Minggu, 09 November 2014

PENDIDIKAN KARAKTER

Pendidikan Karakter dan Era Globalisasi Oleh: Nelson Sihaloho Mengutip pendapat Akhmed (2011:3) memaparkan “ dewasa ini telah terjadi pergeseran nilai etika dan budaya di berbagai kalangan, khususnya para remaja. Pergeseran ditadai dengan maraknya pergaulan bebas dan ancaman pornografi, kekerasan, dan kerusuhan yang berujung pada tindak anarkis, hingga adanya hegemoni suatu kelompok”. Masih banyak lagi bentuk-bentuk tindakan anarkis, mulai dari tawuran antar pelajar, mahasiswa bahkan kisruh-kisruh di elit DPR saat sidang paripurna. Era globalisasi telah membentuk manusia serba instan dan berpikir praktis untuk mencapai tujuan. Ketidakmampuan mengikuti zaman akan menjadikan manusia mudah frustasi dan melakukan tindakan yang menghalalkan segala cara agar tujuannya tercapai termasuk dalam pendidikan” (Kamilun, 2010:18). Pendidikan diharapkan mampu membendung berbagai kemungkinan-kemungkinan negatif yang secara perlahan akan menghilangkan budaya bangsa ini. Penguatan pendidikan karakter menekankan pada dimensi etis spiritual dalam proses pembentukan pribadi. Menurut Hasan (2011:3) mengungkapkan, “ untuk membentengi generasi muda agar terhindar dari pergeseran nilai etika dan budaya, diperlukan pembangunan karakter”. Pendidikan karakter adalah pemberian pandangan mengenai berbagai jenis nilai hidup, seperti kejujuran, kecerdasan, kepedulian, tanggung jawab, kebenaran, keindahan, kebaikan, dan keimanan. Sardiman (2010:1) mengatakan, Bung Karno pernah berpesan kepada kita bangsa Indonesia, bahwa tugas berat untuk mengisi kemerdekaan adalah membangun karakter bangsa. Apabila pembangunan karakter bangsa ini tidak berhasil, maka bangsa Indonesia akan menjadi bangsa kuli (H. Soemarno Soedarsono, 2009). Pernyataan Bung Karno ini menunjukkan pentingnya pendidikan dan pembangunan karakter demi tegak dan kokohnya jati diri bangsa agar mampu bersaing dalam tatanan dunia global. Karakter Simbol “Jati Diri” Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Menurut Imam Ghazali karakter adalah suatu sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan perbuatan-perbuatan dengan mudah tanpa melakukan pertimbangan fikiran. Karakter adalah sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang menjadi ciri khas seseorang atau sekelompok orang.(Shintawati, 2010). Terminologi ”karakter” memuat dua hal yaitu values (nilai-nilai) dan kepribadian. Suatu karakter merupakan cerminan dari nilai apa yang melekat dalam sebuah entitas. Karakter yang baik pada gilirannya adalah suatu penampakan dari nilai yang baik dimiliki oleh orang atau sesuatu, di luar persoalan apakah ”baik” sebagai sesuatu yang ”asli” ataukah sekadar kamuflase. Pendidikan karakter berkenaan dengan psikis individu, diantaranya segi keinginan/nafsu, motif, dan dorongan berbuat. Pendidikan karakter adalah pemberian pandangan mengenai berbagai jenis nilai hidup, seperti kejujuran, kecerdasan, kepedulian, tanggung jawab, kebenaran, keindahan, kebaikan, dan keimanan. Heri (2010) menyatakan bahwa pendidikan berbasis karakter dapat mengintegrasikan informasi yang diperolehnya selama dalam pendidikan untuk dijadikan pandangan hidup yang berguna bagi upaya penanggulangan persoalan hidupnya. Di dalam era globalisasi salah satu masalah yang menonjol ialah kedudukan negara-bangsa (nation-state). Samuel P. Huntington, sudah mengkhawatirkan terjadinya erosi dari peranan nation-state di dalam era globalisasi. Tidak mengherankan apabila Huntington dalam The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order memprediksikan hapusnya negara-negara dan lahirnya kelompok-kelompok budaya yang besar. Nanang Fatah, menyatakan globalisasi dampaknya terasa memasuki berbagai aspek kehidupan. Disadari atau tidak semua pihak dan