Rabu, 17 November 2010

PENDIDIKAN

Teknologi Pendidikan dan Profesionalisme Guru
Oleh : Nelson Sihaloho


Sejarah Perkembangannya
Sebagaimana berdasarkan hasil penelitian para pakar ahli era 1960-an teknologi pendidikan menjadi salah satu kajian yang banyak mendapat perhatian. Awalnya, teknologi pendidikan merupakan kelanjutan perkembangan dari kajian-kajian tentang penggunaan audiovisual, dan program belajar dalam penyelenggaraan pendidikan. Berdasarkan sejarah perkembangannya, istilah teknologi pendidikan mulai digunakan sejak tahun 1963 yang resmi diikrarkan oleh Association of Educational and Communication Technology (AECT) tahun 1977, meskipun kadangkala terjadi pemahaman lain dengan istilah teknologi pembelajaran. Menurut Finn (1965) mengungkapkan bahwa di Inggris dan Kanada lebih lazim digunakan istilah teknologi pendidikan, sedangkan di Amerika Serikat banyak digunakan istilah teknologi pembelajaran. Kedua istilah itu digunakan secara serentak dalam aktivitas yang sama. Berbagai istilah semakin berkembang seperti perkembangan kerangka konsep. Istilah teknologi berasal dari kata “textere” (bahasa Latin) artinya “to weave or construct”, menenun atau membangun. Menurut Saettler (1968) bahwa teknologi tidak selamanya harus menggunakan mesin, akan tetapi merujuk pada setiap kegiatan praktis yang menggunakan ilmu atau pengetahuan tertentu. Artinya teknologi itu merupakan usaha untuk memecahkan masalah manusia (Salisbury, 2002). Romiszowski (1981) menyatakan bahwa teknologi itu berkaitan dengan produk dan proses. Sedangkan Rogers (1986) mempunyai pandangan bahwa teknologi biasanya menyangkut aspek perangkat keras (terdiri dari material atau objek fisik), dan aspek perangkat lunak (terdiri dari informasi yang yang terkandung dalam perangkat keras).
Salisbury (2002) mengungkapkan bahwa teknologi adalah penerapan ilmu atau pengetahuan yang terorganisir secara sistimatis untuk penyelesaian tugas-tugas secara praktis.
Kajian Finn (1960) pada seminar tentang peran teknologi dalam masyarakat berjudul “Technology and the Instructional Process” semakin menunjukkan bahwa penggunaan teknologi pendidikan dengan pendidikan sangat tepat dan wajar. Lumsdaine (1964) dalam Romiszoswki (1981) mengatakan penggunaan istilah teknologi pada pendidikan memiliki keterkaitan dengan konsep produk dan proses. Konsep produk berkaitan dengan perangkat keras atau hasil-hasil produksi yang dimanfaatkan dalam proses pengajaran. Selanjutnya konsep dan prinsip teknologi pembelajaran kemudian diperkaya oleh ahli-ahli bidang Psikologi, seperti Bruner (1966), Gagne (1974), ahli Cybernetic seperti Landa (1976), dan Pask (1976), serta praktisi seperti Gilbert (1969), Horn (1969), serta lembaga-lembaga pendidikan yang memiliki ketertarikan atas pengembangan program pembelajaran. Malcolm Warren (1978) mengungkapkan bahwa diperlukan teknologi untuk mengelola secara efektif pengorganisasian berbagai sumber manusiawi yang disebut oleh Romizowski (1986) dengan “Human resources management technology”.
Terbentuknya Konsep Teknologi Pendidikan
Secara historik, Januszewski (2001) mengungkapkan bahwa tahap awal sebagai pengantar ke arah pengembangan konsep dan istilah teknologi pendidikan dilandasi dan dipertajam oleh tiga faktor. Pertama, engineering (Bern, 1961; Szabo, 1968), kedua science (Finn, 1953; Ely, 1970; Jorgenson, 1981; Saettler, 1990; Shorck, 1990) dan Ketiga, the development of the Audio Visual education movement (Ely, 1963; Ely, 1970; Jorgerson, 1981; Saettler, 1990; Shrock, 1990). Dalam kaitannya dengan engineering, pengkajian diawali dari makna engineering yang menggambarkan kegiatan riset dan pengembangan serta usaha menghasilkan teknologi untuk digunakan secara praktis, yang kebanyakan terdapat di bidang industri. Saettler (1990) menyatakan bahwa Franklin Bobbitt dan W.W. Charters menjadi perintis penggunaan istilah “educational engineering” pada tahun 1920-an, khususnya pada pendekatan yang digunakan untuk pengembangan kurikulum. Istilah yang sama digunakan oleh Munroe (1912) dalam mengikat konsep ilmu managemen dalam setting pendidikan dan educational engineering. Charters (1941) menyatakan bahwa ilmu merupakan dasar dalam pendidikan, dan setiap usaha dalam pendidikan perlu dilandasi oleh kejelasan ilmu yang digunakan.
Menuurt Lange (1969) umumnya penggunaan peralatan pendidikan di kelas digunakan setelah. Perang Dunia ke II. Hoban yang menyelesaikan doktor sebelum Dale di Ohio State University telah menulis buku tentang Visualizing the Curriculum tahun 1937 bersama ayahnya dan Samual Zisman, secara sistematis mereka mengungkapkan hubungan antara bahan ajar secara konkrit dengan proses belajar. Selanjutnya Dale mencoba mendiversifikasi pengalaman belajar di dalam kelas. Buku yang pertama ditulisnya adalah Audio Visual Methods in Teaching (1946), yang menjelaskan ”Cone of Experience” atau kerucut pengalaman sebagaimana populer sampai saat ini. Dalam perkembangan selanjutnya muncul teori komunikasi yang dikembangan Harold Lasswell merupakan awal pijakan dalam mempelajari konsep komunikasi dalam pendidikan. Konsep komunikasi sebagaimana diungkapkan Shannon dan Weaver’s sebagai hasil kajiannya terhadap komunikasi telepon dan teknologi radio menjadi model yang khas yang disebut Mathematical Theory of Communication, dengan komponen-komponennya yang terdiri dari: Information Source, Massage, Transmitter, Signal, Noise Source, Signal Receiver, Reciever, Massage, dan Destination, konsep teori komunikasinya tergolong pada komunikasi linier. David Berlo (1960) yang banyak diilhami model Shannon dan Weaver menghasilkan temuannya Model Komunikasi Sender, Massage, Channel, Receiver (SMCR). Konsepnya banyak memberikan perhatian terhadap adanya Massage (pesan) dan Channel (saluran). Model ini menjadi dasar pengembangan dalam komunikasi audiovisual pada pendidikan. Kajian ahli-ahli psikologi dan sosial psikologi dalam pendidikan berlangsung selama masa dan pasca perang dunia ke II, terutama menjadi fokus kajian di lingkungan pengajaran militer (Lange, 1969). Studi masa itu kebanyakan diwarnai oleh aliran psikologi behavior, sebagai contoh operant behavioral conditioning yang ditemukan BF Skinner (1953). Kemudian berkembang ke arah psikologi kognitif sebagaimana dikembangkan oleh Robert M Gagne (The Conditions of Learning and theory of instruction, 1916). Kajian teaching machine and programmed instruction dilakukan melalui studi science in education (Skinner, 1954; Saettler, 1990), gerakan efisiensi pendidikan (Stolurow, 1961; Dale, 1967), dan kajian kurikulum untuk pengajaran individual (Stolurow, 1961; Dale, 1967; Saettler, 1990). Walaupun teaching machine ini sangat populer dan diawali kajiannya oleh Skinner, akan tetapi E L Thorndike (1912) yang mulai mengembangkan konsep ke arah pemanfaatan teaching machine dan programmed instruction (Dale, 1967; Ely, 1970; Saettler,1990. Empat model program individualized instruction yang sangat populer yang menjadi kajian bidang teknologi pendidikan, yaitu Mastery Learning yang dikembangkan Bloom (1968); Individually Prescribed Instruction (IPI) yang dikembangkan di University of Pittsburg tahun 1964; Personalized System of Instruction (PSI) yang dikembangkan Keller Plan (1968) serta Individually Guided Education (IGE) yang dikembangkan oleh Wisconsin Research and Development tahun 1976. Association of Educational and Communication Technology (AECT) pada tahun 1977 menerbitkan buku The Definition of Educational Technology. Kontribusi terhadap perumusan kembali definisi teknologi pendidikan versi 1972 menjadi versi 1977 sejalan dengan perubahan klasifikasi learning resources. Managemen menjadi pendukung kedua dalam membangun definisi teknologi pendidikan versi 1977. Konsep definisi versi 2004 menyatakan bahwa teknologi pendidikan adalah studi dan praktek yang etis dalam memberi kemudahan belajar dan perbaikan kinerja melalui kreasi, penggunaan, dan pengelolaan proses dan sumber teknologi yang tepat.
Profesionalisme Guru
“Professional” mempunyai makna yang mengacu kepada sebutan tentang orang yang menyandang suatu profesi dan sebutan tentang penampilan seseorang dalam mewujudkan unjuk kerja sesuai dengan profesinya. Dalam RUU Guru (pasal 1 ayat 4) dinyatakan bahwa, “professional adalah kemampuan melakukan pekerjaan sesuai dangan keahlian dan pengabdian diri kepada pihak lain”. “Profesionalisme” adalah sebutan yang mengacu kepada sikap mental dalam bentuk komitmen dari para anggota suatu profesi untuk senantiasa mewujudkan dan meningkatkan kualitas profesionalnya. Lebih konkritnya adalah tentang “profesionalitas” yang identik dengan kualitas sikap para anggota suatu profesi terhadap profesinya serta derajat pengetahuan dan keahlian yang mereka miliki didalam menjalankan tugas-tugasnya. “Profesionalisasi” adalah sutu proses menuju kepada perwujudan dan peningkatan profesi dalam mencapai suatu kriteria yang sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. Kualitas profesi seorang guru harus didukung oleh lima kompetensi.
Menurut Moh. Surya (2007) kualitas profesionalisme didukung oleh lima kompetensi. Kelima kompetensi itu adalah keinginan untuk selalu menampilkan perilaku yang mendekati standar ideal, meningkatkan dan memelihara citra profesi. Keinginan untuk senantiasa mengejar kesempatan pengembangan professional yang dapat meningkatkan dan memperbaiki kualitas penegtahuan dan ketrampilannya. Mengejar kualitas dan cita-cita dalam profesi serta menjalankan secara professional kompetensi guru yaitu kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi professional yang diperoleh melalui pendidikan profesi, pelatihan dan pengalaman professional.
Guru juga harus meningkatkan mutu layanannya kepada siswa sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya. Usaha peningkatan mutu layanan pendidikan dalam era globalisasi memiliki tantangan yang cukup berat. Usaha menghasilkan mutu pendidikan dalam konteks mewujudkan good governance, secara umum kita kenal ada tiga pilar pokok yang mendukung kemampuan suatu bangsa dalam melaksanakan good governance adalah pemerintah (the state), masyarakat (civil society) dan pasar atau dunia usaha. Interaksi dan kemitraan biasanya baru dapat berkembang subur bila ada kepercayaan (trust), transparansi, partisipasi serta tata aturan yang jelas dan pasti.
Menurut Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara ( 2006 ), ada sembilan karakteristik yang dimiliki kepengelolaan dan kepengurusan yang baik (termasuk dalam bidang pendidikan). Karakteristik itu adalah setiap warga negara mempunyai suara dalam formulasi keputusan, baik secara langsung maupun tidak langsung. Kerangka hukum harus adil dan dilaksanakan tanpa pandang bulu. Transparansi dibangun atas dasar kebebasan arus informasi. Lembaga dan proses-proses harus dapat melayani stakeholders. Good governance menjadi pranata kepentingan yang berbeda untuk memperoleh pilihan terbaik bagi kepentingan yang lebih luas, baik dalam hal kebijakan-kebijakan maupun prosedur. Laki-laki mapun perempuan berkesempatan untuk meningkatkan atau menjaga kesejahteraan mereka. Proses dan lembaga menghasilkan sesuai dengan apa yang telah digariskan dengan menggunakan sumber-sumber yang tersedia sebaik mungkin. Pembuat keputusan dalam pemerintahan, sektor swasta dan masyarakat bertanggungjawab kepada publik dan lembaga-lembaga stakeholders serta para pemimpin dan publik harus mempunyai perspektif good governance dan pengembangan manusia yang luas dan jauh ke depan sejalan dengan apa yang diperlukan untuk pembangunan. Dari kesembilan karakteristik tersebut, ada empat ukuran pokok yaitu akuntabilitas, transparansi, fairness (keadilan) dan responsivitas (ketanggapan). Salah satu esensi dari proses pendidikan adalah penyajian informasi. Dalam menyajikan informasi, harus komunikatif dan memiliki makna secara ekonomis menguntungkan, secara teknis memungkinkan dapat dilaksanakan, secara sosial-psikologis dapat diterima sesuai dengan norma dan nilai-nilai yang ada serta sesuai atau sejalan dengan kebijaksanaan /tuntutan perkembangan yang ada. Fakta sejara telah membuktikan dengan berkembangnya komputer dan sistim informasi modern, telah menawarkan pencerahan baru. Revolusi informasi global telah berhasil menyatukan kemampuan komputasi, televisi, radio dan telepon menjadi terintegrasi. Hal ini merupakan hasil dari suatu kombinasi revolusi di bidang komputer personal, transmisi data, lebar pita (bandwitdh), teknologi penyimpanan data (data storage) dan penyampaian data (data access), integrasi multimedia dan jaringan komputer. Konvergensi dari revolusi teknologi tersebut telah menyatukan berbagai media, yaitu suara (voice, audio), video, citra (image), grafik dan teks. Intinya dengan perkembangan teknologi pendidikan guru harus senantiasa meningkatkan profesionalismenya. (* Dihimpun dari berbagai sumber-sumber relevan).

