Jumat, 02 Desember 2011

GURU PROFESIONAL


Guru Profesional  dan  Tuntutan Pendidikan Bermutu
Oleh: Nelson Sihaloho
Pendidikan berkualitas bertaraf internasional (a world class education) saat ini sudah mulai berkembang di kalangan pengelola pendidikan di pusat dan daerah. Pemerintah, sejak empat tahun terakhir sudah memperkenalkan model pengelolaan sekolah bertaraf internasional (SBI) dan sekolah mandiri (SM). Upaya pemerintah untuk meningkatkan mutu pendidikan melalui berbagai penyempurnaan sistem administrasi dan pengelolaan pendidikan patut diapresiasi. Penataan institusi (institutional building), kurikulum, dan penilaian itu hendaknya juga didukung dan dapat diselaraskan dengan program penguatan kapasitas guru (teachers capacity building) dan kepala sekolah.
Saat ini, kebutuhan akan pendidikan bermutu sudah menjadi tuntutan dalam proses pendidikan. Lembaga pendidikan mendapatkan tugas cukup berat untuk menyiapkan peserta didik yang memiliki kemampuan dan keterampilan yang dibutuhkan pada abad ke-21. Ketrampilan itu adalah teknologi informasi, berpikir kritis dan kreatif, pemecahan masalah, dan kompetensi sosial agar mereka dapat hidup dan bekerja sama untuk kesejahteraan masyarakat dunia.
Model pembinaan guru saat ini telah diarahkan pada kebutuhan dan tuntutan perubahan. Kurikulum penataran yang selama ini hanya berfokus pada pengetahuan generik diubah dan difokuskan pada penguatan substansi mata pelajaran (subject knowledge), termasuk peningkatan kemampuan guru (teachers capacity building). Berbagai kegiatan, seperti rapat-rapat sekolah/guru, konferensi, lokakarya, presentasi, forum guru mata pelajaran sejenis, belajar mandiri (independent learning), dan continuous self-reflection harus dipahami sebagai bagian dari upaya pembinaan kemampuan guru.
Sebagai fasilitator pembelajaran, guru dituntut memiliki keinginan untuk senantiasa meningkatkan pengetahuan dan keterampilannya (continuous learners).
Banyak hasil studi menunjukkan, seorang guru akan dapat bekerja secara baik dan profesional apabila yang bersangkutan memiliki beberapa kemampuan.  Daintaranya menguasai mata pelajaran yang diajarkan dengan baik (academic competence). Mampu menerjemahkan kurikulum menjadi paket-paket pembelajaran, yang tersusun secara sistematis, tematis, dan menunjukkan relevansinya dengan mata pelajaran lain dan kehidupan keseharian. Mampu menyampaikan materi pembelajaran itu kepada siswa dengan menggunakan pendekatan yang menarik, inspiratif, dan menantang (methodological competence) serta memiliki kemampuan dalam berkomunikasi dengan siswanya secara baik.
Metode Pelatihan Guru
Banyak metode dan desain pelatihan guru digulirkan oleh pemerintah. Namun secar konseptual metode dan desai pelatihan maupun peningkatan kompetensi profesionalisme guru sering salah arah dan tidak menyentuh substansi penegmbangan profesionalisme guru secara berkelanjutan.
Daniels (2007) menegaskan bahwa ’the most effective programs put content at the center, focusing professional development squarely in the curriculum: on math, or science, or writing, social studies, or reading. Broader concerns such as classroom management then is quite naturally covered in the context of content learning, not vice versa’.
Desain pelatihan hendaknya juga dapat diarahkan pada upaya untuk meningkatkan pemikiran kritis (critical thinking), kemampuan komunikasi, dan pemanfaatan teknologi informasi. Dengan demikian guru, sebagai fasilitator pembelajaran, dapat merespons tuntutan perubahan dengan cepat dan tepat dimanakemampuan dan keterampilan itu haruslah disampaikan sebagai bagian dari diskusi dan pembahasan tentang mata pelajaran (content knowledge).
Pelatihan yang berkaitan dengan penguatan content knowledge dan pengelolaan kelas, guru dan pimpinan sekolah juga harus diberi keterampilan dan pengetahuan tentang bagaimana mengembangkan dan menggunakan alat ukur pendidikan dengan benar. Dukungan dan program pembinaan terhadap guru secara berkesinambungan dari pemerintah pusat dan daerah akan menjadi prasyarat utama untuk dapat menciptakan pendidikan bermutu (quality education) sebagaimana menurut Daniels, ’simply trusting that structural and learning is wishful thinking’.
Penguatan KTSP
Sebagaimana target Departemen Pendidikan Nasional (Kemdikbud) pada tahun ajaran 2009/2010, seluruh sekolah menengah harus sudah menerapkan kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP). Meski demikian  membutuhkan proses yang cukup panjang untuk bisa memahami kurikulum baru itu. KTSP dikembangkan berdasarkan prinsip-prinsip berpusat pada potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta didik dan lingkungannya, beragam dan terpadu, tanggap terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni.  Kemudian relevan dengan kebutuhan kehidupan, menyeluruh dan berkesinambungan, belajar sepanjang hayat serta  seimbang antara kepentingan nasional dan kepentingan daerah.