kalangan perlu menyikapinya dengan baik. Untuk sektor pendidikan dituntut untuk lebih arif dan bijak dalam menghadapi tantangan global pendidikan. Menurut Gudmund Hernes (2003:7) sedikitnya ada tujuh tantangan global yang dihadapi oleh pendidikan. Tantangan itu adalah pertama, reducing inequelities, poverty, marginalization and exclusion, kedua, establishing better link between education and the local economy, and between education and the globalizating world of work. Ketiga, preventing the growing role of market-driven research and education from widening the technology and knowledge gaps between industrialized and devoleping countries. Keempat, ensuring that the research requirement of devoleping countries receive the necessary attention and can be addressed by their own scientist and scholar, kelima, reducing negative impact of the brain from the poor to the rich countries and from backward to advantaged regions as the market for students is also becoming globalized, keenam, addressing the impact of market principles and the changing role of the state on education and their bearing on the planning and the changing role of the state oneducation and their bearing on the planning and management of education. Ketujuh adalah, using the education system it self not just to transmit the general body of science wichh can be used in all places, but also to preserve variety and the richness of the world heritages, languages, artistic expressions, lifestyle-in world becoming more homogeneous. Permasalahan berat pendidikan yang dihadapi dewasa ini sebenarnya telah disinyalir oleh Coombs (1968), yang mengemukakan bahwa krisis yang melanda dunia pendidikan karena muncul ketidakseimbangan peran. Bahwa krisis pendidikan disebabkan oleh empat faktor. Pertama, the increase in popular aspirations for education, yang ditandai oleh tumbuh kembangnya sekolah-sekolah dan universitas di mana-mana. Kedua, the acute scarsity of the resources, yang ditandai oleh kurang responsifnya system pendidikan terhadap kebutuhan masyarakat secara menyeluruh, Ketiga, the inherent inertia of educational system, yang ditandai oleh mengapa pendidikan selalu terlambat berantsipasi untuk menyesuaikan diri terhadap hal-hal di luar dunia pendidikan serta keempat, the inertia of societies themselves, hal-hal seperti sikap tradisional, prestige and incentive pattern menghalangi meningkatkan tenaga kerja pembangunan. Berkelanjutan Beberapa alasan yang mendasar bahwa pendidikan berbasis karakter diperlukan seperti yang terjadi di USA pada saat memasuki abad 21. Diantaranya, there is a clear and urgent need, transmitting values is and always has been the work of civilisation, the school’s role as moral educator becomes more vital at a time when millions of children get little moral teaching from their parents and when value-centered influence such as church or temple are also absent from their lives. Selanjutnya adalah there is a common ethical ground even in our values-conflicted society, democracies have a special need for moral education, there is no such thing as value-free education. Moral questions are among the great question facing both the individuals and human race and there is a broad-based, growing support for values education in the schools. Pendidikan nilai/moral memang sangat diperlukan atas dasar argument adanya kebutuhan nyata dan mendesak dimana proses demokasi yang semakin meluas dan tantangan globalisasi yang semakin kuat dan beragam disatu pihak dan dunia persekolahan dan pendidikan tinggi yang lebih mementingkan penguasaan dimensi pengetahuan. Menurut mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (2013) memandang perlunya pembangunan karakter saat ini. Pembangunan karakter (character building) amat penting. Untuk itu perlu