Senin, 15 November 2010

BIMBINGAN KONSELING

Paradigma Pelayanan Konseling dan Tantangan Era Globalisasi
Oleh : Nelson Sihaloho

Pengantar

Era globalisasi saat ini berdampak sangat besar pada seluruh aspek kehidupan masyarakat baik itu aspek ekonomi, sosial kemasyarakatan maupun dunia pendidikanpun terkena efeknya.. Efek yang dialami oleh masyarakat dapat dilihat dari dua sisi yaitu sisi positif dan sisi negatif. Sisi positifnya bias kita amati secara langsung yaitu begitu mudahnya manusia melakukan komunikasi dengan orang lain, bahkan komunikasi ini tidak terbatas oleh ruang dan waktu, manusia semakin mudah dalam melakukan perjalanan baik domestik atau non domestik serta mudah memperoleh informasi dan mengakses informasi.
Disisi lain, era global membawa dampak negatif yang tidak dapat dihindari oleh manusia. Kemudahan manusia mendapatkan informasi dan mengakses informasi memiliki efek pada perilaku manusia itu sendiri. Sebagai perbandingan kontras, dulu manusia sulit untuk mendapatkan informasi dari kawasan lain (luar negeri). Andaikatapun bisa membutuh waktu relatif lama. Pada era sekarang ini manusia bisa menerima berita-berita yang terjadi diseputar kita dengan cepat melalui teknologi tinggi yang dapat diakses melalui jaringan internet seperti hand phone (HP).
Saat ini HP maupun mengakses jaringan internet tidak lagi menjadi barang canggih dan mahal. Bahkan pihak oprator jaringan telekomunikasi seluler berlomba-lomba untuk menawarkan kepada pihak pelanggan dengan segala keunggulan serta kemudahan dalam mengakses informasi melalui jaringan televisi, internet plus HP.
Bahkan setiap sekolah saat ini khususnya yang memiliki jaringan listrik jaringan internet bias diakses dengan mudahnya termasuk ilmu pengetahuan dan teknologi dibidang pendidikan. Guru-guru pun saat ini harus mampu memanfaatkan jaringan internet untuk lebih menggali lebih dalam lagi tentang SDM yang dimilikinya.
Bimbingan dan Konseling merupakan sebuah profesi. Sebagai sebuah profesi dalam melaksanakan program akan terikat dengan kode etik yang dimiliki. Bimbingan dan Konseling yang lahir pada tahun 1975 dengan berdirinya Ikatan Petugas Bimbingan Indonesia (IPBI), mengalami proses perjalanan panjang hingga pada akhirnya pada tahun 2008 muncul Naskah Akademik yang menjadi pedoman pelaksanaan Bimbingan dan Konseling.
Sebagai sebuah profesi yang mandiri, konseling merupakan suatu kegiatan yang hanya bisa dilaksanakan oleh konselor professional dengan memiliki syarat-syarat tertentu. Sosok konselor profesional di sekolah memiliki keunikan tersendiri dimana tugasnya berbeda dengan tugas guru bidang studi. Sosok guru menunjukkan keahlian profesionalnya dengan mempergunakan materi pembelajaran sebagai konteks tugas pelayananannya, sedangkan konselor dengan memberikan layanan bimbingan konseling yang memandirikan tidak mempergunakan materi pembelajaran sebagai konteks layanan.
Kiprah konselor disekolah menggunakan rujukan ”layanan bimbingan dan konseling yang memandirikan”, sesuai dengan tuntutan realisasi diri (self-realization) konseli melalui fasilitasi perkembangan kapasitasnya secara maksimal (capacity development).
Sedangkan seorang guru bidang studi menggunakan mata pelajaran sebagai konteks terapan pelayanannya, menggunakan rujukan normatif ”pembelajaran yang mendidik” dimana terfokus pada pelayanan pendidikan sesuai bakat, minat, dan kebutuhan peserta didik dalam proses pembudayaan sepanjang hayat dalam suasana pendidikan yang bermakna, menyenangkan, dialogis dan dinamis menuju pencapaian tujuan utuh pendidikan.

