Belajar
dan Mega Trend Abad 21
Oleh
: Nelson Sihaloho
Saat ini banyak tulisan yang
membahas tentang cara-cara belajar praktis dalam menghadapi era globalisasi
termasuk cara belajar pada era mega trend abad 21. Itulah thinking development
(life long learning) yaitu menuju belajar melalui kehidupan kita, belajar
dalam organisasi, institusi, asosiasi, jaringan, belajar
berfokus pada kebutuhan nyata, belajar dengan seluruh
kemampuan otak,
belajar bersama, belajar melalui multi media, teknologi, format, dan
gaya,
belajar langsung dari berpikir, belajar melalui pengajaran/pembelajaran, belajar
melalui sistem pendidikan kita yang akan berubah cepat (atau lambat?) untuk
membantu belajar sepanjang hayat dan masyarakat belajar serta belajar
bagaimana belajar.
Secara konseptual hasil belajar dapat dilihat dari
ketrampilan intelektual seperti potensi akademik, fakta, konsep dan
prinsip-prinsip. Sedangkan non akademik yaitu problem solving, creative
thinking, dicision making, colaboration dan learning how to learn.
Secara tegas bahwa pembelajaran bertujuan untuk meningkatkan
pemahaman dan memperbaiki proses belajar, mendorong prakarsa
belajar siswa,
mempreskripsikan strategi yang optimal, kondisi
membelajarkan siswa simultan, memudahkan proses
internal yg belajar serta menjadikan Belajar lebih
efektif, efisien, dan menarik.
Karena prinsip-prinsip pembelajaran seharusnya merefleksikan
tentang apa yang kita ketahui tentang bagaimana terjadinya proses belajar, belajar
merupakan proses interaktif dan sistem yang kompleks, pemusatan
belajar dapat menjadi luas dan interdisipliner, kurikulum
memberi ruang kepada sikap, persepsi, dan kebiasaan mental dalam memfasilitasi
belajar,
pendekatan pembelajaran lebih berpusat pada siswa serta gunakan
pengetahuan dan reasoning yg kompleks lebih bermakna dari pada menghafal
informasi. Masalahnya sekarang bagaimana kita menghadapi
era teknologi informasi dan komunikasi yang akan dihadapi oleh anak didik serta
bagaimana guru mempersiapkan anak didik dalam era global itu.
Pendidikan Era
Global
Pendidikan pada era teknologi informasi dan komunikasi akan
ditandai dengan berbagai perubahan dimana era teknologi informasi
& komunikasi menyebabkan ketidakselarasan pendidikan dengan tuntutan
kebutuhan siswa dan masa depan, penguasaan
teknologi informasi & komunikasi menjadi literasi dasar (di samping
baca-tulis-hitung), sekolah/ pendidikan bukan lagi sebagai satu-satunya
pangkalan ilmu pengetahuan, proses pendidikan
bergeser dari pendekatan konvensional ke arah multi sumber serta kesenjangan
antara school knoledge dan out of school knowledge semakin lebar .
Persoalannya sekarang apakah para guru bisa
menjadi manajer pembelajaran dengan menempatkan siswa menjadi klien, sama
seperti klien pengacara atau profesi lain ? Apabila kita
mempraktikkannya maka kita akan menuju suatu khasanah bahwa kita belajar
berbicara dengan berbicara, kita belajar berjalan dengan
berjalan,
kita belajar menyetir mobil
dengan berkendara,
kita belajar mengetik dengan mengetik, cara belajar yang paling
baik adalah dengan mempraktikkan, memecahkan masalah
dengan mempraktikkan memecahkan masalah serta belajar menulis, dengan
anda mempraktikan menulis.