Banyak kesulitan terutama akan dialami oleh para pendidik terutama para guru yang belum merasakan kurikulum berbasis kompetensi (KBK 2004).  
Sebenarnya KTSP memberikan otonomi kepada pendidik dan sekolah untuk menyusun atau menjabarkan sendiri kurikulum. Semangat pemberian kekuasaan atau wewenang untuk mengembangkan kurikulum kesatuan pendidikan itu mirip dengan konsep school based curriculum development (SCBD) di Australia yang mulai diterapkan pada pertengahan 1970-an.
Karena itu program penguatan penerapan KTSP perlu dilaksanakan secara berkelanjutan. Hal yang sangat penting adalah evaluasi KTSP terhadap peningkatan mutu pendidikan. Apakah dengan diberlakukannya KTSP tersebut kualutas mutu pendidikan dan profesionalisme guru semakin meningkat. Perlu kajian lebih mendalam oleh Badan Standar Nasional Pendidikan tentang pelaksanaan KTSP dan hasilnya harus dipublikasikan kepada publik untuk mengetahui sampai sejauh mana keberhasilan penerapan KTSP itu terhadap peningkatan mutu pendidikan termasuk profesionalisme guru.
Penilaian Profesionalisme Guru Bersertifikasi
Jika tidak ada aral melintang pada tahun 2012 mendatang akan dilakukan penilaian terhadap profesionalisme guru bersertifikasi. Paling tidak para guru-guru yang pertama sekali mendapatkan tunjangan sertifikasilah yang akan dinilai kinerja dan profesionalismenya.
Menurut Nanik Setiaji (2005) menyatakan guru menjadi mata rantai terpenting yang menghubungkan antara pengajaran dengan harapan akan masa depan pendidikan di sekolah yang lebih baik.
Sumber permasalahan pendidikan di Indonesia, sebenarnya bukan hanya pada ”persoalan guru” saja, tetapi persoalan perhatian pemerintah dan masyarakat, dana, kurikulum, metologi, manajemen, pimpinan sekolah yang memiliki kemampuan profesional dan integritas dalam mengelola pendidikan. Tuntutan sumber daya pendidikan yang berkualitas dan profesional menjadi suatu keharusan pada era global, informasi dan reformasi pendidikan bahkan kita dihadapkan pada persaingan yang semakin kompetitif.
Menurut  Laporan Bank Dunia (1999)  bahwa salah satu penyebab makin menurunnya mutu pendidikan di Indonesia adalah “kurang profesionalnya” para kepala sekolah sebagai manajer pendidikan di tingkat lapangan.
Jurnal Education Leadership (1994) ada lima ukuran seorang guru dinyatakan profesional, yaitu,  memiliki komitmen pada siswa dan proses belajarnya, secara mendalam menguasai bahan ajar dan cara mengajarkan, bertanggung jawab memantau kemampuan belajar siswa melalui berbagai teknik evaluasi, mampu berpikir sistematis dalam melakukan tugas dan  menjadi bagian dari masyarakat belajar di lingkungan profesinya.
Guru saat ini dituntut untuk menguasai kemampuan akademik, pedagogik, sosial dan budaya, teknologi informasi, mampu berpikir kritis, mengikuti dan tanggap terhadap setiap perubahan serta mampu menyelesaikan masalah.
Profesi guru di abad 21 ini sangat dipengaruhi oleh pendayagunaan teknologi komunikasi dan informasi. Guru dengan kemampuan artifisialnya dapat membelajarkan siswa dalam jumlah besar, bahkan dapat melayani siswa yang tersebar di seluruh penjuru dunia. Maka muncul distributed intelligence (distributed knowledge) menuju suatu  proses long life learning, learning based sebagai pengembangan sumber daya manusia.
Kemajuan teknologi informasi juga akan mempengaruhi profesionalisme dan kinerja guru. Dalam era teknologi informasi dan komunikasi guru dituntut untuk lebih inovatif  dalam melaksanakan tugas profesionalismenya. Upaya peningkatan profesionalisme guru pada akhirnya memang berpulang dan ditentukan oleh  guru itu sendiri. Tuntutan peningkatan kualitas profesionalisme guru, maka guru harus memahami tuntutan standar profesi yang ada, yaitu guru berupaya memahami tuntutan standar profesi yang ada dan ditempatkan sebagai prioritas utama. S ebagai profesional seorang guru harus mengikuti tuntutan perkembangan profesi secara global, dan tuntutan masyarakat yang menghendaki pelayanan yang lebih baik. Untuk memenuhi standar profesi ini, guru harus belaiar secara terus menerus sepanjang hayat, membuka diri, mau mendengar dan melihat perkembangan baru di bidangnya.
engan demikian, guru harus siap dan bersedia untuk diuji kompetensinya secara berkala untuk menjamin agar kinerjanya tetap memenuhi syarat profesional yang terus berkembang. Sebab, di masa depan dapat dipastikan bahwa profil kelayakan guru akan ditekankan kepada aspek-aspek kemampuan membelajarkan siswa yang dimulai dari merencanakan atau merancang, menganalisis, mengembangkan, mengimplementasikan dan menilai pembelajaran yang berbasis pada penerapan teknologi pendidikan.
