Rabu, 17 Juni 2015

DITJEN GTK DIBENTUK AKANKAH MENGATASI PERSOALAN GURU

Ditjen GTK Akankah Mampu Menyelesaikan Persoalan Guru? Oleh: Nelson Sihaloho Abstrak: Direktorat Jenderal GTK yang khusus menangani guru dan tenaga kependidikan telah dituangkan dalam Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2015 tentang Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Dasar dan Menengah. Anies Baswedan (2015) menyatakan fungsi direktorat tersebut adalah melaksanakan kebijakan di bidang penyusunan rencana kebutuhan dan pengendalian formasi, pengembangan karier, peningkatan kualifikasi dan kompetensi, pemindahan, serta peningkatan kesejahteraan guru dan pendidik lainnya. Gungsi berikutnya, melaksanakan kebijakan dibidang penyusunan rencana kebutuhan, peningkatan kualifikasi dan kompetensi, pemindahan lintas daerah provinsi, dan peningkatan kesejahteraan tenaga kependidikan. Ditjen ini juga bertugas memberi bimbingan teknis dan supervisi di bidang pembinaan guru dan pendidik lainnya. Selain itu, melaksanakan evaluasi dan pelaporan di bidang pembinaan guru dan pendidik lainnya, serta tenaga kependidikan, pelaksanaan administrasi Ditjen GTK. Ditjen GTK bertugas mengurusi peningkatan kompetensi, pencairan tunjangan fungsional guru hingga tunjangan profesi guru (TPG) dimana saat ini sebanyak 800.000 tenaga guru di seluruh Indonesia mentok pada golongan ruang IV/a (pembina) yang harus diurusi oleh Ditjen yang baru dibentuk itu. Kata Kunci: Direktorat, Persoalan Guru Pendahahuluan Era globalisasi kini sedang berjalan menuju suatu tatanan dunia yang terus berubah dengan sedemikian cepatnya. Tiada hari tanpa perubahan ditengah-tengah semakin gencarnya berbagai tuntutan dunia global yang semakin bebas bereaksi tanpa batas. Derasnya arus globalisasi menjadikan masyarakat memposisikan diri sebagai subyek utama pembangunan serta tidak hanya sekedar obyek pembangunan. Masyarakat kini dituntut untuk memiliki sikap, ketrampilan dan pengetahuan seperti disiplin, jujur, mau bekerja keras, tidak mudah putus asa, hemat, keterbukaan dan bertanggung jawab. Namun dalam prakteknya, upaya yang dilakukan pemerintah cenderung membuahkan hasil yang lebih baik bahkan memunculkan masalah baru. Sektor pendidikan misalnya pemerintah telah membentuk Direktorat Jenderal Tenaga Guru dan Tenaga Kependidikan (Ditjen GTK) dan telah disetujui oleh Presiden Joko Widodo sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2015 tentang Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Dasar dan Menengah.Berbagai tugas-tugas yang berkaitan dengan guru kelak akan ditangani oleh Ditjen GTK ini. Meski demikian sejumlah persoalan akan mencuat dengan kehadiran direktorat jenderal yang menurut tugas pokok dan fungsinya akan mengurusi guru dan memberdayakan guru Pemberdayaan (empower) menurut The New Lexicon Webster International Dictionary (1978 :322) diartikan “ To authorize ; to warrant ; to license .-em . pow . er. – ment “. Pendapat ini mengandung tiga pengertian, pertama “to authorize”, yang berarti memberikan kekuasaan, kedua “to warrant” yang berarti memberikan wewenang, dan ketiga “to license” yang berarti memberikan lisensi atau memberikan izin. Intinya pemberdayaan merupakan pemberian kekuasaan, wewenang serta izin dari satu pihak kepada pihak lain untuk melakukan suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Aileen Mitchell Stewart (1994:6-7) mengungkapkan bahwa : “ pemberdayaan merupakan suatu cara praktis dan produktif untuk memperoleh hal-hal yang terbaik dari diri anda serta anggota lainnya. Pemberdayaan berlangsung melalui pembagian tugas guna menempatkan kekuatan nyata yang dapat digunakan secara lebih efektif. Hal tersebut berarti menyerahkan bukan hanya tugas, akan tetapi juga pembuatan keputusan serta tanggung jawab penuh”. Empower pada di Web Amerika (2007:1) menyatakan bahwa pemberdayaan berarti melengkapi setiap individu dan atau kelompok dengan berbagai ketrampilan, informasi, kekuasaan dan sumber-sumber yang disusun sedemikian rupa guna melaksanakan tanggung jawab mereka, yang dilakukan melalui suatu tim yang efektif. Dalam menghadapi WTO 2020 guru berada pada posisi strategis untuk meningkatkan kualitas pendidikan khususnya dalam menyiapkan SDM yang mampu menghadapi persaingan dunia . Kenyataan dan fakta dilapangan guru sering mengeluarkan biaya dari gajinya untuk meningkatkan SDM guru, termasuk untuk pelatihan-pelatihan yang seharusnya menjadi hak guru. Ditjen GTK kelak harus mampu menjawa persoalan guru dengan optimal termasuk mengalokasikan dana untuk peningkatan kualitas guru. Indikasi carut marutnya kondisi pendidikan di negeri ini masih seringnya terjadi praktik pungli yang dilakukan oleh oknum-oknum pada instansi pendidikan. Mulai dari mengurus gaji berkala hingga dana sertifikasi praltik pungli masih sering terjadi dengan “diam-diam”. Peranan pemerintah pusat sebagai pengontrol tergadap Dinas Pendidikan harus benar-benar memiliki kekuatan yang kuat sehingga praktik-praktik yang memungkinkan terciptanya raja-raja kecil di daerah dapat ditekan sekecil mungkin. Termasuk pada lingkungan sekolah sudah selayaknya sekolah harus dikontrol lebih ketat agar penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dalam lingkungan sekolah dapat diusut hingga tuntas. Melihat kenyataan itu tugas pendidik yang semestinya berada pada perilaku atau kepribadian yang benar tidak mampu lagi menjadi agents of modernization bagi dirinya sendiri, lingkungan, masyarakat maupun negara. Kita tentu berharap agar Ditjen GTK tidak lagi merepotkan pemerintah dalam mengatasi persoalan guru yang saat ini sudah sangat krusial.Selain itu peingkatan pelayanan kesejahteraan terhadap guru harus benar-benar dilakukan dengan profesional. Tingkatkan SDM Profesionalisme Guru Kita miris sering melihat perilaku guru yang tidak profesional, meskipun sudah bertitel S2 perilakunya malas dalam mengajar, menganggap bahwa “titel S2 nya” sudah “hebat” bahkan merasa diri “terhebat” dilingkungan masyarajkat. Masalahnya sekarang untuk apa guru bertitel S2 jika perilakunya malas dalam menjalankan tugas profesionalismenya. Mirisnya lagi jika seorang guru sudah mendapat tugas tambahan Kepala Sekolah maunya tetap mejbata sebagai Kepala Sekolah padahal aturan sudah jelas seorang guru tidak boleh menjabat Kepala Sekolah lebih dari dua periode. Sebenarnya ada buah elemen yang tidak dapat dipisahkan dalan dunia pendidikan yakni lembaga pendidikan dan guru yang memiliki pengaruh besar dalam menghasilkan sumber daya manusia (SDM) berkualitas yang mampu berkompetisi dalam masyarakat. Mc Cully (1992:4) mengatakan “ profesi adalah a vocation an wich profesional knowledge of some departement a learning science is used in its application to the of other or in the practice of an art found it”. Freidson (,2000:199) berpendapat bahwa, “profesionalisme adalah sebagai komitmen untuk ide-ide profesional dan karir”. Guru professional adalah seorang guru yang menerapkan konsep management professional dalam menjalankan aktivitas kehidupannya, sebaliknya japabila guru tidak menerapkan konsep management professional maka guru yang bersangkutan tidak professional. Seorang guru yang professional harus memiliki kompetensi.sebagaimana mengutip pendapat Lefrancois (1995:5) yang menyatakan bahwa “kompetensi merupakan kapasitas untuk melakukan sesuatu yang dihasilkan dari proses belajar”. Richard N. Cowell (1988:95-96) bahwa kompetensi dilihat sebagai suatu keterampilan/kemahiran yang bersifat aktif dan dipertegas oleh Cowell (1988:101) bahwa kompetensi dikategorikan mulai dari tingkat sederhana atau dasar hingga lebih sulit atau kompleks. Itulah sebabnya, pemerintah telah mengesahkan Ditjen GTK karena selama ini pengelolaan guru oleh pemerintah pusat akibat munculnya persoalan guru yang justru terbelit politik di daerah. Selain itu, persoalan mulai dari status guru, distribusi guru, pengangkatan atau rekrutmen guru berkualitas juga tidak diperhatikan secara serius oleh pemerintah daerah. Guru jadi terbelenggu kondisi politik lokal daerah dan soolah-olah mengabdi pada bupati/walikota daripada untuk kepentingan pendidikan nasional. Dunia