Tinjauan Empirik

Biro tenaga kerja di Amerika Serikat (2007) memberikan panduan tentang pekerjaan konselor disekolah, “Counselors assist people with personal, family, educational, mental health, and career problems. Their duties vary greatly depending on their occupational specialty, which is determined by the setting in which they work and the population they serve. Educational, vocational, and school counselors provide individuals and groups with career and educational counseling. School counselors assist students of all levels, from elementary school to postsecondary education. They advocate for students and work with other individuals and organizations to promote the academic, career, personal, and social development of children and youth.
School counselors help students evaluate their abilities, interests, talents, and personalities to develop realistic academic and career goals. Counselors use interviews, counseling sessions, interest and aptitude assessment tests, and other methods to evaluate and advise students. They also operate career information centers and career education programs”.
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP 2007) menyatakan bahwa Konseling merupakan pelayanan bantuan kepada peserta didik baik secara perorangan maupun kelompok sehingga mampu mandiri dan berkembang secara optimal dalam bidang pengembangan kehidupan pribadi, social, kegiatan belajar serta perencanaan karir melalui berbagai jenis layanan dan kegiatan pendukung berdasarkan norma-norma yang berlaku.
Adapun landasan pelaksanaan Bimbingan dan Konseling disekolah mengacu pada Undang-undang (UU) No.20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dimana pada pasal 1 butir 6 dikemukakan bahwa Konselor adalah pendidik dan pasal 3 bahwa pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik dan pasal 4 ayat (4) bahwa pendidikan diselenggarakan dengan memberi keteladanan, membangun kemauan, mengembangkan kreativitas peserta didik dalam proses pembelajaran.
Selanjutnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP) pasal 5 sampai dengan 18 tentang standar isi pendidikan dasar dan menenngah.
Menyusul selanjutnya PP Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi (SI) untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah yang memuat pengembangan diri peserta didik dalam struktur kurikulum setiap satuan pendidikan serta Dasar Standarisasi Profesi Konseling yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Tahun 2004 yang memberikan arah pengembangan profesi Konseling disekolah dan diluar sekolah.
Kompetensi profesional konselor dapat dilihat dari aspek pendidikannya. Beberapa pakar dan ahli seperti Rogers (dalam Geldard, 1993) menyatakan bahwa konselor yang baik memiliki tiga kualitas yaitu, congruence, empathy dan unconditional positive regard. Congruence merujuk pada penunjukan diri secara apa adanya (genuine), terintegrasi dan memandang orang secara keseluruhan (whole person). Empati (empathy) merujuk pada pemahaman terhadap apa yang dirasakan dan dipikirkan oleh konseli. Penerimaan tanpa syarat (unconditional positive regard) merujuk pada penerimaan konseli tanpa adanya penilaian (non-judgementally) terhadap nilai-nilai yang dimiliki oleh konseli dan mengakui kelebihan dan kelemahan yang dimiliki oleh konseli.
Ellis (dalam Yeo, 2003) menyatakan bahwa konselor profesional ditunjukkan dengan berbagai kualitas.
Kualitas itu adalah bahwa konselor sungguh-sungguh berminat untuk menolong klien mereka dan berusaha sekuat tenaga merealisasikan minat, tanpa syarat mereka harus memandang klien mereka sebagai pribadi, percaya pada kemampuan terapeutis mereka sendiri, memiliki pengetahuan luas tentang teori dan praktik-praktik konseling, luwes, tidak picik dan terbuka untuk mendapatkan keterampilan-keterampilan baru dan mencobanya.
Selanjutnya adalah mampu menghadapi dan menyelesaikan keruwetan-keruwetan mereka sendiri, tidak cemas, tidak tertekan, tidak bersikap bermusuhan, tidak membiarkan diri mereka sendiri merosot, tidak mengasihani diri atau tidak disiplin, sabar, tekun, dan berusaha keras dalam kegiatan-kegiatan terapeutis mereka, bersikap etis dan bertanggungjawab, menggunakan konseling hampir seutuhnya demi kebaikan klien dan bukan untuk kesenangan pribadi, bertindak secara profesional dan tepat dalam bidang terapeutis, tetapi masih sanggup mempertahankan sikap manusiawi, spontan dan gembira dalam bekerja.
Optimistik, mampu memberi semangat dan memperlihatkan pada klien bahwa apapun kesulitan yang dihadapi klien, mereka dapat berubah, berhasrat untuk menolong semua klien dan dengan besar hati bersedia merujuk orang-orang yang mereka anggap tidak bisa mereka tolong kepada rekan profesi lain. Simpson & Starkey, 2006 menyatakan bahwa ciri-ciri konselor efektif adalah memiliki kemampuan empatik, pemahaman terhadap konseli, memiliki kemampuan kebutuhan emosinya serta responsif terhadap konselinya.
Lebih lanjut Bowman dan Reeves (dalam Karen & Garet, 2006) menyatakan bahwa konselor yang baik, sebaiknya dapat mengembangkan moralitas dan kemampuan berempati sesuai dengan kebutuhan. Hal tersebut akan mengarahkan konselor untuk mampu memamahi dirinya, sehingga dapat terbuka untuk bekerja dengan individu atau masyarakat di sekitarnya.

Perkembangan Teori Konseling

Perkembangan teori konseling saat ini mengalami kemajuan yang cukup pesat terlihat dari hasil-hasil penelitian yang dipublikasikan pada jurnal-jurnal penelitian baik skala nasional maupun internasional. Penelitian yang dipublikasikan di jurnal-jurnal ilmiah seperti America Educational Research Journal (AERJ), American Educational Research Association (AERA), Journal of Counseling & Development American Counseling, ASCA, Profesional School Counseling, Journal of Educational Psychology, American School Counselor Association, American Journal of Educational Research adalah untuk menjawab permasalahan-permasalahan yang terjadi pada dunia bimbingan dan konseling. Fenomena yang terjadi di sekolah saat ini pelayanan bimbingan dan konseling memiliki prospek yang cerah serta merupakan suatu kesempatan emas bagi konselor untuk mengembangkan teori konseling.
Beberapa teori konseling yang popular diantaranya adalah Teori Behavioral, Teori Humanistikdan Teori Gestalt. Teori Behavivioral dikenal dengan nama teori klasik yang dipelopori oleh Bandura, Pavlov, Skinner dimana pendekatannya berasumsi bahwa perilaku manusia merupakan serasngkaian hasil belajar. Meskipun teori ini telah banyak mendapat tentangan dari aliran-aliran baru namun tetap eksis bahkan beberapa ahli melakukan modifikasi atas teori Behavioral tersebut.
Salah satu ahli yang melakukan modifikasi adalah Skinner yang menyatakan bahwa pandangan teori behavioristik terhadap manusia, perilaku organisme bukan merupakan suatu fenomena mental, lebih ditentukan dengan belajar, sikap, kebiasaan dan aspek perkembangan kepribadian, perkembangan kepribadian bersifat deterministik, perbedaan individu karena adanya perbedaan pengalaman. Dualisme seperti pikiran dan tubuh, tubuh dan jiwa bukan merupakan hal yang ilmiah, tidak dapat diperkirakan dan tidak dapat mengatur perilaku manusia serta meskipun perkembangan kepribadian dibatasi oleh sifat genetik, tetapi secara umum lingkungan dimana individu berada mempunyai pengaruh yang sangat besar.
Sedangkan Teori Humanistik dipelopori oleh Abraham Maslow, Rogres, Victor Frankl dimana pendekatan ini muncul karena ketidakcocokan dengan paradigma pendekatan Behavioristik. Ketiga ahli ini secara mendasar mengemukakan teori-teorinya berdasar pada pendekatan humanistic namun dalam pelaksanaan strategi konseling terdapat perbedaan. Menurut mereka kebutuhan manusia terdiri dari kebutuhan biologis dan phisik, kebutuhan rasa aman, kebutuhan untuk memiliki dan mencintai, kebutuhan harga diri serta kebutuhan aktualisasi diri.
Teori humanistik semakin berkembang setelah Rogers mengembangkan teori person centered Therapy, dimana palayanan konseling dipusatkan kepada individu. Pandangan teori Rogerian terhadap manusia adalah bahwa organisme, merupakan keseluruhan individu (the total individual), medan phenomenal, merupakan keseluruhan pengalaman individu (the totally of experience), serta self, merupakan bagian dari medan phenomenal yang terdiferensiasikan dan terdiri dari pola-pola pengamatan dan penillaian sadar dari “I” atau “Me”.
Rogers berpendapat bahwa pribadi yang sehat bukan merupakan keadaan dari ada, melainkan suatu proses, “suatu arah buka suatu tujuan”. Rogers juga menunjukkan bahwa individu yang sehat adalah mereka yang terbuka dengan pengalaman baru (opennes to experience), percaya pada diri sendiri (trust in themselves), mempergunakan sumber-sumber dalam diri untuk melakukan evaluasi (internal source of evaluation) serta keinginan untuk terus tumbuh (willingness to continue growing).
Dalam praktiknya pendekatan Rogerian tidak memiliki strategi khusus dalam menangani masalah konseli. Hal itu bias dibuktikan dengan mellaui praktik konseling, kualitas hubungan antara konselor dan konseli menjadi proritas utama untuk mengentaskan permasalahan konseli. Namun untuk mencapainya seorang konselor harus memiliki sikap genuineness, unconditional positive regard serta empathic understanding.
Teori Gestalt Teori Gestalt diperkenalkan oleh seorang ahli bernama Frederick Perls dimana kata Gestalt dalam bahasa Jeman mempunyai arti bentuk, wujud atau organisasi.
Perkembangan teori Gestalt tidak bisa dilepaskan dari sosok Laura (Lore) Posner (1905-1990) yang merupakan isteri Frederick Perls yang turut mengembangkan teori Gestalt. Sebagaimana diketahui Laura juga seorang pengikut aliran Psikoanalisa, yang kemudian pindah untuk mendalami teori-teori Gestalt. tahun 1926, Laura dan Perls aktif mengembangkan teori Gestalt. Pada tahun 1952, mereka mendirikan New York Institute for Gestalt Therapy.
Teori Gestalt memandang manusia dengan asumsi-asumsi bahwa manusia merupakan suatu komposisi yang menyeluruh (whole) yang diciptakan dari adanya interrelasi bagian-bagian, tidak ada satu bagian tubuh (tubuh, emosi, pemikiran, perhatian, sensasi dan persepsi) yang dapat dipahami tanpa melihat manusia itu secara keseluruhan, seseorang juga merupakan bagian dari lingkungannya dan tidak dapat dipahami dengan memisahkannya. Seseorang memilih bagaimana merespon stimuli eksternal, dia merupakan aktor dalam dunianya dan bukan reaktor, seseorang mempunyai potensi untuk secara penuh menyadari keseluruhan sensasi, pemikiran, emosi dan persepsinya. Seseorang mampu untuk membuat pilihan karena kesadarannya, seseorang mempunyai kemampuan untuk menentukan kehidupan secara efektif, seseorang tidak mengalami masa lalu dan masa yang akan datang; mereka hanya akan dapat mengalami dirinya pada saat ini serta seseorang itu pada dasarnya baik dan bukan buruk.
Menurut teori Gestalt, manusia sehat memiliki ciri-ciri antara lain percaya pada kemampuan sendiri, bertanggungjawab, memiliki kematangan serta memiliki keseimbangan diri.
Dalam praktiknya pendekatan Gestalt mengarahkan konseli untuk secara langsung mengalami masalahnya dari pada hanya sekdar berbicara situasi yang seringkali bersifat abstrak. Konselor berusaha untuk memahami secara langsung bagaimana konseli berpikir, merasakan sesuatu melakukan sesuatu.
Gambaran beberapa teori para ahli diatas menunjukkan bahwa seorang konselor dalam menjalankan tugasnya harus mampu mengubah paradigma bahwa konselor bukanlah polisi sekolah (school policy). Termasuk guru saat ini harus mampu menjadikan dirinya sebagai pelayan pembelajaran sesuai dengan bidang tugasnya. Guru yang telah memperoleh pengakuan Sertifikasi Guru Dalam Jabatan (Sertifikasi Pendidik) harus mengubah paradigma model pembelajarannya kepada siswa dengan konteks pelayanan kepada siswa.
Tugas utama guru adalah mengajar dengan fokus memberikan pelayanan kepada semua siswa. Sedapat mungkin guru harus membuang jauh-jauh model pembelajaran yang monoton dan tidak diperkenankan menekan-nekan siswa ataupun menghambat tugas-tugas perkembangan siswa. Tugas guru sebagai pendidik adalah memberikan pelayanan kepada siswa dimana kelak hasil output (produk) SDM yang dihasilkannya akan dinilai oleh publik. Era global sudah pasti akan berjalan secara alamiah dan paradigma pelayanan Bimbingan Konseling juga demikian. Guru BK harus memberikan pelayanan kepada siswa dalam konteks era global. Teori Konseling juga akan berkembang sesuai dengan perkembangan zaman dan teknologi. Di masa depan akan muncul teori-teori yang lebih revolusioner serta mtakhir termasuk teori revolusi-revolusi belajar baru.