Masalah mutu profesionalisme guru yang masih belum memadai  sebagaimana diuraikan diatas memerlukan upaya peningkatan. Diperlukan upaya penilaian terhadap kinerja guru secara berkala untuk menjamin agar kinerja guru tetap memenuhi syarat profesionalisme. Wacana yang mencuat saat ini adalah adanya rencana evaluasi terhadap para guru ber- sertifikasi melalui evaluasi kinerja. Tujuannya adalah Lisensi Sertifikasi Guru yang telah melakat itu berbanding lurus dengan prestasi ataupun kinerja profesionalismenya.
Bila memang benar Pemerintah khususnya Kementerian Pendidikan Kebudayaan akan melakukan evaluasi terhadap kinerja guru sertifikasi jelas akan memberikan umpan balik terhadap penilaian kinerja guru. Guru yang kinerjanya asal-asalan diperkirakan Lisensi Sertifikasinya akan dicabut. Apalagi jika berbuat kesalahan dan melanggar kode etik akibatnya lebih fatal lagi.
Pada intinya setiap ada program baru pada akhirnya akan selalu dievaluasi. Termasuk sertifikasi gurupun kelak para guru-guru yang pertama sekali mendapatkan tunjangan sertifikasi selama 3 tahun mereka menyandang predikat guru bersertifikat akan dimintakan pertanggungjawabannya oleh negara. Kita tentu berharap adanya kegiatan evaluasi itu memberikan pencerahan dan momentum terhadap guru bahwa profesionalisme guru saat ini bukan lagi profesi asal-asalan. Pada intinya jika guru ingin profesinya dihargai dan bermartabat harus menjalankan semua kegiatan-kegiatan pengembangan profesi berkelanjutan secara bermutu. Terhadap peserta didik guru juga dituntut untuk menjunjung tinggi integritas kepribadiannya, profesionalismenya, kompetensinya serta kompetensi sosialnya.
Tidak dapat dipungkiri bahwa tuntutan profesionalisme guru dengan tuntutan pendidikan bermutu adalah saling terkait dalam menghadapi era globalisasi. Bangsa yang kompetitif adalah bangsa yang memiliki sumber daya manusia (SDM) yang andal. Kompetitifnya suatu bangsa dapat dinilai dari prestasi maupun produk-produk yang mereka produksi membanjiri pasaran-pasaran serta mereka mampu menguasai segmen pasar secara luas. Meski tantangan cukup berat kita harus optimis bahwa kita masih memiliki peluang besar untuk mampu engejar ketertinggalan kita dengan bangsa lain. Sepanjang pemerintah memiliki komitmen tinggi untuk memajukan sektor pendidikan dan meminimalisir semua persoalan-persoalan yang menghambat kemajuan pendidikan akan mampu mengungguli bangsa lain. Semoga. (disarikan dan dihimpun dari berbagai sumber).

Kamis, 01 Desember 2011

SOFT SKILL


Soft Skill Kunci Sukses Menghadapi Era Globalisasi

Oleh: Nelson Sihaloho


Dalam tataran perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini kita dihadapkan pada suatu era globalsiasi. Suatu era yang sering disebut dengan era kompetisi diberbagai bidang. Teknologi yang berkembang demikian pesat seakan-akan telah melampaui prediksi maupun ramalan-ramalan para pakar-pakar teknologi. Setiap hari selalu saja ilmu dan teknologi yang berkembang sehingga menyebabkan kita berdecak kagum bahkan semakin pesimis dengan teknologi-teklnologi yang ada. Produk-produk teknologi instan pun kini semakin bertaburan dan membanjiri pasaran.
Sebagaimana kita ketahui softskill merujuk kepada indikator seperti kreativitas, sensitifitas, intuisi yang lebih terarah pada kualitas personal yang berada di balik prilaku seseorang.
Menurut Berthal mendefinisikan kualitas personal adalah,“personal and interpersonal behaviors that develop and maximize human performance (e.g. coaching, team, building, decision making, initiative). Soft skill, such as financial, computer or assembly skills”.
Hasil penelitian Harvard University, Amerika Serikat (AS) mengungkapkan bahwa kesuksesan seseorang tidak ditentukan semata-mata oleh pengetahuan dan keterampilan teknis (hard skill), tetapi oleh keterampilan mengelola diri dan orang lain (soft skill).  Penelitian ini mengungkapkan, kesuksesan hanya ditentukan sekitar 20 % dengan hard skill dan sisanya 80 % dengan soft skill.
Buku Neff dan Citrin (1999) yang  berjudul “Lesson From The Top”  yang memuat sharing dan wawancara 50 orang tersukses di Amerika mengtaakan bahwa mereka sepakat yang paling menentukan kesuksesan bukanlah keterampilan teknis melainkan kualitas diri yang termasuk dalam keterampilan lunak (softskills) atau keterampilan berhubungan dengan orang lain (people skills).
Bagaimana dengan pendidikan kita? Kita dihadapkan pada era milenium ke tiga dengan julukan abad 21. Dalam konteks ini pendidikan kita  menghadapai tantangan cukup berat. Keberhasilan sektor pendidikan kita sebenarnya tergantung pada soft skill yaitu suatu proses memanusiakan manusia dengan mengembangkan seluruh potensi dan bakat yang dimiliki oleh peserta didik.
