Sabtu, 28 Februari 2015

Pendidikan Karakter Dalam Perspektif Global

Pendidikan Karakter dalam Perspektif Global Oleh: Nelson Sihaloho Abstrak: Pendidikan karakter pada era globalisasi memiliki tantangan yang sangat besar terhadap kehidupan bangsa dan negara. Karakter suatu bangsa hanya bisa dibentuk apabila nilai-nilai etika dan budaya bangsa sejak dini diajarkan kepada anak didik. Meski kelak fakta dilapangan sulit ditemukan sosok yang memiliki karakter tangguh, kuat dan ulet, pendidikan karakter memberikan banyak manfaat. Pendidikan karakter menjadikan individu yang maju, mandiri, dan kokoh dalam menggenggam prinsip. Salah satu dampak dari globalisasi ialah meningkatnya kriminalitas kerah putih (while collar crime) bahkan ada kecenderungan bahwa masyarakat modern telah menderita penyakit kleptokrasi. Bentuk-bentuk kleptokrasi ini seperti yang terlihat semakin meningkatnya gejala-gejala korupsi di banyak negara termasuk di Indonesia. Pendahuluan Indonesia sebagai sebuah negara besar nampakanya harus banyak belajar dari negara-negara maju seperti Jepang, Perancis, Inggris yang sukses menanamkan pendidikan karakter pada penduduknya. Negara Amerika Serikat misalnya telah melakukan antisipasi akan tergerusnya nilai-nilai karakter terhadap negaranya dengan memasukkan pendidikan karakter pada setiap jenjang lembaga pendidikan di negara tersebut. Ada beberapa alasan yang mendasar bahwa pendidikan berbasis karakter diperlukan seperti yang terjadi di USA pada saat memasuki abad 21. Beberapa alasan itu diantaranya, there is a clear and urgent need, transmitting values is and always has been the work of civilisation. The school’s role as moral educator becomes more vital at a time when millions of children get little moral teaching from their parents and when value-centered influence such as church or temple are also absent from their lives, thereis a common ethical ground even in our values-conflicted society, democracies have a special need for moral education. There is no such thing as value-free education, Moral questions are among the great question facing both the individuals and human race and there is a broad-based, growing support for values education in the schools. Saat ini Indonesia dihadapkan pada tantangan global yang serba kompleks bukan hanya akan mengancam semakin lunturnya nilai-nilai moral bangsa juga akan berimbas pada sektor pendidikan. Menuurt Gudmund Hernes (2003:7) beberapa tantangan itu diantarnya bagaimana mengurangi kesenjangan dalam pemerataan pendidikan, kemiskinan, marginalisasi dan eklusivitas pendidikan, mengukuhkan hubungan yang lebih baik antara pendidikan dan ekonomi setempat (lokal), dan antara pendidikan dengan dunia kerja yang mengglobal. Mencegah berkembangnya peran dari riset dan pendidikan yang dikendalikan oleh pasar dan melebarnya kesenjangan teknologi dan ilmu pengetahuan diantara negara industri dan negara berkembang. Menyusul kemudian bagaimana menjamin bahwa persyaratan riset negara berkembang menerima perhatian dan ditujukan oleh ilmuwan dan sarjananya, bagaimana mengurangi dampak negatif dari “brain drain” dari negara miskin ke negara kaya, dari wilayah tertinggal ke wilayah maju, sebagai pasar untuk siswa yang juga mengglobal. Bagaimana mengarahkan dampak dari prinsip-prinsip pemasaran dan perubahan peran dari negara terhadap pendidikan dan membantu perencanaan dan manajemen pendidikan. Bagaimana menggunakan sistem pendidikan tidak hanya untuk memindahkan batang tubuh keilmuan secara umum, tetapi melestarikan berbagai warisan budaya