Penulis adalah : Pemerhati bidang Pendidikan tinggal di Kota Jambi, E-mail: sihaloho11@yahoo.com.

PENDIDIKAN

Pentingnya Regularisasi Kompetisi Objektif
Dalam Pendidikan
Oleh : Nelson Sihaloho

Pemerintah saat ini khususnya Departemen Pendidikan Nasional bekerjasama dengan Badan Nasional Standar Pendidikan (BNSP) telah memberlakukan sertifikasi pada guru dan dosen termasuk pemberlakuan standar pelayanan minimal terhadap mutu dan produk pendidikan.
Guru dan Dosen yang telah lulus sertifikasi berhak mendapatkan tunjungan profesi satu kali dari gaji pokok. Selain itu akan membawa konsekuensi terhadap para guru dan dosen bahwa profesinya harus mampu menjawab image bahwa tanda sertifikasi yang disandangnya akan membawa perubahan yang positip bagi peningkatan mutu dan kualitas pendidikan di tanah air.
Kendati demikian diduga hasil out put pendidikan khususnya produk mutu guru dan dosen yang telah menyandang sertifikasi itu belum seluruhnya signifikan membawa perubahan dan peningkatan mutu dan kualitas pendidikan di tanah air.
Selain itu persoalan mendera para guru yang telah menyandang predikat sertifikasi itu diduga tidak mengajar pada kelas akhir, kelas VI (SD/MI), kelas IX (SMP/MTsn) maupun kelas XII (SMA/K) karena didasarkan pada ketakutan akan hasil dan penilaian akhir pada Ujian Nasional (UN).
Sebenarnya regularisasi kompetisi objektif berkaitan erat dengan sertifikasi maupun pelayanan standar minimal (SPM) produk mutu pendidikan termasuk indikator-indikator pendukung lainnya.
Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan (LPMP) sebagai institusi yang akan melakukan beberapa indikator penilaian akhir terhadap mutu pendidikan belum sepenuhnya mampu mengemban misi dan visi regularisasi di bidang pendidikan.
Kendala utama dilapangan soal regularisasi objektif itu mengacu pada belum siapnya sarana maupun sarana pendukung termasuk indikator-indikator penilaian akhir sebagai jaminan akan bermutunya suatu lembaga pendidikan. Mengacu pada fakta dilapangan dengan pemberlakuan sertifikasi guru dan dosen akan mengkotak-kotakkan para guru dan dosen. Ihwal inilah yang tidak dikaji secara lebih objektif oleh Depdiknas, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dikti), Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan dan Menengah (Dirjenmandikdasmen) maupun Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu dan Tenaga Kependidikan (Dirjen PMTK) termasuk BNSP sebagai institusi penilaian standar mutu pendidikan di tanah air.
Persoalannya sekarang bagaimana pelaksanaan regularisasi kompetisi objektif bisa dilakukan secara fair ditanah air melalui sistem alamiah. Sebab fakta dilapangan mengindikasikan masih banyaknya kendala dan kurang pemahaman institusi lembaga pendidikan akan pemberlakuan sertifikasi guru dan dosen termasuk standar pelayanan minimal (SPM). Sekelumit persolan sebagaimana dipaparkan diatas nampaknya membutuhkan suatu terobosan baru pada Tahun 2010 setelah Kabinet Presiden terpilih dilantik.

UN 2009 dan Produk Sertifikasi

Pemberlakuan sertifikasi yang telah dilakukan pada tahun 2006 silam nampaknya belum mampu memberikan kontribusi yang signifikan terhadap peningkatan mutu dan kualitas pendidikan di tanah air.
Fakta-fakta menunjukkan begitu banyaknya guru yang telah diberikan dana tunjangan profesi melalui sertifikasi yang disandangnya tidak bekerja secara maksimal dan hanya mengejar tunjangan profesi.
Untuk tahun 2008/2009 penilaian akhir bagi guru yang menyandang sertifikasi itu akan dapat dipetakan sejauh mana hasil kelulusan siswa dan kenaikan angka UN termasuk hasil perbandingan antara UN 2006/2007, UN2007/2008 dan 2008/2009.
Apabila selama tiga tahun pelajaran itu dilakukan perbandingan kelak pada UN 2009 nilai dan mutu tidak menunjukkan perubahan yang signifikan jelas sertifikasi yang telah disandang oleh para guru tidak relevan dengan peningkatan mutu pendidikan di tanah air. Pada akhirnya regularisasi tidak berjalan sebagaimana mestinya. Sebab inti dari regularisasi berkaitan erat dengan sertifikasi guru dan dosen yaitu kompetisi secara fair yang dilakukan oleh lembaga pemerintah termasuk stake holders.

Guru

Guru sebagai pelaksana dilapangan yang ditugasi menjalankan amanat pendidikan yaitu mengajar sesuai dengan bidang tugas pokok dan fungsinya. Kini, apabila dipetakan semakin banyak guru yang tidak sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya mengajar di sekolah. Ironisnya SK pengangkatan awal pertama kini sudah banyak menyimpang. Artinya tugas pokok dan fungsinya sudah tidak relevan. Persoalannya mengapa pemerintah membiarkan proses penyimpangan itu terjadi didalam dunia pendidikan kita?
Regularisasi objektif terhadap profesi guru saat ini semakin mengerucut karena ratusan ribu tenaga pendidikan ditanah air tidak bisa naik pangkat ke golongan IV/b karena tidak mampu membuat karya tulisa ilmiah, penelitian tindakan kelas (PTK) maupun karya ilmiah pengembangan profesi lainnya. Bagaimana kalau dikaji dengan program sertifikasi layakkah guru tersebut menyandang sertifikasi?
Banyaknya tenaga pendidik yang gagap teknologi akibat dari ketidakpedulian akan tugas dan perubahan zaman. Namun disatu sisi pemerintah khususnya Depdiknas patut dipersalahkan karena sejak awal tidak melakukan pembinaan secara tepat sasaran terhadap pengembangan kemampuan para guru ditanah air.
Itulah sebabnya regularisasi terhadap guru di negara-negara maju terarah dan difokuskan pada perkembangan zaman dan teknologi berbasis global. Negara-negara maju melakukan sistem pembinaan terhadap pendidik mengacu pada konteks global berbasis keunggulan penguasaan teknologi dengan membekali para guru/pendidik dengan perangkat-perangkat teknologi pembelajaran yang up to date.
Di Indonesia malah sebaliknya guru-guru di daerah terpencil diduga ada yang mendapatkan bantuan komputer namun jaringan listriknya tidak tersedia. Maka yang terjadi komputer yang seharusnya memberikan kemudahan bagi guru untuk mengembangkan metode pembelajaran justeru menjadi “barang mati”.
Karena itu guru sebagai agen pembaharuan harus mampu menjadi regularisasi bagi dirinya sendiri bukan selalu melihat keunggulan-keunggulan orang lain namun harus mengembangkan sendiri kemampuannya menjadi pribadi-pribadi yang unggul. Itulah regularisasi yang sesungguhnya sebagai kompetisi bagi guru untuk menilai sampai sejauhmana kemampuannya dalam menyikapi perkembangan IPTEK khususnya dalam pendidikan.

Siswa dan Kompetisi

Siswa sebagai insan yang membutuhkan dan haus akan ilmu pengetahuan memiliki latar belakang yang berbeda-beda. Itulah sebabnya pendidikan sistem reguler mendominasi sistem pendidikan di tanah air. Dalam bingkai ke Bhineka Tunggal Ika-an kita dituntut untuk menerapkan metode pembelajaran yang kaya akan inovasi.
Kompetisi bagi siswa sejak usia SD telah dilakukan namun kadangkala sistem yang melilit tidak memungkinkan dilakukannya regularisasi oleh lembaga karena berbenturan dengan kepentingan-kepentingan lain dimasyarakat.
Bahkan regularisasi yang diinginkan oleh pihak pemerintah tidak bisa berjalan karena filosofi sistem pendidikan ditanah air yang menganut sistem pendidikan formal, informal dan non formal bisa dicampuradukkan.
Namun apabila sistem regularisasi dilakukan secara fair kepada siswa diperkirakan hanya sedikit yang mampu berkiprah dan berbicara di ajang / level nasional maupun internasional.
Tim-tim Olympiade Fisika, Matematika, Biologi yang mampu merebut berbagai gelar para event-event tersebut merupakan regularisasi yang dilakukan oleh lembaga internasional yang benar-benar mengacu pada kompetisi yang fair.
Guru memiliki tugas dan tanggung jawab yang berat untuk mendidik siswa sehingga berhasil menjadi pribadi-pribadi yang luhur dan kompetitif.
Dalam konteks inilah kelak siswa-siswa yang telah berhasil dalam suatu lembaga pendidikan kelak diuji oleh lembaga lain hasilnya tidak kompeten atau tidak sesuai dengan fakta yang sesungguhnya akan diketahui.
Para lembaga yang menjunjung tinggi nilai integritas akan selalu melakukan sistem perekruitan terhadap produk suatu lembaga pendidikan secara berkelanjutan dan berkesinambungan. Apabila hasilnya kohesif dan relevan maka dapat dipastikan kerjasama dan mitra akan tetap berlanjut karena saling menjunjung tinggi etika kepercayaan dan kejujuran.
Itulah yang harus kita lakukan kepada siswa agar memberlakukan sistem regularisasi secara fair dan objektif. Siswa juga diminta untuk selalu jujur kepada dirinya bahwa nilai-nilai maupun pembelajaran, pendidikan yang diberikan oleh guru disekolah merupakan bekal dimasa depan. Semua mata pelajaran memiliki kans yang sama bila dilihat dari sisi perspektif regularisasi. Kompetisi harus dilakukan disekolah secara fair dengan memberikan nilai kepada siswa secara objektif.