Berbicara masalah mendidik peserta didik sudah barang tentu beragam bentuk dan sifat, perilaku peserta didik akan dihadapi oleh guru. Para peserta didik yang dididik dalam lembaga sekolah harus dibekali dengan ilmu pengetahuan sehingga kelak jika mereka kembali ke masyarakat dituntut untuk mampu memecahkan masalah dalam kehidupannya.
Disinilah letak pentingnya pengembangan soft skill dan life skill diberikanterhadap peserta didik dalam proses pembelajaran (PBM). Berbagai hasil penelitian  menunjukkan sekitar 60 persen keberhasilan seseorang dalam menjalani hidup dipengaruhi oleh soft skill seperti kemampuan bekerja secara kolaborasi, berkomunikasi dengan jelas. Sementara kompetensi pengetahuan (kognitif) hanya berpengaruh sekitar 30 persen. Itulah sebabnya mengapa pengembangan soft skill / life skill sangat penting diterapkan  dalam pendidikan.
Dalam konteks pembelajaran dikenal ada beragam jenis ketrapilan dalam kurikulum yang disebut hard skills, soft skills, dan life skills. Hard skill antara lain berbentuk ilmu pengetahuan umum, khusus, teknologi, dan model rancangan. Sementara soft skills antara lain berupa ketrampilan yang menyangkut komonikasi, kerjasama, kreatifitas, prakarsa, dan ketrampilan emosional. Sedangkan science skills meliputi keahlian dalam berfikir ilmiah dan ketrampilan dalam proses sebagai unsur pokok yang dibutuhkan dalam penelitian ilmiah.
Ada apa dengan Soft Skill?
Soft skills sering dikaitkan dengan EQ (Emotional Intelegence Quotient) yang merupakan suatu kumpulan karakter kepribadian, rahmat sosial,  komunikasi, bahasa, kebiasaan pribadi, keramahan, dan optimisme yang menjadi ciri hubungan dengan orang lain. Soft melengkapi ketrampilam ketrampilan keras /hard (bagian dari seseorang IQ), yang merupakan persyaratan pekerjaan dan kegiatan lainnya.
Sedangkan hard skills/ ketrampilan keras mewakili persyaratan minimum yang diperlukan  untuk melakukan pekerjaan dan merupakan layar pertama yang majikan gunakan untuk mengidentifikasi pelamar yang memenuhi syarat untuk posisi yang dibutuhkan. Soft skills/ ketrampilan lunak, yang saling melengkapi, ketrampilan mungkin mencakup kesediaan untuk bekerjasama, kepemimpinan, kreatvitas, komunikasi, presentasi  dan keyakinan.
Satori(2002) menyatakan  life skills meliputi tiga ketrampilan utama yaitu ketrampilan dasar yaitu kerampilan berkomunikasi lisan, membaca, penguasaan dasar-dasar berhitung, ketrampilan menulis. Ketrampilan berfikir tingkat tinggi yaitu ketrampilan pemecahan masalah, ketrampilan belajar, ketrampilan berfikir kreatif dan inovatif, ketrampilan membuat keputusan serta karakter dan ketrampilan afektif yaitu tanggung jawab, sikap positif terhadap pekerjaan, jujur, hati-hati, teliti dan efisien, hubungan antar pribadi, kerjasama dan bekerja dalam tim, percaya diri danmemiliki sikappositif terhadap diri sendiri, penyesuaian diri dan fleksibel, penuh antusias dan motivasi, mampu bekerja mandiri tanpa pengawasan orang lain.
Karena itu sotf skill, hard skill dan life skill harus berjalan seiring diterapkan disekolah sehingga peserta didik menjadi orang yang sukses.  Pentingnya pengembangan soft skil dan life skills terhadap peserta didik, karena banyak lulusan sekolah yang tidak mampu mengaplikasikan ilmu mereka di masyarakat. Soft skill adalah hal yang bersifat, halus dan meliputi keterampilan psikologis, emosional dan spiritual. Hasil penelitian berbagai sumber menunjukkan bahwa kesuksesan hanya ditentukan sekitar 20 % oleh hard skill dan sisanya 80% oleh soft skill.
Pengembangan soft skill memilik 3 tahap penting. Pertama, hard work (kerja keras) berfungsi untuk memaksimalkan kinerja. Kemudian kemandirian, agar siswa mandiri, responsif, percaya diri dan berinisiatif. Sedangkan yang terakhir adalah kerja sama tim..
Soft skill sebenarnya merupakan pengembangan dari konsep yang selama ini dikenal dengan istilah kecerdasan emosional (emotional intelligence).
Howard ( 1985). Menyatakan secara garis besar soft skill bisa digolongkan ke dalam dua kategori  yaitu  intrapersonal dan interpersonal skill. Intrapersonal skill mencakup self awareness (kesadaran diri) yaitu sSelf confident (percaya diri), self assessment (penilaian diri), trait & preference ( berkarakter dan preferensi ), emotional awareness ( kesadaran emosional ). Kemudian  self skill (keterampilan diri) tediri dari improvement (kemajuan/perbaikan), self control (kontrol diri), trust (percaya), worthiness (bernilai), time/source management (manajemen waktu/sumber), proactivity (proaktif) dan conscience (hati nurani).
