur yang ada. Pengertian kreativitas tidak hanya kemampuan untuk bersikap kritis pada dirinya sendiri melainkan untuk menciptakan hubungan yang baik antara dirinya dengan lingkungan dalam hal material, sosial, dan psikis.
Munadi (1987) memberikan batasan kreativitas sebagai proses berpikir yang membawa seseorang berusaha menemukan metode dan cara baru di dalam memecahkan suatu masalah.
Jawwad (2004) menyatakan bahwa kreativitas adalah kemampuan berpikir untuk meraih hasil-hasil yang variatif dan baru, serta memungkinkan untuk diaplikasikan, baik dalam bidang keilmuan, kesenian, kesusastraan, maupun bidang kehidupan lain yang melimpah.
Ciri Individu Kreatif
Munandar (1999) menyatakan ciri-ciri pribadi kreatif meliputi ciri-ciri aptitude dan non-aptitude. Ciri-ciri aptitude yaitu ciri yang berhubungan dengan kognisi atau proses berpikir. Adapun cirinya adalah keterampilan berpikir lancar, berpikir luwes, berpikir orisinal, terampil memperinci (mengelaborasi), terampil menilai (mengevaluasi).
Sedangkan c iri-ciri non-aptitude merupakan ciri yang lebih berkaitan dengan sikap atau perasaan, motivasi atau dorongan dari dalam untuk berbuat sesuatu. Ciri-cirinya adalah rasa ingin tahu, bersifat imajinatif, merasa tertantang oleh kemajemukan, berani mengambil risiko serta sifat menghargai.
Menurut Guilford (dalam Nursito, 2000) menyatakan bahwa aspek-aspek kreativitas adalah, fluency, fleksibilitas, orisinalitas, elaborasi serta redefinition. Hurlock (1992) mengemukakan kondisi yang mempengaruhi kreativitas adalah waktu , kesempatan menyendiri, dorongan, sarana belajar dan bermain, lingkungan yang merangsang, hubungan orangtua, cara mendidik anak serta kesempatan untuk memperoleh pengetahuan. Menurut Kutner dan Kanto (dalam Rismiati, 2002) menyatakan faktor-faktor yang menimbulkan kreativitas yaitu lingkungan didalam rumah maupun di sekolah yang merangsang belajar kreatif. Pengaturan fisik, konsentrasi serta orangtua dan guru sebagai fasilitator.
Hurlock (1992) menyatakan kondisi yang dapat melemahkan kreativitas adalah pembatasan eksplorasi, pengaturan waktu yang terlalu ketat. Anak menjadi tidak kreatif jika terlalu diatur, dorongan kebersamaan keluarga, membatasi hayalan, penyediaan alat-alat permainan yang sangat terstruktur, sikap orang tua yang konservatif, membatasi hayalan serta orang tua yang terlalu melindungi.
Ketrampilan Berpikir
Keterampilan berpikir yang efektif merupakan suatu karakteristik yang dianggap penting oleh sekolah pada setiap jenjangnya, meskipun keterampilan berpikir jarang diajarkan oleh guru di kelas. Mengajarkan keterampilan berpikir secara eksplisit dan memadukannya dengan materi pembelajaran (kurikulum) dapat membantu para siswa untuk menjadi pemikir yang kritis dan kreatif secara efektif.
Keterampilan berpikir dapat didefinisikan sebagai proses kognitif yang dipecah-pecah ke dalam langkah-langkah nyata yang kemudian digunakan sebagai pedoman berpikir. Satu contoh keterampilan berpikir adalah menarik kesimpulan (inferring), yang didefinisikan sebagai kemampuan untuk menghubungkan berbagai petunjuk (clue) dan fakta atau informasi dengan pengetahuan yang telah dimiliki untuk membuat suatu prediksi hasil akhir yang terumuskan.
Untuk mengajarkan keterampilan berpikir menarik kesimpulan tersebut, pertama-tama proses kognitif inferring harus dipecah ke dalam suatu langkah-langkah. Adapun langkah-langkahnya adalah mengidentifikasi pertanyaan atau fokus kesimpulan yang akan dibuat, mengidentifikasi fakta yang diketahui, mengidentifikasi pengetahuan yang relevan dan telah diketahui sebelumnya serta membuat perumusan prediksi hasil akhir.
Ada tiga istilah berkaitan dengan keterampilan berpikir, yang cukup berbeda, berpikir tingkat tinggi (high level thinking), berpikir kompleks (complex thinking), dan berpikir kritis (critical thinking). Berpikir tingkat tinggi adalah operasi kognitif yang banyak dibutuhkan pada proses-proses berpikir yang terjadi dalam short-term memory. Jika dikaitkan dengan taksonomi Bloom, berpikir tingkat tinggi meliputi evaluasi, sintesis, dan analisis. Berpikir kompleks adalah proses kognitif yang melibatkan banyak tahapan atau bagian-bagian. Berpikir kritis merupakan salah satu jenis berpikir yang konvergen, yaitu menuju ke satu titik. Lawan dari berpikir kritis adalah berpikir kreatif, yaitu jenis berpikir divergen, yang bersifat menyebar dari suatu titik.