pendidikan nasional kita memang sedang menghadapi masalah yang demikian kompleks. Begitu kompleksnya masalah itu tidak jarang guru merupakan pihak yang paling sering dituding sebagai orang yang paling bertanggung jawab terhadap kualitas pendidikan. Pendidikan kita sudah terlalu lama dikelola dengan konsep nonpendidikan. Kulaitas guru, pemerataan guru dan sistem rekrutmen guru juga harus diperbaiki, penempatannya, kesejahteraan (khususnya guru non-PNS), perlindungan dan jaminan hidup guru pada hari tua, pembayaran tunjangan profesi yang kurang jelas karena sering terlambat, bahkan tak dibayarkan utuh, pembinaan peningkatan profesionalisme guru yang kurang tertata dengan rapi, dan anggaran pendidikan yang tidak memenuhi amanat UU. Ditjen GTK diharapkan membawa harapan baru terhadap otonomi pendidikan sehingga kewenangan daerah yang selama ini begitu banyak persoalan dalam pengelolaan guru semakin lebih baik. Tidak salam memang jika mantan Menteri pendidikan dan Kebudayaan RI Daoed Yosoef pernah mengkritik bahwa bahwa sistem pendidikan Indonesia saat ini. semakin morat-marit. Berbagai persoalan pendidikan seperti infrastruktur yang menunjukkan kegagalan pendidikan, berbagai persoalan berkenaan guru yang membuat masalah pendidikan makin ruwet. Untuk mengurai semua persoalan itu, pertama-tama sistem pendidikan harus kembali disentralisasi. Semua konsep, visi, dan kebijakan harus terpusat agar diterapkan secara sama dan merata di tiap daerah. Saat ini, yang terjadi adalah desentralisasi pendidikan, sementara evaluasi dilakukan secara terpusat di tingkat nasional. Bahwa otonomi daerah yang mencampuri sistem pendidikan cenderung politis. Itulah sekelumit persoalan pendidikan di negeri ini diharapkan Ditjen GTK harus mampu memperbaiki sistim guru dan tenaga kependidikan di masa depan ke arah yang lebih baik. Ditjen GTK juga harus mengelola dan menata kembali sistim guru, rekruitmen hingga sistim karir agar tidak semena-mena dalam menempatkan seorang guru mendapatkan tugas tambahan sebagai Kepala Sekolah. Kepala Sekolah wajib menjalankan tugasnya mengajar bukan malah ongkang-ongkang di ruangannya. (penulis tinggal di kota Jambi, tulisan ini disarikan dari berbagai sumber).

KURIKULUM 2013 BERAKHIR TAHUN 2020

2020 Kurikulum 2013 Selesai, Akankah Kembali Diubah? Oleh: Nelson Sihaloho Abstrak: Istilah kurikulum muncul untuk pertama kalinya didalam kamus Webster pada tahun 1856 lampau dimana dalam sejarahnya penggunaan kurikulum dipakai pada bidang olahraga yakni suatu alat yang membawa seseorang dari start sampai finish. Kemudian pada tahun 1955 istilah kurikulum dipakai dalam bidang pendidikan dengan arti sejumlah mata pelajaran pada perguruan tinggi. Itulah sebabnya kurikulum diartikan dalam dua bentuk yakni (pertama), sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh atau dipelajari siswa disekolah atau perguruan tinggi untuk memperoleh ijazah tertentu. Kedua, sejumlah mata pelajaran yang ditawarkan oleh suatu lembaga pendidikan atau suatu departemen. Salah satu ahli kurikulum Hilda Taba yang memandang kurikulum dari sisi lain dengan tujuan isi pola belajar mengajar dan evaluasi. Pandangan Hilda Taba tentang kurikulum yang lebih fungsional diikuti oleh tokoh-tokoh lainnya diantaranya Ralph W. Tyler. Perubahan kurikulum tidak bisa dipisahkan dari kriterianya dalam merumuskan organisasi kurikulum yang efektif termasuk di Indonesia dalam perjalanannya telah sampai pada Kurikulum 2013. Kenyataan dan fakta menunjukkan kriteria dalam merumuskan organisasi kurikulum yang efektif sebagaimana menurut pandangan Tyler sering diabaikan oleh ahli-ahli kurikulum pendidikan di Indonesia. Kurikulum yang efektif seharusnya mengacu pada berkesinambungan (continuity), berurutan (sequence) serta keterpaduan (integration). Mengacu pada hal tersebut bagaimana implementasi kurikulum 2013 dimana pelaksanaannya harus selesai pada Juli 2020?. Akankah pada tahun 2020 kurikulum pendidikan kita kembali diubah dan apabila diubah bagaimana bentuk dan arahnya?. Padahal kurikulum resmi sebenarnya merupakan sesuatu yang diidealisaikan atau dicita-citakan. Kata kunci : Kurkulum. Pendahuluan Setelah ditetapkannya Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 160 Tahun 2014 tentang Pemberlakuan Kurikulum Tahun 2006 dan Kurikulum 2013, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) melalui Pusat Kurikulum dan Perbukuan (Puskurbuk) telah menyusun roadmap implementasi Kurikulum 2013 untuk periode tahun 2015-2020. Kepala Puskurbuk, Ramon Mohandas (2014), menyampaikan target implementasi Kurikulum 2013 selesai pada Juli 2020. “Sesuai roadmap implementasi Kurikulum 2013, pada Juli 2020 semua tingkatan pendidikan sudah melaksanakan Kurikulum 2013. Mengacu pada hal tersebut tentunya berbagai persiapanpun dilakukan oleh Kemendikbud termasuk kriteria dalam merumuskan organisasi kurikulum yang efektif. Kemudian bentuk evaluasi kurikulum yang belum disederhanakan dimana pelaksana utama pada level sekolah adalah guru. Sistem penilaian inilah yang sering menjadi masalah pokok yang dialami oleh guru karena sistem penilaian yang seharusnya sederhana malah sangat rumit dan membebani para guru. Pada tataran ini seharusnya Kurikulum 2013 harus dievaluasi produknya, sehingga evaluasi produk dapat dinilai sampai sejauh mana keberhasilan kurikulum dalam menghantarkan siswa kearah tujuan. Evaluasi juga sangat penting dilakukan dalam rangka melakukan peninjauan kembali (revisi) terhadap pelaksanaan kurikulum sehigga mencapai hasil yang optimal. Sebab orang yang bertanggungjawab langsung dalam upaya mewujudkan apa yang tertuang dalam kurikulum resmi adalah guru. Bila mengacu pada apa yang tertera pada Kurikulum 2013 landasan dan tingkatan dalam pengembangan kurikulum belum sepenuhnya memiliki dasar-dasar pengembangan kurikulum yang baik. Dasar-dasar dalam membina kurikulum berpegang pada azas filosofis, psikologis, sosiologis serta azas organisatoris yang dinilai berbagai kalangan diabaikan oleh para pencetus Kurikulum 2013. Azas filosofis menyangkut tentang filsafat da tujuan pendidikan, azas psikologis adalah psikologi belajar, psikologi anak, azas sosiologis adalah masyarakat serta azas organisatoris adalah bentuk dan organisasi kurikulum. Selain itu prinsip-prinsip yang dianut dalam pengembangan kurikulum semestinya isinya harus relevan dengan tuntutan kehidupan. Beberapa kriteria yang dapat digunakan dalam mengembangkan isi kurikulum yakni isi kurikulum harus valid (sahih) dan signifikan (terpercaya), isi kurikulum harus berpegang pada kenyataan-kenyataan sosial, kedalaman dan keluasan kurikulum haraus seimbang. Isi kurikulum menjangkau tujuan yang luas, meliputi pengetahuan, ketrampilan dan sikap. Landasan Pengembangan Kurikulum 2013 Adapun Landasan Pengembangan Kurikulum 2013 tercantum dalam RPJMN 2010-2014 Sektor pendidikan yaitu perubahan metodologi pembelajaran, penataan kurikulum. Kemudian Inpres No. 1 Tahun 2010 yang isinya percepatan Pelaksanaan Prioritas Pembangunan Nasional: Penyempurnaan kurikulum dan metode pembelajaran aktif berdasarkan nilai-nilai Budaya bangsa untuk membentuk daya saing dan karakter bangsa. Dasar hukumnya, amanah RPJMN 2010-2014 mengarahkan untuk memantapkan pelaksanaan sistem pendidikan nasional, melalui penyediaan sistem pembelajaran, penyempurnaan kurikulum pendidikan dasar dan menengah serta pembelajaran. Kurikulum 2013 yang intinya menitikberatkan kurikulum sebagai materi, kurikulum sebagai produk, kurikulum sebagai proses, kurikulum sebagai praksis kontektual. Dalam Kurikulum 2013 proses pembelajaran dirancang untuk mendukung kreativitas. Dyers, J.H.