dicari jalan terbaik untuk membangun dan mengembangkan karkater manusia dan bangsa Indonesia agar memiliki krakter yang baik, unggul dan mulia. Upaya yang tepat untuk itu adalah melalui pendidikan, karena pendidikan memiliki peran penting dan sentral dalam pengembangan potensi manusia, termasuk potensi mental. Pendidikan karakter memiliki tiga fungsi utama, yaitu pembentukan dan pengembangan. Potensi pendidikan karakter berfungsi membentuk dan mengembangkan potensi manusia atau warga negara Indonesia agar berpikiran baik, berhati baik, dan berperilaku baik sesuai dengan falsafah hidup Pancasila. Perbaikan dan Penguatan, pendidikan karakter berfungsi memperbaiki karaker manusia dan warga Negara Indoneisa yang bersifat negatif dan memperkuat peran keluarga, satuan pendidikan, masyarakat, dan pemerintah untuk ikut berpartisipasi dan bertanggung jawab dalam pengembangan potensi manusia atau warga negara menuju bangsa yang berkarakter, maju, mandiri dan sejahtera. Penyaring, pendidikan karakter bangsa berfungsi memilah nilai-nilai budaya bangsa sendiri dan menyaring nilai-nilai budaya bangsa lain yang positif untuk menjadi karakter manusia dan warga negara Indonesia agar menjadi bangsa yang bermartabat. Dalam dunia pendidikan, keberhasilan pendidikan bukan diukur dari tercapainya target akademis siswa, tetapi lebih kepada proses pembelajaran sehingga dapat memberikan perubahan sikap dan perilaku kepada siswa. Masih banyak guru-guru yang menyatakan bahwa keberhasilan pendidikan hanya diukur dari tercapainya target akademis siswa, karena sebagian mereka mengajar dengan orientasi bahwa siswa harus mendapatkan nilai yang bagus sehingga dapat dianggap siswa atau guru itu telah berhasil melaksanakan pendidikan. Apabila tidak ada pembelajaran dalam pendidikan, maka hasilnya akan stagnan. Kita menginginkan adanya proses pembelajaran yang dapat memberikan perubahan positif pada perilaku dan sikap pelajar kita sehingga mereka tidak hanya menguasai ilmu pengetahuan secara akademik tetapi mereka dapat membentuk karakter yang kuat bagi dirinya. Dalam menghadapi era globalisasi yang semakin pesat, karakter bangsa yang kuat sangat diperlukan, maka dituntut peran penting dari generasi muda, khususnya perannya sebagai character enabler, character builders dan character engineer. Tiga peran itu adalah sebagai pembangun kembali karakter bangsa (character builder). Di tengah derasnya arus globalisasi, peran ini tentunya sangat berat, namun esensinya adalah adanya kemauan keras dan komitmen dari generasi muda untuk menjunjung nilai-nilai moral untuk menginternalisasikannya pada aktifitas sehari-hari. Sebagai pemberdaya karakter (character enabler). Peran ini juga tidak kalah beratnya, selain kemauan kuat dan kesadaran kolektif dengan kohesivitas tinggi, masih dibutuhkan adanya kekuatan untuk terlibat dalam masyarakat maupun di tempat asing. Sebagai perekayasa karakter (character engineer). Peran ini menuntut generasi muda untuk terus melakukan pembelajaran, adanya modifikasi dan rekayasa yang tepat disesuaikan dengan perkembangan zaman. Peran generasi muda sangat diharapkan oleh bangsa, karena ditangan merekalah proses pembelajaran adaptif dapat berlangsung dalam kondisi yang paling produktif. Menghadapi globalisasi, karakter generasi muda harus lebih meningkatkan pembangunan budi pekerti dan sikap menghormati dan harus mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Mengutip pendapat mantan Mendikbud, Mohammad Nuh menegaskan, bahwa “tidak ada yang menolak tentang pentingnya karakter, tetapi yang lebih penting adalah bagaimana menyusun dan menyistemasikan, sehingga anak-anak dapat lebih berkarakter dan lebih berbudaya”. Semoga. (Disarikan dari berbagai sumber: penulis adalah Guru SMPN 11 Kota Jambi, email:sihaloho11@yahoo.com).