dunia, bahasa seni, gaya hidup di dunia yang semakin menjadi homogen. Gelombang globalisasi bukan hanya mengubah tatanan kehidupan global termasuk akan mengubah tatanan kehidupan pada tingkat mikro. Bentuk-bentuk budaya global telah memasuki kehidupan sosial pada tingkat mikro, sehingga dikhawatirkan nilai-nilai tradisi dan nilai-nilai moral yang hidup di dalam masyarakat semakin lama semakin menghilang. Salah satu dampak dari globalisasi ialah meningkatnya kriminalitas kerah putih (while collar crime) bahkan ada yang mengatakan bahwa masyarakat modern telah menderita penyakit kleptokrasi. Bentuk-bentuk kleptokrasi ini seperti yang terlihat didalam suatu lingkungan negara dengan semakin meningkatnya gejala-gejala ataupun praktik-praktik korupsi. Lebih lanjut Gudmund Hernes:2003:5) menyatakan tantangan lain yang dihadapi oleh penddikan, yaitu tantangan peningkatan lebih banyak pendidikan di negara berkembang, tantangan peningkatan mutu pendidikan di tiap jenjang, tantangan memperluas kesempatan pendidikan lanjutan setelah pendidikan dasar. Selanjutnya tantangan pendidikan untuk daerah pedesaan, tantangan pendidikan multibudaya untuk multietnis dalam masyarakat serta tantangan pendidikan untuk para manusia lanjut (manula). Permasalahan berat pendidikan yang dihadapi dewasa ini sebenarnya telah disinyalir oleh Coombs (1968), yang mengemukakan bahwa krisis yang melanda dunia pendidikan karena muncul ketidakseimbangan peran. Krisis pendidikan disebabkan oleh empat faktor, pertama, the increase in popular aspirations for education, yang ditandai oleh tumbuh kembangnya sekolah-sekolah dan universitas di mana-mana. Ke dua, the acute scarsity of the resources, yang ditandai oleh kurang responsifnya sistem pendidikan terhadap kebutuhan masyarakat secara menyeluruh. Ketiga, the inherent inertia of educational system, yang ditandai oleh mengapa pendidikan selalu terlambat berantsipasi untuk menyesuaikan diri terhadap hal-hal di luar dunia pendidikan. Ke empat, the inertia of societies themselves, hal-hal seperti sikap tradisional, prestige and incentive pattern menghalangi meningkatkan tenaga kerja pembangunan. Sekelumit tantangan dalam pendidikan kita betapa pendidikan karakter selama ini telah dihadapkan pada tantangan era globalisasi. Menuju era globalisasi, Indonesia harus melakukan reformasi dalam proses pendidikan, yaitu dengan tekanan menciptakan sistem pendidikan yang lebih komprehensif dan fleksibel, sehingga para lulusan dapat berfungsi secara efektif dalam kehidupan masyarakat global. Pendidikan harus mampu menghasilkan lulusan yang bisa memahami masyarakatnya dengan berbagai faktor yang dapat mendukung mencapai sukses ataupun mengatasi penghalang yang menyebabkan kegagalan di dalam kehidupan bermasyarakat. “To Be More” Barang Langka “To be more” atau lebih luhur dalam konteks pendidikan karakter bangsa saat ini sulit ditemukan ataupun dilakukan bahkan menjadi barang langka. Karakter sesungguhnya dapat diartikan sebagai ciri khas yang dimiliki oleh seseorang atau tentang tentang kepribadian sesorang. Pendidikan karakter mencakup tentang pendidikan perilaku, kebiasaan, kesukaan, kemampuan, bakat, potensi, nilai-nilai, bahasa, adat dan sejarah bangsa. Nilai-nilai karakter bangsa mencakup kejujuran, tanggung jawab, visioner, disiplin, kerjasama, adil dan peduli yang harus dilandasi dengan empat pilar bangsa yaitu Pancasila, NKRI, UUD 1945 dan Bhineka Tunggal Ika. ESQ telah mencanangkan Indonesia Emas 2020 untuk menghasilkan generasi terbaik. Sedikitnya 17 nilai karakter bangsa yang