(2011) Innovators DNA, Harvard Business Review menyatakan bahwa dua pertiga dari kemampuan kreativitas seseorang diperoleh melalui pendidikan, 1/3 sisanya berasal dari genetik. Kebalikannya berlaku untuk kemampuan kecerdasan yaitu: 1/3 dari pendidikan, 2/3 sisanya dari genetik. Ditegaskan Dyers bahwa kemampuan kreativitas diperoleh melalui, observing (mengamati), questioning (menanya), experimenting (mencoba), associating (menalar) serta networking (membentuk jejaring). Pembelajaran berbasis kecerdasan tidak akan memberikan hasil siginifikan (hanya peningkatan 50%) dibandingkan yang berbasis kreativitas (sampai 200%). Intinya Kurikulum 2013 menegaskan perlunya merumuskan kurikulum berbasis proses pembelajaran yang mengedepankan pengalaman personal melalui proses mengamati, menanya, menalar, dan mencoba (observation based learning) untuk meningkatkan kreativitas peserta didik.serta dibiasakan bagi peserta didik untuk bekerja dalam jejaringan melalui collaborative learning. Tantangan Kompleks Implementasi Kurikulum 2013 sejak awal memang menimbulkan pro dan kontra ditengah masyarakat, meski pada akhirnya berjalan dengan penuh tantangan kompleks dilapangan. Kompleksnya tantangan itu bisa dilihat dari banyanya masalah yang muncul seperti model penilaian yang membutuhkan banyak dokumen hingga guru dibuat “pening” dengan sistim penilaian. Bahkan menurut nara sumber Pusat Kurikulum Perbukuan Nasional (Puskurbuk) bahwa sistem penilaian itulah yang harus disederhanakan terutama dalam pengisian nilai dalam rapor (buku laporan pendidikan). Apabila mengacu pada hal itu diduga selama ini pemberlakuan Kurikulum 2013 tidak sepenuhnya melibatkan pakar-pakar dan ahli-ahli Puskurbuk yang selama ini telah berpengalaman dalam merumusan dan menyusun kurikulum. Berdasarkan hasil analisis yang terdapat pada Kurikulum 2013 ditujukan untuk menyongsong 100 tahun Indonesia Merdeka, Integrasi Iptek-Bahasa-Budaya, Pembelajaran Abad 2, Pentingnya Kreativitas serta Pendalaman dan Perluasan Materi. Kemudian Kurikulum dirancang dengan Tujuan Pendidikan Nasional, Peran Kurikulum sebaga Integrator Nilai, Pengetahun dan Ketrampilan, peran pendidikan dan kebudayaan, Tema Pengembangan Kurikulum 2013 serta Dukungan Pebelajaran Kreatif. Kurikulum 2013 dibangun dengan rekonstruksi pola pikir dan aspek legal, rumusan parksis kurikulum 2013, rumusan penjenjangan, perbedaan esensial KTSP 2006 dan Kurikulum 2013 serta Tema sebagai Konteks dalam praksis. Secara teoritis memang terlihat gampang namun dalam prakteknya sangat sulit dilakukan oleh guru sebagai pelaksana utama dilapangan. Para perancang dan ahli kurikulum hendaknya sebelum memberlakukan Kurikulum 2013 terlebih dahulu harus mempraktekkan model pembelajaran Kurikulum 2013 dihadapan siswa dan disaksikan oleh para guru-guru. Namun kenyataan dilapangan para guru di diklat dengan menggunakan sistem berjenjang dan berlapis dengan kriteria Instruktur nasional, guru pendamping dan guru sasaran dengan waktu yang singkat. Akibatnya hasil yang diperoleh tidak sesuai dengan harapan semua pihak. Bahkan ada guru yang belum pernah diklat kurikulum 2013 langsung melompat mengajar pada kelas VIII (jenjang SMP) tanpa pernah mengajar pada siswa kelas VII. Anehnya sekolah percontohan Kurikulum 2013 yang masih mengajar KTSP 2006 dengan pengalaman mengajar lebih dari 25 tahun, nanti pada tahun ajaran 2015/2016 seakan “enggan” dan “tidak rela” menjadi guru sasaran karena yang menjadi guru pendamping adalah guru junior yang pengalamannya baru 5 tahun hingga 10 tahun. Dapat dibayangkan sehebat apa kemampuan guru pendamping dalam menilai guru sasaran yang pengalamannya lebih banyak dan lebih lama. Untuk itu Kemendikbud harus fair dalam menentukan instruktur, guru pendamping dan guru sasaran dengan seleksi yang ketat serta berjenjang dengan tidak mengabaikan pengalaman dan masa kerja guru. Sedapat mungkin pihak Kemedikbud juga untuk tidak asal menerima para instruktur, guru pendamping dan guru sasaran yang diduga kental dengan permainan orang-orang dinas karena terikat adanya “hubungan” baik itu hubungan keluarga, sekampung, se kecamatan termasuk hubungan otonomi daerah yang saat ini banyak merusak sistem pendidikan di negeri ini. Data base guru yang telah masuk di Kemendikbud harus dipertimbangkan apakah mungkin oknum guru yang tidak disiplin dalam menjalankan tugasnya bisa diandalkan jadi instruktur, guru pendamping dan guru sasaran. Harus Serentak Tahun 2020 merupakan akhir pelaksanaan Kurikulum 2013 dimana semua sekolah telah menjalankan kurikulum ini dengan segala konsekuensinya. Dengan waktu masa tenggat 5 tahun lagi diperkirakan pada tahun 2020, Kurikulum 2013 akan berubah lagi. Pertanyaan yang muncul bagaimana dan seperti apa bentuk kurikulum kita pada tahun 2020 mendatang dalam menyongsong 100 tahun Indonesia Merdeka 2045?. Agar terjadi pemerataan suber daya manusia (SDM) dan pemahaman terhadap konteks kurikulum pelaksanaannya harus serentak diberlakukan. Dengan pertimbangan tidak akan ada lagi sekolah yang tidak menjalankan dan mengimpelementasikan kurikulum baru. Bukan seperti yang terjadi pada Implementasi Kurikulum 2013, ada sekolah percontohan dan ada sekolah yang belakangan melaksanakan kurikulum. Jika sudah begitu kondisnya bagaimana pelaksanaan Ujian Nasional yang akan dilakukan? Apakah sebagian sekolah UN dengan Kurikulum 2013, sebagian KTSP 2006? Dengan kondisi itu diprediksikan akan membuat kondisi pendidikan di negeri ini semakin miris dan runyam. Perlu dipahami dengan cara mendalam bahwa pelaksana utama kelak kurikulum dilapangan adalah guru. Kemendikbud dan Puskurbuk diminta untuk tidak menggunakan prinsip serta aturan “tajam kebawah, tumpul ke atas”. Pemerintah, Kemendikbud, Puskurbuk, pakar-pakar ahli kurikulum, elit politik harus lebih memahami kondisi guru dilapangan dengan segala kompleksitasnya mulai dari wilayah geografis hingga tangungjawabnya. Apabila pada tahun 2020 Kurikulum ada proyeksi untuk diubah maka harus ditunggu hingga 2024 dan pelaksanaannya dilakukan serentak sehingga tidak terjadi lagi kejadian-kejadian seperti yang sudah usai dimana ada sekolah percontohan, sekolah yang belakangan menerapkan kurikulum baru. Pemberlakukan kurikulum serentak akan lebih baik hasilnya meski pada awal-awalnya membutuhkan kerja ekstra keras. Namun hasil dan outputnya juga akan bisa dinilai secara serentak, dapat dipetakan di wilayah mana sekolah yang berhasil mendapatkan output yang lebih tinggi, sedang dan rendah. Perubahan Kurikulu memangtidak bisa dipungkiri karena tuntutan zaman dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek). Namun perlu dipahami bahwa semua dasar-dasar ilmu pengetahuan dalam setiap mata pelajaran harus dimuat dalam kurikulum. Selain itu perlu melibatkan pakar-pakar ahli dari Pusat Pengembangan Ilmu Pengetahuann dan Teknologi (Puspiptek), sebab semua dasar-dasar ilmu pengetahuan dapat dideteksi di Puspitek tersebut. Intinya dengan semakin maju Iptek maka sistem harmonisasi berlaku mutlak dalam kurikulum dengan tanpa menghilangkan dasar-dasar ilmu pengetahuan dan teknologi dalam setiap mata pelajaran. Apabila dasar-dasar ilmu dan sejarah perkembangan ilmu dihilangkan dalam mata pelajaran maka sudah bisa dipastikan pendidikan karakter dan jati diri anak didik akan semakin “kerdil”. Banyak siswa yang kurang paham tentang sejarah bangsanya, kapan sejarah bangsa ini dimulai dansudah sampai dimana perjalanan sejarah bangsa ini serta bagaimana masa depan sejarah bangsa ini kelak? Untuk itu perubahan Kurikulum apabila benar-benar dilakukan setelah tahun 2020 harus tetap memperjuangkan, memperkokoh jati diri serta mampu memperkuat karakter bangsa. Bangsa Indonesia harus menjadi bangsa yang besar, kita harus sadar terlalu lama dijajah oleh kolonial, kita harus tampil sebagai bangsa yang mampu menciptakan teknologi digital era milennium tercanggih dengan memberlakukan kurikulum yang mampu menjawab berbagai tantangan dengan segala kompleksitasnya. Kuncinya adalah pada SDM bagaimana kurikulum yang disiapkan mampu mempersiapkan SDM-SDM terbaik dengan segala potensi dan talentanya. Kuncinya adalah terletak pada inovasi secara berkelanjutan dengan menerapkan kurikulum bermutu. Budaya dan kearifan lokal bangsa yang selama ini menjadi modal utama harus dikedepankan sebagai visitor dalam melahirkan inovator-inovator muda yang unggul, andal dan bermartabat. Semoga kelak Kurikulum Bermutu dapat terwujud melalui semangat ke Bhineka Tunggal Ika, bila kita ingin “Prestasi Olah Raga” lebih unggul dari negara lain maka pengetahuan tentang asupan gizi tidak boleh dilupakan. (Tulisan ini dihimpun dari berbagai sumber: penulis tinggal di Kota Jambi).

