Sabtu, 04 Agustus 2012

PSIKOLOGI

MEMOTIVASI SISWA GUIT BELAJAR DAN BERKARAKTER Oleh: Nelson Sihaloho Pendahuluan Sering kita melihat anak atau siswa malas belajar bahkan siswa lebih banyak meluangkan waktu untuk bermain. Era sekarang ini anak atau siswa yang sering berlama-lama nongkrong di warung internet (warnet) menjadi kegelisahan para orangtua di negeri ini. Kelak seperti apakah generasi bangsa ini di masa mendatang. Berbagai keluhan pun muncul dalam pemikiran kita. Jika dulunya anak-anak sekolah tawuran sering terjadi diberbagai kota-kota besar saat ini pemandangan tawuran itu semakin berkurang. Begitu juga dengan guru sering mengeluh dengan semakin “cueknya” siswa terhadap materi pembelajaran yang diajarkan dipapan tulis menggunakan spidol. Kini model pembelajaran dengan menggunakan infocus menjadi trend disekolah-sekolah. Komputer-komputer lengkap dengan infocus menjadi kebutuhan utama yang harus disediakan oleh sekolah-sekolah di era teknologi informasi dan komunikasi. Suasana kelas yang gerah akibat pemanasan global sepertinya AC menjadi primadona utama bagi penyelenggara pendidikan untuk menyediakan fasilitas berkelas “hotel”. Tidak mengherankan di negeri ini semakin membengkak saja anggaran pendidikan akibat dampak “pemanasan global” itu. Anak atau siswa tahan berjam-jam di internet main game, bahkan menjelajahi berbagai ilmu pengetahuan yang didapatkan dari situs-situs web. Meskipun murah namun apabila setiap hari siswa ke warnet rata-rata 6 jam sehari akan menghabiskan tarif Rp. 15.000 per hari. Persoalannya sekarang bagaimana seorang seorang pendidik, memotivasi siswa untuk belajar dikaitkan dengan fenomena sebagaimana yang diuraikan diatas. Belum lagi tentang Ujian Nasional (UN) meskipun telah ditandatangani fakta kejujuran dalam UN selalu saja ada oknum atau pihak-pihak tertentu yang membocorkan soal khususnya rahasia negara (dokumen negara). Selain itu benarkan pendidikan kita murah dan bermutu jika anak lebih banyak meluangkan waktunya di internet dari pada belajar dirumah sambil berdiskusi atau bimbingan belajar (bimbel) jika untuk mengerjakan tugas saja para siswa harus mengcopinya ke warnet? Tugas Guru Memotivasi Siswa Beberapa strategi yang dapat dilakukan oleh guru untuk meningkatkan motivasi belajar siswa khususnya dalam kelas adalah menggunakan pertanyaan berpikir kritis. Metode berpikir kritis mengajak siswa untuk tidak selalu memiliki jawaban benar atau salah sehingga mereka diperbolehkan untuk mengungkapkan pendapatnya sendiri. Hal ini jauh lebih baik jika dibandingkan dengan siswa hanya diberitahu untuk menghafal fakta. Banyak guru yang menggunakan musik untuk mengajar. Musik merupakan salah satu alat pembelajaran paling sederhana dan merupakan cara yang baik untuk memicu minat siswa. Bahkan ada yang menggunakan video berupa klip singkat agar waktu dapat digunakan sefektif mungkin sesuai dengan alokasi waktu yang tersedia. Memutar klip video bisa menjadi pemicu untuk memotivasi siswa lebih giat belajar. Selain itu guru juga harus menghubungkan apa yang dipelajari siswa dengan dunia nyata, menghubungkan apa yang dipelajari siswa dengan hal-hal yang penting bagi siswa akan semakin efektif bagi guru dalam memotivasi siswa dalam belajar. Dalam proses belajar mengajar (PBM) guru juga dituntut untuk meningkatkan kecerdasan emosionil siswa. Kecerdasan emosi sangat penting dalam menata kehidupan untuk meraih kesuksesan. Beberapa aspek penting yang perlu diperhatikan untuk meningkatkan kecerdasan emosi. Dua ahli EQ (Emotional Quotient), Salovey & Mayer (1990) yang dikenal sebagai pengembang konsep EQ, jauh sebelum Goleman merangkumnya menjadi lima aspek. Kelima aspek itu adalah kesadaran diri (self awareness), mengelola emosi (managing emotions), memotivasi diri sendiri (motivating oneself), empati (emphaty) serta menjaga relasi (handling relationship). Daniel Goleman menyebut 5 dimensi guna mengembangkan kecerdasan emosi yaitu penyadaran diri, mengelola emosi, motivasi diri, empati dan ketrampilan sosial. Dalam bukunya kompetensi EQ, “The emotionally Intelligent Workplace” Goleman menjelaskan bahwa perilaku EQ tidak bisa hanya dilihat dari sisi setiap kompetensi EQ melainkan harus dari satu dimensi atau setiap cluster-nya. Kemampuan penyadaran sosial (social awareness) misalnya tidak hanya tergantung pada kompetensi empati semata melainkan juga pada kemampuan untuk berorientasi pelayanan dan kesadaran akan organisasi. Ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kecerdasan emosional . Mengenali emosi orang lain berarti kita memiliki empati terhadap apa yang dirasakan orang lain. Penguasaan ketrampilan ini membuat kita lebih efektif dalam berkomunikasi dengan orang lain. Inilah yang disebut sebagai komunikasi empatik. Berusaha mengerti terlebih dahulu sebelum dimengerti. Ketrampilan ini merupakan dasar dalam berhubungan dengan manusia secara efektif. Kemudian mengelola emosi orang lain. Jika ketrempilan mengenali emosi orang lain merupakan dasar dalam berhubungan antar pribadi, maka ketrampilan mengelola emosi orang lain merupakan pilar dalam membina hubungan dengan orang lain. Ketrampilan mengelola emosi orang lain merupakan kemampuan yang dahsyat jika kita dapat mengoptimalkannya. Sehingga kita mampu membangun hubungan antar pribadi yang kokoh dan berkelanjutan. Memotivasi orang lain, ketrampilan memotivasi orang lain adalah kelanjutan dari ketrampilan mengenali dan mengelola emosi orang lain. Ketrampilan ini adalah bentuk lain dari kemampuan kepemimpinan, yaitu kemampuan menginspirasi, mempengaruhi dan memotivasi orang lain untuk mencapai tujuan bersama. Hal ini erat kaitannya dengan kemampuan membangun kerja sama tim yang tangguh dan andal. Thomas Amstrong dalam bukunya In Their Own Way: Discovering and Encouraging Your Child’s Multiple Intelligences, 2003) mengungkapkan bahwa pada dasarnya semua anak terlahir dengan potensi genius. Kecerdasan bukan hanya dilihat dari skor IQ dan nilai yang diperoleh seseorang. Kecerdasan merupakan kemampuan yang dimiliki oleh seseorang untuk melihat suatu masalah, lalu menyelesaikan masalah tersebut atau membuat sesuatu yang dapat berguna bagi orang lain. Sayangnya baik sekolah maupun orang tua seringkali terjebak melihat sisi kecerdasan anak hanya pada nilai raportnya yang mengukur kecerdasan matematika dan verbal semata. Padahal ada banyak kecerdasan (multiple Intellegences) yang harus dikenali pada diri anak agar bisa dikembangkan secara maksimal. Beberapa macam kecerdasan yang diungkapkan oleh Gardner (1983) dalam Multiple Intellegences yaitu kecerdasan Verbal-bahasa (Word Smart) pandai berbicara, gemar bercerita, dengan tekun mendengarkan cerita atau membaca merupakan tanda anak yang memiliki kecerdasan linguistik yang menonjol. Kecerdasan ini menuntut kemampuan anak untuk menyimpan berbagai informasi yang berarti berkaitan dengan proses berpikirnya. Kecerdasan Matematika – Logika (Number Smart) Anak-anak dengan kecerdasan matematika-logika yang tinggi memperlihatkan minat yang besar terhadap kegiatan eksplorasi. Mereka sering bertanya tentang berbagai fenomena yang dilihatnya. Mereka menuntut penjelasan logis dari setiap pertanyaan. Selain itu mereka juga suka mengklasifikasikan benda dan senang berhitung. Kecerdasan Spatial – Visual (Picture Smart) Anak-anak dengan kecerdasan visual – spatial yang tinggi cenderung berpikir secara visual. Mereka kaya dengan khayalan internal (internal imagery), sehingga cenderung imaginatif dan kreatif. Kecerdasan Fisik- Olah Tubuh (Body Smart). Anak-anak dengan kecerdasan bodily – kinesthetic di atas rata-rata, senang bergerak dan menyentuh. Mereka memiliki kontrol pada gerakan, keseimbangan, ketangkasan, dan keanggunan dalam bergerak. Mereka mengeksplorasi dunia dengan otot-ototnya. Kecerdasan Musik (Music Smart). Anak dengan kecerdasan musical yang menonjol mudah mengenali dan mengingat nada-nada. Ia juga dapat mentranformasikan kata-kata menjadi lagu, dan menciptakan berbagai permainan musik. Mereka pintar melantunkan beat lagu dengan baik dan benar. Mereka pandai menggunakan kosakata musical, dan peka terhadap ritme, ketukan, melodi atau warna suara dalam sebuah komposisi musik. Kecerdasan Interpersonal/Bergaul (People Smart). Anak dengan kecerdasan interpersonal yang menonjol memiliki interaksi yang baik dengan orang lain, pintar menjalin hubungan sosial, serta mampu mengetahui dan menggunakan beragam cara saat berinteraksi. Mereka juga mampu merasakan perasaan, pikiran, tingkah laku dan harapan orang lain, serta mampu bekerja sama dengan orang lain. Kecerdasan Intra personal/Cerdas Diri (Self Smart). Anak dengan kecerdasan intra personal yang menonjol memiliki kepekaan perasaan dalam situasi yang tengah berlangsung, memahami diri sendiri, dan mampu mengendalikan diri dalam situasi konflik. Ia juga mengetahui apa yang dapat dilakukan dan apa yang tidak dapat dilakukan dalam lingkungan sosial. Mereka mengetahui kepada siapa harus meminta bantuan saat memerlukan. Kecerdasan Lingkungan/Natural (Nature Smart). Anak-anak dengan kecerdasan naturalist yang menonjol memiliki ketertarikan yang besar terhadap alam sekitar, termasuk pada binatang, di usia yang sangat dini. Mereka menikmati benda-benda dan cerita yang berkaitan dengan fenomena alam, misalnya terjadinya awan dan hujan, asal usul binatang, pertumbuhan tanaman, dan tata surya. Kecerdasan Eksistensi (Spiritual). Anak yang memiliki kecerdasan ini memiliki ciri-ciri yaitu cenderung bersikap mempertanyakan segala sesuatu mengenai keberadaan manusia, arti kehidupan, mengapa manusia mengalami kematian, dan realitas yang dihadapinya. Kecerdasan ini dikembangkan oleh Gardner pada tahun 1999. Multiple Intelligences memberikan pandangan bahwa terdapat sembilan macam kecerdasan yang dimiliki oleh setiap orang. Yang membedakan antara yang satu dengan yang lainnya adalah komposisi atau dominasi dari kecerdasan tersebut. Setiap kecerdasan dalam Multiple intelligences dapat dikembangkan hingga batas maksimalnya. Peran orang tua sangat besar dalam mengembangkan kecerdasan majemuk ini. Memberi stimulus pada setiap sisi kecerdasan memberi peluang berkembangnya setiap kecerdasan tersebut. Pendidikan karakter Masih segar diingatan kita Pidato Medikbud Prof. Dr. Muhammad Nuh, DEA, mengawali pidato pada saat pembukaan Sarase¬han Nasional Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa yang diselenggarakan pada Tanggal 14 Januari 2010 yang lalu di Jakarta. “Hari ini merupakan hari yang sangat mem¬bahagiakan, kesempatan bagi kita untuk menggagas, menganalisis dan memberikan masukan untuk pengembangan budaya dan karakter bangsa dalam rangka menjawab kerisauan masyarakat karena kekhawatiran akan hilangnya nilai-nilai budaya dan karak¬ter bangsa serta kerinduan terhadap kehidu¬pan yang harmoni”. Mengutip pendapat M.Nuh ada beberapa kebiasaan yang harus di bangun dinegeri ini yaitu kebiasaan men¬gapresiasi setiap prestasi, kebiasaan ini akan memban¬gun tumbuh suburnya orang-orang yang berprestasi. Tradisi obyektif dan komprehensif, intelektual dan “curiosity” yaitu kebiasaan eksploratif, pemikir, kreatif, inovatif yang didukung oleh pembelajar mengingat dan memahami. Tega terhadap orang sakit harus digeser menjadi tidak tega, kesediaan belajar dari orang lain dan pendidikan tidak boleh dibiarkan lepas dari budaya. Pendidikan karakter saat ini masuk dalam kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP). Intinya setiap KTSP wajib memuat pendidikan karakter sehingga jati diri bangsa Indonesia lebih dikedepankan sebagai bangsa yang berbudaya dan berkarakter. Pendidikan karakter juga berkaitan erat dengan kecerdasan emosionil seseorang dimana setiap orang akan memiliki karakternya sendiri, jati dirinya sendiri dan menghargai budayanya sendiri. Budaya-budaya nasional bangsa kita merupakan hasil olah pikiran, hasil kecerdasan yang tidak hanya tercipta semudah membalikkan telapak tangan. Itulah kunci kecerdasan emosionil yang sudah ribuan tahun turun temurun dari generasi ke generasi namun kita belum menyadari kekuatan atas karakter bangsa kita. Kecerdasaran-kecerdasaran sebagaimana yang diuraikan diatas perlu digali lebih mendalam oleh guru sehingga anak didik/siswa yang kita didik benar-benar potensinya dikembangkan secara optimal. Optimalisasi kecerdasan siswa bisa dipadukan dengan pendidikan berbasis karakter melalui motivasi terhadap anak didik disekolah. Pendidikan berbasis karakter akan menunjukkan eksistensi dan kekuatannya apabila bangsa ini tetap berpegang teguh pada nilai-nilai, norma-norma serta tradisi-tradisi yang dibingkai dalam suatu harmonisasi budaya yaitu karakter yang sesungguhnya. (dihimpun dari berbagai sumber). Tulisan ini telah dimuat pada Majalah TEGAS

