Sabtu, 22 Februari 2014

REVOLUSI BELAJAR DAN PERUBAHAN KURIKULUM

Revolusi Belajar dan Perubahan Kurikulum Oleh: Nelson Sihaloho Saat ini tuntutan terhadap perubahan khususnya peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) khususnya dibidang pendidikan mutlak dilakukan. Sistem pendidikan yang dirancang oleh pemerintah diharapkan mampu mengantisipasi tuntutan perkembangan dunia global yang terus bergerak secara dinamis menuju tatanan dunia baru. Era globalisasi dengan segala bentuk kompleksitasnya memerlukan suatu desain kurikulum baru termasuk tentang revolusi belajar. Desain kurikulum pendidikan global melalui perubahan kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) ke kurikulum 2013 diharapkan mampu membekali para siswa untuk mampu berkompetisi pada era global. Kurikulum pendidikan yang dirancang dalam perspektif global tidak terlepas dari nilai-nilai yang diakui secara universal. Nilai-nilai universal ini hendaknya diajarkan kepada anak didik bahwa kondisi dan perkembangan ilmu dan teknologi saat ini dan masa mendatang tidak terlepas dari perkembangan IPTEK masa lalu. Dalam konteks ini semua perubahan yang terjadi mengajarkan kita untuk lebih bijaksana dalam menjalankan aturan kurikulum yang telah dilaksanakan sejak tahun pelajaran 2013/2014 yaitu Kurikulum 2013. Dalam perjalanan awalnya implementasi Kurikulum 2013 banyak menghadapi kendala dalam pelaksanaannya dilapangan. Termasuk adanya tuntutan perubahan akan sistem rekruitmen guru yang kelak akan kembali diurus oleh Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud). Hal ini mengindikasikan dan memunculkan adanya opini yang berkembang pada masyarakat bahwa mutu dan kualitas pendidikan kita masih dikategorikan dibawah negara-negara lainnya. Dengan kondisi itu perubahan kurikulum harus sejalan dengan pelaksanaan revolusi belajar bagaimana sesunguhnya sistim pembelajaran yang dilakukan dalam lingkungan pendidikan agar bermutu dan berkualitas. Perbaikan iklim terhadap suatu sekolah setidaknya berkaitan dengan pergantian kepala sekolah, penerimaan siswa baru, pendekatan dengan lingkungan sosial di sekitar sekolah, pergantian karyawan, dan penghargaan pada siswa. Sejalan dengan itu pelaksanaan kurikulum 2013 menuntut suatu konsekuensi bahwa tantangan nyata dalam pelaksanaannya akan lebih banyak muncul dilapangan pada guru yang dibebani dengan berbagai bentuk implementasinya. Diantaranya yang mencuat kepermukaan adalah rumitnya sistem penilaian serta membebani guru dengan dokumen-dokumen panjang dan berjibun. Selain itu munculnya mata pelajaran baru seperti “Prakarya” mengharuskan pemerintah untuk benar-benar menenmpatkan guru-guru yang memiliki spesialisasi “Prakarya” dan harus berlabel “S1 Prakarya” atau Sarjana Pendidikan Prakarya. Penyimpangan yang terjadi selama ini seperti Sarjana Teknologi Komunikasi yang bergelar Sarjana Komputer (S.Kom) perlu ditinjau ulang apakah benar para sarajana-sarjana komputer itu telah mampu menciptakan komputer. Adanya guru yang berpindah mengajar mata pelajaran yang tidak sesuai dengan latar belakang pendidikannnya (ke ilmuannya) juga perlu diteliti ulang legalitasnya. Perubahan jam mata pelajaran olah raga di SD menjadi kegiatan ekstra kurikuler perlu diikuti pada jenjang SMP. Dengan sekelumt persoalan tentang pendidikan bagaimanakan kita menyikapi revolusi belajar dan perubahan kurikulum?. Bagaimana lingkungan sekolah melakukan sistem mekanisme kerja dalam memberdayakan seluruh jajarannya menjalankan kurikulum 2013? Bagaimana pihak sekolah mempersiapkan iklim inovasi pembelajaran dikaitkan dengan kehidupan nyata saat ini? Materi Global Hess dan Torney (1967 menyatakan bahwa di Amerika Serikat anak berusia 8-12 belas tahun memiliki keterbukaan terhadap ilmu pengetahuan tentang