TULISAN ILMIAH DAN KARIR GURU

Tulisan Ilmiah dan Karier Guru Oleh:Nelson Sihaloho Abstrak: Sejak tahun 2013 setiap guru wajib membuat karya tulis ilmiah (KTI) sebagai syarat meningkatkan jenjang kariernya. Kewajiban itu merujuk Permen PAN RB Nomor 16 Tahun 2009 tentang Jabatan Fungsional Guru yang ingin naik jenjang dari golongan III b ke atas. Aturan ini berbeda dengan ketentuan sebelumnya yakni Permen PAN Nomor 84 Tahun 1993 tentang Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kredit dimana aturan lama mewajibkan guru pada jenjang IV/ a harus membuat karya tulis ilmiah. Berita Kompas, 27 Maret 2009 menuliskan bahwa banyak guru PNS yang sulit sekali untuk naik pangkat. Jumlahnya sangat fantastis atau bisa dikatakan cukup banyak. Para guru PNS di tingkat Dikdasmen sulit mencapai pangkat diatas IV/a karena kemampuan mereka membuat karya Tulis Ilmiah (KTI) masih lemah padahal membuat KTI menjadi salah satu syarat kenaikan pangkat. Data Badan Kepegawaian Nasional (BKN) 2005, juga menyebutkan bahwa sekitar 1,4 juta guru berstatus PNS. Umumnya berada di pangkat III/a sampai III/d yang jumlahnya mencapai 996.926 guru. Adapun di golongan IV ada 336.601 guru, dengan rincian golongan IV/a sebanyak 334.184 guru, golongan IV/b berjumlah 2.318 guru, golongan IV/c sebanyak 84 guru, dan golongan IV/d ada 15 guru. Kata Kunci: Tulisan Ilmiah, Karir Guru Pendahuluan Dalam proses penulisan karya ilmiah sesungguhnya penulis khususya guru dituntut untuk melaksanakan dua tahap pekerjaan. Pertama adalah tahap penulis mengolah gagasan dalam pikirannya dengan mencari dan membaca buku buku referensi bahkan harus berdiskusi dengan teman sejawatnya untuk menemukan bentuk yang jelas dari gagasan nya tersebut. Kedua adalah tahap pada saat penulis karya ilmiah tersebut menuangkan ide atau gagasan dalam tulisannya. Sebenarnya suatu karya ilmiah itu dapat berupa hasil penelitian namun dapat juga berupa suatu artikel ilmiah. Suatu pendekatan dikatakan ilmiah apabila memiliki langkah-langkah antara lain perumusan masalah, penalaran deduksi ( kajian pustaka ), perumusan hipotesis atau mungkin kesimpulan sementara (khusus artikel ilmiah-red), pengumpulan dan analisis data, penerimaan atau penolakan hipotesis yang telah diajukan,(Ary, 1979; 9-10 dalam Samidjo Broto Kiswoyo 1993). Suyanto, 1988:10 juga mengemukakan bahwa ada beberapa hal yang perlu diketahui dalam merumuskan masalah yakni, apa sebenarnya yang dianggap sebagai masalah dalam setiap karya ilmiah ?. Suyanto, et.el juga mengemukakan bahwa sesuatu dapat dianggap sebagai masalah dalam sebuah karya ilmiah, jika sesuatu itu merupakan gejala atau kondisi yang tidak sesuai dengan apa yang seharusnya. Apabila kita mengamati kegiatan profesi guru dalam kehidupan sehari hari dengan cermat dan teliti maka kita akan memperoleh banyak permasalahan/persoalan yang dapat kita jadikan sebagai permasalahan dalam suatu karya ilmiah. Berkaitan dengan profesi guru itulah maka banyak persoalan tentang praktek profesi guru khususnya dalam menulis tulisan ilmiah ataupun karya ilmiah guru. Perlu diketahui bahwa jika guru sebagai penulis/peneliti telah menemukan permasalahan perlu melakukan evaluasi agar masalah yang akan diangkat dalam sebuah penelitian disekolah semakin menjadi jelas,tegas dan spesifik dan layak untuk dikaji atau diteliti (Suyanto;1988;12). Menurut Cates dalam Suryati Sidarta, 1993:3 menyebutkan ada 6 hal yang perlu dilakukan untuk melakukan sesuatu itu apakah layak untuk dikaji ataupun diteliti. Apakah permasalahan tersebut cukup menarik bagi sipeneliti?. Apakah peneliti mempunyai potensi yang dibutuhkan permasalahannya?. Apakah dukungan sumber dana memadai?. Apakah penelitian itu memberikan sumbangan pada pendidikan?. Apakah permasalahan tersebut dapat diteliti tanpa kendala/ hambatan pencapaian data? Apakah permasalahan tidak terlalu sederhana atau sebaliknya terlalu berat?. Kajian Teoritis Guru merupakan jabatan profesi sehingga seorang guru harus mampu melaksanakan tugas secara profesional. Ciri pekerja profesional ditunjukkan dengan kemampuan mengerjakan tugas dengan etika, independen, produktif, efektif, efisien dan inovatif, serta didasarkan pada prinsip-prinsip pelayanan prima yang didasarkan pada unsur-unsur ilmu yang sistematis, kewenangan profesional, pengakuan masyarakat, dan kode etik. Kegiatan pengembangan profesi guru merupakan kegiatan guru dalam rangka penerapan dan pengembangan ilmu pengetahuan, teknologi, seni, dan keterampilan untuk meningkatkan mutu proses pembelajaran dalam rangka menghasilkan sesuatu yang bermanfaat bagi pendidikan pada umumnya maupun lingkup sekolah pada khususnya. Tujuan kegiatan pengembangan profesi guru adalah untuk meningkatkan mutu guru agar guru lebih profesional dalam pelaksanaan tugas dan tanggung jawabnya. Kriteria dan ciri karya tulis ilmiah guru yang perlu dikaji dan dilakukan sesuai tugas pokok fungsinya adalah masalah pokok yang dijadikan dasar penulisan menyangkut kegiatan pembelajaran yang dilaksanakan guru sehari-hari. Kajian pustaka/teori yang mendukung pemecahan masalah cukup memadai. Kemudian metodologi dilakukan secara runtut dalam upaya pemecahan masalah tersebut, tersedianya data dan fakta yang mendukung pembahasan masalah tersebut, adanya alternatif pemecahan masalah yang dikemukakan sebagai solusi atas masalah yang dihadapi serta kesimpulan maupun rekomendasi yang dikemukakan berdasarkan analisis data terhadap upaya pemecahan masalah. Satu sisi problematika yang terjadi dilapangan kenyataannya menunjukkan bahwa penulisan karya ilmiah guru masih memprihatinkan, mayoritas guru masih sangat jauh dari dunia penelitian, terdapat banyak guru yang stagnan pada pangkat/golongan IV/a karena untuk naik ke jenjang pangkat berikutnya mengharuskan mereka untuk menulis karya ilmiah. Berdasarkan kajian dari berbagai sumber mengapa penulisan karya ilmiah guru banyak yang macet?. Ada beberapa alasan yang dapat dikemukakan yaitu tidak kondusifnya iklim sekolah, kurangnya fasilitas untuk melakukan penelitian di sekolah serta terbatasnya referensi, tidak adanya jurnal penelitian di sekolah, dan tidak teralokasinya dana khusus untuk penelitian guru. Tidak menutup kemungkinan banyak karya ilmiah guru ditolak. Alasan umum penolakan antara lain penyertaan tugas (akhir) kuliah sebagai suatu karya ilmiah karena mirip dengan karya skripsi mahasiswa. Terdapat karya tulis ilmiah guru yang diragukan keasliannya karena beberapa hal. Paling ironis karya tulis ilmiah guru diduga ada yang ditukangi atau dikerjakan oleh orang lain. Karya ilmiah guru diragukan keasliannya karena salah satu bagian tulisan (atau hal lain) menunjukkan bahwa karya tulis ilmiah itu merupakan skripsi, penelitian, atau karya orang lain, yang diubah dan digunakan sebagai karya ilmiahnya (seperti bentuk ketikan tidak sama, tempelan nama dan lain-lain). Terdapat petunjuk adanya lokasi dan subjek yang tidak konsisten, terdapat tanggal pembuatan yang tidak sesuai, terdapat berbagai data yang tidak konsisten, tidak akurat, terdapat kesamaan isi, format, gaya penulisan yang sangat mencolok dengan karya tulis ilmiah yang lain. Bahkan penyusunan karya tulis ilmiah yang berbentuk penelitian, pengembangan dan evaluasi diselesaikan/dihasilkan lebih dari 2 judul dalam setahun. Yang Harus Dilakukan Guru Guru dalam mendukung tugas profesionalismenya harus melakukan banya hal diantaranta adalah melakukan