TEORI PEMBELAJARAN BANDURA DAN IMPLEMENTASINYA

TEORI PEMBELAJARAN BANDURA DAN IMPLEMENTASINYA Oleh: NELSON SIHALOHO Pada tahun 1941, Miller dan Dollard telah mencanangkan bahwa teori pembelajaran dan peniruan yang menolak anggapan teori tingkah laku tradisional. Hal itu disebabkan karena teori pembelajaran tersebut gagal untuk mengambil perihal respons baru, dimana prosesnya melambat dalam proses peniruan. Para ahli psikologi behavioris ramai-ramai mengkritik tentang teori tersebut bahkan ada diantara para ahli yang meluaskan pandangan mereka tentang pembelajaran dengan menambah proses- proses kognitif. Albert Bandura dalam teori kognitif sosial, percaya bahwa pandangan ahli teori behavioris tentang pembelajaran meskipun tepat tidak lengkap. Menurut mereka hanya sebahagian saja informasi tentang pembelajaran dan tidak memunculkan aspek- aspek penting terutama pengaruh- pengaruh sosial dalam pembelajaran. Pada tahun 1963, Albert Bandura dan Walters telah menghasilkan buku berjudul “Concept Learning and Personality Development” dimana Bandura mengembangkan teori pembelajaran dengan menjelaskan lebih rinci prinsip pembelajaran perhatian serta peneguhan dalam implementasinya. Albert Bandura sangat terkenal dengan teori pembelajaran sosial ( Social Learning Teory ) salah satu konsep dalam aliran behaviorisme yang menekankan pada komponen kognitif dari pikiran, pemahaman dan evaluasi. Bandura merupakan seorang ahli psikologi yang terkenal dengan teori belajar sosial atau kognitif sosial serta efikasi diri. Eksperimen yang sangat terkenal adalah eksperimen “Bobo Doll” yang menunjukkan anak–anak meniru seperti perilaku agresif dari orang dewasa disekitarnya. Teori kognitif sosial (social cognitive theory) yang dikemukakan oleh Albert Bandura menyatakan bahwa faktor sosial dan kognitif serta faktor pelaku memainkan peran penting dalam pembelajaran. Faktor kognitif berupa ekspektasi/ penerimaan siswa untuk meraih keberhasilan. Faktor sosial mencakup pengamatan siswa terhadap perilaku orangtuanya. Albert Bandura merupakan salah satu perancang teori kognitif sosial. Menurut Bandura ketika siswa belajar mereka dapat merepresentasikan atau mentrasformasi pengalaman mereka secara kognitif. Bandura mengembangkan model deterministik resipkoral yang terdiri dari tiga faktor utama yaitu perilaku, person/kognitif dan lingkungan. Faktor ini bisa saling berinteraksi dalam proses pembelajaran. Faktor lingkungan mempengaruhi perilaku, perilaku mempengaruhi lingkungan, faktor person/kognitif mempengaruhi perilaku. Faktor person Bandura tak punya kecenderungan kognitif terutama pembawaan personalitas dan temperamen. Faktor kognitif mencakup ekspektasi, keyakinan, strategi pemikiran dan kecerdasan. Dalam model pembelajaran Bandura, faktor person (kognitif) memainkan peranan penting. Faktor person (kognitif) yang dimaksud saat ini adalah self-efficasy atau efikasi diri. Reivich dan Shatté (2002) mendefinisikan efikasi diri sebagai keyakinan pada kemampuan diri sendiri untuk menghadapi dan memecahkan masalah dengan efektif. Efikasi diri juga berarti meyakini diri sendiri mampu berhasil dan sukses. Individu dengan efikasi diri tinggi memiliki komitmen dalam memecahkan masalahnya dan tidak akan menyerah ketika menemukan bahwa strategi yang sedang digunakan itu tidak berhasil. Menurut Bandura (1994), individu yang memiliki efikasi diri yang tinggi akan sangat mudah dalam menghadapi tantangan. Individu tidak merasa ragu karena ia memiliki kepercayaan yang penuh dengan kemampuan dirinya. Individu ini menurut Bandura (1994) akan cepat menghadapi masalah dan mampu bangkit dari kegagalan yang ia alami. Menurut Bandura proses mengamati dan meniru perilaku dan sikap orang lain sebagai model merupakan tindakan belajar. Teori Bandura menjelaskan perilaku manusia dalam konteks interaksi timbal balik yang berkesinambungan antara kognitif, perilaku dan pengaruh lingkungan. Kondisi lingkungan sekitar individu sangat berpengaruh pada pola belajar sosial jenis ini. Teori Pemodelan Bandura Bandura dan Walters menggunakan sekumpulan anak- anak berusia 3- 6 tahun untuk menjalankan teori dan kajian untuk membuktikan bahwa anak- anak secara keseluruhan meniru model yang diberikan oleh gaya orangtuanya yang agresif. Albert Bandura dilahirkan di Mundare Northern Alberta Kanada, pada tanggal 4 Desember 1925. Masa kecil dan remaja dihabiskannya di Mundare. Pada tahun 1949 Bandura mendapat pendidikan di University of British Columbia mengambil jurusan psikologi. Memperoleh gelar Master didalam bidang psikologi pada tahun 1951 dan setahun kemudian Bandura juga meraih gelar doctor (Ph.D). Bandura menyelesaikan program doktornya dalam bidang psikologi klinik. Kemudian bekerja di Standford University. Bandura banyak terjun dalam pendekatan teori pembelajaran untuk meneliti tingkah laku manusia dan tertarik pada nilai eksperimen. Selanjutnya pada tahun 1964 Albert Bandura dilantik sebagai professor kemudian menerima anugerah American Psychological Association untuk Distinguished scientific contribution pada tahun 1980. Pada tahun 1981, Bandura bertemu dengan Robert Sears dan belajar tentang pengaruh keluarga dengan tingkah laku sosial dan proses identifikasi. Sejak itu Bandura mulai meneliti tentang agresi pembelajaran sosial dan mengambil Richard Walters, muridnya yang pertama mendapat gelar doctor sebagai asistennya. Dalam teorinya Bandura berpendapat, meskipun prinsip belajar cukup untuk menjelaskan dan meramalkan perubahan tingkah laku, prinsip itu harus memperhatikan dua fenomena penting yang diabaikan atau ditolak oleh paradigma behaviorisme. Albert Bandura sangat terkenal dengan teori pembelajaran sosial, salah satu konsep dalam aliran behaviorime yang menekankan pada komponen kognitif dari pemikiran, pemahaman, dan evaluasi. Teori Pembelajaran Sosial merupakan perluasan dari teori belajar perilaku yang tradisional (behavioristik). Teori pembelajaran sosial ini dikembangkan oleh Albert Bandura pada tahun 1986. Teori ini menerima sebagian besar dari prinsip – prinsip teori – teori belajar perilaku, tetapi memberikan lebih banyak penekanan pada kesan dan isyarat – isyarat perubahan perilaku, dan pada proses – proses mental internal. Teori pembelajaran sosial menggunakan penjelasan–penjelasan reinforcement eksternal dan penjelasan–penjelasan kognitif internal untuk memahami bagaimana belajar dari orang lain. Dalam pandangan belajar sosial “manusia“tidak didorong oleh kekuatan–kekuatan dari dalam dan juga tidak dipengaruhi oleh stimulus–stimulus lingkungan. Namun pada dasarnya teori belajar sosial menekankan bahwa lingkungan–lingkungan yang dihadapkan pada seseorang secara kebetulan dimana lingkungan–lingkungan itu kerap kali dipilih dan diubah oleh orang itu melalui perilakunya sendiri. Mengutip pendapat Kard tahun 1997, bahwa sebagian besar manusia belajar melalui pengamatan secara selektif dan mengingat tingkah laku orang lain. Inti dari pembelajaran sosial adalah pemodelan (modelling), dan pemodelan ini merupakan salah satu langkah paling penting dalam pembelajaran terpadu. Ada dua jenis pembelajaran melalui pengamatan yaitu pembelajaran melalui pengamatan dapat terjadi melalui kondisi yang dialami orang lain serta pembelajaran melalui pengamatan meniru perilaku model meskipun model itu tidak mendapatkan penguatan positif atau penguatan negatif. Model ini juga dikuatkan oleh Nur M (1998) dimana diungkapkannya bahwa tidak harus diperagakan oleh seseorang secara langsung, tetapi kita dapat juga menggunakan seseorang pemeran atau visualisasi tiruan sebagai model. Tahun 1941, dua orang ahli psikologi, yaitu Neil Miller dan John Dollard dalam laporan hasil eksperimennya mengatakan bahwa peniruan (imitation) merupakan hasil proses pembelajaran yang ditiru dari orang lain. Proses belajar tersebut dinamakan “social learning”. Menurut Bandura, sebagian besar tingkah laku manusia dipelajari melalui peniruan maupun penyajian, contoh tingkah laku ( modeling ). Pada tahun 1971 Bandura kemudian menyarankan agar teori pembelajaran sosial diperbaiki memandang teori pembelajaran sosial yang sebelumnya hanya mementingkan perilaku tanpa mempertimbangan aspek mental seseorang. Perlakuan seseorang adalah hasil interaksi faktor dalam diri(kognitif) dan lingkungan. Bersama Walter (1963) melakukan kajian dan perlakuan terhadap anak-anak apabila mereka menonton orang dewasa memukul, mengetuk dengan palu besi dan menumbuk sambil menjerit-jerit dalam video. Menurut teori belajar sosial, perbuatan melihat saja menggunakan gambaran kognitif dari tindakan, secara rinci dasar kognitif dalam proses belajar dapat diringkas dalam 4 tahap , yaitu perhatian/atensi, mengingat/retensi, reproduksi gerak dan motivasi. “Attention”pada intinya subjek harus memperhatikan tingkah laku model untuk dapat mempelajarinya. Subjek memberi perhatian tertuju kepada nilai, harga diri, sikap, dan lain-lain yang dimiliki. Bandura & Walters(1963) dalam buku mereka “Sosial Learning & Personality Development” menekankan bahwa hanya dengan memperhatikan orang lain pembelajaran dapat dipelajari. “Retention” maksudnya adalah subjek yang memperhatikan harus merekam peristiwa itu dalam sistem ingatannya. Kemampuan untuk menyimpan informasi juga merupakan bagian penting dari proses belajar. “Reproduction” yaitu setelah mengetahui atau mempelajari sesuatu tingkahlaku, subjek juga dapat menunjukkan kemampuannya atau menghasilkan apa yang disimpan dalam bentuk tingkah laku. “Motivasi” adalah penting dalam pemodelan Albert Bandura karena motivasi merupakan penggerak individu untuk terus melakukan sesuatu. Eksperimen dan Implementasinya Eksperimen paling terkenal dari Bandura adalah eksperimen “Bobo Doll” yang menunjukkan anak–anak meniru seperti perilaku agresif dari orang dewasa disekitarnya. Tokoh teori belajar sosial ini menyatakan bahwa proses pembelajaran dapat dilaksanakan dengan lebih berkesan dengan menggunakan pendekatan “permodelan “. Adapun jenis-jenis peniruan menurut Albert Bandura adalah peniruan langsung. Ciri khas pembelajaran ini adalah adanya modeling, yaitu suatu fase dimana seseorang memodelkan atau mencontohkan sesuatu melalui demonstrasi bagaimana suatu ketrampilan itu dilakukan. Kemudian penurian tidak langsung, adalah melalui imaginasi atau perhatian secara tidak langsung. Peniruan gabungan adalah dengan cara menggabungkan tingkah laku yang berlainan yaitu peniruan langsung dan tidak langsung. Peniruan seketika merupakan tingkah laku yang ditiru hanya sesuai untuk situasi tertentu saja. Peniruan berkelanjutan adalah tingkah laku yang ditiru boleh ditonjolkan dalam situasi apapun. Menurut Bandura hal lainnya yang perlu diperhatikan dalam pemodelan atau teladan harus mempunyai prinsip–prinsip. Prinsip itu adalah tingkat tertinggi belajar dari pengamatan diperoleh dengan cara mengorganisasikan sejak awal dan mengulangi perilaku secara simbolik kemudian melakukannya. Proses mengingat akan lebih baik dengan cara perilaku yang ditiru dituangkan dalam kata–kata, tanda atau gambar daripada hanya melihat saja. Individu lebih menyukai perilaku yang ditiru jika sesuai dengan nilai yang dimilikinya. Individu akan menyukai perilaku yang ditiru jika model tersebut disukai dan dihargai serta perilakunya mempunyai nilai yang bermanfaat. Teori belajar sosial dari Bandura ini merupakan gabungan antara teori belajar behavioristik dengan penguatan dan psikologi kognitif, dengan prinsip modifikasi tingkah laku. Proses belajar masih berpusat pada penguatan, hanya terjadi secara langsung dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Motivasi banyak ditentukan oleh kesesuaian antara karakteristik pribadi pengamat dengan karakteristik modelnya. Ciri – cirri model seperti usia, status sosial, keramahan dan kemampuan penting dalam menentukan tingkat imitasi. Teori Albert Bandura lebih lengkap dibandingkan teori belajar lainnya sebab lebih menekankan bahwa lingkungan dan perilaku seseorang dihubungkan melalui sistem kognitif orang tersebut. Bandura memandang tingkah laku manusia bukan semata – mata reflex atas stimulus (S-R bond), melainkan juga akibat reaksi yang timbul akibat interaksi antara lingkungan dengan kognitif manusia itu sendiri. Pendekatan teori belajar sosial lebih ditekankan pada perlunya conditioning (pembiasan merespon ) dan imitation (peniruan). Selain itu pendekatan belajar sosial menekankan pentingnya penelitian empiris dalam mempelajari perkembangan anak–anak. Selain itu teori Bandura dapat diimplementasikan di sekolah dengan melakukan pemodelan yang lebih selektif. Intinya pemodelan yang lebih cocok dan sesuai dengan kondisi siswa dapat diterapkan di sekolah sehingga hal-hal positif dapat dilakukan secara berulang-ulang. Apabila siswa terus mendapatkan respon pembelajaran sosial yang berkelanjutan dan bermakna maka model atau teori pembelajaran Bandura dapat diimplementasikan disekolah untuk menumbuhkembangkan sikap-sikap positif khususnya dalam pemodelan atau memperkenalkan tokoh-tokoh penting yang perlu diteladani. (dihimpun dari berbagai sumber-sumber relevan). TULISAN INI TELAH DIMUAT PADA MAJALAH TEGAS