kultur dan sudut pandang lain yang ada di dunia dan mampu untuk menginternalisasikannya hingga pada tingkatan tertentu. Penelitian Benham dan Tye (1979) tentang evaluasi efektifitas materi kurikulum pendidikan global, mengungkapkan bahwa menurut laporan guru-guru di sekolah, siswa memiliki minat yang tinggi terhadap materi dan pelajaran yang berkaitan dengan masalah-masalah global. Hal tersebut didasarkan pada penelitian tindakan kelas yang dilakukan guru-guru di kelas mereka masing-masing. Sedangkan revolusi cara belajar merupakan sebuah paradigma untuk mengubah dan memperbaiki cara-cara kita belajar seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan di seluruh dunia. Hal tersebut diyakini akan dapat mempercepat pemahaman siswa untuk menyerap ilmu yang lebih banyak dan bermanfaat dalam waktu yang relatif singkat. Dalam buku The Learning Revolution karya Gordon Dryden & DR. Jeannette Vos (2001) mengatakan bahwa “Belajar akan efektif bila dilaksanakan dalam keadaan fun”. Menurut Gordon,et.al ada delapan keyakinan utama yang menjadi dasar dalam revolusi belajar. Ke delapan keyakinan itu adalah, dunia bergerak dengan sangat cepat melalui titik-balik sejarah yang amat menentukan, kita hidup di tengah revolusi yang mengubah cara hidup kita, berkomunikasi, berpikir, dan mencapai kesejahteraan. Revolusi ini akan menentukan cara kita dan anak-anak kita bekerja, mencari nafkah, dan menikmati hidup secara keseluruhan, untuk pertama kalinya dalam sejarah, hampir segala hal mungkin dilakukan, sayangnya, di setiap negara mungkin hanya ada satu dari setiap lima orang yang tahu benar cara memanfaatkan gelombang perubahan ini dengan cerdik-bahkan di negara maju sekalipun. Jika kita tidak mampu mencari alternatif penyelesaian atas persoalan tersebut, 20% elit akan menikmati 60% pendapatan nasional, sedangkan 20% yang termiskin hanya mengecap 2%, karena itu, kita membutuhkan revolusi belajar untuk mengimbangi revolusi informasi, agar semua orang dapat menikmati keuntungan bersama-sama dari potensi sumber daya manusia yang luar biasa serta revolusi membantu kita mempelajari segala hal secara lebih cepat dan lebih baik juga berjalan semakin cepat. Gordon, et.al juga menyatakan tentang masa depan ada 16 kecenderungan utama yang akan membentuk dunia di masa depan. Ke 16 kecenderungan itu adalah zaman komunikasi instan, dunia tanpa batas-batas ekonomi, empat lompatan menuju dunia tunggal, perdagangan dan pembelajaran melalui internet dan masyarakat layanan baru. Kemudian penyatuan yang besar dengan yang kecil, era baru kesenangan, perubahan bentuk kerja, perempuan sebagai pemimpin dan penemuan terbaru tentang otak. Nasionalisme budaya, kelas bawah yang semakin besar, semakin besarnya jumlah manula, ledakan praktik-mandiri, perusahaan kooperatif serta kemenangan individu. Menurut Dryden dan Vos (2001) dalam buku Revolusi Belajar terjemahan Mizan, untuk mendukung pendidikan di era global ada lima hal yang perlu diperhatikan adalah Esensialisme; yaitu yang berkenaan dengan memberikan mata pelajaran inti yang dibutuhkan bagi pendidikan yang baik. Ensiklopedisme; mata pelajaran dasar dengan cakupan yang lebih luas dan terbuka bagi semua orang. Model pendidikan awal yang berbasis indra; Aristoteles mengemukakan bahwa pengetahuan berawal dari penyerapan melalui panca indera kita. Gerakan pragmatis yang berorientasi pada anak; John Dewey yang merintis aliran ini di Amerika, sekarang ada dua aliran utama, yang pertama berorientasi pada anak sebagai pribadi, sedangkan yang kedua pada rekonstruksi masyarakat serta pendekatan akal sehat (common sense); yaitu seiring dengan munculnya pengetahuan baru melalui penelitian-penelitian, sehingga kita bisa memilih yang terbaik dari semuanya dan berpikiran terbuka terhadap