diharapkan dapat dibangun oleh bangsa Indonesia melalui pendidikan karakter. Adapun nilai-nilai karakter itu adalah iman, taqwa, berakhlak mulia, berilmu/berkeahlian, jujur, disiplin, demokratis, adil, bertanggung jawab, cinta tanah air, orientasi pada keunggulan, gotong-royong, sehat, mandiri, kreatif, menghargai dan bertutur kata yang baik. Tidak dapat dipungkiri bahwa sepanjang sejarah peradaban di dunia, pendidikan selalu dibangun untuk meraih dua tujuan yaitu membantu peserta didik menjadi cerdas dan membantu mereka menjadi saleh, (Thomas Lickona & Matthew Davidson, Smart & Good High Schools). Muara pendidikan karakter dewasa ini hanyalah sekadar menghidupkan kembali sejarah panjang pendidikan yang menekankan nilai-nilai luhur seperti hormat-menghormati, integritas, dan kerja keras untuk membantu peserta didik menjadi manusia yang mumpuni dan warga negara yang baik. Dulu banyak nilai-nilai kearifan lokal yang santun, ramah, saling menghormati, arif, dan religius saat ini banyak terkikis dan tereduksi oleh gaya hidup instan dan modern. Masyarakat sangat mudah tersulut emosinya, pemarah, brutal, kasar, dan vulgar tanpa mampu mengendalikan hawa nafsunya, seperti perilaku para pengunjuk rasa yang membakar kendaraan atau rumah, merusak gedung, serta berkata kasar sebagaimana sering ditayangkan dalam media televisi. Sebagai bangsa yang beradab dan bermartabat, dengan situasi yang berkembang saat ini jelas akan menjadi beban berat dalam upaya menumbuhkembangkan generasi masa depan bangsa yang cerdas, bijak, terampil, berbudi pekerti luhur, dan senantiasa berbakti kepada Tuhan Yang Maha Esa. Robertson dalam Globalization: Social Theory and Global Culture (London, Sage:1992) mendefinisikan globalisasi sebagai “the compression of the world into a single space and the intensification of conciousness the world as a whole”. Globalisasi juga melahirkan global culture (which) is encompassing the world at the international level. Dalam kaitannya dengan pendidikan karakter ini, William J. Bennett (Ed., 1997) dalam bukunya berjudul: ”The Book of Virtues: A Treasury of Great Moral Stories” mengemukakan bahwa dalam pendidikan moral, pendidik perlu mengajarkan tentang nilai-nilai moral seperti, rasa hormat kepada orang tua dan guru, jujur, terbuka, toleransi, adil, religius, bertanggung jawab terhadap masyarakat dan negara, serta memiliki rasa kasih sayang dan cinta terhadap Tuhan, masyarakat, dan lingkungan. Bennett, et.al juga mengungkapkan bahwa beberapa cara untuk mengembangkan karakter yang baik, antara lain dengan self-discipline (disiplin diri), compassion (rasa terharu), responsibility (tanggung jawab), friendship (persahabatan). Kemudian adalah work (pekerjaan), courage (keberanian dan keteguhan hati), perseverance (ketekunan), honesty (kejujuran). loyalty (loyalitas), faith (keyakinan/kepercayaan). Menurut Sommers (1993) dalam artikelnya yang berjudul: ”Teaching the Virtue, a Blueprint for Moral Education”, bahwa salah satu metode penting dalam pendidikan moral adalah metode ”values clarification” (klarifikasi nilai). Alfie Kohn (1991) dalam artikelnya yang berjudul: ”The Role of School”, antara lain menyebutkan bahwa untuk membantu peserta didik supaya bisa tumbuh menjadi dewasa, kepada mereka harus ditanamkan nilai-nilai disiplin sejak dini melalui proses interaksi antar peserta didik, dengan guru-guru, dan orang tua. Gordon (1989), bahwa selama usaha kita untuk membantu peserta didik dalam mengembangkan nilai-nilai yang baik, maka penggunaan hukuman kekerasan tidak diperkenankan. Persoalan