Penelitian Tindakan Kelas (PTK). PTK adalah model penelitian sederhana yang bisa dilakukan oleh guru tanpa mengganggu tugas-tugas profesionalnya. PTK identik dengan tugas guru yaitu mengajar sambil meneliti pada kelas mana guru diberikan tanggungjawabnya. PTK biasanya berdurasi minimal 6 bulan (satu semester-red) dan pada akhir semester guru wajib membuat karya tulis ilmiah (KTI-red) atas PTK yang dilakukannya. Ciri khas PTK ini terletak pada siklus minimal 2 siklus atau beberapa siklus terantung pada kepuasan guru sebagai peneliti. Ada beberapa langkah sukses jika guru ingin sukses dalam mencapai karirnya. Langkah-langkah itu antara lain harus komitmen melawan malas, tidak bisa, tidak punya waktu bahkan melawan yang namanya tidak mampu. Langkah berikutnya adalah harus konsisten, sebab konsistensi akan menunjukkan integritas kita sebagai seorang pribadi. Guru juga harus bekerja keras dengan penuh keuletan dalam melaporkan karya tulis yang dikerjakannya. Guru harus bekerja cerdas, waktu yang dierikan oleh Tuhan hanya 24 jam dan kita harus dapat memanfaatkan waktu itu dengan sebaik-baiknya. Guru juga dituntut untuk bekerja iklas sebab dalam membuat sebuah karya tulis yang komunikatif dibutuhkan kerja ikhlas yang tak mengharapkan imbalan apapun. Kerja ikhlas hendaknya menjadi bagian dalam membuat sebuah karya tulis ilmiah guru. Guru harus bekerjasama (kolaboratif) karena dengan melalui kolaboratif akan menjadkan guru semakin berkualitas. Guru juga harus memaliki koneksi sebab dalam PTK proposal penelitian yang kita buat harus terlebih dahulu disetujui oleh kepala sekolah. Tanpa persetujuan kepala sekolah agak sulit bagi kita mewujudkannya dalam pelaksanaan penelitian. Guru juga harus memiliki kemauan yang kuat dan dengan kemauan kuat akan menjadikan karya tulis yang digarap oleh guru menjadi hidup dan lebih bermakna. PTK harus kontekstual dan dibuat sebaiknya sesuai dengan keadaan nyata di lapangan atau di kelas. PTK guru juga harus kredibel sebaiknya karya tulis yang benar-benar dibuat sendiri, sehingga tingkat kepercayaannya sangat tinggi. Guru harus bekerja dengan tuntas, jujur, teliti dan cermat, memiliki kesabaran. Kunci pokok dan langkah sukses lainnya adalah kreativitas, guru yang kreatif adalah guru yang membuat karya tulisnya sendiri. Karya tulis yang dibuat oleh guru harus menunjukkan suasana yang kondusif dalam melakukan tindakan perbaikannya, perlu ada keragaman, harus memiliki konten kreatif, kara guru harus asli serta disajikan dengan komunikatif. Sering PTK guru apabila akan diolah dan disajikan dalam Karya Tulis Ilmiah terkandung 4 Makna yang terdapat didalamnya yaitu “APIK”. Dikatakan “APIK” karena memiliki “Keaslian, Penting, Ilmiah dan Konsisten. Pengalaman penulis menunjukkan bahwa orang-orang yang konsistenlah yang selalu berhasil dalam mengimplementasikan kemampuannya dalam melakukan PTK dan mengolahnya menjadi nulis karya ilmiah. Guru yang konsisten melakukan PTK dan menyusun KTI akan mampu merencanakan karirnya dengan baik. ( tulisan ini dihimpun dari berbagai sumber: Penulis adalah Guru SMPN 11 Kota Jambi).

PENTINGNYA KOMITMEN ORGANISASI GURU

Pentingnya Komitmen Organisasi Mendukung Guru Berkinerja Profesional Oleh: Nelson Sihaloho Pendahuluan Seringkali kita mendengar tentang komitmen khususnya dalam komitmen organisasi dalam mendukung kinerja baik itu organisasi karyawan maupun oraganisasi guru. Fakta dan kenyataan dilapangan menunjukkan seringkali organisasi tidak berkomitmen mendukung kinerja profesionalisme individu, maupun kinerja kelompok. Merujuk pada pendapat Dessler, (1994), berpendapat bahwa komitmen organisasi merupakan kekuatan identifikasi dari keterlibatan individu dengan organisasi. Buchanan dalam Gibson, (1995) menguraikan pendapatnya bahwa komitmen organisasi melibatkan 3 sikap, yaitu identifikasi dengan tujuan organisasi, perasaan keterlibatan dalam tugas-tugas organisasi serta perasaan loyalitas terhadap organisasi. Hasil Gibson juga menunjukkan bahwa tidak adanya komitmen bisa berakibat menurunnya efektivitas organisasi. Pendapat Muchinsky, (2001) menunjukkan bahwa komitmen organisasi adalah derajat tingkat dimana seorang karyawan merasakan suatu perasaan, pengertian, serta kesetiaan kepada organisasi. Bagaimana dengan organisasi guru di Indonesia apakah berkomitmen mendukung guru berkinerja profesional sesuai dengan Undang-Undang Guru, Permen PAN RB No. 16 Tahun 2009, Permendiknas No. 35 Tahun 2010, Pengembangan Keprofesiian Berkelanjutan (PKB) maupun Penilaian Kinerja Guru (PKG). Hingga detik ini masih segelintir kegiatan organisasi guru yang melakukan kegiatan pengembangan profesionalisme guru khususnya yang berkaitan dengan kinerja profesionalisme guru. Komitmen organisasi guru dalam menyikapi tuntutan profesionalisme guru memerlukan suatu reformasi dan perubahan total. Saat ini masalah profesionalisme guru merupakan isu yang paling serius diantara permasalahan lain yang dihadapi guru. Perbincangan tentang problematika guru seringkali sampai pada kesimpulan bahwa hingga hari ini sepertinya guru belum percaya diri menyebut profesi mereka sebagai sebuah profesi yang sejajar dengan profesi lainnya baik itu dokter, pengacara, hakim, ataupun profesi lainnya. Guru seringkali menyadari bahwa suatu jenis pekerjaan yang disebut profesi idelnya memiliki kedudukan lebih dibanding dengan pekerjaan lain yang tidak dianggap sebagai profesi. Agar menjadi menjadi profesional, seseorang harus memenuhi kualifikasi minimun, sertifikasi, serta memiliki etika profesi (Nurkholis, 2004). Undang-Undang Guru dan Dosen lahir melengkapi dan menguatkan semangat perbaikan mutu pendidikan nasional yang sebelumnya telah tertuang dalam UU Nomor 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Mestinya organisasi guru juga harus melakukan perubahan dan peningkatan performa bagaimana meningkatkan kinerja sesuai dengan tuntutan profesionalisme. Komitmen Guru dan Organisasi Kata komitmen berasal dari bahasa latin commitere, to connect, entrust-the state of being obligated or emotionally, impelled adalah keyakinan yang mengikat. Sedemikian kukuhnya sehingga membelenggu seluruh hati nuraninya dan kemudian menggerakan perilaku menuju arah yang diyakininya (Tasmara, 2006:26). Park (dalam Ahmad dan Rajak, 2007) menjelaskan, komitmen guru merupakan kekuatan bathin yang datang dari dalam hati seorang guru dan kekuatan dari luar itu sendiri tentang tugasnya yang dapat memberi pengaruh besar terhadap sikap guru berupa tanggung jawab dan responsive (inavotif) terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi. Ashkanasy, et.al, (2000), mengemukakan pendapat Porter bahwa komitmen organisasi maupun union commitment mempunyai pengertian sama. Pengertian ini mengacu pada definisi bahwa komitmen organisasi merupakan keinginan individu untuk mempertahankan keanggotaan dalam kelompok, keinginan untuk berusaha keras demi kepentingan kelompok, mempunyai kepercayaan untuk menerima nilai-nilai dan tujuan organisasi. Begley dan Czajka, (1993), menguraikan pendapat Mowday, et, al, tentang definisi komitmen organisasi yaitu sebagai suatu keyakinan yang kuat terhadap tujuan dan nilai-nilai organisasi, keamanan menggunakan segala upaya untuk mewujudkan kepercayaan pada organisasi, serta sebuah keyakinan yang kuat untuk tetap menjadi anggota organisasi. Morrow, (1993), berpendapat bahwa seseorang dapat merasa terikat dan komitmen