segala perubahan. Dryden dan Vos, et.al, menemukan bahwa seluruh program pelatihan dan pendidikan yang baik mempunyai enam prinsip kunci. Keenam prinsip itu adalah, “Kondisi” terbaik untuk belajar, yaitu dengan mengubah suasana belajar menjadi bersahabat dan tidak menakutkan”. “Kunci-kunci presentasi yang baik, yang melibatkan seluruh indra dan sekaligus membuat rileks, menyenangkan, bervariasi, cepat dan menggairahkan”. “Pikirkan sesuatu, dan memori terdalam akan menyimpannya sebagaimana Lozanov mengatakan ada tiga tembok mental dalam belajar; tembok kritis –logis, tembok intuitif- emosional dan tembok kritis-moral.” Ekspresikan hasil belajar, dalam hal ini permainan, lakon pendek, diskusi, dan drama dapat memperkuat jalur-jalur pelajaran”. “Praktikkan, yaitu dengan membuat siswa saling mengajari; dengan menggunakan peta pikiran dalam mencatat poin-poin penting dalam pelajaran” serta “ tinjau ulang, evaluasi, dan rayakan setiap keberhasilan siswa dalam mempelajari sesuatu hal yang baru”. Perombakan Kurikulum Kurikulum 2013merupakan hasil perombakan kurikulum sebelumnya telah diberlakukan meski masyarakat luas belum melihat hasil satu penelitian ilmiah yang menyatakan bahwa mutu pendidikan kita terus merosot karena kesalahan kurikulum. Apakah tidak ada faktor lain yang lebih dominan dari kurikulum? M. Nuh (2011) menyatakan terdapat 88,8 persen sekolah di Indonesia tingkat SD hingga SMA/SMK belum melewati mutu standar pelayanan minimal.Perubahan kurikulum dadakan ini cermin ketiadaan kerangka besar arah pembenahan pendidikan nasional. Di tengah berbagai keterbatasan yang ada, keliru besar bila pembenahan pendidikan di semua jenjang, jenis, dan jalur baik di pusat maupun di tiap kabupaten/kota dilakukan secara parsial dan tidak menyentuh sistem karena tanpa didasari hasil pengkajian ilmiah. Sejak periode Mashuri, Soemantri Brodjonegoro, Syarief Thayeb, Daoed Joesoef, Nugroho Notosusanto, Fuad Hassan, Wardiman Djojonegoro, Wiranto Arismunandar, Bambang Sudibyo hingga M. Nuh telah banyak gagasan inovatif dan strategis yang dilontarkan. Gagasan-gagasan itu terkesan bersifat temporer, terlaksana sebatas masa jabatan menteri yang bersangkutan. Betapa banyak dana yang telah dihabiskan, tetapi akhirnya upaya tersebut tidak cukup terlihat terhadap pembenahan masalah pendidikan. Contohnya adalah pengembangan Sekolah Pembangunan, proyek CBSA, pengajaran Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa, dan pengembangan link and match. Tidak menutup kemungkinan apa yang telah dilakukan pada periode Mohammad Nuh akan diabaikan oleh menteri berikutnya. Akibatnya, kita tidak akan pernah mencapai prestasi besar. Kita lihat saja tentang Tembok China adalah salah satu wujud mahakarya peradaban umat manusia karena, meski mulai dibangun sebelum periode Dinasti Qin pada 722 SM, dinasti mana pun pada era kekuasaan berikutnya terus memelihara dan meneruskannya hingga kini. Begitu juga dengan perjalanan kurikulum di negeri ini mulai kurikulum 1975, 1984, dan 1993 bersifat sentralisasi atau kurikulum yang disusun secara terpusat. Dengan menggunakan taha-tahap berpikir atau tahap kognitif dari Bloom, dkk., kita tahu bahwa mengetahui/ menghapal merupakan tahap berpikir tahap rendah, memahami dan mengaplikasikan termasuk berpikir tahap tinggi. Anderson dan Kratkwohl (2001) menyatakan bahwa berpikir tingkat tinggi merupakan kreativitas. Sukmadinata (2003) ”memandang sebelum tahap kreeativitas, ada tahapan berpikir yang cukup penting yang aharus dikuasai para siswa yaitu pemecahan masalah (problem solving)’. Bobby dePotter dalam bukunya Quantum Learning menyebutkan bahwa emosi positif akan membuat kerja otak optimal. Majalah TIMES (2004) menyimpulkan bahwa pada tahun 1999, ada 130.000 anak sekolah dasar dan SMP di