Andrew P. Jhonson dalam makalahnya “The Educational Resources Information Center (ERIC), 2002” memberikan contoh 10 keterampilan berpikir kritis dan 8 keterampilan berpikir kreatif beserta kerangka berpikirnya. Yang dimaksud dengan kerangka berpikir adalah suatu representasi dari proses kognitif tertentu yang dipecah ke dalam langkah-langkah spesifik dan digunakan untuk mendukung proses berpikir. Kerangka berpikir tersebut digunakan sebagai petunjuk berpikir bagi siswa ketika mereka mempelajari suatu keterampilan berpikir. Dalam praktiknya, kerangka berpikir tersebut dapat dibuat dalam bentuk poster yang ditempatkan di dalam ruang kelas untuk membantu proses belajar mengajar.
Jika pengajaran keterampilan berpikir kepada siswa belum sampai pada tahap siswa dapat mengerti dan belajar menggunakannya, maka keterampilan berpikir tidak akan banyak bermanfaat. Pembelajaran yang efektif dari suatu keterampilan memiliki empat komponen, yaitu identifikasi komponen-komponen prosedural, instruksi dan pemodelan langsung, latihan terbimbing, dan latihan bebas. Kendalanya pembelajaran di sekolah masih terfokus pada guru, belum student centered dan fokus pendidikan di sekolah lebih pada yang bersifat menghafal/pengetahuan faktual. Keterampilan berpikir sebenarnya merupakan suatu keterampilan yang dapat dipelajari dan diajarkan, baik di sekolah maupun melalui belajar mandiri. Yang perlu diperhatikan dalam pengajaran keterampilan berpikir ini adalah bahwa keterampilan tersebut harus dilakukan melalui latihan yang sesuai dengan tahap perkembangan kognitif anak. Tahapan-tahapannya adalah, Identifikasi komponen-komponen procedural, instruksi dan pemodelan langsung, latihan terbimbing, latihan bebas.
Prinsip-prinsip yang harus diperhatikan dalam pengajaran keterampilan berpikir disekolah adalah bahwa keterampilan berpikir tidak otomatis dimiliki siswa, keterampilan berpikir bukan merupakan hasil langsung dari pengajaran suatu bidang studi, pada kenyataannya siswa jarang melakukan transfer sendiri keterampilan berpikir ini, sehingga perlu adanya latihan terbimbing serta pengajaran keterampilan berpikir memerlukan model pembelajaran yang berpusat kepada siswa (student-centered).
Kreativitas dan Peningkatan Mutu
Sekolah yang mampu meningkatkan kreativitas dam ketrampilan berpikir siswa akan menjadi sekolah bermutu. Sesuai dengan kondisi dan tuntutan maupun perubahan dalam pelayanan pendidikan mutu saat ini harus dikedepankan. Dalam Kamus Indonesia-Inggris kata mutu memiliki arti dalam bahasa Inggris quality artinya taraf atau tingkatan kebaikan atau nilai sesuatu. Jadi mutu berarti kualitas atau nilai kebaikan suatu hal. Menuurt Juran bahwa mutu produk adalah kecocokan penggunaan produk untuk memenuhi kebutuhan dan kepuasan pelanggan. Sedangkan Crosby mendefinisikan mutu adalah conformance to requirement, yaitu sesuai dengan yang disyaratkan atau distandarkan.
Deming mendefinisikan mutu, bahwa mutu adalah kesesuaian dengan kebutuhan pasar.
Feigenbaum mendefinisikan mutu adalah kepuasan pelanggan sepenuhnya.
Menurut Garvin dan Davis menyebutkan bahwa mutu adalah suatu kondisi dinamis yang berhubungan dengan produk, manusia/tenaga kerja, proses dan tugas, serta lingkungan yang memenuhi atau melebihi harapan pelanggan atau konsumen.
Meskipun tidak ada definisi mutu yang diterima secara universal, namun dari kelima definisi diatas terdapat beberapa persamaan. Elemen-elemennya adalah bahwa mutu mencakup usaha memenuhi atau melebihi harapan pelanggan. Mutu mencakup produk, tenaga kerja, proses, dan lingkungan. Mutu merupakan kondisi yang selalu berubah (misalnya apa yang dianggap merupakan mutu saat ini, mungkin dianggap kurang bermutu pada masa mendatang).
Adapun standar-standar mutu ataupun standar produk dan jasa yaitu kesesuaian dengan spesifikasi, kesesuaian dengan tujuan dan manfaat, tanpa cacat (Zero Defects), selalu baik sejak awal. Sedangkan standar pelanggan terdiri dari kepuasan pelanggan, memenuhi kebutuhan pelanggan serta menyenangkan pelanggan.