KURIKULUM

KURIKULUM BERMUTU DAN DEEP LEARNING Oleh: Nelson Sihaloho Abstrak: Kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) diberlakukan untuk memberikan kewenangan kepada guru ataupun sekolah untuk menyusun sendiri kurikulum dengan tetap mengacu pada standar nasional pendidikan (KTSP). Kurikulum bermutu akan melahirkan siswa bermutu. Kewenangan yang diberikan oleh pemerintah pusat harus dimanfaatkan oleh semua pihak khususnya para guru untuk membuktikan kompetensi profesionalismenya. Selain itu kurikulum yang disusun akan menggambarkan suatu kedalam isi (SI), kompetensi dasar (KD) sehingga standar kelulusan siswa (SKL) akan dapat terukur, akuntabel dan berbanding lurus dengan prestasi anak didik. Kurikulum yang disusun hendaknya mampu menciptakan suasanan belajar yang mendalam (deep learning) sehingga inovasi kurikulum yang berkelanjutan akan memberikan kontribusi terhadap pendidikan bermutu. Hasil penelitian dan pengamatan menunjukkan bahwa kurikulum bermutu dan deep learning ada hubungan yang signifikan antara keduanya. Kata kunci : kurikulum, deep learning. Pendahuluan Pembaharuan sistem pendidikan kita memasuki era baru. Kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) yang diberlakukan sejak beberapa tahun silam memberikan pencerahan maupun suasana yang beru terhadap para pendidik untuk menyusun sendiri kurikulum yang menjadi bidang tugas pokoknya. Meski demikian pembaharuan kurikulum sering dikaitkan adanya perubahan sistem politik. Berbagai kepentingan yang termasuk masuk di dalamnya menimbulkan lebih banyak ”penolakan” terhadap adanya perubahan itu. Mengutip pendapat Fullan (2001) ”The New Meaning of Educational Charge” mengatakan bahwa akan timbul perbedaan persepsi antara pemegang kebijakan dan pelaku kebijakan untuk setiap perubahan pada sektor pendidikan. Dari sisi pemegang kebijakan, terdapat asumsi dasar bahwa guru cenderung kurang menyukai adanya perubahan. Umumnya pemegang kebijakan kurang memahami kenyataan-kenyataan yang terjadi pada saat dilaksanakannya proses pembelajaran. Bennie dan Newstead (1999) juga menguraikan ada beberapa faktor yang menyebabkan timbulnya kendala dalam implementasi kebijakan pendidikan apabila dikaitkan dengan kurikulum. Beberapa faktor itu adalah waktu, harapan-harapan dari pihak orangtua, minimnya buku-buku pelajaran pada saat implementasi kurikulum baru dilaksanakan serta kurang jelasnya konsep kurikulum dan pengetahuan. Charles dan Jones (1973) juga mengungkapkan bahwa, setiap perubahan pada sektor pendidikan seharusnya diikuti dengan upaya mengamati berbagai bentuk operasional dilapangan sebagai tindak lanjut dan implementasi dari kebijakan. Banyak kendala yang harus diantisipasi agar tidak menimbulkan masalah yang besar dan kompleks khususnya dalam bidang pendidikan itu sendiri. Hargreaves ( 1995) juga menyatakan seringkali terjadi bahwa implementasi suatu kurikulum baru tidak diikuti dengan pengimbangan kemampuan guru dan tindakan bagaimana meningkatkan guru-guru sebagai ujung tombak dalam impelemtasi kurikulum. Hal tersebut juga didukung oleh Fennema dan Franke (1992) bahwa kemampuan baik secara keterampilan dan pengetahuan seorang guru akan mempengaruhi prose pembelajaran di kelas dan menentukan sejauh mana kurikulum dapat diterapkan. Studi yang dilakukan oleh Taylor dan Vinjevold (1999) mengungkapkan bahwa kegagalan implementasi kurikulum disebabkan oleh rendahnya pengetahuan konseptual guru, kurang penguasaan terhadap topik yang diajarkan dan kesalahan interpretasi dari apa yang tertulis dalam dokumen kurikulum. Menurut Middleton (1999) juga menyatakan bahwa, berhasil tidaknya implementasi kurikulum yang diperbarui cenderung ditentukan oleh persepsi atau keyakinan yang dimiliki oleh tenaga pengajar atau guru. Bennie dan Newstead (1999) menyarankan untuk diadakannya penataran bagi guru secara intensif untuk dapat memahami filosofi dan substansi dari kurikulum yang baru. Laporan UNDP tahun 2006 menunjukkan Human development Indeks (HDI) Indonesia berada pada posisi 108 dari 109 negara bahkan disinyalir Indonesia sudah berada dibawah negara Vietnam. Untuk menjawab tantangan peningkatan mutu pendidikan diperlukan inovasi kurikulum yaitu kurikulum bermutu. Inovasi kurikulum dilakukan untuk menjadikan siswa sebagai subjek dan siswa didorong untuk menemukan sendiri apa yang mereka pelajari. Dalam kondisi inilah deep learning (belajar mendalam) akan dialami oleh siswa sebagai bentuk implementasi siswa sebagai subjek. Maka usaha yang perlu dilakukan adalah perbaikan kurikulum (inovasi kurikulum) melalui inovasi dokumen, inovasi pengembangan dan inovasi praktek kurikulum di dalam kelas. Seperti perubahan pola pembelajaran di dalam kelas dari traditional rote learning menjadi inquiry based learning. Sebagaimana menurut Joyce & Weil, 1991:198, inquiry adalah “designed to bring students directly into scientific process through exercise that compress the scientific process into small periods of time” . Inquiry adalah pola dan pendekatan pembelajaran dengan meletakkan siswa sebagai subjek dan harus didorong menemukan sendiri apa yang sedang mereka pelajari. Inquiry based learning, dikenal ada level dalam proses pemebelajaran, yaitu surface learning (belajar dangkal) dan deep learning (belajar mendalam). Inquiry based learning akan berkorelasi dengan Deep learning . Menurut Marton&Saljo (1976) mengidentifikasi dua level proses belajar yang dinamakan “surface process” dan “deep process”. Lebih lanjut kedua ahli menyimpulkan surface level process ditandai bila siswa hanya belajar text itu sendiri atau hanya melalui proses menghafal. Deep level process siswa belajar menangkap arti dari materi yang sedang dipelajari, belajar untuk mengerti dan mengidentifikasi hubungan antar konsep dan variable-variabel yang dipalajari. Brown&Atkin (1991) juga membedakan proses belajar siswa atas dua yaitu “surface learning” dan “deep learning”. Deep learning ditandai oleh proses keaktifan siswa untuk mmenemukan arti dan pengertian terhadap materi yang sedang dipelajari, sedangkan surface learning ditandai oleh proses menghafal materi yang sedang dipelajari. Biggs (1988: 130) menegaskan “ deep learning is used by many the more successful students in high school and university, they search for structure and meaning and do so while organizing their time and context optimally”. Artinya deepapproach to learning sangat penting dilakukan untuk meningkatkan keterlibatan siswa secara fisik dan mental dalam proses pembelajaran. Keterlibatan mental siswa secara mendalam dalam operasi berfikir, menganalisa, mensintesa hingga pada tahap menemukan apa yang dituntut oleh tujuan pembelajaran kompetens/ materi yang sedang dipelajari akan meningkatkan pengauasaan materi pelajaran secara tingkat tinggi. Ryan (1974) mengatakan keterlibatan siswa dalam proses pembelajaran tingkat tinggi (higer involvement) adalah suatu yang sangat penting untuk mewujudkan hasil belajar yang lebih tinggi. Untuk mewujudkan pendekatan belajar mendalam (deep learning approach) harus melakukan proses pembelajaran berbasis riset. Menurut Gay, 1992:7, riset (research) “ is the formal, systematic application of scientific methods to the study of problems”. Belajar dengan melakukan penelitian atau setidak-tidaknya memakai pola pemikiran riset dalam pembelajaran akan membawa anak didik ke dalam proses belajar mendalam. Untuk melaksanakan pola pembejalaran berbasis riset maka, minimal ada lima langkah yang harus ditempuh dalam proses pembelajaran. Ke lima langkah itu adala, ada masalah yang merupakan masalah penelitian, mengajukan hipotesis, mengumpulkan data melalui prosedur dan tehnik yang tepat, mengolah data dengan tehnik yang tepat serta menguji hipotesis untuk mengambil kesimpulan. Menurut Bari Djamarah (1994:21) belajar merupakan suatu aktivitas yang dilakukan secara sadar untuk mendapatkan sejumlah kesan dari bahan yang telah dipelajari. James O. Wittaker menyatakan belajar dapat didefinisikan sebagai proses dimana tingkah laku ditimbulkan atau diubah melalui latihan atau pengalaman. Sedangkan Cronbach menyatakan belajar yang efektif adalah melalui penglaman. Lebih lanjut Howard L. Kingsley menyatakan belajar adalah proses dimana tingkah laku (dalam arti luas) ditimbulkan atau diubah melalui praktek dan latihan sebagaimana dikutip (dalam Dalyono, 2006: 104). Dari beberapa pendapat para ahli tentang pengertian belajar adalah suatu kegiatan yang dilakukan dengan melibatkan 2 unsur yaitu jiwa dan raga. Gerak raga yang ditunjukkan harus sejalan dengan proses jiwa untuk mendapatkan perubahan sebagai hasil dari proses belajar. Sehingga dilihat dari pengertian prestasi dan belajar tersebut maka dapat diambil kesimpulan prestasi belajar adalah hasil yang diperoleh berupa kesan-kesan yang mengakibatkan perubahan. Bentuk perubahan dari hasil belajar meliputi tiga aspek, yaitu aspek kognitif, afektif dan psikomotorik. Ranah Benjamin S. Bloom Dalam sistem pendidikan nasional rumusan tujuan pendidikan, baik tujuan kurikuler maupun tujuan instruksional, menggunakan klasifikasi hasil belajar dari Benyamin S. Bloom yang secara garis besar membaginya menjadi tiga ranah, yakni ranah kognitif, ranah afektif, dan ranah psikomotorik. Benjamin S. Bloom itu berpendapat bahwa pengelompokkan tujuan pendidikan itu harus senantiasa mengacu kepada tiga jenis domain (daerah binaan atau ranah) yang melekat pada diri peserta didik, yaitu ranah proses berfikir (cognitive domain), ranah nilai atau sikap (affective domain) serta ranah keterampilan (psychomotor domain). Ranah kognitif adalah ranah yang mencakup kegiatan mental (otak). Ranah kognitif berhubungan dengan kemampuan berfikir, termasuk didalamnya kemampuan menghafal, memahami, mengaplikasi, menganalisis, mensintesis, dan kemampuan mengevaluasi. Dalam ranah kognitif itu terdapat enam aspek atau jenjang