Integritas dan Kelembagaan

Integritas menyangkut kejujuran, kepercayaan bahwa produk yang dihasilkan oleh lembaga pendidikan dinilai secara objektif, fair dan mengacu pada mutu dan kompetensi.
Apabila lembaga pendidikan tidak menjunjung integritas maka dapat dipastikan citra suatu lembaga pendidikan dimata publik akan menurun termasuk dimata pemerintah sebagai institusi yang melakukan penilaian dan pengawasan secara menyeluruh.
Dalam kaitan inilah sertifikasi guru dan dosen akan kembali dinilai oleh publik dan pemerintah apakah benar-benar sertifikasi yang disandang guru dan dosen itu membawa peningkatan yang signifikan terhadap mutu pendidikan di tanah air.
Di satu sisi untuk anggaran yang diberikan oleh negara donor sebagaimana program Better Education Manajemen Usually Through Up Grading (BERMUTU) terhadap peningkatan mutu guru di Indonesia akan kembali dinilai oleh lembaga-lembaga internasional. Program itu berkaitan dengan regularisasi pendidikan oleh lembaga internasional apakah benar-benar kita mengelola anggaran itu dengan baik sesuai dengan peruntukkannya.
Karena menyangkut kepercayan negara donor maka kita sebagai penerima dana harus memanfaatkan dana tersebut dengan sebaik-baiknya dengan menjunjung tinggi integritas dan kepercayaan negara-negara donor.
Peningkatan anggaran pendidikan sebagaimana dalam amanat Undang-Undang dimana pemerintah wajib mengalokasikan anggaran pendidikan sebesar 20 persen dari APBN tidak perlu dicemburui. Bahkan anggaran sebesar itu belum mampu atau mencukupi untuk membiayai seluruh anggaran biaya pendidikan di tanah air.
Banyaknya sekolah-sekolah yang tidak sesuai dengan fakta dilapangan apakah standar nasional (SSN) atau sekolah unggulan (sekolah plus) bahkan sekolah standar nasional bertaraf internasional (SSN-BI) mengindikasikan bahwa sistem regularisasi tidak dilakukan secara fair dan objektif.
Mencermati hal itu semoga pada tahun 2010 Menteri yang ditempatkan di Departemen Pendidikan Nasional adalah orang yang benar-benar kompeten dan mengerti tentang seluk beluk lembaga pendidikan sehingga hasil produk pendidikan kita dimata internasional semakin baik.
Kita harus menyadari tanggung jawab dunia pendidikan untuk menyediakan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman dan pembangunan membutuhkan kerja keras.
Selain anggaran yang memadai sektor pendidikan harus menjadi lembaga terdepan yang mampu menjunjung tinggi prinsip-prinsip integritas dan kejujuran. Sebab semua pemimpin, pejabat serta tenaga-tenaga kerja yang bekerja di sektor pemerintah maupun swasta adalah produk pendidikan.
Konon prinsip-prinsip integritas dan kejujuran itulah yang sering kita abaikan dalam mendidik siswa/anak didik disekolah sehingga perilaku kita ditiru oleh anak didik. Termasuk dilingkungan keluarga kita tidak menerapkan prinsip-prinsip kejujuran dan menjunjung tinggi integritas. Bahkan lembaga pendidikan luar sekolahpun banyak yang mengabaikannya sehingga berdampak pada semakin menurunnya citra bangsa di dunia internasional.
Tidak perlu kita menyebutkan satu persatu tentang ketidakjujuran kita kepada bangsa lain di dunia, faktanya kita lihat sendiri di negeri ini betapa banyaknya oknum pemimpin yang tidak jujur dan membohongi rakyatnya.
Karena itu dimasa mendatang sistem regularisasi kompetisi yang objektif dalam pendidikan harus benar-benar diterapkan sehingga bangsa ini mampu menjadi “macan” Asia.
Kita perlu berkaca dan mengkaji kembali apakah benar prinsip integritas kita junjung tinggi dalam memberlakukan sertifikasi itu kepada para guru dan dosen adalah untuk peningkatan mutu dan kualitas pendidikan di tanah air. Apabila memang benar mengapa pada akhirnya program sertifikasi itu tidak mengacu pada prinsip keadilan dan berujung pada uang.
Bagaimana dengan guru yang tidak memiliki kualifikasi sarjana seperti guru-guru yang ijazahnya hanya diploma (D1-D2 dan D3) apakah tidak layak disertifikasi?
Seharusnya para guru-guru malu apabila guru yang bersangkutan kualifikasinya sudah S2 (Magister-red) masih bertanya kepada guru yang kualifikasi pendidikannya Diploma II (D2) bahkan kepada yang kualifikasi pendidikannya S1 pun.
Memang sungguh ironis apabila dalam konteks regularisasi dalam pendidikan kita dilakukan kompetisi objektif banyak ketimpangan-ketimpangan yang ditemukan dilapangan. Percuma saja diberlakukan kriteria ketuntasan minimal (KKM) oleh guru namun kenyataannya tidak sesuai hasilnya dengan penilaian oleh lembaga-lembaga lain. Feed back dan solusinya bahwa yang diprogramkan dan direncanakan hasilnya harus berbanding lurus. Itulah standar yang benar-benar mengacu pada penilaian objektif yang sesungguhnya.

*. Penulis adalah Pemerhati Masalah Pendidikan tinggal di Kota Jambi, email: sihaloho11@yahoo.com.

PENDIDIKAN

Pendidikan dan Pergeseran Struktur Tenaga Kerja
Oleh : NELSON SIHALOHO

Pendahuluan
Efek pergeseran struktur tenaga kerja terhadap pendidikan terus berlanjut. Bahkan dunia kerja tetap saja harus menyediakan jutaan dollar untuk pelatihan, terutama untuk pelatihan dalam rangka meningkatkan high-level-cognitive dan technical skill yang diperlukan pada era industrialisasi dan teknologi informasi.
Implementasinya bagi dunia pendidikan harus berani mengevaluasi untuk menentukan seberapa besar materi yang ada sekarang ini yang perlu diberikan kepada peserta didik. Sekolah perlu mengurangi materi yang sekarang ini dan menambah materi-materi baru yang diperlukan oleh dunia industri di masa mendatang. Karena itu, membangun jembatan antara sekolah dan dunia kerja harus merupakan program dari sekolah.
Pada abad ke XX dunia kerja ditandai dengan produksi massal dan terstandarisasi untuk menurunkan ongkos produksi. Proses produksi semacam ini bersifat mekanistis yang memerlukan tenaga kerja khusus namun kontrol tenaga kerja terbatas, sistem quality control jelas serta proses produksi harus dijauhkan dari kemalasan tenaga kerja.
Namun proses produksi pada abad XXI berubah. Pasar dewasa ini bersifat fleksibel dan harus mampu dan tanggap terhadap perubahan dan bekerjasama dalam menyusun cost biaya merupakan kunci utama untuk dapat menang dalam persaingan. Organisasi dunia industri memerlukan integrasi dari semua bagian dari proses produksi seperti bagian perencanaan, mesin, pemasaran, proses produksi, herarkis struktur organisasi yang mendatar, desentralisasi tanggung jawab serta lebih banyak melibatkan karyawan dalam pengambilan keputusan di segala jenjang.
Pola system demikian akan lebih responsif terhadap tuntutan dan kebutuhan perubahan, fleksibel, dan lebih memungkinkan untuk melaksanakan pembaharuan yang berlangsung secara terus menerus. Kenyataan ini jelas memerlukan tenga kerja yang memiliki skiil yang berbeda-beda dan skiil yang lebih tinggi serta lebih terdidik. Persoalan yang muncul adalah, berapa besar konsekuensi dari perubahan tersebut, seberapa besar cakupan perubahan pada berbagai perusahaan pada dunia industri serta seberapa jauh perubahan tersebut akan terjadi secara permanent.
Pada masa awal perubahan, tetap saja lebih banyak pekerjaan yang memerlukan tenaga kerja dengan skill yang rendah, seperti dalam usaha rumah makan, warung kebutuhan sehari-hari dan kerja administrasi kantor dan tipe pekerjaan tersebut akan merupakan pilihan utama bagi pencari kerja untuk pertama kali. Namun dalam perkembangannya tahap demi tahap dunia kerja harus direstrukturisasi sehingga merupakan pekerjaan yang memerlukan kemampuan pekerja yang lebih tinggi.
Pendidikan tidak hanya dituntut mempersiapkan peserta didik untuk mampu bekerja pada satu jenis bidang yang relevan. Pendidikan harus dapat mempersiapkan peserta didik untuk mampu memasuki berbagai bidang kerja. SMA selain harus mampu mempersiapkan lulusan untuk memasuki dunia pendidikan tinggi juga harus mampu mempersiapkan lulusan untuk siap memasuki pelatihan dari dunia kerja di segala bidang.
Dalam research cognitive, antropologi dan otak, sebagaimana dilaporkan oleh Raizen (1989) dalam Reforming education at work: A Cognitive science perspective, menunjukkan bahwa seseorang belajar secara berbeda lewat pengalaman dalam kehidupan dibandingkan pengalaman dari sekolah formal. Meski hasil-hasil penelitian tersebut meyakinkan, apa yang terdapat dalam proses pendidikan formal tetap saja tidak pernah memperhitungkan atau mengabaikan pengalaman yang terjadi di luar sekolah. Hasilnya terdapat kesenjangan antara pengalaman di sekolah dan apa yang ada di masyarakat.
Kesenjangan itu antara lain, sekolah menekankan pada individual performance, sebaliknya apa yang terjadi di luar sekolah senantiasa menekankan socially shared performance.Sekolah menekankan pada pemikiran yang tidak memerlukan alat bantu, sebaliknya dunia kerja senantiasa memerlukan alat bantu. Sekolah senantiasa menekankan pada simbol-simbol yang terpisah dari objek, sebaliknya kehidupan dunia kerja menekankan pada upaya riil dalam menangani objek serta sekolah bertujuan untuk menyerap pengetahuan dan skill secara urnum, sebaliknya dunia kerja memfokuskan pada pengetahuan dan skill yang relevan dengan situasi tertentu.