budaya dan karakter bangsa kini menjadi sorotan tajam masyarakat. Kepedulian masyarakat mengenai pendidikan budaya dan karakter bangsa telah pula menjadi kepedulian pemerintah. Budaya diartikan sebagai keseluruhan sistem berpikir, nilai, moral, norma, dan keyakinan (belief) manusia yang dihasilkan masyarakat. Sistem berpikir, nilai, moral, norma, dan keyakinan itu adalah hasil dari interaksi manusia dengan sesamanya dan lingkungan alamnya. Karakter adalah watak, tabiat, akhlak, atau kepribadian seseorang yang terbentuk dari hasil internalisasi berbagai kebajikan (virtues) yang diyakini dan digunakan sebagai landasan untuk cara pandang, berpikir, bersikap, dan bertindak. Proses pengembangan nilai-nilai yang menjadi landasan dari karakter itu menghendaki suatu proses yang berkelanjutan, dilakukan melalui berbagai mata pelajaran yang ada dalam kurikulum. Berkaitan dengan kondisi yang terjadi dilapangan saat ini “berbudi pekerti luhur” telah menjadi barang langka. Karena itu pendidikan karakter dalam perspektif global membutuhkan suatu komitmen yang tinggi dari pemerintah dan masyarakat dalam mewujudkan nilai-nilai karakter sebagai bagian dari budaya bangsa yang kuat, andal dan tangguh. Semangat juang para pendahulu yang diwujudkan dan rela berkorban hingga “titik darah penghabisan” hendaknya menjadi refleksi bangsa ini dalam menatap masa depan yang lebih baik. Budaya-budaya yang berlandaskan pada kearifan lokal hendaknya menjadi semangat dan pemacu bangsa ini dalam menghadapi era globalisasi. Sekuat apapun derasnya globalisasi, sepanjang bangsa ini memiliki nilai-nilai karakter yang mengakar, tangguh dan teruji sebagai filterisasi dalam menyaring nilai-nilai budaya negara luar akan tetap kokoh sepanjang masa. Perspektif global sebagai bagian dari perkembangan dunia harus dicermati sebagai peluang untuk meraih keberhasilan. Tantangan berat dunia pendidikan dengan berbagai kompleksitas yang terjadi dilapangan ataupun kondisi yang berkembang di masyarakat menjadi suatu dinamika yang tidak bisa dipisahkan dalam perkembangan pembangunan yang berkelanjutan. Simpulan Pendidikan karakter dalam perspektif global memiliki makna yang tidak terpisahkan dari perkembangan zaman, ilmu pengetahuan dan teknologi termasuk pertumbuhan dan perkembangan pembangunan. Tatanan global yang akan melanda berbagai dunia akan menjadi tantangann dan sekaligus peluang bahwa kita dituntut untuk selalu meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM) secara berkelanjutan. Menyikapi semua itu dibutuhkan sinerginitas dan sinkronisasi dalam mengantisipasi berbagai kemungkinan yang muncul dengan penerapan pendidikan karakter di berbagai lingkungan, mulai dari keluarga, sekolah, masyarakat hingga pada level pemerintahan negara agar bangsa ini kembali menguatkan nilai-nilai karakter sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari sejarah dan perjuangan bangsa. Selain itu dibutuhkan “action plan” dalam memberdayakan pelaksanaan pendidikan karakter dalam berbagai kegiatan secara berkelanjutan. Pendidikan karakter harus menjadi bagian dari perjalanan bangsa ini menuju suatu bangsa yang tangguh dengan tetap melestarikan nilai-nilai karakter yang telah ada dan mengembangkan nilai-nilai karakter baru yang bersumber dari budaya dan kearifan budaya lokal di berbagai daerah. Budaya-budaya di berbagai daerah yang kaya dengan nilai-nilai karakter harus terus digali sehingga menjadi bagian yang terintegrasi dalam mengarungi era globalisasi. (tulisan ini dihimpun dari berbagai sumber-sumber relevan).