proses berfikir, mulai dari jenjang terendah sampai dengan jenjang yang paling tinggi. Keenam jenjang atau aspek itu adalah pengetahuan/hafalan/ingatan (knowledge), pemahaman (comprehension), penerapan (application), analisis (analysis), sintesis (syntesis) serta penilaian/penghargaan/evaluasi (evaluation). Menurut Taksonomi Bloom (Sax ,1980), kemampuan kognitif adalah kemampuan berfikir secara hirarki yang terdiri dari pengetahuan, pemahaman, aplikasi, analisis, sintesis dan evaluasi. Ranah afektif adalah ranah yang berkaitan dengan sikap dan nilai. Ranah afektif mencakup watak perilaku seperti perasaan, minat, sikap, emosi, dan nilai. Ranah afektif menjadi lebih rinci lagi ke dalam lima jenjang, yaitu receiving, responding, valuing, organization and characterization by evalue or calue complex. Menurut Andersen (1981:4) menyatakan bahwa pemikiran atau perilaku harus memiliki dua kriteria untuk diklasifikasikan sebagai ranah afektif. Kedua, perilaku harus tipikal perilaku seseorang. Kriteria lain yang termasuk ranah afektif adalah intensitas, arah, dan target. Ada 5 tipe karakteristik afektif yang penting berdasarkan tujuannya, yaitu sikap, minat, konsep diri, nilai, dan moral. Menurut Fishbein dan Ajzen (1975) sikap adalah suatu predisposisi yang dipelajari untuk merespon secara positif atau negatif terhadap suatu objek, situasi, konsep, atau orang. Sikap peserta didik ini penting untuk ditingkatkan (Popham, 1999). Menurut Getzel (1966), minat adalah suatu disposisi yang terorganisir melalui pengalaman yang mendorong seseorang untuk memperoleh objek khusus, aktivitas, pemahaman, dan keterampilan untuk tujuan perhatian atau pencapaian. Menurut Smith, konsep diri adalah evaluasi yang dilakukan individu terhadap kemampuan dan kelemahan yang dimiliki. Target, arah, dan intensitas konsep diri pada dasarnya seperti ranah afektif yang lain. Nilai menurut Rokeach (1968) merupakan suatu keyakinan tentang perbuatan, tindakan, atau perilaku yang dianggap baik dan yang dianggap buruk. Definisi lain tentang nilai disampaikan oleh Tyler (1973:7), yaitu nilai adalah suatu objek, aktivitas, atau ide yang dinyatakan oleh individu dalam mengarahkan minat, sikap, dan kepuasan. Piaget dan Kohlberg banyak membahas tentang per-kembangan moral anak. Namun Kohlberg mengabaikan masalah hubungan antara judgement moral dan tindakan moral. Ranah psikomotor merupakan ranah yang berkaitan dengan keterampilan (skill) tau kemampuan bertindak setelah seseorang menerima pengalaman belajar tertentu. Ranah psikomotor adalah ranah yang berhubungan dengan aktivitas fisik, misalnya lari, melompat, melukis, menari, memukul, dan sebagainya. Simpson (1956) yang menyatakan bahwa hasil belajar psikomotor ini tampak dalam bentuk keterampilan (skill) dan kemampuan bertindak individu. Ranah psikomotor berhubungan dengan hasil belajar yang pencapaiannya melalui keterampilan manipulasi yang melibatkan otot dan kekuatan fisik. Beberapa ahli banyak menjelaskan penilaian hasil belajar psikomotor. Ryan (1980) menjelaskan bahwa hasil belajar keterampilan dapat diukur melalui pengamatan langsung dan penilaian tingkah laku peserta didik selama proses pembelajaran praktik berlangsung. Tes untuk mengukur ranah psikomotorik adalah tes untuk mengukur penampilan atau kinerja (performance) yang telah dikuasai oleh peserta didik. Tes tersebut dapat berupa tes paper and pencil, tes identifikasi, tes simulasi, dan tes unjuk kerja. Kurikulum Bermutu Webster’s (1857), mendefenisikan kurikulum sebagai sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh oleh para siswa untuk dapat naik kelas atau mendapat ijazah. Robert Zais (1976) mengatakan kurikulum adalah sejumlah mata pelajaran atau ilmu pengetahuan yang harus ditempuh oleh siswa untuk mencapai suatu tingkat tertentu atau untuk memperoleh ijazah. William B. Ragan (1963), Beauchamp (1964), dan Harold B. Alberti Cs. (1965) mendefinisikan kurikulum menekankan pada aspek pengalaman dan kegiatan belajar siswa. Intinya kurikulum adalah semua pengalaman dan kegiatan belajar yang direncanakan oleh (guru) sekolah dan dialami siswa, baik itu yang dilaksanakan di kelas, di halaman sekolah maupun di luar sekolah sekalipun. Pengertian kurikulum yang lebih luas dan komprehensif dikemukakan oleh J. Lloyd Trump dan Delmas F. Miller (1973) dan Alice Miel (1945). Ketiga ahli tersebut melihat kurikulum bukan hanya berkenaan dengan mata pelajaran dan kegiatan belajar, tetapi juga menyangkut sarana prasarana, metode, waktu, sistem evaluasi, dan administrasi supervisi. Simpulannya kurikulum dapat dilihat dari dua dimensi, yaitu kurikulum sebagai sebuah dokumen yang berisi rencana pengalaman-pengalaman belajar yang akan dipelajari dan dikuasai oleh para siswa dalam rentang waktu tertentu atau disebut dengan kurikulum tertulis (written curriculum), dan kurikulum sebagai pengalaman dan kegiatan belajar yang dialami siswa secara nyata atau yang disebut dengan kurikulum nyata (real curriculum). Untuk mengembangkan kurikulum nyata diperlukan sejumlah faktor pendukung mulai dari bahan ajar, sarana prasarana, media/sumber belajar, metode, dan sistem evaluasi. Ada sejumlah prinsip pengembangan kurikulum yang perlu diperhatikan agar kurikulum dapat dinilai bermutu yaitu prinsip relevansi, efektivitas, efesiensi serta fleksibilitas. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dikembangkan dengan mengacu kepada sejumlah aturan perundangan mulai dari UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, PP No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, Permendiknas No. 22/2006 tentang Standar Isi, Permendiknas No. 23/2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan, Permendiknas No. 24/2006 dan No. 6/2007 tentang pelaksanaan Permendiknas No. 22 dan 23/2006. Saat ini kita dihadapkan pada tantangan era globalisasi. Era globalsiasi ditandai dengan perubahan dalam konsep ruang dan waktu, pasar dan produksi ekonomi di negara-negara yang berbeda menjadi saling bergantung sebagai akibat dari pertumbuhan perdagangan internasional, peningkatan pengaruh perusahaan multinasional, dan dominasi organisasi semacam World Trade Organization (WTO). Kemudian terjadinya peningkatan interaksi kultural melalui perkembangan media massa (terutama televisi, film, musik, dan transmisi berita dan olah raga internasional). saat ini, kita dapat mengonsumsi dan mengalami gagasan dan pengalaman baru mengenai hal-hal yang melintasi beraneka ragam budaya, misalnya dalam bidang fashion, literatur, dan makanan serta meningkatnya masalah bersama, misalnya pada bidang lingkungan hidup, krisis multinasional, inflasi regional dan lain-lain. Secara lebih khusus, ciri-ciri globalisasi ditandai dengan berkembangnya pertukaran kebudayaan internasional, penyebaran prinsip multi kebudayaan (multiculturalism), dan kemudahan akses suatu individu terhadap kebudayaan lain di luar kebudayaannya. Berkembangnya turisme dan pariwisata, semakin banyaknya imigrasi dari suatu negara ke negara lain, berkembangnya mode yang berskala global, seperti pakaian, film dan lain lain serta bertambah banyaknya event-event berskala global. Untuk menciptakan pendidikan guru yang berkualitas, berdasarkan beberapa hasil penelitian Darling-Hammond. dan Bransford (Ed.) (2005: 394) menyatakan bahwa minimal ada tiga elemen penting dalam desain program pendidikan guru yang harus diperbaiki. Ketiga elemen tersebut adalah konten pendidikan guru, proses pembelajaran yang berkenaan dengan penyusunan kurikulum serta konteks pembelajaran, yang berkenaan dengan penciptaan proses pembelajaran kontekstual. Lang dan Evans (2006: 3) secara lebih gamblang menyatakan bahwa penciptaan program pendidikan bermutu dapat didasarkan atas esensi-esensi program pendidikan guru diantaranya keberartian teori disertai pengalaman praktisnya, kerja sama antara perguruan tinggi dengan komunitas pendidikan lainnya, teori dan praktis dalam keterampilan generic dan refleksi serta diskusi tentang efektivitas keterampilan tersebut. Memberikan penekanan proses pada bagaimana cara mahasiswa belajar untuk meningkatkan kreativitas dan kemampuan berpikir kritis, kemampuan untuk mengorganisasikan pembelajaran,penerapan pendekatan konstruktivisme dalam pembelajaran, penerapan alternatif asesmen dan teori motivasi serta membangun profesionalisme berbasis penelitian Minimal ada lima kapabilitas yang harus terus menerus dibangun guru dalam rangka mengembangkan kualitasnya (Darling-Hammond. et.al. ,1999; Nicholss, G., 2002, dan Lang dan Evans, 2006). Kelima kapabilitas itu adalah konten pengetahuan yang diajarkan, tingkat konseptualisasi, kemampuan guru dalam melaksanakan proses pembelajaran, komunikasi interpersonal dan kapabilitas ego. Kapabilitas ego berhubungan dengan usaha mengetahui diri sendiri dan usaha membangun responsibilitas diri terhadap lingkungan. Aspek lain yang penting dalam rangka membangun kualitas guru adalah usaha mewujudkan guru sebagai peneliti. Pelaksanaan penelitian di dalam kelas merupakan upaya meningkatkan kualitas pendidik untuk menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi saat menjalankan tugasnya akan memberi kontribusi positif ganda. Kontribusi itu adalah peningkatan kemampuan dalam menyelesaikan masalah pendidikan dan pembelajaran yang nyata, peningkatan kualitas isi, masukan, proses, dan hasil belajar. Peningkatan keprofesionalan pendidik, penerapan prinsip pembelajaran berbasis penelitian. (****). (Dihimpun dari berbagai sumber dan rujukan : Darling-Hammond. (Ed.).1999. Teaching as the Learning Profession. San Francisco: Jossey-Bass Publishing, License to Teach. San Francisco: Jossey-Bass Publishing, Preparing Teachers for a Changing World. San Francisco: Jossey-Bass Publishing, 2005, Powerful Teacher Education. San Francisco: Jossey-Bass Publishing, 2006, etc) TULISAN INI TELAH DIMUAT PADA MAJALAH TEGAS