dengan lingkup organisasi dikarenakan faktor pekerjaan, jabatan, dan keberadaannya. Menurut Louis (dalam Ahmad dan Razak,2007) menjelaskan 4 jenis komitmen guru, yaitu komitmen terhadap sekolah sebagai satu unit sosial, komitmen terhadap kegiatan akademik sekolah, komitmen terhadap siswa-siswi sebagai individu yang unik serta komitmen untuk menciptakan pengajaran bermutu. Glickman (dalam Burhanudin, dkk, 1995 : 124) menggambarkan ciri-ciri komitmen guru profesional, antara lain, tingginya perhatian terhadap siswa-siswi, banyaknya waktu dan tenaga yang dikeluarkan, bekerja sebanyak-banyaknya untuk orang lain. Ada Apa dengan Organisasi Guru? Setiap tahun peringatan Hari Guru di Indonesia rutin dilakukan hingga dari tingkat kecamatan hingga tingkat nasional. Pada level nasional biasanya peringatan Hari Guru akan dihadiri oleh Presiden. Meski demikian kinerja organisasi guru masih perlu dipertanyakan sudah sampai sejauh mana komitmennya dalam mendukung peraturan maupun melaksanakan Undang-Undang tentang komitmen profesionalisme guru. Organisasi guru semestinya harus sejalan dengan tuntutan profesionalisme guru, tuntutan pemerintah maupun tuntutan era globalisasi. Organisai guru harus tanggap terhadap kinerja seorang guru. Kesetiaan menjadi guru mudah kita amati apabila dilihat dari rentang waktu dimana sejak seseorang mulai diangkat menjadi guru hingga sekarang. Persoalannya sekarang apakah kesetiaan terbuka untuk dinilai oleh lingkungan organisasi guru sehingga bisa dinilai memiliki ketekunan yang mengandung aspek loyalitas terhadap profesinya. Organisasi guru seharusnya tidak diperkenankan mempolitisasi sikap guru yang berdaulat. Sebab di tangan guru yang profesional dan baik, kurukulum yang kurang baik akan menjadi baik demikian juga sebaliknya guru yang tidak profesional dan tidak baik meski kurikulum baik tidak akan menjadi baik. Itulah sebabnya peningkatan mutu pendidikan ditentukan oleh kesiapan sumber daya manusia yang terlibat dalam proses pendidikan termasuk organisasi guru. Organisasi guru harys menyadari bahwa keberhasilan penyelenggaraan pendidikan sangat ditentukan kesiapan guru dalam mempersiapkan peserta didiknya melalui kegiatan belajar mengajar. Namun demikian posisi strategis guru untuk meningkatkan mutu hasil pendidikan sangat dipengaruhi oleh kemampuan profesional guru dan mutu kinerjanya. Organisasi guru harus menyadari bahwa guru dituntut memiliki kinerja yang mampu memberikan dan merealisasikan harapan dan keinginan semua pihak terutama masyarakat umum yang telah mempercayai sekolah dan guru dalam membina anak didik. Dalam meraih mutu pendidikan yang baik sangat dipengaruhi oleh kinerja guru dalam melaksanakan tugasnya sehingga kinerja guru menjadi tuntutan penting untuk mencapai keberhasilan pendidikan. Secara umum mutu pendidikan yang baik menjadi tolok ukur bagi keberhasilan kinerja yang ditunjukkan guru. Organisai guru harus tanggap bagaimana mengatasi hambatan terhadap peningkatan kinerja guru ke arah yang lebih baik. Sudahkah organisasi guru mampu mengukur dan melaksanakan indikato-indikator kinerja guru. Organisasi guru juga harus mampu membuat desain pengembangan profesi guru ke arah yang lebih baik sehingga berperan aktif dalam membantu pemerintah dalam peningkatan mutu profesionalisme guru. Karena pengembangan profesi guru memiliki hubungan fungsional dan pengaruh terhadap kinerja guru dan memperkuat kemampuan profesional guru dalam melaksanakan pekerjaannya. Organisasi guru harus menyadari bahwa kekerdilan profesi guru dan ilmu pendidikan disebabkan terputusnya program pre-service dan in-service karena pertimbangan birokratis yang kaku atau manajemen pendidikan yang lemah. Penataan manajemen pendidikan dan upaya mewujudkan manusia terdidik yang mempunyai kecakapan hidup memerlukan guru yang handal (the good high teachers). Guru Profesional Pembicaraan tentang profesionalisme guru tidak bisa lepas dari pentingnya guru yang professional. Menurut Rice dan Bishopirick (1971), guru professional adalah guru yang mampu mengelola dirinya sendiri dalam melaksanakan tugas-tugasnya sehari-hari. Profesionalisasi guru dipandang sebagai suatu proses yang bergerak dari ketidaktahuan (ignorance) menjadi tahu, dari ketidakmatangan (immaturity) menjadi matang, dari diarahkan oleh orang lain (other-directedness) menjadi mengarahkan diri sendiri. Glickman (1981) juga menegaskan bahwa seseorang akan bekerja secara professional apabila orang tersebut memiliki kemampuan (ability) dan motivasi (motivation). Seseorang akan bekerja secara profesional bila memiliki kemampuan kerja yang tinggi dan kesungguhan hati untuk mengerjakan pekerjaannya dengan sebaik-baiknya. Seorang guru dapat dikatakan profesional bila memiliki kemampuan tinggi (high level of abstract) dan motivasi kerja tinggi (high level of commitment). Sudarwan Danim yang mengutip pendapat Howard M. Vollmer dan Donald L. Mills berpendapat bahwa profesi adalah suatu pekerjaan yang menuntut kemampuan intelektual khusus yang diperoleh melalui kegiatan belajar dan pelatihan yang bertujuan untuk menguasai ketrampilan atau keahlian dalam melayani atau memberikan advis pada orang lain dengan memperoleh upah atau gaji dalam jumlah tertentu. Pada dasarnya profesionalisme dan sikap professional itu merupakan motivasi intrinsik yang ada pada diri seseorang sebagai pendorong untuk mengembangkan dirinya menjadi tenaga profesional. Motivasi intrinsik tersebut akan berdampak pada munculnya etos kerja yang unggul (exellence. Bentuk kerja yang ditampilkan oleh seorang profesional yakni keinginan untuk selalu menampilkan perilaku yang mendekati standar ideal. Meningkatkan dan memelihara citra profesi. Profesionalisme yang tinggi ditunjukkan oleh besarnya keinginan untuk selalu meningkatkan dan memelihara citra profesi melalui perwujudan perilaku profesional. Memanfaatkan setiap kesempatan pengembangan profesional. Selain itu mengejar kualitas dan cita-cita dalam profesi serta memiliki kebanggaan terhadap profesinya. Usaha pengembangan profesi (professionalization) harus bertolak dari konstruk profesi serta bergerak ke arah substansi spesifik bidangnya. Profesi menurut Ritzer (1972), yakni memiliki pengetahuan teoretik (theoretical knowledge). Pekerjaan profesional menikmati derajat otonomi tinggi, yang bahkan cenderung bekerja secara mandiri sesuai dengan kompetensi yang dimilikinya. Organisasi profesi juga melakukan transformasi organisasi profesi melalui letak kendali (locus of control) profesi keguruan, seperti kewenangan sertifikasi, evaluasi dan pemberian sanksi, juga bergeser dari ranah politik pemerintah ke ranah profesi keguruan. Karena pergeseran letak kendali dari pemerintah ke organisasi profesi menyangkut kewenangan dan sumberdaya untuk sertifikasi, akreditasi, dan evaluasi, maka persoalan menjadi sangat berdimensi politik serta sarat dengan konflik kepentingan. Menurut Watson Wyatt dalam Ruky (2003: 106) competency merupakan kombinasi dari keterampilan (skill), pengetahuan (knowledge), dan perilaku (attitude) yang dapat diamati dan diterapkan secara kritis untuk suksesnya sebuah organisasi dan prestasi kerja serta kontribusi pribadi karyawan terhadap organisasinya. Kenezevich (1984:17), menjelaskan pengertian kompetensi yaitu kemampuan-kemampuan untuk mencapai tujuan organisasi. Kemampuan tersebut merupakan hasil dari penggabungan dari kemampuan-kemampuan yang