Rabu, 25 Februari 2015

PEMBENTUKAN DITJEN GTK AKANKAH BERHASIL MENGUFUSI GURU

Ditjen GTK Akankah Berhasil Mengurusi Guru? Oleh: Nelson Sihaloho Abstrak Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikbud-Dasmen), Anies Baswedan telah meresmikan pembentukan Ditjen Guru dan Tenaga Kependidikan. Ditjen GTK bertugas mengurusi peningkatan kompetensi, pencairan tunjangan fungsional guru hingga tunjangan profesi guru (TPG). Hingga saat ini sebanyak 800.000 tenaga guru di seluruh Indonesia mentok pada golongan ruang IV/a (pembina) bahkan ada yang telah lebih 15 tahun tidak naik-naik pangkat. Langkah pemerintahan Joko Widodo dalam memenuhi janji khususnya membentuk Ditjen GTK perlu didukung semua pihak, termasuk Mendikbud-Dasmen sebagai institusi mengurusi guru dan tenaga kependidikan harus mampu mengangkat harkat dan martabat guru. Saat ini persoalan guru sangat “krusial” bahkan wibawa “kepangkatan” seakan-akan tidak memiliki makna lagi sebab soal pengangkatan Kepala Sekolah dengan label “tugas tambahan” dan “guru profesional” karena telah “lulus sertifikasi” kinerja guru malah tidak meningkat bahkan banyak terjadi dugaan pengemplangan korupsi jam guru dan tidak memenuhi syarat 24 jam tatap muka. Diharapkan Ditjen GTK terlebih dahulu mengkaji ulang semua Peraturan-Peraturan yang berkaitan dengan GTK agar langkah-langkah pemberian pelayanan kepada GTK dalam mempersiapkan guru yang profesional benar-benar terwujud serta berjalan sesuai harapan semua pihak. Kata kunci: guru, tenaga kependidikan Pendahuluan Kebijakan pembinaan guru selama ini banyak dikeluhkan serta menimbulkan berbagai masalah. Program pelatihan atau peningkatan kompetensi guru sering dikeluhkan. Pasalnya banyak guru yang selalu mendapatkan langganan pelatihan di satu sisi ada guru yang meski kinerjanya telah puluhan tahun belum pernah mengikuti pelatihan. Pada akhirnya, kompetensi guru tidak merata dan tidak berkembang. Belum lagi masalah pencairan tunjangan profesi guru yang selama ini banyak dikeluhkan oleh kalangan guru yang semestinya menerima TPG tepat waktu malah bertambah kisruh dan pencairannya molor serta berbelit-belit. Aturan kenaikan pangkat yang sudah ditetapkan semestinya bisa memberikan motivasi kepada guru untuk meningkatkan kinerjanya. Kenyataan dan praktek dilapangan sangat kontras dengan aturan yang telah ditetapkan. Guru meskipun telah 15 tahun tidak naik pangkat tidak ada sanksi “secarik kertas” pun yang diberikan kepada guru oleh instansi yang terkait bahkan terus mendapatkan tunjangan sertifikasi. Ironisnya tidak ada “hukuman” yang diberikan kepada guru soal ketidakmampuan dan keterlambatannya dalam memenuhi kinerja sesuai dengan persyaratan ataupun peraturan yang berlaku. Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negera Reformasi dan Birokrasi (Permenpan RB) nomor 16 tahun 2009 yang mengatur tentang jabatan fungsional guru dan angka kreditnya tujuannya adalah baik. Salah satu persyaratan yang harus dipenuhi seorang guru untuk naik ke golongan IV/b harus membuat karya tulis. Dalam hal ini sangat penting dipersiapan adalah mekanisme dan sistem yang baik sehingga terhindar dari praktik-praktik yang tidak baik. Sebenarnya kenaikan pangkat bagi Guru (PNS) merupakan wujud penghargaan atas kinerja yang telah ditorehkan selama ini. Kenaikan pangkat guru dari III/b ke III/c sudah harus melakukan pengembangan keprofesian berkelanjutan. Kenaikan tersebut tidak mudah, hanya