Rabu, 30 Mei 2012

REFORMASI DAN PENILAIAN KINERJA GURU, OLEH : Nelson Sihaloho

Saat ini banyak perubahan mendasar yang dilakukan oleh pemerintah khususnya Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan dalam menata kualitas guru. Standar kompetensi gurupun mulai mendapatkan perhatian yang serius dari pemerintah. Mulai dari dikeluarkannya Undang-undang guru dan dosen, sertifikasi guru, Permen PAN RB dan Penilaian Kinerja Guru (PKG) secara berkelanjutan. Adanya kebijakan itu sebenarnya membawa konsekuensi bahwa profesi guru saat ini bahkan dimasa depan akan menjadi ujung tonggak dalam penyediaan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas khususnya dalam mendidik para peserta didik. Ihwal reformasi guru dan penilaian kinerja guru itu jugalah yang melandasi dilakukannya perubahan dalam sertifikasi gru dalam jabatan mulai dari pola pemberian sertifikasi langsung, portofolio, pendidikan latihan pendidikan guru (PLPG) dan yang terbaru adalah Ujian Kompetensi Awal (UKA). Sejak pemerintah memberlakukan uji sertifikasi terhadap guru diduga banyak penyimpangan-penyimpangan dalam pelaksanaannya sehingga setiap kali dilakukan uji sertifikasi model dan bentuknya pun diubah. Pada akibatnya berimbas pada guru-guru atau peserta kuota baru dimana pelaksanaannya semakin diperketat. Pada hal apabila dianalisis dan dikaji secara mendalam praktik-praktik tidak fair yang dilakukan oleh oknum-oknum guru termasuk Tim Panitia Sertifikasi Guru dalam uji sertifikasi hingga saat ini belum ada tindak lanjut yang konkrit apakah mutu dan kualitas guru yang telah disertifikasi bahkan mendapatkan tunjangan profesi satu kali dari gaji pokok itu sudah meningkat atau sebaliknya?. Ihwal inilah yang terus menjadi sorotan publik mengapa masih banyak guru-guru yang telah lulus sertifikasi kinerjanya tidak meningkat. Sudah sejauh mana evaluasi yang dilakukan oleh pemerintah dalam menilai kinerja guru. Apakah kelak melalui PKG pemerintah mampu memetakan kualitas guru secara fair dan objektif. Suatu bukti awal bahwa PKG semestinya harus mampu memberikan penilaian objektif terhadap mutu dan kualitas guru baik itu kinerja, profesionalisme serta kemampuan guru merencanakan karir termasuk kepangkatannya untuk tepat waktu. Sesuai dengan Permen PAN RB dan PKG diprediksikan seorang guru akan lebih sulit naik pangkat dan akan memaksimalkan kemampuan kinerja guru untuk berbuat lebih baik menuju profesionalisme yang andal sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya. Karena itu tugas guru sebagai jabatan profesional sudah semestinya memberikan yang terbaik pada peserta didik dan mempertanggungjawabkan semua tugas-tugas profesionalisme secara akuntabel. Praktik-praktik tidak fair yang diduga selama ini menjadi celah bagi para guru untuk “mengakali” bahkan melakukan penyimpangan terhadap jabatan profesionalismenya akan dihadapkan dengan semakin ketatnya aturan dan pemenuhan beban kerja guru. Karena itu guru harus memiliki strategi yang andal dalam menjalankan tugas-tugas profesionalismenya dengan benar, terukur, terencana dan sesuai dengan sasaran yang ingin dicapai. Bahkan guru harus siap mengikuti semua perubahan-perubahan yang terjadi dalam konteks era global dan reformasi khususnya dalam peningkatan mutu dan kualitas profesionalismenya. PKG dan Jam Wajib Guru dengan tugas profesionalismenya dituntut untuk mampu memenuhi standar. Standar merupakan kriteria yang telah ditetapkan bahkan sekolah pun wajib melakukannya sehingga kinerja guru dapat terukur sesuai dengan instrumen pengukuran. Peningkatan kinerja professional guru akan mendukung karir guru secara kolektif pada suatu sekolah dan akan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap peningkatan mutu guru secara nasional. Sebab PKG yang dilakukan berlaku secara nasional dan memiliki standar nasional. Hal itu dilakukan oleh pemerintah untuk menyamakan persepsi satu visi, penilaian yang seragam terhadap guru dalam menjalankan tugas profesionalismenya. Mengutip hasil studi Teaching and Learning International Survey (TALIS), OECD (2009) terhadap 70.000 guru di 23 negara menyatakan bahwa sistem penilaian kinerja dan penyerapan umpan balik berpengaruh baik terhadap peningkatan mutu pelaksanaan pembelajaran sehingga menjadi lebih efektif. Intinya PKG merupakan program yang strategis dalam peningkatan mutu pendidikan. Untuk peningkatan mutu guru, pemerintah telah menetapkan kebijakan melalui penerbitan Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 16 Tahun 2009 tentang Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya menggantikan Kepmen PAN No.84 itu. Penilaian Kinerja Guru (PKG) merupakan serangkaian proses kegiatan menghimpun, mengolah dan menafsirkan data mengenai kemampuan guru untuk menampilkan atau melaksanakan kegiatan pembelajaran. PKG merupakan penilaian (Performance Appraisal) yang difokuskan pada kinerja individu, mengidentifikasi kemampuan guru dalam mendayagunakan pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan dalam pelaksanaan tugas. Intinya PKG memiliki dua fungsi utama yaitu, menilai kemampuan guru dalam menerapkan pengetahuan dan keterampilan yang mendeskripsikan profil kinerjanya dan mengkonversikan hasil penilaian sebagai dasar perhitungan angka kredit dalam pengembangan karirnya. Pelaksanaan kegiatan penilaian kinerja guru (PKG) akan berlaku secara efektif mulai tahun 2013. Pemerintah telah nmemberikan waktu sosialisasi sejak tahun 2010. Tujuan PKG adalah, menghimpun informasi yang akurat tentang kinerja guru, menetapkan kategori kualitas kinerja berdasarkan strandar kinerja, menghimpun informasi sebagai dasar peningkatan mutu pembelajran dan bimbingan. Meningkatkan penjaminan peserta didik memperoleh pelayanan belajar yang berkualitas, meningkatkan motivasi guru dalam rangka memperkuat komitmen untuk melaksanakan pelaksanaan tugas pokok dan fungsi secara professional serta meningkatkan citra, harkat, martabat profesi guru, meningkatkan penghormatan dan kebanggaan terhadap guru. Adapun manfaat PKG adalah, sebagai dasar pengambilan keputusan kepala sekolah untuk mengusulkan kenaikan pangkat, sebagai bahan kajian dan dasar pertimbangan dalam meningkatkan mutu kinerja guru secara berkalanjutan melalui program Pengembangan Kerprofesian Berkelanjuran (PKB). Sebagai dasar penyusunan kurikulum pelatihan serta sebagai bukti penjaminan bahwa guru memiliki motivasi kerja, kesadaran, tanggung jawab, dedikasi, loyalitas, dan komitmen pengabdian dalam rangka meningkatkan mutu peserta didik. Sementara itu untuk kompetensi guru terdiri dari kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial dan profesional dimana terdapat 14 kompetensi guru (mata pelajaran) dan 17 kompetensi untuk guru bimbingan konseling. Pelaksanaan PKG didasarkan pada prinsip, mengacu pada peraturan yang berlaku yaitu Permenegpan nomor 16 tahun 2009, pelaksanaan harus valid, adil, transparan, dapat diverifikasi dan dapat dilaksanakan di seluruh wilayah Republik Indonesia. Berfungsi sebagai pengembang karir guru dan terintegrasi pada program Pengembangan Keprofesional Berkelanjutan (PKB) dan program Pengelolaan Kinerja Rendah (PKR). Penilaian berdasarkan kinerja yang dapat diobservasi dengan memperhatikan sampel yang valid dari pelaksanaan tugas guru sehari-hari. Pelaksanaan penilaian harus memenuhi syarat valitidas, reliabelitas, dan praktis, pengelola PKG wajib memahami seluruh dokumen penilaian. Semua guru wajib mengikuti penilaian kinerja dalam waktu yang sama untuk keperluan kenaikan jenjang jabatan/pangkat serta penilaian dilaksanakan secara objektif, adil, akuntabel, membangun, transparan, praktis. berorientasi pada tujuan, berkelanjutan, dan rahasia. Semua guru, baik yang telah bersertifikat maupun yang belum bersertifikat harus memenuhi jam wajib mengajar minimal, yakni 24 jam. Pemenuhan jam wajib mengajar terkait erat dengan pengajuan PAK (yang baru) yang akan diberlakukan tahun 2013. Khusus untuk yang mendapat tugas tambahan, pemenuhan jam disesuaikan dengan PP 74 Tahun 2008. Khusus untuk ketentuan guru yang telah mengikuti kegiatan sertifikasi, jam minimal wajib mengajar adalah minimal 24 jam-maksimal 40 jam atau sesuai dengan jam kerja PNS 37,5 jam. Guru yang mengajar pada Kejar Paket A, B, atau C tidak bisa diperhitungkan jam mengajarnya. Guru Mapel SMP (selain Penjasorkes dan Agama) tidak boleh mengajar di SD, karena guru SD pada dasarnya adalah guru kelas Penambahan jam pada struktur kurikulum paling banyak 4 jam per minggu berdasarkan standar isi KTSP. Program pengayaan atau remedial teaching tidak diperhitungkan jam mengajarnya. Pembelajaran ekstrakurikuler tidak diperhitungkan jam mengajarnya, meskipun sesuai dengan sertifikasi mata pelajaran. Pembelajaran Team teaching tidak diperbolehkan kecuali untuk mata pelajaran Produktif di SMK. Guru Bahasa Indonesia yang mengajar Bahasa Jawa, jam mengajar Bahasa Jawanya tidak diperhitungkan. Mata Pelajaran yang serumpun adalah IPA dan IPS dan hanya boleh untuk tingkat SMP. Pengembangan diri siswa tidak diperhitungkan jam mengajarnya Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 16 Tahun 2009 akan efektif berlaku tanggal 1 Januari 2013. Peraturan ini mengatur tentang Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya. Dalam peraturan ini guru dinilai kinerjanya secara teratur setiap tahun melalui Penilaian Kinerja Guru (PKG). Disamping itu, guru wajib mengiktui Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan (PKB) setiap tahun. PKB terdiri atas Pengembangan Diri (PD) serta Publikasi Ilmiah (PI) dan/atau Karya Inovatif (KI). PKB dalam bentuk PD harus dilakukan guru sejak golongan III/a, dan mulai golongan III/b sampai ke IV/e selain melakukan PD juga harus melakukan PI dan/atau KI. Selain melakukan PD, PI dan/atau KI, untuk golongan IV/c ke IV/d juga harus melakukan Presentase Ilmiah di depan Tim Penilai. Kegiatan PKG dapat dilakukan oleh Kepala Sekolah atau Asesor yaitu guru senior yang telah melalui dan lulus pelatihan PKG. Adapun domain yang menjadi sasaran kegiatan PKG adalah 4 (empat) kompetensi guru, yaitu pedagogik, kepribadian, social kompetensi profesional. Sedangkan langkah-langkah PKG adalah sebelum melakukan PKG sebaiknya Kepala Sekolah/Asesor melakukan langkah-langkah yaitu Kepala Sekolah/Asesor mempersiapkan instrumen PKG, Kepala Sekolah/Asesor berkoordinasi dengan guru ternilai menyampaikan rencana PKG terhadap dirinya meliputi 4 kompetensi seorang guru dan memastikan guru yang bersangkutan tidak perlu terganggu dan tetap melakukan proses pembelajaran sebagaimana mestinya di kelas, artinya tidak perlu ada rekayasa oleh guru dalam mengajar. Kepala Sekolah/Asesor menilai kinerja guru menggunakan instrumen yang ada. Kegiatan ini dapat dilakukan melalui pengamatan langsung di kelas dan/atau memeriksa dokumen-dokumen guru yang berkaitan dengan proses pembelajaran. Kegiatan ini dikenal sebagai PKG formatif untuk mengetahui profil kinerja guru dan menjadidasar penyusunan progarm PKB guru. Menganalisis/menghitung perolehan hasil Kinerja Guru yang dinilai menggunakan tabel konversi sesuai Permeneg PAN dan RB Nomor 16 Tahun 2009 dan/atau tabel lainnya yang telah dimodifikasi oleh penilai untuk memudahkan proses penghitungan, mengidentifikasi kinerja guru berdasarkan beberapa indikator yang nilainya di bawah standar untuk dijadikan dasar dalam kegiatan PKB guru yang bersangkutan. Pada kegiatan ini Kepala Sekolah/Asesor bersama guru ternilai mendiskusikan indikator-indikator yang nilainya di bawah standar dan menyepakati hasil yang ada dan tindak lanjut peningkatannya melalui program PKB, baik PKB yang bersifat informal dan/atau formal. Memerintahkan koordinator PKB yang telah ditunjuk untuk menyusun rencana/jadwal dan pelaksanaan PKB bagi guru. Pada kegiatan ini diharapkan setelah guru mengikuti PKB kinerjanya dapat meningkat dari yang sebelumnya. epala Sekolah/Asesor melakukan PKG sumatif dan hasilnya dijadikan dasar perhitungan perolehan Angka Kredit guru yang dinilai dalam 1 (satu) tahun. Kepala Sekolah mengusulkan DUPAK guru kepada Tim Penilai Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya di tingkat Kabupaten/kota. Berkarya dan Inovatif Diberlakukannya Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan RB) Nomor 16 Tahun 2009 tentang Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya merupakan penyempurnaan Keputusan Menpan No. 84/1993. Penyempurnaan sebagaimana dalam Permen PAN-RB itu memperhatikan Usul Menteri Pendidikan Nasional dengan surat Nomor 175/MPN/KP/2007 tanggal 15 November 2007, Pertimbangan Kepala Badan Kepegawaian Negara dengan surat Nomor K 26-30/V 165-1/93 tanggal 23 Desember 2008. Sebanyak 10 item perlu dipahami oleh Guru tentang Permen PAN RB yaitu jabatan fungsional guru, guru adalah pendidik professional, kegiatan pembelajaran, kegiatan bimbingan, pengembangan keprofesian berkelanjutan, tim penilai Jabatan Fungsional Guru adalah tim yang dibentuk dan ditetapkan oleh pejabat yang berwenang menetapkan angka kredit dan bertugas menilai prestasi kerja Guru, angka kredit, penilaian kinerja , Daerah Khusus serta program induksi adalah kegiatan orientasi, pelatihan di tempat kerja, pembimbingan, dan praktik pemecahan berbagai permasalahan dalam proses pembelajaran bagi Calon Pegawai Negeri Sipil Guru. Karya Inovatif yakni menemukan teknologi tepat guna, menemukan/menciptakan karya seni, membuat/memodifikasi alat pelajaran/peraga/praktikum dan mengikuti pengembangan penyusunan standar, pedoman, soal dan sejenisnya. Adapun penunjang tugas Guru, meliputi memperoleh gelar/ijazah yang tidak sesuai dengan bidang yang diampunya, memperoleh penghargaan/tanda jasa, melaksanakan kegiatan yang mendukung tugas Guru, antara lain membimbing siswa dalam praktik kerja nyata/praktik industri/ ekstrakurikuler dan sejenisnya, menjadi organisasi profesi/kepramukaan, menjadi tim penilai angka kredit dan/aatau menjadi tutor/pelatih/instruktur. Jenjang Jabatan Fungsional Guru sesuai dengan Permen No. 16 Tahun 2009 dari yang terendah sampai dengan tertinggi, Guru Pertama, Guru Muda, Guru Madya dan Guru Utama. Guru Pertama, Penata Muda, golongan ruang III/a dan Penata Muda Tingkat I, golongan ruang III/b. Guru Muda, Penata, golongan ruang III/c dan Penata Tingkat I, golongan ruang III/d. Guru Madya, Pembina, golongan ruang IV/a, Pembina Tingkat I, golongan ruang IV/b dan Pembina Utama Muda, golongan ruang IV/c. Guru Utama, Pembina Utama Madya, golongan ruang IV/d dan Pembina Utama, golongan ruang IV/e. Sedangkan jumlah angka kredit kumulatif minimal yang harus dipenuhi oleh setiap Pegawai Negeri Sipil untuk pengangkatan dan kenaikan jabatan/pangkat Guru pun berubah. Jika sebelumnya 80 % unsur utama dan 20 % unsur penunjang maka, kini menjadi 90 % unsur utama dan 10 % unsur penunjang. Guru harus terus lebih giat berkarya dan berinovasi, sesulit apapun sistem yang dibuat jika guru memiliki motivasi yang tinggi dalam menjalankan tugasnya Permen PAN RB itu akan mampu dilampaui oleh guru-guru yang professional. Kita patut mendukung sepenuhnya tujuan pemerintah untuk meningkatkan mutu profesionalisme guru di negeri ini. Karena itu kunci utama guru mampu memenuhi semua tuntutan dalam PKG maupun PKG adalah melaksanakan karya-karya inovatif. Karya-karya guru yang bermutu akan mendapatkan penghargaan setara dengan hasil kinerjanya. Intinya reformasi guru bukanlah mereformasi total seluruh sistem yang ada tetapi guru harus mampu mereformasi dirinya untuk memenuhi semua ketentuan sebagaimana dipersyaratkan oleh pemerintah. Tidak ada kata sulit untuk melaksanakan PKG maupun PKB sepanjang guru memiliki komitmen yang tinggi untuk terus belajar dan belajar. (disarikan dan dihimpun dari berbagai sumber).