Jepang yang menolak untuk hadir di sekolah selama lebih dari sebulan. Mereka tertekan oleh kelas yang terlalu ramai, guru-guru yang terlalu otoriter, keharusan mengenakan seragam, bahan-bahan pelajaran yang overload, serta gangguan dari pelajar senior. Dryden dan Vos , et.al (2001) menyatakan model sekolah yang ada pada masa lalu tidak sesuai dengan tuntutan zaman saat ini, sehingga diperlukan terobosan-terobosan baru untuk mempersiapkan siswa mengarungi masa depan. Ada 13 langkah penting menuju masyarakat pembelajar di abad ke-21. Ke 13 langkah itu adalah, peran baru komunikasi elektronik, pelajari komputer dan internet, perlunya perombakan dramatis dalam pendidikan orangtua, prioritas layanan kesehatan bagi anak-anak, program pengembangan anak. Kita dapat mengejar ketertinggalan pada usia berapa saja, melayani setiap gaya belajar individu, belajar tentang cara belajar dan cara berpikir, apa yang seharusnya diajarkan di sekolah?. Kemudian Belajar dengan empat tingkat, tiga tujuan belajar, dimana seharusnya kita mengajar, berpikirlah terbuka dan komunikasikan dengan jernih. Mengutip pendapat Gus Field (1970 dalam Tye) bahwa perubahan pendidikan juga merupakan sebuah gerakan sosial. Field mendefinisikannya sebagai “program or sets of actions by a significant number of people directed toward some social changes”. Artinya sebuah perubahan sosial hanya bisa terjadi bila dilakukan oleh sejumlah orang yang menjalankan sebuah tindakan atau program yang terstruktur. Penekanan terhadap pendidikan global mirip dengan sebuah pergerakan sosial. Dalam hal ini kita bisa melihat dalam lima perspektif yaitu, The conditions which produce the movemen, Membership in the movement, The socio political context whitin which the movement resides, Structural properties of the movement and Behaviors of the members of the movement The conditions which produce the movement adalah kondisi yang bisa menyebabkan sebuah pergerakan perubahan di dunia antara lain karena adanya kejenuhan dalam sistem pendidikan yang konvensional. Membership in the movement adalah keanggotaan dalam pergerakan ini merupakan sebuah kolaborasi antara guru-guru dengan staf akademis di setiap sekolah. Tujuannya agar sebanyak mungkin orang yang terlibat dalam keanggotaan pegerakan untuk pendidikan global ini. The Socio Political Context Within Which The Movement Resides menurut Lamy (1988-1990) melakukan observasi yang menunjukkan bahwa sangatlah tidak mungkin untuk menghindari kontroversi pada saat mengajarkan isu-isu global atau internasional. Dia menunjukakan bahwa kontroversi harus dianggap sebagai bagian yang esensial di dalam proses mengajar. Para siswa harus diajarkan untuk mengamati kompleksitas dari adanya isu global yang akan mempengaruhi keluarga dan tetangga mereka dan bahkan seluruh manusia. Masalahnya terletak pada adanya orang-orang yang mempunyai pandangan yang berbeda yang merasa bahwa pendapat merekalah yang paling benar. Dan sekolah seharusnya mengajarkan sudut pandang mereka sebagai sebuah kebenaran. Sedangkan Structural properties of the movement, ciri-ciri struktural dari pergerakan ini terdiri dari lima hal yaitu, Legitimasi, Arus pengetahuan, Pemanfaatan sumber daya, Pembentukkan sebuah tim serta Profesionalisasi. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa revolusi belajar dan perubahan kurikulum merupakan dua sisi mata rantai yang akan saling mempengaruhi. Satu sisi perubahan kurikulum akan menimbulkan permasalahan baru. Peningkatan mutu dan kualitas pendidikan hanya bisa dilakukan dengan revolusi belajar. Perubahan kurikulum tanpa dibarengi dengan revolusi belajar menjadikan kondisi pendidikan berjalan stagnan bisa sebaliknya melambat perkembangannya.(dihimpun dari berbagai sumber: email:sihaloho11@yahoo.com)