banyak jenisnya, dapat berupa pengetahuan, keterampilan, kepemimpinan, kecerdasan dan lain-lain yang dimiliki seseorang untuk mencapai tujuan organisasi. Menurut Lyle M.Spenser,Jr dan Signe M.Spenser dalam Ruky(2003:104.), kompetensi adalah karakteristik dasar seseorang yang mempengaruhi cara berpikir dan bertindak, membuat generalisasi terhadap segala situasi yang dihadapi, serta bertahan cukup lama dalam diri manusia. Selain itu peningkatak profesionalisme guru berkelanjutan dilakukan oleh Lembaga seperti P4TK dengan membentuk Tim Pengembang Materi Pembelajaran bekerjasama denga Perguruan Tinggi bertugas untuk menelaah dan mengembangkan materi untuk kegiatan KKG/MGMP. Memberikan pembekalan materi kepada instruktur pada LMP, mendesain pola dan mekanisme kerja instruktur dalam kegiatan KKG maupun MGMP. Sedangkan tugas LPMP adalah menyeleksi guru utk menjadi Instruktur per jenjang dan per mata pelajaran dengan tugas menjadi nara sumber pada kegiatan KKG/MGMP Mengembangkan/mencari materi untuk kegiatan di KKG dan MGMP dan mengembangkan inovasi pembelajaran untuk KKG dan MGMP.Untuk kabupaten/Kota membentuk Guru Inti per jenjang dan per mata pelajaran dengan tugas, motivator bagi guru untuk aktif dalam KKG dan MGMP serta mengembangkan inovasi pembelajaran. Saat ini tercatat sebanyak 2.783.321 guru di tanah air dengan 30 LPMP, 13 LPTK Negeri, 19 FKIP Universitas Negeri, 234 LPTK Swasta dan 12 PPPG, Apakah dengan jumlah sebanyak itu tidak mampu menghasilkan guru profesional. Dukungan prganisasi guru untuk peningkatan profesionalisme guru wajib diperlukan dan memanfaatkan semua iyuran-iyuran organisasi guru untuk peningkatan kompetensi profesionalisme guru. Semoga. (penulis adalah pendidik tinggal di kota jambi, dihimpun dari sumber-sumber relevan).

GURU BERPRESTASI BAGAIMANA SESUNGGUHNYA

Guru Berprestasi Bagaimana Sesungguhnya? Oleh: Nelson Sihaloho Abstrak: Seringkali muncul dikalangan umum bahwa guru berprestasi itu adalah guru yang sangat cerdas, menguasai 3 bahasa atau lebih, selalu berhasil membawa siswa juara pada event-evet internasioal bahkan guru berprestasi bisa diraih bila dekat dengan penguasa ataupun kenal dengan pejabat-pejabat tertentu. Paling ironis guru tidak naik pangkat lebih 10 tahun pun layak menyandang “guru berprestasi atau guru teladan, guru favorit”. Tatkala guru dihadapkan pada aturan baru yang berkaitan dengan memacu kompetensi guru akan muncul sentimen negatif terhadap perilaku guru yang enggan mengikuti aturan baru yang diberlakukan. Fakta dan kenyataan dilapangan berdasarkan pengamatan dan pemantauan dalam kegiatan sehari-hari sering kita lihat guru kurang disiplin dalam menjalankan tugasnya, oknum kepala sekolah yang sering “menabrak aturan”. Bahkan diduga pemicu terjadinya ketimpangan dalam penetapan guru berprestasi adalah Permendiknas No. 28 tahun 2010 tentang Penugasan Guru mendapatkan tugas tambahan sebagai Kepala Sekolah. Padahal apabila dikaji secara lebih mendalam Permendiknas No. 28 itu sedikit banyaknya akan menimbulkan pro-kotra terhadap aturan kepegawaian. Masih layakkah Permendiknas No. 28 Tahun 2010 itu dipertahankan sesuai dengan tuntutan dan perkembangan aturan dan undang-undang kepegawaian. Mengapa kementrian yang berwenang berani mengeluarkan dan mengesahkan aturan itu untuk dilaksanakan? Hingga kapankah Permendinas No. 28 Tahun 2010 itu akan bertahan? Sekilas Juklak Peraturannya Kementrian Pendidikan Nasional- Badan Kepegawaian Negara (BKN) melakukan penandatanganan peraturan bersama tentang petunjuk pelaksanaan (juklak) jabatan fungsional guru dan angka kreditnya. Penandatanganan dilakukan oleh mantan Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Mohammad Nuh bersama dengan Kepala BKN Edi Topo Ashari, Kamis (6/5/2010) silam. Peraturan bersama ini juga berisi juklak jabatan fungsional pengembang teknologi pembelajaran dan angka kreditnya, serta juklak jabatan fungsional pranata laboratorium pendidikan dan angka kreditnya. M. Muh (2010) mengungkapkan bahwa, juklak diterbitkan guna memberikan penghargaan terhadap prestasi yang diraih. M. Nuh,et.el menyatakan bahwa pengakuan, sangat penting karena ada orang yang prestasinya bagus, tetapi prestasi itu tidak diapresiasi. Prestasi seakan-akan tidak bisa kita kenal karena rumusnya tidak ada dan karena tidak dikenal tidak bisa kita berikan apresiasi. Namun faktanya dilapangan belum semua pejabat yang berkepentingan dapat melaksanakan peraturan bersama ini dengan baik dan tertib. Lebih khusus yang berkaitan dengan prosedur penilaian dan penetapan angka kredit pengangkatan dalam jabatan dan kenaikan jabatan atau pangkat perpindahan dalam dan dari jabatan, serta pembebasan sementara dan pemberhentian dalam dan dari jabatan. Dalam aturan itu juga ditegaskan bahwa upaya yang dilakukan dapat dihasilkan pejabat fungsional yang profesional dan mandiri, serta mempunyai uraian tugas yang jelas penilaian, kinerja terukur, serta jalur karir jabatan dan pangkat sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Permen PAN RB No. 16 Tahun 2009 tentang Jabatan Fungsional Guru dan angka kreditnya belum berjalan dengan baik. Bahkan Permendiknas No. 35 Tahun 2010 juga belum berjalan efektif karena Penilaian Kinerja Guru (PKG) menuntut guru untuk memiliki dokumen-dokumen otentik terhadap kinerjanya. Sementara itu guru berprestasi sering disebutkan adalah guru yang memiliki kinerja melampaui standar yang telah ditetapkan oleh satuan pendidikan, yang mencakup kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi profesional, kompetensi sosial dan mampu menghasilkan karya inovatif yang diakui baik pada tingkat daerah, nasional dan/atau internasional; dan secara langsung membimbing peserta didik hingga mencapai prestasi di bidang intrakurikuler dan/atau ekstrakurikuler. Pada bulan Mei setiap tahunnya selalu diadakan kompetisi antar guru se-Indonesia dalam Pemilihan Guru Berprestasi mulai dari tingkat sekolah, kecamatan, kabupaten, provinsi dan final di tingkat nasional. Adapun puncak dari kegiatan tersebut adalah diserahkannya piala dan penghargaan bagi para pemenang pada tanggal 2 Mei tepat saat peringatan Hari Pendidikan Nasional. Pemilihan Guru Berprestasi menjadi ajang kompetisi positif dan sharing antar peserta dalam meningkatkan kompetensi dan profesionalisme mereka. Pemilihan Guru Berprestasi dimaksudkan pemerintah untuk memberi dorongan motivasi, dedikasi, loyalitas, dan profesionalisme guru yang diharapkan akan berpengaruh positif pada kinerja dan prestasi kerjanya (Depdiknas, 2009). Selain itu, ajang kompetisi ini dilaksanakan dalam rangka memberikan perhatian dan penghargaan kepada para guru. Hal ini sesuai dengan amanat Undang-Undang No. 14 tahun 2005, pasal 36 ayat (1) “Guru yang berprestasi, berdedikasi luar biasa, dan/atau bertugas di daerah khusus berhak memperoleh penghargaan”. Ada tiga kriteria yang menjadi acuan penilaian dalam pemilihan guru berprestasi, yakni: pertama, unggul/mumpuni dilihat dari kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial, dan profesional; kedua, menghasilkan karya kreatif dan inovatif; dan ketiga secara langsung membimbing peserta didik hingga mencapai prestasi di bidang intrakurikuler dan/atau ekstrakurikuler. Bagaimana Motivasi Guru Berpretasi? Guru sebagai pelaksana pendidikan merupakan faktor yang besar pengaruhnya terhadap hasil pendidikan guru mengemban tanggung jawab operasional