Implikasi

Hasil Brain research dan pergeseran struktur tenaga kerja mengajarkan pada kita hal-hal antara lain pertama, pada diri siswa perlu dikembangkan kemampuan dasar, meliputi basic skills, thinking skill dan personal skill. Basic skill antara lain membaca dan menginterpretasikan informasi, menulis dan mengembangkan informasi, matematik dan berhitung, mendengarkan, dan berbicara. Thinking skill terdiri dari kreativitas, pengambilan keputusan, problem solving, visualizing, knowing hot to learn dan, reasoning. Personal skill meliputi kemampuan mengendalikan diri, tanggung jawab, self-esteem, sociability, self-management, dan integritas-kejujuran.
Kedua adalah kemampuan mengembangkan di tempat kerja mencakup kemampun untuk mengidentifikasi, mengorganisasi, merencanakan dan mengalokasi sumber-sumber, bekerjasama dengan orang lain (interpersonal skill), menguasai dan memanfaatkan informasi, memahami hubungan sosial, organisasi dan teknologi yang kompleks (sistem) dan dapat bekerja sesuai dengan sistem serta menyempurnakan sistem yang ada serta bekerja dengan berbagai teknologi, termasuk pemilihan, aplikasi, perawatan dan memecahkan problem.
Ketiga, sistem pengelolaan penyampaian bahan pelajaran bercirikan penyajian materi bersifat tematik yang merupakan kombinasi beberapa pokok bahasan yang bersifat lintas bidang, pengajar merupakan team teaching bukan lagi individual, model cooperatiye learning sebagai pengganti individual learning, dan outcome aspek afektif lebih jelas.
Secara lebih khusus, hasil-hasil penelitian sistem kerja otak dan pergeseran struktur tenaga kerja dalam jangka panjang memiliki implikasi terhadap proses belajar mengajar.
Penyajian materi model lama adalah tersusun dalam pokok bahasan dan sub pokok bahasan sedangkan model baru tersusun dalam problem, tema dan terintegrasi. Out come dalam model lama adalah aspek kognitif sangat menonjol dan aspekj efektif lemah. Guru pada model lama sstem kerja individual dalam model baru team teaching, prosedur relative rigid sedangkan model baru relative fleksibel. Sasaran pada pemahaman konsep dalam model baru pemahaman konsep, hubungan dan keterkaitan. Prinsip model learning adalah individual learning dalam model baru cooperative learning. Sasaran evaluasi adalah individu pada model baru individu dan kelompok. Pola belajar, potongan demi potongan menjadi gambar pada model baru kerangka untuk ditempel gambar.
Sedangkan implikasi dalam jangka pendek, berbagi kebijakan dan inovasi pendidikan dewasa ini, sadar atau tidak, lebih banyak ditujukan sebagai konsumsi para siswa yang memiliki IQ relatif tinggi. Sebagai contoh pembaharuan kurikulum dan diperkenalkannya matematika modern lebih menguntungkan mereka para siswa yang memiliki otak relatif encer. Ditambah dengan sistem pengajaran yang bersifat klasikal tanpa membedakan perbedaan individu menyebabkan anak yang berotak encer akan semakin pandai, sebaliknya anak yang berotak relatif bebal akan tetap ketinggalan. Sedangkan, fakta menunjukkan siswa yang memiliki otak relatif encer paling tinggi hanya sekitar 10%. Intinya kebijakan dan pembaharuan pendidikan yang dilaksanakan hanya menguntungkan bagi 10% siswa terpandai.
Temuan-temuan penelitian otak (brain research) mutakhir seperti yang diungkapkan oleh Goleman dalam buku ’Emotion Intelfigence’, memberikan kemungkinan dikembangkannya kebijakan yang dapat meningkatkan keberhasilan pendidikan 90% siswa yang memiliki intelegensi biasa-biasa atau malah relatif lemah. Artinya, sangat dimungkinkan kemampuan EQ dikembangkan, sehingga meski IQ tidak terlalu tinggi siswa akan berhasil dalam pendidikannya.
Emosi menurut Goleman, adalah "suatu perasaan dan pikiran-pikiran khasnya, suatu keadaan biologis dan psikologis, dan serangkaian kecenderungan untuk bertindak. Ada ratusan emosi, bersama dengan campuran, variasi, mutasi dan nuansanya." EQ, merupakan kemampuan untuk mengendalikan, mengorganisir dan mempergunakan emosi ke arah kegiatan yang mendatangkan hasil optimal. Dengan emosi yang dikendalikan akan merupakan dasar bagi otak untuk dapat berfungsi dengan baik.
Penjabaran emosi seringkali muncul dalam berbagai bentuk seperti marah, ketakutan, perasaan senang, cinta, kesedihan, kenikmatan, keterkejutan, kejengkelan, dan malu. Emosi tersebut tidak statis tetapi berkembang sejalan dengan perkembangan usia seseorang. Semakin dewasa emosi yang dimiliki akan semakin matang. Namun, kedewasaan emosi juga bisa berkembang sebagai hasil interaksi dengan lingkungan, baik interaksi tersebut disengaja oleh pihak lain. Keberhasilan guru mengembangkan kemampuan siswa mengendalikan emosi akan menghasilkan perilaku siswa yang baik. Terdapat dua keuntungan apabila sekolah berhasil mengembangkan kemampuan siswa dalam mengendalikan emosi. Pertama, emosi yang terkendali akan memberikan dasar bagi otak untuk dapat berfungsi secara optimal. Kedua, emosi yang terkendali akan menghasilkan perilaku yang baik.

Ketimpangan Pendidikan

Kesenjangan sosial merupakan fenomena masyarakat yang bersifat global, terjadi baik di negara maju ataupun terbelakang. Bahkan proses integrasi ekonomi global cenderung akan mempertajam perbedaan kelompok kaya dan kelompok miskin. Lembaga studi di Amerika Serikat, misalnya, Institute for Policy Study sebagaimana dimuat pada Herald Tribune(24/1) Tahun 1997, mengemukakan bahwa ekonomi global akan menciptakan kesenjangan antara kelompok kaya dan kelompok miskin yang luar biasa.
Diramalkan bahwa kekayaan dari 447 orang terkaya di dunia akan lebih besar daripada pendapatan penduduk miskin yang mencakup sekitar separo jumlah penduduk dunia, dan dua pertiga penduduk dunia akan mengalami proses pemiskinan.
Di bidang tenaga kerja, 200 industri terkemuka dunia akan menguasai sekitar 28 % kegiatan ekonomi dunia, tetapi hanya menyerap 1 % dari tenaga kerja global dengan gaji yang relatif rendah. Bagi negara sedang berkembang, seperti di Indonesia, kesenjangan sosial bisa merupakan ancaman keamanan nasional sebab ketimpangan sosial ini akan berakumulasi dan bersinergi dengan berbagai persoalan masyarakat yang kompleks.Buntut dari persoalan ketimpangan sosial ekonomi itu akan mengganggu proses pembangunan ekonomi. Karena itu, kesenjangan sosial tidak hanya perlu dijadikan topik pembahasan di berbagai seminar tetapi perlu untuk dicari pemecahannya secara jernih.
Pendidikan sendiri tidak bebas dari ketimpangan sosial. Malahan banyak paedagog atau sosiolog, seperti Randall Collins dalam The Credentiai Society: An Historical Sosiology of Education and Stratafication, mengemukakan bukti-bukti bahwa justru pendidikan formal merupakan awal dari proses stratafikasi sosial itu sendiri.
Sejalan dengan perlunya dikembangkan solidaritas sosial di kalangan siswa, pendekatan individu dalam dunia pendidikan perlu diimbangi dengan pendekatan yang berbasis kerjasama, kebersamaan dan kolaborasi untuk mengembangkan kemampuan siswa dalam kerjasama dan kemampuan bernegosiasi, berkomunikasi serta kemampuan untuk mengambil keputusan. Pendekatan itu Cooperative Learning.
Berbagai hasil penelitian menyimpulkan manfaat Cooperative teaming. Robert E. Slavin dan Nancy A. Madden, dalam hasil penelitian tentang "School Practices That improve Race Relations" yang dimuat pada American Educational Research Journal menyatakan, dibandingkan dengan model pembelajaran yang lain Cooperative learning dalam pembelajaran menghasilkan prestasi akademik yang lebih tinggi untuk seluruh siswa, kemampuan lebih baik untuk melakukan hubungan sosial, meningkatkan rasa percaya diri, serta mampu mengembangkan saling kepercayaan sesamanya, baik secara individual maupun kelompok. Secara lebih terperinci hasil penelitian tersebut mengemukakan bahwa bukannya pelatihan guru, buku-buku civics, sejarah dan diskusi-diskusi di kelas yang mempengaruhi sikap dan perilaku sosial siswa, melainkan tugas-tugas yang diberikan secara kelompok yang secara meyakinkan telah berhasil mengembangkan hubungan, sikap dan perilaku sosial siswa.
Apabila guru melaksanakan proses belajar mengajar dengan mempergunakan Cooperative Learning, berarti guru tersebut sudah berperan dalam mengurangi kesenjangan pendidikan khususnya dalam ujud output pada level individual. Selain itu berkembangnya kesetiakawanan dan solidaritas sosial di kalangan siswa pada gilirannya akan dapat mengurangi ketimpangan dalam ujud input pada level individual.
Intervensi untuk mengurangi ketimpangan sosial harus dimulai dari lembaga pendidikan. Cooperative Learning merupakan suatu kebijakan dalam proses belajar mengajar yang memiliki prospek yang cerah untuk menciptakan equity di dunia pendidikan. Cooperative Learning pada hakekatnya merupakan upaya untuk menempatkan proses pendidikan pada rel yang sebenarnya yaitu menghasilkan manusia yang ber-''otak" dan ber-''hati".
Perkembangan teori baru di bidang perkembangan kognitif, seperti dikemukakan oleh Baxter Magolda (dalam Knowing and Reasoning in College: Gender-Related Patterns in Students' Intellectual Development, 1995) menekankan bahwa ketiga aspek pendidikan yaitu intelektual, sosial dan emotional harus merupakan satu kesatuan yang terintegrasi. Untuk mencapai integrasi ini peranan konteks sosial dan hubungan antar pribadi sangat penting.