CATATAN PEMBINAAN KESISWAAN

Catatan pengembangan bidang kesiswaan di sekolah LPIR AAJANG MENGASAH KEMAMPUAN SISWA MENELITI Oleh : Nelson Sihaloho Abstrak: Peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) melalui pendidikan memiliki peran yang sangat strategis dalam mengembangkan potensi, watak dan peradaban bangsa. Peningkatan kualitas SDM khususnya dilingkungan sekolah dapat dilakukan dengan melakukan penelitian dibidang IPA, IPS maupun bidang teknologi. Melalui penelitian diharapkan bakat, minat dan kemampuahn siswa akan semakin terasah serta mampu menjadikan sekolah sebagai garda terdepan dalam melakukan riset-riset ataupun penelitian. Berbagai moment dan agenda penting yang telah menjadi kalender of event dilakukan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) seperti OSN,FO2SLN maupun Lomba Penelitian Ilmiah Remaja (LPIR) merupakan suatu kompetisi untuk meningkatkan mutu dan kualitas SDM. Sekolah yang mampu menunjukkan prestasi apabila lolos menjadi finalis dan berhasil meraih juara akan menjadi bahan penilaian khusus pada standar nasional pendidikan (SNP) oleh instansi terkait khususnya pada indikator kinerja kunci tambahan (IKKT). Intinya dapat disimpulkan bahwa kegiatan LPIR yang merupakan salah satu agenda penting Kemdikbud dan rutin dilakukan setiap tahun secara signifikan akan mengasah kemampuan siswa dalam bidang penelitian ataupun riset-riset. Kata kunci: Lomba, Penelitian, Ilmiah dan Remaja. Pendahuluan Lomba Penelitian Ilmiah Remaja (LPIR) tingkat SD, SMP dan SMA diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah (Dirjenmandikdasmen). Khusus untuk SMP diselenggarakan oleh Direktorat Pembinaan SMP merupakan suatu ajang kompetisi karya ilmiah remaja yang diperuntukkan untuk siswa di seluruh Indonesia. Kegiatan ini merupakan suatu upaya untuk meningkatkan mutu pendidikan terutama memotivasi siswa, guru dan sekolah untuk berperan mengikuti perkembangan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek). Peran serta siswa, guru dan sekolah secara signifikan cukup baik terbukti dnegan jumlah naskah karya ilmiah yang diterima oleh panitian setiap tahunnya terus mengalami peningkatan. Berdasarkan data dari Kemdikbud (2011) pada tahun 2006 naskah yang masuk sebanyak 754 naskah, tahun 2007 sebanyak 1134 naskah, tahun 2008 sebanyak 1051 naskah, tahun 2009 sebanyak 1332 naskah, tahun 2010 sebanyak 1105 naskah serta tahun 2011 sebanyak 1113 naskah. Sebagaimana sumber Kemdikbud (2011) menjelaskan bahwa dengan jumlah naskah yang masuk ke pihak panitia terus mengalami peningkatan itu merupakan indikasi positif dalam upaya peningkatan mutu pendidikan terutama adanya peningkatan motivasi sekolah dan guru untuk memfasilitasi siswanya mengikuti lomba penelitian ilmiah remaja. Fasilitasi yang dilaksanakan oleh pihak sekolah dan guru kepada siswa diharapkan menjadi salah satu pendukung pilar peningkatan mutu pendidikan yang sedang dilaksanakan oleh Kemdikbud sebagai visi dan misinya dalam pembangunan pendidikan nasional. Meski demikian banyak hambatan yang dihadapi oleh suatu sekolah dalam mengasah bakat dan kemampuan siswa khususnya dalam bidang penelitian. Masalah yang dihadapi diantaranya khususnya sekolah Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) yang jadwalnya cukup padat. Jadwal belajar yangdimulai pada pukul 07.15 akan berakhir dengan pukul 15.30 WIB. Berbeda dengan sekolah reguler dan sekolah standar nasional (SSN) dengan jadwal sekolah dimulai pada pukul 07.15-14.00 WIB memiliki banyak peluang dan waktu untuk mempersiapkan siswanya untuk melakukan penelitian. Namun permasalahan yang muncul dilapangan bukan hanya pada masalah waktu, tetapi masalah lainnya adalah seperti biaya, sarana dan prasarana pendukung penelitian ditambah dengan berbagai faktor penghambat lainnya akan menjadikan sekolah khususnya para guru pendamping siswa sering mengalami kewalahan dalam mempersiapkan siswa untuk LPIR. Pengalaman penulis selama membimbing siswa dalam LPIR banyak hambatan dan kesulitan yang harus disingkirkan agar karya penelitian siswa bisa lolos menjadi finalis. Tahun 2006 misalnya dalam lomba lingkungan hidup tingkat SMP yang dilaksanakan oleh Dirjen Mandikdasmen, Kemdinas di pusatkan di Ciawi Bogor sangat terasa bahwa karya yang lolos benar-benar qualified. Tapi dalam presentase karya ilmiah tersebut banyak yang harus diperbaiki khususnya dalam mengkaji hasil-hasil penelitian maupun dalam memaparkan hasil-hasil penelitian. Tiga tahun kemudian pada tahun 2009 bertempat di Grand Hotel Jakarta juga demikian, hasil karya penelitian siswa yang lolos masuk finalis dipresentasekan dihadapan dewan juri penulis akui masih banyak kekurangannya. Tahun 2011 bertempat di Hotel Solo Paragon, Surakarta, Semarang Jawa Tengah sebanyak 2 naskah karya siswa bimbingan penulis lolos masuk finalis bidang IPA dan IPS. Tatkala dipresentasekan dihadapan dewan juri ternyata setelah dilakukan pemaparan penulis mengakui masih banyak kekurangan yang harus diperbaiki baik dalam metode penelitian maupun dalam memaparkan hasil-hasil penelitian. Berbagai permasalahan sebagaimana diuraikan diatas mengindikasikan bahwa karya penelitian yang bisa masuk finalis adalah karya-karya yang berbobot, bermutu dan memang layak masuk finalis sesuai dengan kriteria penilaian yang dilakukan oleh Tim Pusat. Tujuan dan Hasil yang Diharapkan Sebagaimana data Kemdikbud tahun 2011 bahwa tujuan diadakannya LPIR adalah meningkatkan apresiasi siswa terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi, meningkatkan kesadaran siswa secara dini terhadap peranan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam kehidupan serta menumbuhkan rasa ingin tahun, kreativitas dan inovasi para remaja melalui kegiatan penelitian. Kemudian memberikan ajang komunikasi kelompok ilmiah remaja (KIR), menumbuhkembangkan suasana kompetitif yang sehat di bidang penelitian, mengembangkan iklim yang akademis untuk meningkatkan kreativitas siswa serta mengembangkan kemampuan berkomunikasi secara ilmiah. Sedangkan hasil yang diharapkan dalam kegiatan LPIR adalah terwujudnya suasana iklim akademis disekolah melalui peningkatan kreativitas, kemampuan berkomunikasi secara ilmiah dan kepedulian terhadap permasalahan yang berkembang di masyarakat serta terpilihnya karya ilmiah siswa terbaik dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan. Keterangan Foto: Salah satu siswa bidang lomba IPS sebelum mepresentasekan karya iliah dihadapan dewan juri di hotel Solo Paragon. Penulis ketika sedang mengikuti kegiatan “Tour Education” di Candi Borobudur yang merupakan suatu rangkaian kegiatan LPIR tahun 2011. Pembahasan Membimbing siswa dalam karya tulis ilmiah khususnya karya ilmiah remaja termasuk salah satu kegiatan yang paling sulit bagi setiap siswa maupun guru apalagi lolos finalis. Berdasarkan pengalaman penulis sebagus apapun karya-karya yang dibuat oleh siswa apabila tidak pernah dilombakan ataupun dinilai oleh orang lain dapat dibuktikan bahwa karya-karya yang dikerjakan belum tentu bermutu. Untuk membuktikan bahwa karya-karya siswa dan guru dikatakan profesional adalah melalui kompetisi dan lomba. Sekolah bermutu dan favorit adalah sekolah yang benar-benar menciptakan iklim belajar yang menyenangkan dan kondusif dalam lingkungan sekolah. “Learning is fun atau belajar menyenangkan merupakan “atmosfir keberhasilan awal” dalam melakukan riset-riset ataupun penelitian dilingkungan sekolah. Penelitian-penelitian yang bemutu akan lahir dari lingkungan suatu sekolah apabila pihak sekolah mengimplementasikan budaya meneliti. Dengan menanamkan semangat keberhasilan dan “berpikir bisa” semua berbagai bentuk dan ragam hasil-hasil penelitian akan berkembang seiring dengan kemajuan teknologi. Keterangan foto: Penulis bersama Diyah Budi Avriani, Juliyanti usai melapor ke pihak panitia di Hotel Solo Paragon berfoto ditempat gedung utama tempat berlangsungnya acara pembukaan LPIR tahun 2011. (foto/ist). Belajar ataupun bekerja pada bidang-bidang yang diminati terlebih lagi didukung dengan bakat serta talenta yang sesuai, akan memberi semangat dalam mempelajari atau menjalaninya. Namun seringkali remaja memilih suatu bidang ekstra kurikuler yaitu bidang yang sedang popular, tanpa sempat mencerna terlebih dahulu dan memahami bidang yang akan dipelajari. Bakat adalah kemampuan bawaan yang merupakan potensi yang masih perlu dikembangkan atau dilatih untuk mencapai suatu kecakapan, pengetahuan dan keterampilan khusus. Menurut John Holland, minat adalah aktivitas atau tugas-tugas yang membangkitkan perasaan ingin tahu, perhatian, dan memberi kesenangan atau kenikmatan. Minat dapat menjadi indikator dari kekuatan seseorang di area tertentu dimana siswa akan termotivasi untuk mempelajarinya dan menunjukkan kinerja yang tinggi. Bakat akan sulit berkembang dengan baik apabila tidak diawali dengan adanya minat pada bidang yang akan ditekuni. Masa remaja merupakan masa peralihan dari masa anak ke masa dewasa. Dalam mengembangkan kompetensinya remaja tetap membutuhkan bimbingan dari orang tua dan lingkungan rumah maupun sekolah. Ada beberapa hal yang perlu dilakukan oleh guru untuk mengambangkan bakat dan minat siswa yaitusejak usia dini cernati berbagai kelebihan, ketrampilan dan kemampuan yang tampak menonjol pada anak, membantu anak dalam meyakini dan fokus pada kelebihan dirinya. Mengembangkan konsep diri positif pada anak, perkaya anak dengan berbagai wawasan, pengetahuan, serta pengalaman di berbagai bidang. Mengusahakan berbagai cara untuk meningkatkan minat anak untuk belajar dan menekuni bidang-bidang yang menjadi kelebihannya, meningkatkan motivasi anak dan melatih kemampuannya, stimulasi anak untuk meluaskan kemampuannya dari satu bakat ke bakat yang lain. Memberikan penghargaan dan pujian untuk setiap usaha yang dilakukan anak, menyediakan fasilitas atau sarana untuk mengembangkan bakat anak, mendukung anak untuk mengatasi berbagai kesulitan dan hambatan dalam mengembangkan bakatnya. Sejalan dengan peningkatan mutu sumberdaya manusia, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) terus berupaya untuk meningkatkan mutu pendidikan. Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Pertama (Direktorat PSMP), Ditjen Mandikdasmen, telah melakukan berbagai upaya, baik pengembangan mutu pembelajaran, pengadaan sarana dan prasarana, perbaikan manajemen kelembagaan sekolah, maupun pembinaan kegiatan kesiswaan. Peningkatan mutu diarahkan kepada guru sebagai tenaga kependidikan yang berperan sentral dan strategis dalam memfasilitasi perkembangan pribadi peserta didik di sekolah. Peningkatan mutu guru merupakan upaya mediasi dalam rangka pembinaan kesiswaan. Dalam pembinaan kesiswaan terlingkup program kegiatan yang langsung melibatkan peserta didik (siswa) sebagai sasaran, termasuk program yang melibatkan guru sebagai mediasi atau sasaran antara (tidak langsung). Sasaran akhir dari kinerja pembinaan kesiswaan adalah perkembangan siswa yang optimal, sesuai dengan karakteristik pribadi, tugas perkembangan, kebutuhan, bakat, minat dan kreativitasnya. Pembinaan kesiswaan di sekolah merupakan tanggung jawab semua tenaga kependidikan. Setiap guru sebagai pendidik seyogianya memahami, menguasai, dan menerapkan kompetensi bidang pembinaan kesiswaan. Fungsi dan tujuan akhir pembinaan kesiswaan secara umum sama dengan fungsi dan tujuan pendidikan nasional; sebagaimana tercantum dalam Undang-undang RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Bab II, Pasal 3. Sesuai dengan tujuan dan karakteristik materi program pembinaan kesiswaan tersebut di atas, maka strategi yang digunakan meliputi pelatihan (terintegrasi dan distrik), lokakarya, kunjungan sekolah (school visit), dan perlombaan/ pertandingan (bersifat kompetisi). Penggunaan jenis strategi harus bersifat fleksibel, artinya dapat digunakan satu strategi untuk program tertentu dan atau beberapa strategi dikombinasikan dalam pelaksanaan satu atau beberapa program, yang disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan pelaksanaan. Penutup Pembinaan kesiswaan berkaitan erat dengan bagaimana kita mempersiapkan siswa untuk mampu mengembangkan potensi, minat, bakatnya dengan optimal. LPIR merupakan salah satu kegiatan dalam bidang pembinaan kesiswaan dimana siswa difokuskan untuk melakukan penelitian sesuai dengan potensi, minat dan bakatnya. Meskipun kegiatan penelitian terasa sulit namun apabila dilakukan secara berkelanjutan siswa akan mampu menjadi peneliti-peneliti muda yang berprestasi. Menciptakan iklim dan kompetisi yang sehat pada lingkungan sekolah melalui berbasis penelitian dan riset akan melahirkan siswa-siswa yang andal. Perlu dicermati bahwa dengan membudayakan iklim penelitian sejak dini pada lingkungan sekolah maka potensi bakat dan minat siswa akan tersalurkan. Bidang kesiswaan harus mendapatkan perhatian yang serius dari pihak sekolah termasuk pengembangan kurikulum bidang pembinaan kesiswaan sehingga memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pengembangan bakat, minat dan potensi siswa. (* dihimpun dari berbagai sumber-sumber relevan). TULISAN INI TELAH DIMUAT PADA NAJALAH TEGAS