pengajaran, sedangkan unsur-unsur lainnya adalah penunjang kelancaran tugas guru dalam mencapai tujuan. Unsur-unsur meningkatkan kemampuan secara teknis guru sudah banyak dilakukan melalui berbagai kegiatan seperti penataran, lokakarya, seminar dan lain sebagainya, namun keluhan-keluhan masyarakat tentang ketidakpuasan terhadap guru masih banyak bermunculan. Motivasi berprestasi erat kaitannya dengan motivasi diri bagaimana kita untuk melakukan sesuatu (will to do) (Hersey dan Blauchard, 1996:16). Houston merumuskan motivasi sebagai faktor yang menjadikan perilaku bekerja dengan inisiatif, terarah, intensif dan gigih. (Houston, 1995:5). Teori motivasi yang dikemukakan oleh Maslow diklasifikasikan motivasi menurut hierarki kebutuhan dimana bila suatu kebutuhan telah terpenuhi, kebutuhan tersebut tidak lagi merupakan motivator (Hersey, 1996:32). Motivasi berprestasi pertama-tama dikemukakan oleh McClelland yang didasarkan dari hasil penelitian selama lima tahun bahwa motivasi berprestasi adalah suatu keinginan untuk bekerja dengan baik, tetapi untuk mencapai perasaan keberhasilan diri (McClelland, 1993:76). Hasil terbaik sesuai pendapat Atkinson bahwa kecenderungan berprestasi dapat dijadikan dalam formula Ts = MsXPsxIs (Atkinson, 1988:12)Ts (Tendecy of Success) adalah kekuatan kecenderungan untuk berprestasi, MS (Motive to Achieve Success) ialah perbedaan-perbedaan bentuk sukses yang diinginkan atau disenangi individu, PS (Probability of Success) diistilahkan juga dengan expectency of success merupakan tinggi rendahnya pengharapan individu untuk mencapai kesuksesan, sedangkan Is (Incentive value of success) adalahnilai insentif kesuksesan bagi individu. McClelland mengasosiasikan motivasi berprestasi itu sebagai Virus Metal yang bila berjangkit pada seseorang akan mengakibatkan orang itu berprilaku yang sangat energetik dalam bekerja (McClelland, 1971:31). Pendapat ini didukung oleh House dan Kerr bahwa individu yang punya motivasi berprestasi memiliki rasa tanggung jawab terhadap tugas, sukadengan tugas yang menantang, berorientasi ke depan, dan gigih dalam bekerja (House & Kerr, 1996:190). Agar guru dapat mengajar dengan efektif dan wajib melaksanakan pengajaran dengan baik. Ada tiga kriteria dalam menilai efektivitas pengajaran yaitu proses, karakteristik guru dan hasil (Mc Neil, 1999:248). Perilaku pengajaran dalam pembelajaran ini ditinjau dari kemampuan-kemampuan guru dalam melaksanakan tugas-tugas pengajaran sebagaimana dikemukakan Cooper kemampuan yang perlu dimiliki guru dalam perilaku pengaj aran adalah, kemampuan merencanakan pengajaran; kemampuan mengimplementasikan; dan kemampuan mengevaluasi (Cooper, 1990:18). Moully, 1887:85, menambahkan kemampuan yang bersifat psikologis yaitu mengarahkan dan memotivasi siswa untuk mencapai tujuan pendidikan yang diinginkan; memberikan pengalaman belajar yang berguna melalui pengajaran dalam rangka mencapai tujuan; dan mengembangkan aspek-aspek kepribadian siswa secara menyeluruh. Sekait dengan itu teori Maslow juga menekankan peranan guru sebagai fasilitator, dan mengajukan terciptanya kondisi lingkungan belajar yang menciptakan kondisi lingkungan belajar yang menjamin siswa pada rasa aman dan bebas mewujudkan dirinya (Munandar, 1995:81-90). Menurut Freire dialog (komunikasi dialogik) merupakan faktor esensial dalam keterampilan mengajar (Freire, 1997:56). "Only dialoque, which requires critical thinking, is also capable of generating critical thinking. Without dialoque there is no communication, and without communication there can be no true education'. (Freire, 1997 : 65). Intinya penekanan pada keterampilan mengajar yang dialogikal berarti juga menyangkut peranan siswa dalam partisipasinya dalam mengorganisir aktivitas pembelajaran. Motivasi berprestasi merupakan dorongan bagi seorang untuk bekerja sebaik-baiknya agar mencapai hasil yang terbaik. Seorang yang memiliki motivasi berprestasi akan mempunyai semangat kerja tinggi, gigih, optimis, berorientasi ke depan, ingin mendapatkan umpan balik dari hasil kerjanya, berusaha untuk berprestasi dengan usaha sendiri dan lebih mementingkan karya daripada insentif. Motivasi berprestasi guru akan menimbulkan, mengarahkan, mengintensifkan dan memperteguh perilaku pengajaran guru ke arah pencapaian prestasi belajar siswa dan akan memberikan dampak positif terhadap perilaku pengajaran. Semakin tinggi motivasi berprestasi guru maka semakin baik dalam perilaku mengajar, dengan punya peran yang besar terhadapperilaku mengajar guru. Keller (1993) menyusun seperangkat prinsip-prinsip motivasi yang dapat diterapkan dalam proses belajar mengajar yang disebut dengan model ARCS (Attention, Relevance, Confidence dan Satistaction). Guru seringkali berasumsi bahwa motivasi belajar siswa merupakan masalah siswa itu sendiri dan guru yang bertanggung jawab untuk mengusahakan agar mempunyai motivasi tinggi. Namun sebenarnya guru dapat berusaha untuk menerapkan prinsip-prinsip motivasi dalam proses dan cara mengajar, untuk merangsang, meningkatkan dan memelihara motivasi siswa dalam belajar. Menurut McClelland kebutuhan manusia mencakup tiga hal yaitu, kebutuhan untuk berprestasi (need for achievement); kebutuhan untuk memiliki kuasa (need for power); dan (c) kebutuhan untuk berafiliasi (needs for affiliation) (McClelland, 1993 : 71). Kebutuhan kedua adalah nilai yang bersifat instrumental, dimana keberhasilan dalam mengerjakan suaru tugas dianggap sebagai langkah untuk mencapai kebutuhan lebih lanjut. Ketiga nilai kultural, apabila tujuan yang ingin dicapai konsisten atau sesuai dengan nilai yang dipegang oleh kelompok. Maslow merumuskan kebutuhan manusia yang bersifat hirarki yaitu, kebutuhan fisik, kebutuhan aman, kebutuhan cinta, kebutuhan penghargaan dan kebutuhan aktualisasi diri. (Griffore, 1981:68). Analisis yang dikemukakan oleh Romiszowski (1984) bahwa kinerja atau performance yang rendah dapat disebabkan oleh motivasi dari dalam maupun dari luar individu. Pembicaraan secara mendalam mengenai keterampilan mengajar guru tidak cukup apabila hanya sekedar membicarakan aspek upaya. Pembicaraan akan menjadi bermakna apabila menyentuh aspek mengapa dan bagaimana sebab seperti apa yang dikatakan Bruner bahwa teori pembelajaran (instruction) berbeda dengan teori belajar. Teori belajar menjelaskan apa yang terjadi, sedangkan kalau teori pembelajaran menjelaskan bagaimana untuk membuat agar belajar terjadi secara efisien (Patterson, 1997 Ip. 154). Keterampilan berkomunikasi guru terhadap siswa yang dipakai sebagai suatu istilah perangkat peristiwa yang dilakukan guru terhadap murid kerap kali diartikan hanya sebagai memberitahu (to inform) sehingga proses pembelajaran kurang berjalan baik. Komunikasi sebagai esensi peristiwa pembelajaran harus dikaitkan dengan tujuan membantu proses belajar (Gagne, 1994:35). Sebagai guru yang mempunyai keterampilan pemahaman bahwa pembelajaran sebagai aktivitas menolong anak yang belajar. Guru harus menghindari memperlakukan siswa secara semaunya sebagai obyek yang memiliki perbedaan individual. Guru berpretasi bukan hanya guru yang mengikuti komptisi guru berprestasi melainkan guru yang secara terus menerus mengembangkan mutu dan kualitas profesionalnya. Semakin tinggi motivasi guru dalam untuk mencapai sesuatu maka semakin tinggi motivasinya untuk berprestasi. (Disarikan dari berbagai sumber: Penulis tinggal di Kota Jambi).