guru-guru yang berprestasilah bisa mendapatkan kenaikan pangkat tepat waktu. Dalam Permen PANRB 2009 itu disebutkan, agar menjadi profesional maka guru harus melakukan Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan (PKB), antara lain dengan mengembangkan diri, membuat publikasi ilmiah, dan karya inovatif. Para guru tidak akan bisa naik pangkat kalau tidak melakukan PKB. Secara umum guru tidak biasa mendokumentasikan semua kegiatan pembelajaran, padahal sebenarnya hal itu merupakan bagian dari pengembangan profesi. Ironisnya banyak guru yang malas menuliskan kegiatan pembelajaran, sehingga karya-karya ilmiah dan publikasi ilmiahnya tidak terdokumentasikan dengan baik. Banyak guru yang sudah melaksanakan pembelajaran kreatiff, inovatif, dan menyenangkan di kelas, namun banyak guru yang tidak bisa menuangkannyan melalui sebuah tulisan ilmiah. Berdasarkan pengalaman penulis banyak guru yang kualitasnya bagus bahkan ada yang telah bergelar S2 (magister) dan mendapatkan tugas tambahan sebagai Kepala Sekolah, namun “embel-embel” S2 nya dan telah mendapatkan sertifikat “guru profesional” tidak signifikan dengan kinerjanya khususnya dalam menulis karya imiah ataupun publikasi ilmiah. Masalah yang sangat urgensial terletak pada rendahnya minat dan kemampuan guru untuk melaksanakan penelitian tindakan kelas (PTK). Dugaan sementara akibat masih rendahnya kemampuan guru merencanakan dan melaksanakan pembelajaran yang kontekstual secara konsisten di kelas serta kurangnya kesempatan guru mendapatkan pendalaman materi pelatihan pembelajaran berbasis inovatif. Pengawas sebagai supervisor turut bertanggung jawab untuk melakukan upaya-upaya peningkatan kinerja guru namun kenyataan dilapangan ada pengawas yang kepangkatannya “lebih rendah” dari kepangkatan guru sehingga pengawas malah bukan memberikan contoh yang baik namun sebaliknya. Pengawas tidak hanya berperan sebagai resources person atau konsultan, bahkan secara kolaboratif dapat bersama-sama dengan guru melakukan tindakan kelas bagi peningkatan pembelajaran. Pengawas yang lebih rendah kepangkatannya dengan orang yang diawasinya mengindikasikan bahwa “pengawas gagal” dalam menjalankan tugas-tugas profesionalismenya. Intinya adalah prosedur baru kenaikan pangkat seorang guru mulai diperketat dengan wajib membuat dan melampirkan bukti karya ilmiah. Akan Muluskah Langkah Ditjen GTK? Kompleksnya permasalahan guru saat ini kelak akan “berbenturan” dengan Ditjen lain di Kemdikbud Dasmen mulai dari permasalahan peraturan tentang guru, kualifikasi akademik, masa kerja golongan, sistem rekruitmen guru, pelatihan guru, sistem kenaikan pangkat, pemberian tunjangan profesi hingga pengangkatan kepala sekolah dan pengawas. Intinya aturan-aturan yang berkaitan dengan guru dan tenaga kependidikan harus terlebih dahulu diselesaikan. Kelompok-kelompok guru yang tidak naik pangkat 10 tahun -15 tahun harus dikelompokkan dan ditabulasikan terlebih dahulu dalam data base kelompok “merah”. Selanjutnya kelompok tidak naik pangkat 6 tahun-8 tahun dikelompokkan dalam data base “kuning” serta kelompok 1 tahun – 5 tahun dimasukkan dalam data base “hjau”. Selama ini tugas tambahan sebagai “kepala sekolah” selalu dianggap lebih tinggi dari guru meskipun kepangkatan guru ada yang lebih tinggi dari kepala sekolah yang sebenarnya oknum kepala sekolah sudah tidak layak lagi mendapatkan tugas tambahan. Selama ini prosesnya selalu “dibiarkan” berlangsung