Sedangkan interpersonal skill mencakup social awareness (kesadaran sosial) yaitu political awareness (kesadaran politik), developing others (mengembangkan orang lain), leveraging diversity (pengaruh yang berbeda), service orientation ( berorientasi pada pelayanan) dan emphaty (empati). Social skill ( keterampilan sosial ) terdiri dari leadership (kepemimpinan), influence ( pengaruh), communication (komunikasi), conflict management (manajemen konflik), cooperation ( kooperatif), team work dan synergy.
Adapun soft skill yang perlu diasah dapat dikelompokkan ke dalam enam kategori yaitu komunikasi lisan dan tulisan (communication skill), keterampilan berorganisasi (organizational skill), kepemimpinan (leadership), kemampuan berfikir kreatif dan logis (logic dan creative), ketahanan menghadapi tekanan (effort), kerja sama tim dan interpersonal (group skill) dan etika kerja (ethics)
Dari penelitian yang dilakukan oleh Daniel Golleman (1995) menyatakan bahwa kebanyakan CEO di dunia memiliki Emotional Intelligence yang tinggi. Kemampuan mereka dalam mengelola pekerjaan dan orang lain menjadi kombinasi unik yang luar biasa. Salah satu cara mengasah soft skill pada siswa adalah melalui pembelajaran Character Building di sekolah. Pembentukan karakter menjadi sebuah jalan setapak yang dapat digunakan untuk membentuk insan yang prima sehingga diharapkan dapat memiliki soft skill yang prima. Pendidikan berdimensi character buiding  ini memiliki enam pilar dalam penerapannya. Keenam pilar itu adalah Respect, Responsibility, Fairness, Caring dan Citizenship.
Makin Kompleks
Saat ini sektor pendidikan dihadapkan pada persoalan yang semakin kompleks. Tuntutan akan hasil pendidikan yang bermutu, berkualitas dan memiliki daya saing selalu menjadi tuntutan utama yang menghiasi diberbagai media di tanah air. Satu sisi ketika diterapkan aturan baru tentang sistem pendidikan selalu dinilai “miring” bahkan sering dianggap “negatif”.
Tatkalan tuntutan akan anggaran pendidikan dan tunjangan kesejahteraan guru agar dianggarkan lebih memadai selalu dihadapkan pada jalan berliku yang panjang. Disisi lain kita harus bergerak cepat untuk mengejar ketertinggalan kita dengan bangsa-bangsa lain. Fenomena ini sering menjadi faktor penghambat dalam berbagai upaya peningkatan mutu dan kualitas pendidikan di negeri ini.
Meski demikian kita tidak perlu berkecil hati dengan berbagai fenomena dan masalah yang terjadi dalam dunia pendidikan kita. Disadari atau tidak pada akhirnya kembali kepada akra persoalan yang sesungguhnya. Jika kita memang berkeinginan untuk meningkatkan mutu dan kualitas pendidikan di negeri ini pemerintah harus memiliki “need political” yang kuat untuk mengurangi semua persoalan dan hambatan-hambatan yang terjadi dalam pendidikan kita.
Penerapan soft skill pada lembaga pendidikan khususnya pendidikan karakter akan semakin menunjukkan integritas bangsa ditengah-tengah percaturan era global. Indonesia tidak perlu takut dengan era persaingan global. Kita harus mengembangkan seluruh potensi budaya bangsa mulai dari Sabang hingga Merauke. Pemerintah bersama masyarakat harus meminimalisir semua persoalan-persoalan yang muncul. Keberagaman bukanlah sesuatu yang menjadi ancaman jika kita benar-benar menghayati “Bhineka Tunggal Ika” tetapi menjadi potensi luar biasa yang dimiliki oleh bangsa Indonesia dimana potensi budayanya yang begitu kaya akan menjadikan bangsa kita memiliki karakter yang tangguh.
Diakui oleh berbagai kalangan bahwa pendidikan dan kebudayaan merupakan bagian yang integral dan tidak bisa dipisahkan antara satu dengan yang lain. Dimana ada kegiatan pendidikan sudah pasti ada kegiatan budaya. Pendidikan dan kebudayaan harus menjadi inspirasi para peserta didik untuk mengembangkan soft skill. Dengan melakukan penerapan soft skill dalam proses belajar mengajar akan menghasilkan manusia-manusia yang berkarakter. Building Character apabila diberdayakan akan menjadi potensi yang luar biasa terhadap perkembangan kemajuan suatu bangsa. Kelak bangsa Indonesia jika mampu mengembangkan soft skill ini tidak menutup kemungkinan akan menjadi bangsa yang memiliki income yang luar biasa sepanjang semua persoalan dan hambatan-hambatan yang mempertentangkan keberagaman dapat diakomodasi dalam suatu konteks pengembangan keberagaman budaya dalam bingkai budaya nusantara.
Perlu diselenggarakan suatu event pementasan keberagaman budaya Indonesia menjadi event  Budaya  Nusantara setiap tahun sebagai “Calender of Event”. Semoga pengembangan soft skill dalam pendidikan berbasis budaya akan semakin memperkokoh bangsa Indonesia memiliki karakter tangguh. ( disarikan dari berbagai sumber).