Teknologi
Pembelajaran
Sebagaimana diketahui bahwa teknologi pembelajaran dapat
dilihat sebagai bidang yang mempunyai perhatian khusus terhadap aplikasi, meskipun prinsip dan prosedurnya
berdasar pada teori. Kawasan bidang ini telah melalui pergulatan antara
pengaruh nilai, penelitian,dan pengalaman praktisi, khususnya pengalaman dengan
teknologi yang digunakan dalam pembelajaran. Bidang ini kemudian berkembang
tidak hanya berupa pengetahuan teoritik tetapi juga pengetahuan praktis.
Itulah sebabnya setiap kawasan dibentuk oleh landasan penelitian dan teori, nilai dan
perspektif yang berlaku serta kemampuan teknologi itu sendiri. Teknologi
pembelajaran dipengaruhi oleh teori dari berbagai bidang kajian. Akar teorinya
dapat ditemui dalam berbagai disiplin seperti
psikologi, rekayasa, komunikasi, ilmu komputer, bisnis, dan pendidikan
secara umum.
Teori diterapkan melalui aplikasi model-model perancangan
sistem pembelajaran, terutama dengan didukung logika deduktif, penilaian
praktek dan pengalaman yang sukses. Hasil-hasil penelitian yang ada tentang
desain sistematik dapat mendukung terhadap komponen-komponen proses
perancangan.
Penelitian dan teori psikologi yang berkembang pun telah
memberikan kontribusi terhadap perancangan, baik yang dikembangkan oleh
kelompok aliran psikologi behaviorisme, maupun kognitivisme dan
konstruktivisme. Selain itu, sumbangsih teori dan penelitian psikologi tentang
motivasi juga berpengaruh terhadap proses perancangan.
Teori dan penelitian tentang Belajar-Mengajar memiliki
pengaruh terhadap desain, baik dalam penentuan tugas-tugas belajar, penentuan
tujuan pembelajaran, pemilihan metode dan media pembelajaran, penentuan materi
pembelajaran dan sebagainya.
Teori komunikasi dan penelitian tentang pesepsi-atensi telah
memberikan pengaruh terhadap proses perancangan, seperti dalam tata letak,
halaman, desain layar, desain grafis visual. Studi Flemming (1987) menyimpulkan
tentang karakteristik-karakteristik persepsi yang relevan untuk perancangan,
meliputi pengorganisasian, perbandingan dan kontras, warna kemiripan, nilai dan
informasi yang disajikan.
Adapun proses pengembangan bergantung pada prosedur desain,
akan tetapi prinsip-prinsip utamanya diturunkan dari hakekat komunikasi dan
proses belajar. Pada kawasan pengembangan tidak hanya dipengaruhi oleh teori
komunikasi semata, tetapi juga oleh teori pemrosesan visual-audial, berfikir
visual, dan estetika.
Teori Shannon dan Weaver (1949) tentang proses penyampaian
pesan dari pengirim kepada penerima dengan menggunakan sarana sensorik.
Berikutnya, pemikiran Belo tentang Model SMCR (Sender, Massage, Channel,
Receiver), dan beberapa teori lainnya dalam bidang komunikasi secara umum
telah menjadi landasan dalam proses pengembangan.
Proses pengembangan juga telah dipengaruhi oleh teori
berfikir visual, belajar visual dan komunikasi visual. Teori berfikir visual
sangat berguna terutama dalam mencari ide untuk perlakuan berfikir visual.
Menurut Seels (1993) bahwa berfikir visual merupakan manipulasi bayangan mental
dan asosiasi sensor dan emosi. Arnhem (1972) menjelaskan berfikir visual
sebagai fikiran kiasan dan di bawah sadar. Berfikir visual menuntut kemampuan
mengorganisasi bayangan sekitar unsur-unsur garis, bentuk, warna, tekstur, atau
komposisi.