Belajar dan berpikir merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Proses belajar dapat dianalogikan sebagai keseluruhan perjalanan mencapai satu tujuan. Sementara berpikir merupakan proses perjalanan itu sendiri, kaki mana yang harus dilangkahkan dan ke arah mana kita perlu melangkahkannya. Langkah yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan adalah dengan pola pikir yang kritis. Untuk mendapatkan hasil yang optimal dalam pembelajaranb guru harus lebih fokus untuk melatih siswa. Untuk lebih terfokus guru harus menentukan hal yang ingin anda pelajari, mengumpulkan semua sumber informasi, tanyakan asumsi dsar siswa, membuat pola sederhana atas materi yang dipelajari ,tanyakan pada siswa, kemukakan serta ujilah kemampuan siswa.
Selain itu kurikulum yang dikembangkan saat ini oleh sekolah dituntut untuk merubah pendekatan pembelajaran yang berpusat pada guru (teacher centered learning) menjadi pendekatan pembelajaran yang berpusat pada siswa (student-centered learning). Hal ini sesuai dengan tuntutan dunia masa depan anak yang harus memiliki kecakapan berpikir dan belajar (thinking and learning skils). Kecakapan-kecakapan tersebut diantaranya adalah kecakapan memecahkan masalah (problem solving), berpikir kritis (critical thinking), kolaborasi, dan kecakapan berkomunikasi. Semua kecakapan ini bisa dimiliki oleh siswa apabila guru mampu mengembangkan rencana pembelajaran yang berisi kegiatan-kegiatan yang menantang siswa untuk berpikir kritis dalam memecahkan masalah. Kegiatan yang mendorong siswa untuk bekerja sama dan berkomunikasi harus tampak dalam setiap rencana pembelajaran yang dibuatnya. Selain pendekatan pembelajaran, siswa pun harus diberi kesempatan untuk mengembangkan kecakapannya dalam menguasai teknologi informasi dan komunikasi - khususnya komputer. Literasi ICT adalah suatu kemampuan untuk menggunakan teknologi dalam proses pembelajaran untuk mencapai kecakapan berpikir dan belajar siswa. Kegiatan-kegiatan yang harus disiapkan oleh guru adalah kegiatan yang memberikan kesempatan pada siswa untuk menggunakan teknologi komputer untuk melatih keterampilan berpikir kritisnya dalam memecahkan masalah melalui kolaborasi dan komunikasi dengan teman sejawat, guru-guru, ahli atau orang lain yang memiliki minat yang sama. Aspek lain yang tidak kalau pentingnya adalah Assessmen. Guru harus mampu merancang sistem assessmen yang bersifat kontinyu – on going assessmen - sejak siswa melakukan kegiatan, sedang dan setelah selesai melaksanakan kegiatannya. Assessmen bisa diberikan diantara siswa sebagai feedback, oleh guru dengan rubric yang telah disiapkan atau berdasarkan kinerja serta produk yang mereka hasilkan. Untuk mencapai tujuan di atas, pendekatan pembelajaran yang cukup menantang bagi guru adalah pendekatan pembelajaran berbasis proyek (Project-based learning atau PBL). Di dalam mengembangkan PBL, guru dituntut untuk menyiapkan unit plan, sebagai portfolio guru dalam proses pembelajarannya. Di dalam unit plan, guru harus mengarahkan rencana proyeknya dalam sebuah Kerangka Pertanyaan berdasarkan SK/KD yang ada dalam kurikulum. CFQ atau Curriculum frame Question adalah sebagai alat untuk mengarahkan siswa dalam mengerjakan proyeknya, sehingga sesuai dengan tujuan yang telah direncakan. PBL merupakan salah satu model pembelajaran yang berpusat pada siswa yang diyakini para ahli mampu menyiapkan siswa kita untuk menghadapi dunia kerja di abad ke-21. Menurut hasil survey The Conference Board, Corporate Voices for Working Families, Partnership for 21st Century Skills, dan The Society of Human Resources Management yang dirilis pada tanggal 2 Oktober 2006 : apakah mereka siap untuk bekerja? Kecakapan paling penting untuk bisa sukses bekerja ketika lulus SMA, Etos kerja (80%), Kolaborasi (75%), Komunikasi yang baik (70%), Tanggung jawab Sosial (63%) , Berpikir kritis sertan kemampuan memecahkan masalah (58%). Kelemahan yang dimiliki siswa lulusan SMA ketika mereka diterima kerja, komunikasi menulis (81%), Kepemimpinan (73%), Etos kerja (70%), Berpikir kritis dan memecahkan masalah (70%), dan Pengarahan diri (58%). Kecakapan apa dan objek apa yang sedang tumbuh dalam lima tahun yang akan datang? Berpikir kritis (78%), ICT (77%); Kesehatan dan Kesejahteraan (76%); Kolaborasi (74%), Inovasi (74%) dan tanggung jawab finansial pribadi (72%)
Dari hasil survey di atas menunjukkan bahwa kecakapan-kecakapan yang termasuk dalam Thinking and Learning Skills (problem solving, critical thinking, collaboration, communication) menjadi kecakapan-kecakapan yang sangat penting harus dimiliki oleh siswa agar mampu bersaing dengan siswa negara lain. Semoga. (disarikan dari berbagai sumber).
Langganan:
Postingan (Atom)