PENGEMBANGAN PROFESI GURU


Pengembangan Profesi Guru Berkelanjutan

(Sebuah Tinjauan Terhadap Permendiknas No.28 Tahun 2010)

Oleh : Nelson Sihaloho

Berdasarkan KEPMENPAN Nomor 84 tahun 1993 tentang jabatan fungsional guru dan angka kreditnya, seorang guru akan “lebih mudah ” naik pangkat dari guru pertama  hingga golongan ruang sampai dengan IV/a karena guru tersebut tidak wajib menyertakan syarat pengembangan profesi. Pengembangan profesi itu diantaranya artikel, karya ilmiah ataupun penelitian tindakan kelas dan yang sejenis. Akibatnya diindikasikan banyak guru yang enggan membuat karya ilmiah yang dianggapnya “sulit” dan merepotkan.  Akibat lebih lanjut banyak guru yang pangkat dan golongannya terhenti pada golongan dan ruang IV/a dan mendapatkan golongan ruang IV/b setelah pensiun sebagai “penghargaan”. Itulah barangkali yang menjadi salah satu alasan, KEPMEN 84 tahun 1993 direvisi dan disempurnakan.
Alasan penyempurnaan KEPMENPAN 84 tahun 1993 tentang Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya dengan Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 16 tahun 2009 tentang Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya, adalah satu-satunya jabatan fungsional yang belum menyesuaikan Keppres Nomor 87 Tahun 1999 adalah Jabatan Fungsional Guru.
Undang Undang Nomor 14 Tahun 2005 adalah dasar yang kuat untuk menjadikan Jabatan fungsional Guru sebagai Jabatan Ahli. Guru sebagai tenaga profesional wajib memiliki kualifikasi akademik minimal S-1/D-IV. Dasar hukumnya adalah Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Undang Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 1994 tentang Jabatan Fungsional Pegawai Negeri Sipil, Keputusan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, Peraturan Pemerintah Nomor 7 4 Tahun 2008 tentang Guru serta Keputusan Presiden Nomor 87 Tahun 1999 tentang Rumpun Jabatan Fungsional Pegawai Negeri Sipil.
Pengembangan keprofesian berkelanjutan sebagaimana dalam Permen PAN RB No.16 Tahun 2009 , meliputi  pengembangan diri yaitu  diklat fungsional, kegiatan kolektif Guru yang meningkatkan kompetensi dan/atau keprofesian Guru. Publikasi  Ilmiah yaitu  publikasi ilmiah atas hasil penelitian atau gagasan inovatif pada bidang pendidikan formal, publikasi buku teks pelajaran, buku pengayaan, dan pedoman Guru. Kemudian  karya Inovatif yaitu  menemukan teknologi tepat guna, menemukan/menciptakan karya seni,  membuat/memodifikasi alat pelajaran/peraga/praktikum serta mengikuti pengembangan penyusunan standar, pedoman, soal dan sejenisnya;
Apabila kita bandingkan dengan Pemendiknas Nomor 28 Tahun 2010 tentang kepangkatan Kepala Sekolah sangat bertolak belakang dengan pengembangan profesi berkelanjutan meskipun jabatan Kepala Sekolah merupakan tugas tambahan. Kita juga tidak bermaksud untuk menjelek-jelekkan peraturan Pemerintah khususnya Permendiknas Nomor 28 Tahun 2010 tentang penugasan Guru sebagai kepala sekolah. Namun didasarkan pada fakta-fakta objektif sudah saatnya kepangkatan, usia guru dan pengalaman menjadi skala prioritas yang menjadi penilaian dalam penugasan guru sebagai kepala sekolah.
Sebab fakta-fakta lain menunjukkan bahwa di era otonomi daerah diduga ada oknum pejabat yang ditempatkan menjadi Kepala Dinas (Kadis) dalam tiga tahun saja disinyalir  ada yang naik pangkat sampai dua kali. Intinya naik pangkatnya dipercepat alias pangkat “naga bonar” meskipun dari segi kemampuan tidak memenuhi syarat juga terkesan “dipaksakan”.
Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 162/U/2003 tentang Pedoman Penugasan Guru sebagai Kepala Sekolah memang telah dikeluarkan dan ditetapkan di Jakarta pada tanggal 27 Oktober 2010 oleh Menteri Pendidikan Nasional Mohammad Nuh dengan nomor 28 tahun 2010.
Dalam pendidikan khususnya guru syarat-syarat guru yang diberikan tugas tambahan sebagai Kepala Sekolah/Madrasah diatur dalam Bab II. Dalam pasal 2 dinyatakan : Guru dapat diberi tugas tambahan sebagai kepala sekolah/madrasah apabila memenuhi persyaratan umum dan persyaratan khusus. Persyaratan umum sebagaimana dimaksud dalam ayat meliputi,  beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, memiliki kualifikasi akademik paling rendah sarjana (S1) atau diploma empat (D-IV) kependidikan atau nonkependidikan perguruan tinggi yang terakreditasi, berusia setinggi-tingginya 56 (lima puluh enam) tahun pada waktu pengangkatan pertama sebagai kepala sekolah/madrasah. sehat jasmani dan rohani berdasarkan surat keterangan dari dokter Pemerintah, tidak pernah dikenakan hukuman disiplin sedang dan/atau berat sesuai dengan ketentuan yang berlaku, memiliki sertifikat pendidik, pengalaman mengajar sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun menurut jenis dan jenjang sekolah/madrasah masing-masing, kecuali di taman kanak-kanak/raudhatul athfal/taman kanak-kanak luar biasa (TK/RA/TKLB) memiliki pengalaman mengajar sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun di TK/RA/TKLB.