PENDIDIKAN

Kurikulum Bermutu dan Deep Learning Oleh: Nelson Sihaloho Abstrak: Kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) diberlakukan untuk memberikan kewenangan kepada guru ataupun sekolah untuk menyusun sendiri kurikulum dengan tetap mengacu pada standar nasional pendidikan (KTSP). Kurikulum bermutu akan melahirkan siswa bermutu. Kewenangan yang diberikan oleh pemerintah pusat harus dimanfaatkan oleh semua pihak khususnya para guru untuk membuktikan kompetensi profesionalismenya. Selain itu kurikulum yang disusun akan menggambarkan suatu kedalam isi (SI), kompetensi dasar (KD) sehingga standar kelulusan siswa (SKL) akan dapat terukur, akuntabel dan berbanding lurus dengan prestasi anak didik. Kurikulum yang disusun hendaknya mampu menciptakan suasanan belajar yang mendalam (deep learning) sehingga inovasi kurikulum yang berkelanjutan akan memberikan kontribusi terhadap pendidikan bermutu. Hasil penelitian dan pengamatan menunjukkan bahwa kurikulum bermutu dan deep learning ada hubungan yang signifikan antara keduanya. Kata kunci : kurikulum, deep learning. Pendahuluan Pembaharuan sistem pendidikan kita memasuki era baru. Kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) yang diberlakukan sejak beberapa tahun silam memberikan pencerahan maupun suasana yang beru terhadap para pendidik untuk menyusun sendiri kurikulum yang menjadi bidang tugas pokoknya. Meski demikian pembaharuan kurikulum sering dikaitkan adanya perubahan sistem politik. Berbagai kepentingan yang termasuk masuk di dalamnya menimbulkan lebih banyak ”penolakan” terhadap adanya perubahan itu. Mengutip pendapat Fullan (2001) ”The New Meaning of Educational Charge” mengatakan bahwa akan timbul perbedaan persepsi antara pemegang kebijakan dan pelaku kebijakan untuk setiap perubahan pada sektor pendidikan. Dari sisi pemegang kebijakan, terdapat asumsi dasar bahwa guru cenderung kurang menyukai adanya perubahan. Umumnya pemegang kebijakan kurang memahami kenyataan-kenyataan yang terjadi pada saat dilaksanakannya proses pembelajaran. Bennie dan Newstead (1999) juga menguraikan ada beberapa faktor yang menyebabkan timbulnya kendala dalam implementasi kebijakan pendidikan apabila dikaitkan dengan kurikulum. Beberapa faktor itu adalah waktu, harapan-harapan dari pihak orangtua, minimnya buku-buku pelajaran pada saat implementasi kurikulum baru dilaksanakan serta kurang jelasnya konsep kurikulum dan pengetahuan. Charles dan Jones (1973) juga mengungkapkan bahwa, setiap perubahan pada sektor pendidikan seharusnya diikuti dengan upaya mengamati berbagai bentuk operasional dilapangan sebagai tindak lanjut dan implementasi dari kebijakan. Banyak kendala yang harus diantisipasi agar tidak menimbulkan masalah yang besar dan kompleks khususnya dalam bidang pendidikan itu sendiri. Hargreaves ( 1995) juga menyatakan seringkali terjadi bahwa implementasi suatu kurikulum baru tidak diikuti dengan pengimbangan kemampuan guru dan tindakan bagaimana meningkatkan guru-guru sebagai ujung tombak dalam impelemtasi kurikulum. Hal tersebut juga didukung oleh Fennema dan Franke (1992) bahwa kemampuan baik secara keterampilan dan pengetahuan seorang guru akan mempengaruhi prose pembelajaran di kelas dan menentukan sejauh mana kurikulum dapat diterapkan. Studi yang dilakukan oleh Taylor dan Vinjevold (1999) mengungkapkan bahwa kegagalan implementasi kurikulum disebabkan oleh rendahnya pengetahuan konseptual guru, kurang penguasaan terhadap topik yang diajarkan dan kesalahan interpretasi dari apa yang tertulis dalam dokumen kurikulum. Menurut Middleton (1999) juga menyatakan bahwa, berhasil tidaknya implementasi kurikulum yang diperbarui cenderung ditentukan oleh persepsi atau keyakinan yang dimiliki oleh tenaga pengajar atau guru. Bennie dan Newstead (1999) menyarankan untuk diadakannya penataran bagi guru secara intensif untuk dapat memahami filosofi dan substansi dari kurikulum yang baru. Laporan UNDP tahun 2006 menunjukkan Human development Indeks (HDI) Indonesia berada pada posisi 108 dari 109 negara bahkan disinyalir Indonesia sudah berada dibawah negara Vietnam. Untuk menjawab tantangan peningkatan mutu pendidikan diperlukan inovasi kurikulum yaitu kurikulum bermutu. Inovasi kurikulum dilakukan untuk menjadikan siswa sebagai subjek dan siswa didorong untuk menemukan sendiri apa yang mereka pelajari. Dalam kondisi inilah deep learning (belajar mendalam) akan dialami oleh siswa sebagai bentuk implementasi siswa sebagai subjek. Maka usaha yang perlu dilakukan adalah perbaikan kurikulum (inovasi kurikulum) melalui inovasi dokumen, inovasi pengembangan dan inovasi praktek kurikulum di dalam kelas. Seperti perubahan pola pembelajaran di dalam kelas dari traditional rote learning menjadi inquiry based learning. Sebagaimana menurut Joyce & Weil, 1991:198, inquiry adalah “designed to bring students directly into scientific process through exercise that compress the scientific process into small periods of time” . Inquiry adalah pola dan pendekatan pembelajaran dengan meletakkan siswa sebagai subjek dan harus didorong menemukan sendiri apa yang sedang mereka pelajari. Inquiry based learning, dikenal ada level dalam proses pemebelajaran, yaitu surface learning (belajar dangkal) dan deep learning (belajar mendalam). Inquiry based learning akan berkorelasi dengan Deep learning . Menurut Marton&Saljo (1976) mengidentifikasi dua level proses belajar yang dinamakan “surface process” dan “deep process”. Lebih lanjut kedua ahli menyimpulkan surface level process ditandai bila siswa hanya belajar text itu sendiri atau hanya melalui proses menghafal. Deep level process siswa belajar menangkap arti dari materi yang sedang dipelajari, belajar untuk mengerti dan mengidentifikasi hubungan antar konsep dan variable-variabel yang dipalajari. Brown&Atkin (1991) juga membedakan proses belajar siswa atas dua yaitu “surface learning” dan “deep learning”. Deep learning ditandai oleh proses keaktifan siswa untuk mmenemukan arti dan pengertian terhadap materi yang sedang dipelajari, sedangkan surface learning ditandai oleh proses menghafal materi yang sedang dipelajari. Biggs (1988: 130) menegaskan “ deep learning is used by many the more successful students in high school and university, they search for structure and meaning and do so while organizing their time and context optimally”. Artinya deepapproach to learning sangat penting dilakukan untuk meningkatkan keterlibatan siswa secara fisik dan mental dalam proses pembelajaran. Keterlibatan mental siswa secara mendalam dalam operasi berfikir, menganalisa, mensintesa hingga pada tahap menemukan apa yang dituntut oleh tujuan pembelajaran kompetens/ materi yang sedang dipelajari akan meningkatkan pengauasaan materi pelajaran secara tingkat tinggi. Ryan (1974) mengatakan keterlibatan siswa dalam proses pembelajaran tingkat tinggi (higer involvement) adalah suatu yang sangat penting untuk mewujudkan hasil belajar yang lebih tinggi. Untuk mewujudkan pendekatan belajar mendalam (deep learning approach) harus melakukan proses pembelajaran berbasis riset. Menurut Gay, 1992:7, riset (research) “ is the formal, systematic application of scientific methods to the study of problems”. Belajar dengan melakukan penelitian atau setidak-tidaknya memakai pola pemikiran riset dalam pembelajaran akan membawa anak didik ke dalam proses belajar mendalam. Untuk melaksanakan pola pembejalaran berbasis riset maka, minimal ada lima langkah yang harus ditempuh dalam proses pembelajaran. Ke lima langkah itu adala, ada masalah yang merupakan masalah penelitian, mengajukan hipotesis, mengumpulkan data melalui prosedur dan tehnik yang tepat, mengolah data dengan tehnik yang tepat serta menguji hipotesis untuk mengambil kesimpulan. Menurut Bari Djamarah (1994:21) belajar merupakan suatu aktivitas yang dilakukan secara sadar untuk mendapatkan sejumlah kesan dari bahan yang telah dipelajari. James O. Wittaker menyatakan belajar dapat didefinisikan sebagai proses dimana tingkah laku ditimbulkan atau diubah melalui latihan atau pengalaman. Sedangkan Cronbach menyatakan belajar yang efektif adalah melalui penglaman. Lebih lanjut Howard L. Kingsley menyatakan belajar adalah proses dimana tingkah laku (dalam arti luas) ditimbulkan atau diubah melalui praktek dan latihan sebagaimana dikutip (dalam Dalyono, 2006: 104). Dari beberapa pendapat para ahli tentang pengertian belajar adalah suatu kegiatan yang dilakukan dengan melibatkan 2 unsur yaitu jiwa dan raga. Gerak raga yang ditunjukkan harus sejalan dengan proses jiwa untuk mendapatkan perubahan sebagai hasil dari proses belajar. Sehingga dilihat dari pengertian prestasi dan belajar tersebut maka dapat diambil kesimpulan prestasi belajar adalah hasil yang diperoleh berupa kesan-kesan yang mengakibatkan perubahan. Bentuk perubahan dari hasil belajar meliputi tiga aspek, yaitu aspek kognitif, afektif dan psikomotorik. Ranah Benjamin S. Bloom Dalam sistem pendidikan nasional rumusan tujuan pendidikan, baik tujuan kurikuler maupun tujuan instruksional, menggunakan klasifikasi hasil belajar dari Benyamin S. Bloom yang secara garis besar membaginya menjadi tiga ranah, yakni ranah kognitif, ranah afektif, dan ranah psikomotorik. Benjamin S. Bloom itu berpendapat bahwa pengelompokkan tujuan pendidikan itu harus senantiasa mengacu kepada tiga jenis domain (daerah binaan atau ranah) yang melekat pada diri peserta didik, yaitu ranah proses berfikir (cognitive domain), ranah nilai atau sikap (affective domain) serta ranah keterampilan (psychomotor domain). Ranah kognitif adalah ranah yang mencakup kegiatan mental (otak). Ranah kognitif berhubungan dengan kemampuan berfikir, termasuk didalamnya kemampuan menghafal, memahami, mengaplikasi, menganalisis, mensintesis, dan kemampuan mengevaluasi. Dalam ranah kognitif itu terdapat enam aspek atau jenjang proses berfikir, mulai dari jenjang terendah sampai dengan jenjang yang paling tinggi. Keenam jenjang atau aspek itu adalah pengetahuan/hafalan/ingatan (knowledge), pemahaman (comprehension), penerapan (application), analisis (analysis), sintesis (syntesis) serta penilaian/penghargaan/evaluasi (evaluation). Menurut Taksonomi Bloom (Sax ,1980), kemampuan kognitif adalah kemampuan berfikir secara hirarki yang terdiri dari pengetahuan, pemahaman, aplikasi, analisis, sintesis dan evaluasi. Ranah afektif adalah ranah yang berkaitan dengan sikap dan nilai. Ranah afektif mencakup watak perilaku seperti perasaan, minat, sikap, emosi, dan nilai. Ranah afektif menjadi lebih rinci lagi ke dalam lima jenjang, yaitu receiving, responding, valuing, organization and characterization by evalue or calue complex. Menurut Andersen (1981:4) menyatakan bahwa pemikiran atau perilaku harus memiliki dua kriteria untuk diklasifikasikan sebagai ranah afektif. Kedua, perilaku harus tipikal perilaku seseorang. Kriteria lain yang termasuk ranah afektif adalah intensitas, arah, dan target. Ada 5 tipe karakteristik afektif yang penting berdasarkan tujuannya, yaitu sikap, minat, konsep diri, nilai, dan moral. Menurut Fishbein dan Ajzen (1975) sikap adalah suatu predisposisi yang dipelajari untuk merespon secara positif atau negatif terhadap suatu objek, situasi, konsep, atau orang. Sikap peserta didik ini penting untuk ditingkatkan (Popham, 1999). Menurut Getzel (1966), minat adalah suatu disposisi yang terorganisir melalui pengalaman yang mendorong seseorang untuk memperoleh objek khusus, aktivitas, pemahaman, dan keterampilan untuk tujuan perhatian atau pencapaian. Menurut Smith, konsep diri adalah evaluasi yang dilakukan individu terhadap kemampuan dan kelemahan yang dimiliki. Target, arah, dan intensitas konsep diri pada dasarnya seperti ranah afektif yang lain. Nilai menurut Rokeach (1968) merupakan suatu keyakinan tentang perbuatan, tindakan, atau perilaku yang dianggap baik dan yang dianggap buruk. Definisi lain tentang nilai disampaikan oleh Tyler (1973:7), yaitu nilai adalah suatu objek, aktivitas, atau ide yang dinyatakan oleh individu dalam mengarahkan minat, sikap, dan kepuasan. Piaget dan Kohlberg banyak membahas tentang per-kembangan moral anak. Namun Kohlberg mengabaikan masalah hubungan antara judgement moral dan tindakan moral. Ranah psikomotor merupakan ranah yang berkaitan dengan keterampilan (skill) tau kemampuan bertindak setelah seseorang menerima pengalaman belajar tertentu. Ranah psikomotor adalah ranah yang berhubungan dengan aktivitas fisik, misalnya lari, melompat, melukis, menari, memukul, dan sebagainya. Simpson (1956) yang menyatakan bahwa hasil belajar psikomotor ini tampak dalam bentuk keterampilan (skill) dan kemampuan bertindak individu. Ranah psikomotor berhubungan dengan hasil belajar yang pencapaiannya melalui keterampilan manipulasi yang melibatkan otot dan kekuatan fisik. Beberapa ahli banyak menjelaskan penilaian hasil belajar psikomotor. Ryan (1980) menjelaskan bahwa hasil belajar keterampilan dapat diukur melalui pengamatan langsung dan penilaian tingkah laku peserta didik selama proses pembelajaran praktik berlangsung. Tes untuk mengukur ranah psikomotorik adalah tes untuk mengukur penampilan atau kinerja (performance) yang telah dikuasai oleh peserta didik. Tes tersebut dapat berupa tes paper and pencil, tes identifikasi, tes simulasi, dan tes unjuk kerja. Kurikulum Bermutu Webster’s (1857), mendefenisikan kurikulum sebagai sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh oleh para siswa untuk dapat naik kelas atau mendapat ijazah. Robert Zais (1976) mengatakan kurikulum adalah sejumlah mata pelajaran atau ilmu pengetahuan yang harus ditempuh oleh siswa untuk mencapai suatu tingkat tertentu atau untuk memperoleh ijazah. William B. Ragan (1963), Beauchamp (1964), dan Harold B. Alberti Cs. (1965) mendefinisikan kurikulum menekankan pada aspek pengalaman dan kegiatan belajar siswa. Intinya kurikulum adalah semua pengalaman dan kegiatan belajar yang direncanakan oleh (guru) sekolah dan dialami siswa, baik itu yang dilaksanakan di kelas, di halaman sekolah maupun di luar sekolah sekalipun. Pengertian kurikulum yang lebih luas dan komprehensif dikemukakan oleh J. Lloyd Trump dan Delmas F. Miller (1973) dan Alice Miel (1945). Ketiga ahli tersebut melihat kurikulum bukan hanya berkenaan dengan mata pelajaran dan kegiatan belajar, tetapi juga menyangkut sarana prasarana, metode, waktu, sistem evaluasi, dan administrasi supervisi. Simpulannya kurikulum dapat dilihat dari dua dimensi, yaitu kurikulum sebagai sebuah dokumen yang berisi rencana pengalaman-pengalaman belajar yang akan dipelajari dan dikuasai oleh para siswa dalam rentang waktu tertentu atau disebut dengan kurikulum tertulis (written curriculum), dan kurikulum sebagai pengalaman dan kegiatan belajar yang dialami siswa secara nyata atau yang disebut dengan kurikulum nyata (real curriculum). Untuk mengembangkan kurikulum nyata diperlukan sejumlah faktor pendukung mulai dari bahan ajar, sarana prasarana, media/sumber belajar, metode, dan sistem evaluasi. Ada sejumlah prinsip pengembangan kurikulum yang perlu diperhatikan agar kurikulum dapat dinilai bermutu yaitu prinsip relevansi, efektivitas, efesiensi serta fleksibilitas. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dikembangkan dengan mengacu kepada sejumlah aturan perundangan mulai dari UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, PP No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, Permendiknas No. 22/2006 tentang Standar Isi, Permendiknas No. 23/2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan, Permendiknas No. 24/2006 dan No. 6/2007 tentang pelaksanaan Permendiknas No. 22 dan 23/2006. Saat ini kita dihadapkan pada tantangan era globalisasi. Era globalsiasi ditandai dengan perubahan dalam konsep ruang dan waktu, pasar dan produksi ekonomi di negara-negara yang berbeda menjadi saling bergantung sebagai akibat dari pertumbuhan perdagangan internasional, peningkatan pengaruh perusahaan multinasional, dan dominasi organisasi semacam World Trade Organization (WTO). Kemudian terjadinya peningkatan interaksi kultural melalui perkembangan media massa (terutama televisi, film, musik, dan transmisi berita dan olah raga internasional). saat ini, kita dapat mengonsumsi dan mengalami gagasan dan pengalaman baru mengenai hal-hal yang melintasi beraneka ragam budaya, misalnya dalam bidang fashion, literatur, dan makanan serta meningkatnya masalah bersama, misalnya pada bidang lingkungan hidup, krisis multinasional, inflasi regional dan lain-lain. Secara lebih khusus, ciri-ciri globalisasi ditandai dengan berkembangnya pertukaran kebudayaan internasional, penyebaran prinsip multi kebudayaan (multiculturalism), dan kemudahan akses suatu individu terhadap kebudayaan lain di luar kebudayaannya. Berkembangnya turisme dan pariwisata, semakin banyaknya imigrasi dari suatu negara ke negara lain, berkembangnya mode yang berskala global, seperti pakaian, film dan lain lain serta bertambah banyaknya event-event berskala global. Untuk menciptakan pendidikan guru yang berkualitas, berdasarkan beberapa hasil penelitian Darling-Hammond. dan Bransford (Ed.) (2005: 394) menyatakan bahwa minimal ada tiga elemen penting dalam desain program pendidikan guru yang harus diperbaiki. Ketiga elemen tersebut adalah konten pendidikan guru, proses pembelajaran yang berkenaan dengan penyusunan kurikulum serta konteks pembelajaran, yang berkenaan dengan penciptaan proses pembelajaran kontekstual. Lang dan Evans (2006: 3) secara lebih gamblang menyatakan bahwa penciptaan program pendidikan bermutu dapat didasarkan atas esensi-esensi program pendidikan guru diantaranya keberartian teori disertai pengalaman praktisnya, kerja sama antara perguruan tinggi dengan komunitas pendidikan lainnya, teori dan praktis dalam keterampilan generic dan refleksi serta diskusi tentang efektivitas keterampilan tersebut. Memberikan penekanan proses pada bagaimana cara mahasiswa belajar untuk meningkatkan kreativitas dan kemampuan berpikir kritis, kemampuan untuk mengorganisasikan pembelajaran,penerapan pendekatan konstruktivisme dalam pembelajaran, penerapan alternatif asesmen dan teori motivasi serta membangun profesionalisme berbasis penelitian Minimal ada lima kapabilitas yang harus terus menerus dibangun guru dalam rangka mengembangkan kualitasnya (Darling-Hammond. et.al. ,1999; Nicholss, G., 2002, dan Lang dan Evans, 2006). Kelima kapabilitas itu adalah konten pengetahuan yang diajarkan, tingkat konseptualisasi, kemampuan guru dalam melaksanakan proses pembelajaran, komunikasi interpersonal dan kapabilitas ego. Kapabilitas ego berhubungan dengan usaha mengetahui diri sendiri dan usaha membangun responsibilitas diri terhadap lingkungan. Aspek lain yang penting dalam rangka membangun kualitas guru adalah usaha mewujudkan guru sebagai peneliti. Pelaksanaan penelitian di dalam kelas merupakan upaya meningkatkan kualitas pendidik untuk menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi saat menjalankan tugasnya akan memberi kontribusi positif ganda. Kontribusi itu adalah peningkatan kemampuan dalam menyelesaikan masalah pendidikan dan pembelajaran yang nyata, peningkatan kualitas isi, masukan, proses, dan hasil belajar. Peningkatan keprofesionalan pendidik, penerapan prinsip pembelajaran berbasis penelitian. (****). (Dihimpun dari berbagai sumber dan rujukan : Darling-Hammond. (Ed.).1999. Teaching as the Learning Profession. San Francisco: Jossey-Bass Publishing, License to Teach. San Francisco: Jossey-Bass Publishing, Preparing Teachers for a Changing World. San Francisco: Jossey-Bass Publishing, 2005, Powerful Teacher Education. San Francisco: Jossey-Bass Publishing, 2006, etc)