tanpa ada tindakan tegas serta teguran kepada kepala sekolah. Seharusnya kepala sekolah instropeksi diri “ apakah masih layakkah tugas tambahan sebagai Kepala Sekolah disandang apabila bawahannya kepangkatannya lebih tinggi?. Apakah kepala sekolah masih layak mengatur bawahan yang kepangkatanya lebih tinggi dari kepala sekolah? Intinya Permendiknas nmor 28 tahun 2010 itu perlu ditinjau ulang dengan melakukan penyempurnaan. Termasuk pada jenjang Dinas Pendidikan Kota/Kabupaten di seluruh Indonesia pola pengangkatan tugas tambahan sebagai Kepala Sekolah kepangkatannya harus lebih tinggi dari bawahannya. Masalah lainya adalah Ditjen GTK dituntut untuk benar-benar mengetahui seluruh jumlah guru dan sekolah yang ada di negeri ini, mulai dari beban kerja guru, jumlah rombongan belajar hingga jejak rekam kepangkatannya termasuk karya-karya pengembangan profesi guru. Permen PAN RB sebenarnya bertujuan agar ke depan kualitas guru semakin baik, sehingga tingkat prestasi guru benar-benar dapat dipertahankan dan teruji. Direktorat Jenderal GTK yang khusus menangani guru dan tenaga kependidikan ini tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2015 tentang Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Anies Baswedan (2015) menyatakan fungsi direktorat tersebut adalah melaksanakan kebijakan di bidang penyusunan rencana kebutuhan dan pengendalian formasi, pengembangan karier, peningkatan kualifikasi dan kompetensi, pemindahan, serta peningkatan kesejahteraan guru dan pendidik lainnya. Et.al, juga mengatakan bahwa fungsi berikutnya, melaksanakan kebijakan di bidang penyusunan rencana kebutuhan, peningkatan kualifikasi dan kompetensi, pemindahan lintas daerah provinsi, dan peningkatan kesejahteraan tenaga kependidikan. Ditjen ini juga bertugas memberi bimbingan teknis dan supervisi di bidang pembinaan guru dan pendidik lainnya. Selain itu, melaksanakan evaluasi dan pelaporan di bidang pembinaan guru dan pendidik lainnya, serta tenaga kependidikan, pelaksanaan administrasi Ditjen GTK. Guru Profesional Glickman (1981) menegaskan bahwa seseorang akan bekerja secara profesional apabila memiliki kemampuan (ability) dan motivasi (motivation). Glickman,et.al mengungkapkan bahwa seseorang guru dapat dikatakan profesional apabila memiliki kemampuan tinggi (high level of abstract) dan motivasi kerja tinggi (high level of commitment). Guru sebagai pendidik profesional mempunyai citra yang baik di masyarakat apabila dapat menunjukkan kepada masyarakat bahwa ia layak menjadi panutan atau teladan masyarakat sekelilingnya (Soetjipto dan Kosasi, 2000: 42). Penerapan sikap keprofesionalisme guru dapat diketahui dari kinerjanya, bagaimana seorang guru tersebut mampu menerapkan metode pembelajaran yang merupakan cara untuk menyajikan, menguraikan, memberi contoh, dan memberi latihan kepada siswa untuk mencapai tujuan tertentu yaitu proses pembelajaran yang efektif dan efisien. Peningkatan profesionalisme guru berkaitan dengan motivasi serta dorongan yang kuat bagi seseorang meningkatkan secara terus menerus kompetensi profesionalismenya. Peningkatan motivasi kerja guru dalam melaksanakan tugas-tugas pendidikan dalam organisasi pendidikan sangat penting dilakukan oleh manajer pendidikan. Sweeney dan McFarlin,(2002:83, menyimpulkan bahwa motivasi merupakan “The Big Issue, … the most important issue in organizational behavior”. Dalam konteks manajemen personalia, Deesler (1993:19) menyebut motivasi sebagai “isu sentral dalam manajemen”. “Memotivasi pegawai dalam bekerja selalu menjadi perhatian utama para manajer dalam meningkatkan performasi kerja pegawai” (Luthans, 2002:259). “Para manajer menyadari bahwa motivasi kerja berhubungan erat dengan kinerja” (Sweeney dan McFarlin, 2002:84). Peningkatan kinerja juga penting dilakukan oleh guru itu sendiri atau atas pengaruh motivasi kepala sekolah. Namun, “kondisi kerja para guru, baik sifatnya fisik maupun non fisik masih belum memberikan derajat kepuasan kerja sehingga mempengaruhi kinerja guru” (Surya, 2005:5). Kinerja guru tidak hanya ditunjukkan berupa hasil kerja, akan tetapi termasuk perilaku kerja. Murphy dan Cleveland (1991:92) menyatakan bahwa: “Job Performance should be defined in term of behavior or in term of the results of behavior”. Sedangkan Stoner dan Wankel, 1993:159) menyatakan bahwa “kinerja ialah hasil kerja secara nyata yang ditunjukkan oleh individu”. Harley (Siagian, 1996:14) menyebut kinerja “sebagai upaya yang dilakukan dalam menyelesaikan pekerjaan untuk menghasilkan keluaran dalam periode tertentu”, dan sekait dengan itu Fattah (2004:19) mengartikan performansi sebagai “ungkapan kemampuan yang didasari oleh pengetahuan, sikap, keterampilan, dan motivasi dalam menghasilkan sesuatu”. Kinerja guru dipengaruhi oleh beberapa faktor dan merupakan permasalahan, yaitu faktor “kualifikasi standar guru dan relevansi antara bidang keahlian guru dengan tugas mengajar” (Taufik, 2002:244). Gibson et al. (1985:51-53) mengemukakan bahwa “ada tiga kelompok variabel yang mempengaruhi kinerja individu, yaitu pertama variabel individu, variabel, variabel organisasi, dan variabel psikologis individu”. Cascio (Sukmalana, 2003:21) menyatakan bahwa “abilitas dan motivasi merupakan faktor-faktor yang berinteraksi dengan kinerja, motivasi berprestasi berhubungan dengan kinerja, profesionalisme berhubungan dengan kinerja”, dan “motivasi berprestasi berhubungan dengan profesionalisme dan kinerja”. Pendapat lainnya, Abdullah, (2002:39) dan Cahyono (dalam Hasanah, 2003:102) menyimpulkan “faktor-faktor yang tidak langsung mempengaruhi kinerja ialah; manusia, modal, metode, produksi, lingkungan organisasi, lingkungan negara, lingkungan regional, dan umpan balik. Faktor –faktor lain yang perlu diperhatikan dan dikuasai oleh guru agar profesional dan berkinerja tinggi di era informasi, guru perlu menguasai sejumlah standar kompetensi dan penjabaran berbagai sub kompetensi dan pengalaman belajar yang terkandung dalam kompetensi pedagogik, profesionalisme, sosial, dan kepribadian sesuai rumusan yang dihasilkan oleh lembaga terkait. Berkaitan dengan terbentuknya Ditjen GTK diharapkan lingkungan lembaga pemerintah yang mengurusi guru dan tenaga kependidikan diharapkan dapat memberikan pencerahan baru demi peningkatan profesionalisme guru secara berkelanjutan. Simpulan Disetujuinya Ditjen GTK diharapkan akan lebih mampu memitovasi guru dalam meningkatkan kinerja profesionalismenya. Sinkronisasi peraturan yang berkaitan dengan guru dan tenaga kependidikan harus lebih disederhanakan sehingga memberikan ruang bagi GTK dalam meningkatkan kompetensi profesionalismenya. Penghargaan (reward) terhadap guru melalui pemberian tunjangan profesionalisme guru (TPG) sebaiknya dilakukan berjenjang sesuai dengan prestasi dan kinerjanya. Semoga. (tulisan ini disarikan dan dihimpun dari berbagai sumber-sumber relevan).