Memiliki golongan ruang serendah-rendahnya III/c bagi guru pegawai negeri sipil (PNS) dan bagi guru bukan PNS disetarakan dengan kepangkatan yang dikeluarkan oleh yayasan atau lembaga yang berwenang dibuktikan dengan SK inpasing, memperoleh nilai amat baik untuk unsur kesetiaan dan nilai baik untuk unsur penilaian lainnya sebagai guru dalam daftar penilaian prestasi pegawai (DP3) bagi PNS atau penilaian yang sejenis DP3 bagi bukan PNS dalam 2 (dua) tahun terakhir,  dan memperoleh nilai baik untuk penilaian kinerja sebagai guru dalam 2 (dua) tahun terakhir.
Dalam BAB VI tentang Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan  dalam pasal 11 dinayatakan,  pengembangan keprofesian berkelanjutan meliputi pengembangan pengetahuan, keterampilan, dan sikap pada dimensi-dimensi kompetensi kepribadian, manajerial, kewirausahaan, supervisi, dan sosial. Pengembangan keprofesian berkelanjutan dilaksanakan melalui pengembangan diri, publikasi ilmiah, dan/atau karya inovatif. Pengembangan keprofesian berkelanjutan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan Direktur Jenderal.
Banyak kerancuan yang terdapat dalam Permendiknas Nomor 28 tahun 2010 itu sebab diberbagai sekolah di Indonesia kini diduga banyak guru yang kepangkatannya lebih tinggi diatur oleh Kepala Sekolah yang kepangkatannya lebih rendah bahkan diduga ada yang sampai dua level. Jika hal ini dibiarkan tentu akan membawa preseden buruk terhadap dunia pendidikan khususnya kepangkatan. Kepangkatan dibuat dan ditetapkan oleh pemerintah untuk menentukan jenjang. Akibat adanya kepala sekolah yang kepangkatannya mengatur para guru yang kepangkatannya  lebih tinggi  mengindikasikan “ pangkat dan golongan telah mati”. Ironis memang itulah kenyataan yang terjadi di Indonesia entah mengapa persoalan yang pangkat lebih rendah  mengatur pangkat lebih tinggi terus dibiarkan oleh pemerintah. Kewibawaan kepangkatan akhirnya “mati” dan tidak memiliki arti apabila hal tersebut masih tetap dibiarkan berlaku dalam lingkungan pendidikan.
Tingkatkan Manajemen Pengembangan Profesi Guru
Menurut Rue & Byars (2000: 4) mengatakan Management is a form of work that involves coordinating an organization’s resources-land, labour, and capital to accomplish organizational objectives”. Hasibuan, M. S (2003: 1-2) juga mendefinisikan manajemen sebagai ilmu dan seni mengatur pemanfaatan sumber daya manusia dan sumber-sumber lainnya secara efektif dan efisien untuk mencapai suatu tujuan tertentu.
Menurut Faustino Cardoso Gomes (2002: 1-2) merupakan salah satu sumber daya yang terdapat dalam organisasi, meliputi semua orang yang melakukan aktivitas. Secara umum, sumber daya yang terdapat dalam suatu organisasi dapat dikelompokkan atas dua macam, yakni sumber daya manusia (human resource) dan  sumber daya non-manusia (non-human resource). Kelompok yang termasuk dalam sumber daya non-manusia antara lain modal, mesin, teknologi.
Sedangkan Noe (2003: 3) menyatakan  bahwa, “Human resource management refers to the policies, practices, and systems that influence employees’ behavior, attitudes, and performance. Human resource practices play a key role in attracting, motivating, rewarding, and retaining employees.
Menurut Decenzo & Robbins (1999: 234-236)  Pengembangan SDM terdapat beberapa metode yang merupakan gabungan dari metode-metode dalam: “on-the job techniques (job rotation, assistant to positions, and committee assigments and off the job methods (lecture courses and seminars, simulation exercises, and outdoor training)”. Guru senantiasa dituntut untuk melakukan usaha pengembangan profesi (professionalization) sesuai dengan substansi dan tugas pokok fungsinya.
Menurut Ritzer (1972) syarat pertama profesi adalah adanya suatu pengetahuan teoretik (theoretical knowledge). Menjadi guru bukan hanya sekadar pekerjaan atau mata pencaharian yang membutuhkan ketrampilan teknis, tetapi juga pengetahuan teoretik. Profesi adalah pemberlakuan pelatihan dan praktik yang diatur secara mandiri (self-regulated training and practice).
Apabila kita berbicara mengenai peningkatan manajemen pengembangan profesi guru hubungannya dengan pengembangan profesi berkelanjutan akan lebih mempertegas bahwa Pemendiknas Nomor 28 Tahun 2010 tentang pengangkatan Kepala Sekolah sudah saatnya ditinjau ulang. Pengembangan profesi berkelanjutan merupakan peningkatan karir dan jenjang kepangkatan guru sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya.