Peningkatan Mutu
Menurut Zamroni (2008) bahwa peningkatan mutu sekolah, dapat disebut sebagai suatu perpaduan antara knowledge-skill, art, dan entrepreneurship. Suatu perpaduan yang diperlukan untuk membangun keseimbangan antara berbagai tekanan, tuntutan, keinginan, gagasan-gagasan, pendekatan dan praktik. Perpaduan tersebut di atas berujung pada bagaimana proses pembelajaran dilaksanakan sehingga terwujud proses pembelajaran yang berkualitas. Semua upaya peningkatan mutu sekolah harus melewati variabel ini. Proses pembelajaran merupakan faktor yang langsung menentukan kualitas sekolah.
Peningkatan mutu atau kualitas pembelajaran merupakan inti dari reformasi pendidikan di negara manapun. Hal disebabkan oleh asumsi bahwa, peningkatan mutu sekolah yang memiliki peran penting dalam peningkatan mutu pendidikan nasional, tergantung pada kualitas pembelajaran. Namun, peningkatan kualitas pembelajaran sangat bersifat kontekstual, sangat dipengaruhi oleh kondisi sosial dan kultural sekolah dan lingkungannya.
Berbagai penelitian menunjukan bagaimana bagaimana pentingnya kondisi dan lingkungan sekolah mempengaruhi kualitas pembelajaran, seperti, dalam penelitian tentang sekolah efektif (Purkey & Smith, 1983), kerja guru dan pembelajaran (McLaughlin Talbert, 1993), retrukturisasi sekolah dan kinerja organisasi (Darling-Hammond, 1996), yang semuanya ini bermuara pada suatu pernyataan “apabila ingin meningkatkan kualitas pembelajaran, kualitas sekolah sebagai satu kesatuan dimana pembelajaran berlangsung harus ditingkatkan”.
Lebih lanjut Zamroni (2008) menyatakan kebijakan peningkatan mutu sekolah pada masa mendiknas Bambang Sudibyo sekarang ini menekankan pada peningkatan mutu secara simultan, mutu lulusan, mutu proses, mutu pengelolaan, mutu guru, mutu pendanaan, mutu fasilitas dan mutu faktor lain yang terkait dengan sekolah. Dalam masa ini, kebijakan yang penting untuk disebut dalam peningkatan mutu adalah penataan sistem manajemen termasuk manajemen keuangan. Rencana strategis disusun, visi dan misi serta program kerja telah dirumuskan disertai tolok ukur kinerja yang jelas. Dengan demikian Departemen Pendidikan memiliki ukuran yang jelas yang dengan mudah dapat mengevaluasi diri seberapa jauh jalan telah ditempuh dan seberapa besar tujuan dapat dicapai.
Mutu atau kualitas sekolah memiliki banyak makna. Definisi tunggal kualitas sekolah yang diterima banyak pihak sulit untuk dirumuskan. Apalagi, rumus definisi mutu sekolah amat terkait dengan tujuan dan strategi pendidikan yang ada. Selama ini pembicaraan mutu sekolah cenderung dititik beratkan pada pengetahuan dan ketrampilan yang dikuasai oleh siswa.
Kay (2008) sebagaimana dikutip Zamroni (2008) menganalisis perkembangan yang akan terjadi di abad 21 dan mengidentifikasi kompetensi apa yang diperlukan dan menjadi tugas pendidikan untuk mempersiapkan warga negara dengan kompetensi. Terdapat 5 kondisi atau konteks baru dalam kehidupan berbangsa, yang masing-masing memerlukan kompetensi tertentu seperti kondisi kompetisi global (perlu kesadaran global dan kemandirian), kondisi kerjasama global (perlu kesadaran global, kemampuan bekerjasama, penguasaan ITC), pertumbuhan informasi (perlu melek teknologi, critiacal thinking & pemecahan masalah), perkembangan kerja dan karier (perlu Critical Thinking & pemecahan masalah, innovasi & penyempurnaan, dan, fleksibel & adaptable) serta perkembangan ekonomi berbasis pelayanan jasa, knowledge economy (perlu Melek informasi, Critical Thinking dan pemecahan masalah).
Intinya menurut Kay sekolah harus mempersiapkan siswa dengan kemampuan, kesadaran global, watak kemandirian, kemampuan bekerjasama secara global, kemampuan menguasai ITC, kemampuan melek teknologi, kemampuan intelektual yang ditekankan pada critical thinking dan kemampuan memecahkan masalah, kemampuan untuk melakukan innovasi & menyempurnakan dan memiliki pengetahuan dan ketrampilan yang bersifat fleksibel & adaptabel.
Kay (2008) juga mengidentifikasi 5 kemampuan yang amat penting dalam kehidupan, yaitu etika kerja, kemampuan berkolaborasi, kemampuan berkomunikasi, tanggung jawab sosial dan berpikir kritis dan memecahkan masalah.
Sejalan dengan kajian Kay ini, Departemen Pendidikan New Zealand melakukan reformasi kurikulum dengan menekankan bahwa para siswa harus menguasai lima kemampuan dasar yaitu kemampuan berpikir kritis dan memecahkan masalah (critical thinking dan problem solving)), kemampuan mempergunakan bahasa, symbol-simbol dan teks, kemampuan mengendalikan diri sendiri (mampu memotivasi diri sendiri, memiliki sikap “bisa mengerjakan” “a can-do attitude”, mampu merencanakan masa depan), kemampuan berhubungan dan bekerjasama (kemampuan untuk mendengarkan, kemampuan mengenali perbedaan pendapat, kemampuan bernegosiasi, kemampuan berpikir bersama) dan kemampuan berpartisipasi dan berkontribusi bagi kesejahteraan masyarakatnya (kemampuan untuk berpartisipasi dalam berbagai kegiatan, kemampuan berkontribusi, kemampuan menciptakan peluang).
Kebijakan peningkatan mutu selama ini senantiasa cepat direspons sepenuhnya oleh sekolah yang masuk pada kualifikasi “menuju kualitas unggul”. Sekolah pada klasifikasi “memantapkan posisi” juga cepat merespons tetapi banyak mengalami kesulitan.
Pencapaian kompetensi yang dihasilkan berkaitan erat dengan bagaimana pembelajaran dilaksanakan. Pada intinya jenjang pendidikan saat ini banyak mempengaruhi struktur kerja. Meskipun seseorang itu memiliki title Doktor ataupun Professor sepanjang lapangan pekerjaan makin sempit gelar title Doktor dan Professor tidak akan banyak membawa manfaat pada dunia kerja.
Karena itu basis pendidikan dengan lebih banyak memberikan model praktek disekolah jauh lebih bermakna dari pada memberikan sanak didik dengan sejuta teori-teori mutakhir tapi tidak pernah dimanfaatkan. (dihimpun dari berbagai sumber).

PSIKOLOGI

Jaques Lacan Generasi Baru Tokoh Psikoanalisa.
Oleh: Nelson Sihaloho

Abstrak:
Psikoanalisa merupakan salah satu aliran besar dalam sejarah ilmu pengetahuan manusia. Kelahiran psikoanalisa tidak lepas dari berbagai penolakan dan penerimaan.
Pernyataan testimonial Sigmund Freud yang menyatakan bahwa konsep ketidaksadaran mengetuk-ngetuk pintu psikologi untuk masuk. Sementara filsafat dan sastra tekah lama bergelut dengannya, namun ilmu pengetahuan tidak tahu kegunaannya.
Kata kunci: Generasi Baru, Psikoanalisa.