Sementara itu, prinsip-prinsip estetika juga menjadi
landasan dalam proses pengembangan. Molenda dan Russel (1993) mengidentifikasi
unsur kunci seni yang digunakan dalam perancangan visual, yaitu pengaturan, keseimbangan dan kesatuan. Teori
dan penelitian dalam bidang komputer yang dikombinasikan dengan teori-teori
lainnya, khususnya dengan teori pembelajaran telah memungkinkan lahirnya berbagai
bentuk pembelajaran, seperti pembelajaran jarak jauh yang di dalamnya
memerlukan prinsip-prinsip komunikasi umum, prinsip-prinsip desain grafis,
prinsip-prinsip belajar interaktif dan teknologi elektronik yang canggih.
Gagasan tentang pemanfaatan media lebih berkonotasi pada
aspek-aspek penggunaan, sehingga teori dan penelitian lebih dipusatkan pada
hal-hal yang berkenaan dengan pemanfaatan media, terutama mengkaji tentang
masalah-masalah seputar penggunaan media secara optimal, kemudian berkembang
dengan mencakup pada upaya difusi, karena bagaimana pun disadari bahwa
pemanfaatan teknologi sangat bergantung pada proses difusi.
Rogers (1962) mengeksplorasi tentang gejala difusi inovasi.
Menurut Rogers, terdapat empat elemen utama yang beroperasi dalam proses
difusi, yaitu bentuk atau karakter
inovasi itu sendiri, saluran komunikasi
yang ada, waktu, dan sistem sosial yang berlaku.
Menuurt studi
Havelock (1971) tentang model pengembangan dan penyebaran dan interaksi sosial,
lebih menekankan pada usaha-usaha menghubungkan para pemakai dengan sumber
pengetahuan baru. Studi Lazarfield (1944) mengungkapkan tentang informasi yang
sampai kepada para tokoh yang berpengaruh (opnion leaders), yang pada
awalnya berupa transfer informasi sederhana, kemudian informasi itu diteruskan
kepada para pengikutnya. Dari berbagai pengalaman kegagalan inovasi teknologi
pada skala besar, telah mendorong perlunya perencanaan dan perubahan
keorganisasian, administratif dan individu (Cuban, 1986). Sekarang ini muncul
perkembangan pengetahuan yang berhubungan dengan cara-cara organisasi
beradaptasi dengan tantangan masyarakat modern, dengan segala sistem pemasaran
yang baru, teknologi baru dan tuntutan perubahan yang terus menerus, sehingga
pada akhirnya menggiring pemanfaatan sebagai implementasi dan institusionalisasi.
Persoalan-persoalan pengelolaan dalam bidang Teknologi
Pembelajaran muncul akibat pengaruh aliran perilaku dan berfikir sistematik
behaviorisme serta aspek humanisme dalam komunikasi, motivasi, dan
produktivitas. Metodologi dan teori pengelolaan telah banyak diaplikasikan pada
berbagai bidang pengelolaan sumber dan proyek, termasuk pengelolaan perubahan.
Sebagian besar prinsip-prinsip pengelolaan berasal dari manajemen/administrasi
bisnis, seperti dalam pengelolaan proyek, pengelolaan sumber dan efektivitas
pembiayaan.
Akhir-akhir ini mulai tumbuh perhatian mengenai efektivitas
pembiayaan, sehingga kerangka teori ekonomi pun mulai digunakan dalam teknologi
pembelajaran, seperti penggunaan teori ekonomi pengelolaan sumber yang
dikembangkan oleh Henderson dan Quandt (1980).
Pengelolaan sumber telah lama menjadi masalah utama bagi
guru dan petugas perpustakaan media karena keduanya diharapkan sebagai manajer
sumber belajar. Sekarang ini konsep sumber lebih mengacu pada pengertian sumber
belajar yang lebih luas dan bukan sekedar diartikan sebagai sarana
audio-visual, melainkan mencakup pula barang cetak, lingkungan dan nara sumber
(Eraut, 1989). Pengelolaan proyek sebagai suatu konsep, pada awalnya
diperkenalkan sebagai “cara yang efisien dan efektif dalam menghimpun suatu
tim, dimana pengetahuan dan keahlian anggotanya sesuai dengan siatuasi unik dan
tuntutan teknis jangka pendek yang ditentukan oleh pemberi kerja”(Rothwell dan
Kazanas, 1992).