Apabila guru memang profesional dibidangnya mengapa justeru pada kenyataannya terjai guru atau kepala sekolah tidak naik pangkat sampai puluhan tahun. Suatu pemandangan sangat ironis para guru yang diangkat menjadi pengawas juga diduga banyak yang tidak mampu naik pangkat hingga diatas 10 tahun.
Karena itu penunjauan terhadap Permendiknas Nomor 28 Tahun 2010 tentang pengangkatan kepala sekolah dan kepangkatannya sudah saatnya ditinjau ulang, diperbaiki untuk disempurnakan. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan harus melakukan perbaikan dan mensosialisasikan peraturan pengangkatan kepala sekolah kepada kepala daerah baik itu Gubernur, Bupati/Wali Kota termasuk Badan Kepegawaian daerah (BKD) untuk menegakkan peraturan tentang kepangakatan dan jabatan guru. Sekretaris Daerah sebagai Ketua Badan Pertimbangan Jabatan dan Kepangkatan (Baperjakat) dituntut untuk memahami, melaksanakan dan menegakkan peraturan bahwa tidak diperkenankan kepangkatan lebih rendah mengatur kepangkatan yang lebih tinggi.
Perbaiki Perekruitan Kepsek
Untuk menjaring calon Kepala Sekolah sebenarnya tidak susah. Guru-guru yang profesional dan mampu mengembangkan karya profesi berkelanjutan dan memiliki kepangkatan yang lebih tinggi itulah yang harus diseleksi atau ditempatkan menjadi Kepala Sekolah. Seorang calon kepala sekolah meskipun ditatar 300 jam bila tidak mampu naik pangkat dalam 4 tahun tidak perlu dipertahankan. Begitu juga dengan guru calon Kepala Sekolah memiliki gelar/Ijazah S2 atatupun S3 jika sudah tidak mampu naik pangkat dalam  4 tahun tidak perlu lagi dicalonkan menjadi Kepala Sekolah.
Pemerintah harus berpikir realistis dengan banyaknya Guru calon Kepala Sekolah yang ditatar selama 300 jam berapa banyak biaya dan anggaran yang dikeluarkan untuk menseleksi dan masa orientasi calon Kepala Sekolah. Lebih ironis ketika banyak para guru-guru mengambil S2 melalui beasiswa yang dikucurkan oleh pemerintah justeru kredibilitas lulusan S2 itu juga harus ada konsekuensi hukuman yang harus diberikan kepada penerima beasiswa S2 hingga S3. Paling ironis tatkala guru diberikan tugas tambahan menduduki jabatan Kepala Sekolah sudah banyak yang “enggan” mengajar. Padahal sesuai dengan Undang-undang Guru dan Dosen tentang sertifikasi guru dalam jabatan,  para Kepala Sekolah wajib menjalankan tugasnya mengajar minimal 6 jam. Pada akhirnya banyak dugaan penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dalam dunia pendidikan kita.  Kepala sekolah “enggan mengajar” mendapatkan tunjangan sertifikasi dan tunjangan kepala sekolah. Begitu juga dengan kinerja guru diduga banyak guru-guru yang telah mendapatkan tunjangan sertifikasi “kinerjanya jelek”.
Karena  itu pemerintah khususnya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk segera melakukan kajian, penelitian dan analis terhadap Permendiknas Nomor 28 Tahun 2010 itu. Meskipun kelak keputusan pahit sekalipun yang harus diterima para Kepala Sekolah bahwa diperlukan penyesuaian kepangkatan untuk menduduki jabatan Kepala Sekolah pada suatu sekolah. Apabila pada suatu sekolah ada guru yang kepangkatannya lebih tinggi dari calon Kepala Sekolah yang akan ditempatkan minimal harus sama dengan golongan guru yang tertinggi pada suatu sekolah tersebut bukan malah lebih rendah.
Dengan kondisi riil sebagaimana diuraikan diatas dan didasari dengan maksud dan tujuan objektif hendaknya praktik-praktik kepangkatan lebih rendah mengatur kepangkatan yang lebih tinggi sudah saatnya ditiadakan. Guru susah mencapai kepangakatan yang lebih tinggi tapi pada praktiknya diatur oleh guru atau kepala sekolah yang kepangkatan lebih rendah. Suatu ironisme dengan praktik menjungkirbalikkan dan “mematikan wibawa kepangkatan” . Kita harus mencontoh sistem kepangkatan di TNI/Polri meskipun muda jika kepangkatannya lebih tinggi dari yang lebih tua usianya “wajib hormat” kepada atasannya. Di lembaga sipil juga harus diberlakukan demikian meskipun tidak 100 % diterapkan. Pada intinya seorang guru dan kepala sekolah “harus malu” dengan teman sejawat yang memiliki kepangkatan yang lebih tinggi. Seorang calon kepala sekolah harus berjiwa objektif dan  realistis. Semoga dimasa mendatang “wibawa dan kepangkatan” guru semakin menjadi perhatian pihak Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan dalam membuat peraturan tentang pengangkatan kepala sekolah dan selalu berpijak pada fakta integritas. Semoga .(dihimpun dan disarikan dari berbagai sumber).