Pendahuluan

Psikoanalisa merupakan salah satu aliran besar dalam sejarah ilmu pengetahuan manusia. Contohnya adalah marxisme yang dikenal dengan penganut teori-teori Karl Marx. Begitu juga dengan psikoanalisa memiliki aliran-aliran atau penganut teori-teori fanatiknya seperti Sigmund Freud, Carl Gustav Jung, Ivan Pavlov, Alfred Binet, Alfred Alder dan lain-lain.
Kini, psikoanalisa telah merambah ke berbagai sektor keilmuan seperti sastra, sosiologi, filsafat dan kesenian.
Awalnya psikoanalisa identik dengan nama pendirinya bernama Sigmund Freud. Akibatnya penggunaan istilah psikoanalisa dan psikoanalisa Freud awalnya memiliki arti yang sama.
Bahkan beberapa murid Freud yang beralih dari ajaran gurunya memilih untuk meninggalkan istilah psikoanalisa, seperti Carl Gustav Jung yang mememilih menggunakan nama psikologi analitis (analytical psychology) dan Alfred Adler dengan istilah psikologi individual (individual psychology).
Seiring dengan semakin meluasnya penerimaan psikoanalisa dalam ruang keilmuan yang beragam itu, istilah psikoanalisa akhirnya tidak hanya identik dengan Freud sebagai pendiri psikoanalisa.
Kelahiran psikoanalisa sebenarnya tidak lepas dari berbagai penolakan dan penerimaan. Kalimat testimoni Freud sebagaimana diuraiakan diatas mengindikasikan adanya penolakan yang kuat terhadap psikoanalisa, bahkan oleh psikologi yang sebenarnya memiliki kesamaan kajian dengan psikoanalisa.
Bahkan Eysenck, seorang psikolog behavioris di London yang berasal dari Jerman, menganggap sangat tidak mungkin memberikan predikat ilmiah untuk psikoanalisa karena tidak bersifat behavioristik. Adanya penerimaan serta penolakan dapat dipahami sebagai perbedaan pendapat akibat peliknya pemahaman terhadap kompleksitas manusia.
Pemahaman tentang manusia memang tidak akan pernah berakhir. Baik itu sejak perkembangan filsafat pada zaman Yunani kuno hingga era modern canggihnya teknologi maupun informasi yang begitu mudah didapatkan pembicaraan tentang manusia akan selalu menyisakan ruang perdebatan. Manusia hanya bisa dipahami atas apa yang dihasilkannya berupa hasil karya-karya hingga prestasi-prestasinya.
Banyak pendapat yang menyatakan bahwa manusia dapat dianalogikan sebagai teka-teki silang yang terdiri dari beberapa kotak kosong yang menyusunnya. Setiap deret kotak dapat diisi oleh berbagai pertanyaan baik itu nama dan teori untuk menjawab pertanyaan seputar manusia. Namun teka-teki silang itu tidak pernah selesai dikerjakan, selalu menyisakan pertanyaan. Sebab adanya ketidaksadaran adalah yang paling kontroversial sebagaimana teori Freud.
Sejak awal diutarakan, penolakan untuk konsep yang asing di tengah kepercayaan kemandirian manusia sebagai mahluk yang sadar ini terus bergulir dan akan berlanjut.
Penolakan itu dapat kita maklumi, karena sangat terkait konstruksi epistimologis keilmuan modern yang bercokol kuat pada benak para saintis dan filsuf di era kelahiran psikoanalisa. Ketidaksadaran adalah kemustahilan di tengah keyakinan akan penuhnya kesadaran manusia sebagai mahluk yang berpikir.
Freud yang mencurigai bahwa kesadaran adalah sesuatu yang terus direpresi oleh hasrat libidinal yang berasal dari ruang ketidaksadaran, sempat menjadi bahan cemoohan. Hasrat memang sesuatu yang sering disingkirkan dalam pembicaraan filsafat maupun dalam pemikiran barat.
Sedangkan Plato menyebutnya sebagai sesuatu yang harus dikontrol ketat oleh akal karena tidak memiliki prinsip untuk mengatur dirinya sendiri.
Pernyataan “Adagium Descartes Cogito Ergo Sum” (aku berpikir maka aku ada) merupakan puncak pernyataan epistimologis pencerahan dan menolak kekuasaan hasrat dan ketidaksadaran atas manusia yang sadar.
Plato, dalam anggapannya “Descartes akal” merupakan substansi. Subjek cartesian meyakini manusia sebagai yang awas, sadar diri, rasional yang berangkat dari akal murni dan bukan hasrat atau bentuk-bentuk lain dari ketidaksadaran.
Konsep ketidaksadaran dalam psikoanalisa menjadi pukulan telak dari inti subjek cartesian. Subjek cartesian yang ditahbiskan sebagai yang rasional dan bersandar pada akal murni dicurigai menyimpan hasrat libidinal dari dalam ruang bawah sadar manusia.
Hasrat tersebut tidak lain muncul dalam proses psikodinamis manusia. Freud pada saat itu seperti menjanjikan sebuah cara pandang baru untuk melihat ketidaksadaran dan hasrat yang dalam pandangan sebelumnya terus dinyatakan terkontrol oleh akal-rasio manusia yang sadar.
Psikoanalisa hadir untuk menyatakan bahwa hasrat yang berdiam dalam ketidaksadaran merupakan kekuatan yang mengontrol manusia yang mentahbiskan diri sebagai yang sadar dengan kekuatan akalnya. Kehadiran psikoanalisa tidak sebatas memunculkan suatu pandangan baru diantara teori yang telah berkembang tentang psyche manusia pada ruang psikologi, namun lebih jauh melampaui rasionalisme yang telah sekian lama diakui oleh para ilmuwan dan filsuf.
Penolakan terhadap ide ketidaksadaran Freud tidak hanya muncul dari kelompok rasionalis melainkan juga muncul dari para penggiat eksperimentalis (empirisme).
Meski demikian sungguh sangat sulit membuktikan adanya id (ketidaksadaran) pada manusia secara empirik. Hal ini yang memungkinkan Eysenck dengan begitu tajamnya menyerang Freud. Penolakan Eysenck atas psikoanalisa sebagai sebuah ilmu dengan alasan karena sifatnya yang tidak behavioristik. Setidaknya dalam pandangan behavioris ekstrem yang cenderung hanya mengamati sesuatu yang nampak sebagai perilaku. Bahwa ketidaksadaran yang diusung oleh psikoanalisa merupakan sesuatu yang tidak tampak dan tidak teruji secara emprik. Sementara orientasi keilmuan umumnya merupakan orientasi pada dunia empirik.
Penilain lainnya atas Freud, banyak kalangan menunjukkan bahwa psikoanalisa Freudian telah ingkar pada janji sebelumnya untuk mengungkap kekuatan dan dorongan ketidaksadaran dalam diri manusia. Adagium Wo Es War, Soll Ich Werden (dimana ada id selalu ego berpatroli) menunjukkan bahwa Freud gagal mewujudkan janji psikoanalisa. Ego yang sadar dalam konsep Freud membuktikan bahwa ketidaksadaran (id) tetap terkontrol dalam pengawasan ego yang sadar.
Freud dituduh oleh beberapa pembacanya tengah ikut dalam pemujaan ego cartesian. Di sinilah ambiguitas Freud terungkap ke permukaan. Terlepas dari berbagai pro dan kontra tersebut, psikoanalisa telah memberikan sumbangan besar bagi berbagai bidang ilmu, termasuk psikologi sendiri yang akhirnya menerima psikoanalisa. Pemahaman atas psikoanalisa Freudian pun telah ikut melahirkan berbagai teori dan pendekatan baru pada berbagai bidang ilmu yang dengan tangan terbuka maupun setengah-setengah menerima kehadirannya. Psikoanalisa kini telah diterima sebagai sebuah cara pandang baru tentang manusia dalam berbagai ilmu, meskipun masih menyisakan kontroversi.
Pemahaman terhadap Freud pun terus berlanjut dan tidak pernah berhenti. Prinsip-prinsip psikoanalisa yang dibangun Freud terus menjadi perhatian tidak hanya dari kelompok psikolog atau psikoanalis sendiri. Kritik, pengungkapan dan pembaharuan pandangan terhadap karya-karya Freud terus dilakukan oleh para saintis dan filsuf.
Harus diakui bahwa Freud merupakan salah satu inspirator penting dalam perkembangan paradigma ilmu sekarang.
Salah satu tokoh dan pecinta karya-karya Freud adalah Jaques Lacan, seorang psikoanalis dari Perancis. Di tangan Lacan, psikoanalisa Freud berkembang menjadi aliran psikoanalisa baru yang sangat mengagumkan.
Lacan memasukkan enersi linguistik struturalisme, beberapa gagasan dari antropologi dan filsafat ke dalam psikoanalisa. Lacan sering dikenal sebagai sintesa Freud dan Saussure dengan sedikit sentuhan Lévi Strauss, Heidegger dan Jaques Derrida.
Persentuhan berbagai pemikiran dan aliran keilmuan inilah yang akhirnya membuat karya Lacan dikenal sebagai pemikiran yang tidak mudah untuk dipelajari. Selain itu, kegemaran Lacan menggunakan idiom-idiom asing dan baru untuk memperkuat psikoanalisa yang dikembangkannya lebih memperumit upaya untuk mendekati pemikirannya.
Sebagaimana penolakan terhadap psikoanalisa Freud pada awal kemunculannya, Lacan juga mengalami nasib yang tidak berbeda dengan pendahulunya. Penerimaan atas psikoanalisa lacanian di dunia psikologi terasa sangat terlambat. Sementara cultural studies cukup sulit untuk menemukan padanan kata ini dalam penterjemahan ke dalam bahasa Indonesia, sosiologi paskamodernisme dan filsafat telah banyak mengambil manfaat dari pemikiran Lacan, dunia psikologi sendiri masih sering bungkam, belum mengambil sikap terbuka terhadap aliran psikoanalisa Lacan.
Pandangan Lacan tentang ketidaksadaran dan sebuah contoh pembacaan ala lacanian tentang fenomena konsumerisme yang tengah aktual berkembang saat ini.
Munculnya psikoanalisa merupakan serangan terhadap kemapanan rasionalisme dan humanisme keilmuan barat yang berdiri di atas fondasi kesadaran subyek.
Setelah Nietzsche mencurigai adanya keinginan subyek yang rasional ala cartesian dipenuhi hasrat akan kekuasaan, psikoanalisa menyatakan ada hubungan antara kesadaran dengan ruang ketidaksadaran yang tidak tertundukkan. Psikoanalisa secara telak memukul inti kekuatan pemikiran Barat dan mempercepat terjadinya krisis ego cogitan.
Freud membangun konsep topografi kepribadian manusia yang terbelah menjadi dua ruang; kesadaran dan ketidaksadaran. Ruang kesadaran adalah ruang yang terapung-apung di atas ruang ketidaksadaran. Pengaruh ruang ketidaksadaran akan selalu mucul secara tidak dinyana dan disadari 'bahkan' oleh kesadaran subyek.
Ketidaksadaran terstruktur seperti bahasa merupakan sisi lain pemikiran Lacan. Lacan menekankan arti pentingnya bahasa dalam pelbagai hubungan kesadaran dan ketidaksadaran. Penekanan tersebut merupakan hasil dari pembacaan Lacan atas prinsip-prinsip psikoanalisa freudian dan tidak terlepas pula dari pengaruh aliran surealisme dalam dunia kesenian.
Analisa yang dilakukan oleh Freud selama praktik psikoanalisanya menunjukkan bahwa pasien tidak dapat menunjukkan secara langsung problem psikisnya, melainkan dengan memainkan simbol-simbol penuturan bahasa. .
Berangkat dari uraian diatas, Lacan meyakini bahwa psikoanalisa harus dapat menjadi semacam ilmu bahasa dan tanda karena sifatnya yang secara eksklusif mempergunakan
Hasrat pada dasarnya merupakan keinginan akan kepemilikan identitas.
Identitas hanyalah kesemuan yang disebabkan adanya efek penandaan; identitas adalah karya penandan. Keterjebakan dalam bahasa membuat manusia secara tidak sadar masuk dalam lingkaran penanda (circle of signifiers) ini secara logis konsekuensinya hasrat tidak dapat menunggangi bahasa dan bahasalah yang memanipulasi hasrat.
Ke depan mungkin akan muncul teori psikoanalisa baru pengikut Jaques Lacan dimana teori-teori psikoanalisa akan berkembang seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dalam teori-teori belajar kontribusi psikoanalisa sangat besar termasuk dalam teraphy dan pelayanan bimbingan konseling.
(*dihimpun dari berbagai sumber relevan)