Kamis, 29 Maret 2012

PENILAIAN KINERJA GURU

Reformasi dan Penilaian Kinerja Guru Oleh: Nelson Sihaloho Pendahuluan Saat ini banyak perubahan mendasar yang dilakukan oleh pemerintah khususnya Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan dalam menata kualitas guru. Standar kompetensi gurupun mulai mendapatkan perhatian yang serius dari pemerintah. Mulai dari dikeluarkannya Undang-undang guru dan dosen, sertifikasi guru, Permen PAN RB dan Penilaian Kinerja Guru (PKG) secara berkelanjutan. Adanya kebijakan itu sebenarnya membawa konsekuensi bahwa profesi guru saat ini bahkan dimasa depan akan menjadi ujung tonggak dalam penyediaan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas khususnya dalam mendidik para peserta didik. Ihwal reformasi guru dan penilaian kinerja guru itu jugalah yang melandasi dilakukannya perubahan dalam sertifikasi gru dalam jabatan mulai dari pola pemberian sertifikasi langsung, portofolio, pendidikan latihan pendidikan guru (PLPG) dan yang terbaru adalah Ujian Kompetensi Awal (UKA). Sejak pemerintah memberlakukan uji sertifikasi terhadap guru diduga banyak penyimpangan-penyimpangan dalam pelaksanaannya sehingga setiap kali dilakukan uji sertifikasi model dan bentuknya pun diubah. Pada akibatnya berimbas pada guru-guru atau peserta kuota baru dimana pelaksanaannya semakin diperketat. Pada hal apabila dianalisis dan dikaji secara mendalam praktik-praktik tidak fair yang dilakukan oleh oknum-oknum guru termasuk Tim Panitia Sertifikasi Guru dalam uji sertifikasi hingga saat ini belum ada tindak lanjut yang konkrit apakah mutu dan kualitas guru yang telah disertifikasi bahkan mendapatkan tunjangan profesi satu kali dari gaji pokok itu sudah meningkat atau sebaliknya?. Ihwal inilah yang terus menjadi sorotan publik mengapa masih banyak guru-guru yang telah lulus sertifikasi kinerjanya tidak meningkat. Sudah sejauh mana evaluasi yang dilakukan oleh pemerintah dalam menilai kinerja guru. Apakah kelak melalui PKG pemerintah mampu memetakan kualitas guru secara fair dan objektif. Suatu bukti awal bahwa PKG semestinya harus mampu memberikan penilaian objektif terhadap mutu dan kualitas guru baik itu kinerja, profesionalisme serta kemampuan guru merencanakan karir termasuk kepangkatannya untuk tepat waktu. Sesuai dengan Permen PAN RB dan PKG diprediksikan seorang guru akan lebih sulit naik pangkat dan akan memaksimalkan kemampuan kinerja guru untuk berbuat lebih baik menuju profesionalisme yang andal sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya. Karena itu tugas guru sebagai jabatan profesional sudah semestinya memberikan yang terbaik pada peserta didik dan mempertanggungjawabkan semua tugas-tugas profesionalisme secara akuntabel. Praktik-praktik tidak fair yang diduga selama ini menjadi celah bagi para guru untuk “mengakali” bahkan melakukan penyimpangan terhadap jabatan profesionalismenya akan dihadapkan dengan semakin ketatnya aturan dan pemenuhan beban kerja guru. Karena itu guru harus memiliki strategi yang andal dalam menjalankan tugas-tugas profesionalismenya dengan benar, terukur, terencana dan sesuai dengan sasaran yang ingin dicapai. Bahkan guru harus siap mengikuti semua perubahan-perubahan yang terjadi dalam konteks era global dan reformasi khususnya dalam peningkatan mutu dan kualitas profesionalismenya. PKG dan Jam Wajib Guru dengan tugas profesionalismenya dituntut untuk mampu memenuhi standar. Standar merupakan kriteria yang telah ditetapkan bahkan sekolah pun wajib melakukannya sehingga kinerja guru dapat terukur sesuai dengan instrumen pengukuran. Peningkatan kinerja professional guru akan mendukung karir guru secara kolektif pada suatu sekolah dan akan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap peningkatan mutu guru secara nasional. Sebab PKG yang dilakukan berlaku secara nasional dan memiliki standar nasional. Hal itu dilakukan oleh pemerintah untuk menyamakan persepsi satu visi, penilaian yang seragam terhadap guru dalam menjalankan tugas profesionalismenya. Mengutip hasil studi Teaching and Learning International Survey (TALIS), OECD (2009) terhadap 70.000 guru di 23 negara menyatakan bahwa sistem penilaian kinerja dan penyerapan umpan balik berpengaruh baik terhadap peningkatan mutu pelaksanaan pembelajaran sehingga menjadi lebih efektif. Intinya PKG merupakan program yang strategis dalam peningkatan mutu pendidikan. Untuk peningkatan mutu guru, pemerintah telah menetapkan kebijakan melalui penerbitan Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 16 Tahun 2009 tentang Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya menggantikan Kepmen PAN No.84 itu. Penilaian Kinerja Guru (PKG) merupakan serangkaian proses kegiatan menghimpun, mengolah dan menafsirkan data mengenai kemampuan guru untuk menampilkan atau melaksanakan kegiatan pembelajaran. PKG merupakan penilaian (Performance Appraisal) yang difokuskan pada kinerja individu, mengidentifikasi kemampuan guru dalam mendayagunakan pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan dalam pelaksanaan tugas. Intinya PKG memiliki dua fungsi utama yaitu, menilai kemampuan guru dalam menerapkan pengetahuan dan keterampilan yang mendeskripsikan profil kinerjanya dan mengkonversikan hasil penilaian sebagai dasar perhitungan angka kredit dalam pengembangan karirnya. Pelaksanaan kegiatan penilaian kinerja guru (PKG) akan berlaku secara efektif mulai tahun 2013. Pemerintah telah nmemberikan waktu sosialisasi sejak tahun 2010. Tujuan PKG adalah, menghimpun informasi yang akurat tentang kinerja guru, menetapkan kategori kualitas kinerja berdasarkan strandar kinerja, menghimpun informasi sebagai dasar peningkatan mutu pembelajran dan bimbingan. Meningkatkan penjaminan peserta didik memperoleh pelayanan belajar yang berkualitas, meningkatkan motivasi guru dalam rangka memperkuat komitmen untuk melaksanakan pelaksanaan tugas pokok dan fungsi secara professional serta meningkatkan citra, harkat, martabat profesi guru, meningkatkan penghormatan dan kebanggaan terhadap guru. Adapun manfaat PKG adalah, sebagai dasar pengambilan keputusan kepala sekolah untuk mengusulkan kenaikan pangkat, sebagai bahan kajian dan dasar pertimbangan dalam meningkatkan mutu kinerja guru secara berkalanjutan melalui program Pengembangan Kerprofesian Berkelanjuran (PKB). Sebagai dasar penyusunan kurikulum pelatihan serta sebagai bukti penjaminan bahwa guru memiliki motivasi kerja, kesadaran, tanggung jawab, dedikasi, loyalitas, dan komitmen pengabdian dalam rangka meningkatkan mutu peserta didik. Sementara itu untuk kompetensi guru terdiri dari kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial dan profesional dimana terdapat 14 kompetensi guru (mata pelajaran) dan 17 kompetensi untuk guru bimbingan konseling. Pelaksanaan PKG didasarkan pada prinsip, mengacu pada peraturan yang berlaku yaitu Permenegpan nomor 16 tahun 2009, pelaksanaan harus valid, adil, transparan, dapat diverifikasi dan dapat dilaksanakan di seluruh wilayah Republik Indonesia. Berfungsi sebagai pengembang karir guru dan terintegrasi pada program Pengembangan Keprofesional Berkelanjutan (PKB) dan program Pengelolaan Kinerja Rendah (PKR). Penilaian berdasarkan kinerja yang dapat diobservasi dengan memperhatikan sampel yang valid dari pelaksanaan tugas guru sehari-hari. Pelaksanaan penilaian harus memenuhi syarat valitidas, reliabelitas, dan praktis, pengelola PKG wajib memahami seluruh dokumen penilaian. Semua guru wajib mengikuti penilaian kinerja dalam waktu yang sama untuk keperluan kenaikan jenjang jabatan/pangkat serta penilaian dilaksanakan secara objektif, adil, akuntabel, membangun, transparan, praktis. berorientasi pada tujuan, berkelanjutan, dan rahasia. Semua guru, baik yang telah bersertifikat maupun yang belum bersertifikat harus memenuhi jam wajib mengajar minimal, yakni 24 jam. Pemenuhan jam wajib mengajar terkait erat dengan pengajuan PAK (yang baru) yang akan diberlakukan tahun 2013. Khusus untuk yang mendapat tugas tambahan, pemenuhan jam disesuaikan dengan PP 74 Tahun 2008. Khusus untuk ketentuan guru yang telah mengikuti kegiatan sertifikasi, jam minimal wajib mengajar adalah minimal 24 jam-maksimal 40 jam atau sesuai dengan jam kerja PNS 37,5 jam. Guru yang mengajar pada Kejar Paket A, B, atau C tidak bisa diperhitungkan jam mengajarnya. Guru Mapel SMP (selain Penjasorkes dan Agama) tidak boleh mengajar di SD, karena guru SD pada dasarnya adalah guru kelas Penambahan jam pada struktur kurikulum paling banyak 4 jam per minggu berdasarkan standar isi KTSP. Program pengayaan atau remedial teaching tidak diperhitungkan jam mengajarnya. Pembelajaran ekstrakurikuler tidak diperhitungkan jam mengajarnya, meskipun sesuai dengan sertifikasi mata pelajaran. Pembelajaran Team teaching tidak diperbolehkan kecuali untuk mata pelajaran Produktif di SMK. Guru Bahasa Indonesia yang mengajar Bahasa Jawa, jam mengajar Bahasa Jawanya tidak diperhitungkan. Mata Pelajaran yang serumpun adalah IPA dan IPS dan hanya boleh untuk tingkat SMP. Pengembangan diri siswa tidak diperhitungkan jam mengajarnya Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 16 Tahun 2009 akan efektif berlaku tanggal 1 Januari 2013. Peraturan ini mengatur tentang Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya. Dalam peraturan ini guru dinilai kinerjanya secara teratur setiap tahun melalui Penilaian Kinerja Guru (PKG). Disamping itu, guru wajib mengiktui Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan (PKB) setiap tahun. PKB terdiri atas Pengembangan Diri (PD) serta Publikasi Ilmiah (PI) dan/atau Karya Inovatif (KI). PKB dalam bentuk PD harus dilakukan guru sejak golongan III/a, dan mulai golongan III/b sampai ke IV/e selain melakukan PD juga harus melakukan PI dan/atau KI. Selain melakukan PD, PI dan/atau KI, untuk golongan IV/c ke IV/d juga harus melakukan Presentase Ilmiah di depan Tim Penilai. Kegiatan PKG dapat dilakukan oleh Kepala Sekolah atau Asesor yaitu guru senior yang telah melalui dan lulus pelatihan PKG. Adapun domain yang menjadi sasaran kegiatan PKG adalah 4 (empat) kompetensi guru, yaitu pedagogik, kepribadian, social kompetensi profesional. Sedangkan langkah-langkah PKG adalah sebelum melakukan PKG sebaiknya Kepala Sekolah/Asesor melakukan langkah-langkah yaitu Kepala Sekolah/Asesor mempersiapkan instrumen PKG, Kepala Sekolah/Asesor berkoordinasi dengan guru ternilai menyampaikan rencana PKG terhadap dirinya meliputi 4 kompetensi seorang guru dan memastikan guru yang bersangkutan tidak perlu terganggu dan tetap melakukan proses pembelajaran sebagaimana mestinya di kelas, artinya tidak perlu ada rekayasa oleh guru dalam mengajar. Kepala Sekolah/Asesor menilai kinerja guru menggunakan instrumen yang ada. Kegiatan ini dapat dilakukan melalui pengamatan langsung di kelas dan/atau memeriksa dokumen-dokumen guru yang berkaitan dengan proses pembelajaran. Kegiatan ini dikenal sebagai PKG formatif untuk mengetahui profil kinerja guru dan menjadidasar penyusunan progarm PKB guru. Menganalisis/menghitung perolehan hasil Kinerja Guru yang dinilai menggunakan tabel konversi sesuai Permeneg PAN dan RB Nomor 16 Tahun 2009 dan/atau tabel lainnya yang telah dimodifikasi oleh penilai untuk memudahkan proses penghitungan, mengidentifikasi kinerja guru berdasarkan beberapa indikator yang nilainya di bawah standar untuk dijadikan dasar dalam kegiatan PKB guru yang bersangkutan. Pada kegiatan ini Kepala Sekolah/Asesor bersama guru ternilai mendiskusikan indikator-indikator yang nilainya di bawah standar dan menyepakati hasil yang ada dan tindak lanjut peningkatannya melalui program PKB, baik PKB yang bersifat informal dan/atau formal. Memerintahkan koordinator PKB yang telah ditunjuk untuk menyusun rencana/jadwal dan pelaksanaan PKB bagi guru. Pada kegiatan ini diharapkan setelah guru mengikuti PKB kinerjanya dapat meningkat dari yang sebelumnya. epala Sekolah/Asesor melakukan PKG sumatif dan hasilnya dijadikan dasar perhitungan perolehan Angka Kredit guru yang dinilai dalam 1 (satu) tahun. Kepala Sekolah mengusulkan DUPAK guru kepada Tim Penilai Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya di tingkat Kabupaten/kota. Berkarya dan Inovatif Diberlakukannya Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan RB) Nomor 16 Tahun 2009 tentang Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya merupakan penyempurnaan Keputusan Menpan No. 84/1993. Penyempurnaan sebagaimana dalam Permen PAN-RB itu memperhatikan Usul Menteri Pendidikan Nasional dengan surat Nomor 175/MPN/KP/2007 tanggal 15 November 2007, Pertimbangan Kepala Badan Kepegawaian Negara dengan surat Nomor K 26-30/V 165-1/93 tanggal 23 Desember 2008. Sebanyak 10 item perlu dipahami oleh Guru tentang Permen PAN RB yaitu jabatan fungsional guru, guru adalah pendidik professional, kegiatan pembelajaran, kegiatan bimbingan, pengembangan keprofesian berkelanjutan, tim penilai Jabatan Fungsional Guru adalah tim yang dibentuk dan ditetapkan oleh pejabat yang berwenang menetapkan angka kredit dan bertugas menilai prestasi kerja Guru, angka kredit, penilaian kinerja , Daerah Khusus serta program induksi adalah kegiatan orientasi, pelatihan di tempat kerja, pembimbingan, dan praktik pemecahan berbagai permasalahan dalam proses pembelajaran bagi Calon Pegawai Negeri Sipil Guru. Karya Inovatif yakni menemukan teknologi tepat guna, menemukan/menciptakan karya seni, membuat/memodifikasi alat pelajaran/peraga/praktikum dan mengikuti pengembangan penyusunan standar, pedoman, soal dan sejenisnya. Adapun penunjang tugas Guru, meliputi memperoleh gelar/ijazah yang tidak sesuai dengan bidang yang diampunya, memperoleh penghargaan/tanda jasa, melaksanakan kegiatan yang mendukung tugas Guru, antara lain membimbing siswa dalam praktik kerja nyata/praktik industri/ ekstrakurikuler dan sejenisnya, menjadi organisasi profesi/kepramukaan, menjadi tim penilai angka kredit dan/aatau menjadi tutor/pelatih/instruktur. Jenjang Jabatan Fungsional Guru sesuai dengan Permen No. 16 Tahun 2009 dari yang terendah sampai dengan tertinggi, Guru Pertama, Guru Muda, Guru Madya dan Guru Utama. Guru Pertama, Penata Muda, golongan ruang III/a dan Penata Muda Tingkat I, golongan ruang III/b. Guru Muda, Penata, golongan ruang III/c dan Penata Tingkat I, golongan ruang III/d. Guru Madya, Pembina, golongan ruang IV/a, Pembina Tingkat I, golongan ruang IV/b dan Pembina Utama Muda, golongan ruang IV/c. Guru Utama, Pembina Utama Madya, golongan ruang IV/d dan Pembina Utama, golongan ruang IV/e. Sedangkan jumlah angka kredit kumulatif minimal yang harus dipenuhi oleh setiap Pegawai Negeri Sipil untuk pengangkatan dan kenaikan jabatan/pangkat Guru pun berubah. Jika sebelumnya 80 % unsur utama dan 20 % unsur penunjang maka, kini menjadi 90 % unsur utama dan 10 % unsur penunjang. Guru harus terus lebih giat berkarya dan berinovasi, sesulit apapun sistem yang dibuat jika guru memiliki motivasi yang tinggi dalam menjalankan tugasnya Permen PAN RB itu akan mampu dilampaui oleh guru-guru yang professional. Kita patut mendukung sepenuhnya tujuan pemerintah untuk meningkatkan mutu profesionalisme guru di negeri ini. Karena itu kunci utama guru mampu memenuhi semua tuntutan dalam PKG maupun PKG adalah melaksanakan karya-karya inovatif. Karya-karya guru yang bermutu akan mendapatkan penghargaan setara dengan hasil kinerjanya. Intinya reformasi guru bukanlah mereformasi total seluruh sistem yang ada tetapi guru harus mampu mereformasi dirinya untuk memenuhi semua ketentuan sebagaimana dipersyaratkan oleh pemerintah. Tidak ada kata sulit untuk melaksanakan PKG maupun PKB sepanjang guru memiliki komitmen yang tinggi untuk terus belajar dan belajar. (disarikan dan dihimpun dari berbagai sumber). TULISAN INI SUDAH DIMUAT PADA MAJALAH TARGET