Kelanjutan dari pengelolaan sumber ini adalan pengelolaan
sistem penyampaian, yang berkaitan dengan sarana, seperti perangkat lunak dan
keras, dukungan teknis untuk operator dan pemakai, serta karakteristik lain
tentang pengoperasian sistem teknologi. Ini merupakan era baru praktek
mendahului analisis teoritik tentang model. Komponen terakhir dari masalah
pengelolaan adalah pengelolaan informasi. Teori informasi melahirkan suatu
landasan yang dapat digunakan untuk memahami dan memprogram komputer. Hal ini
berhubungan dengan perancangan dan penggunaan jaringan komputer untuk tranmisi,
penerimaan dan penyimpanan informasi. Penerapan teori informasi ini
jangkauannya semakin luas, dengan mencakup berbagai bidang kehidupan.
Analisis, asesmen dan penilaian memainkan peranan penting
dalam proses desain pembelajaran dan teknologi pembelajaran. Pada awalnya,
penilaian sering dihubungkan dengan orientasi behavioristik. Tumbuhnya desain
pembelajaran yang beorientasi pada tujuan (tercapainya perubahan perilaku),
sehingga memunculkan pengujian dengan menggunakan acuan patokan. Hal ini terjadi
pula dalam analisis kebutuhan atau analisis masalah.
Dengan masuknya pandangan kognitivisme dan konstruktivisme
dalam desain pembelajaran, telah membawa implikasi terhadap proses analisis
kebutuhan dengan cakupan yang lebih luas, yang tidak hanya berfokus pada isi
semata, tetapi juga memberikan perhatian pada analisis pembelajar, analisis
organisasi dan analisis lingkungan (Richey, 1992; Tessmer dan Harris, 1992).
Penilaian dengan paradigma kognitif lebih banyak diorientasikan untuk
kepentingan fungsi diagnostik.
Secara khusus, nilai-nilai yang mempengaruhi terhadap
perkembangan teknologi pembelajaran, yaitu replikabilitas pembelajaran,
individualisasi, efisiensi,
penggeneralisasian proses isi lintas, perencanaan terinci, analisis dan spesifikasi, kekuatan visual
serta pemanfaatan pembelajaran bermedia.
Konsep paradigma alternatif dalam menemukan pengetahuan
baru-baru ini telah menjadi fokus utama dalam berbagai disiplin ilmu. Dalam
perpektif ilmiah, paradigma alternatif ini memiliki kecenderungan untuk
menerima metodologi penelitian kualitatif, penelitian fenomenologis dan gerakan
ke arah psikologi kontruktivis.
Bowers (1988) juga memberikan suatu tantangan yang meragukan
bahwa teknologi betul-betul bersifat netral dan dapat dibentuk untuk memenuhi
segala tujuan yang diinginkan.
Teknologi pembelajaran juga merasakan pengaruh ini, sebagai
contoh Striebel (1991) mengemukakan pendapatnya bahwa komputer bukanlah hanya
sekedar bentuk sistem penyampaian, tetapi sebagai suatu lingkungan yang
memiliki nilai-nilai tertentu dengan segala kecenderungannya.
Gerakan psikologi konstruktivisme telah mempengaruhi
terhadap Teknologi Pembelajaran. Menurut pandangan konstruktivisme bahwa
disamping adanya relaitas fisik, namun pengetahuan kita tentang realitas
dibangun dari hasil penafsiran pengalaman. Makna atas sesuatu tidak akan
terlepas dari orang yang memahaminya. Belajar merupakan suatu rangkaian proses
interpretasi berdasarkan pengalaman yang telah ada, interpretasi tersebut
kemudian dicocokan pengalaman-pengalaman baru.
Konstruktivisme cenderung mempersoalkan perancangan
lingkungan belajar daripada pentahapan kegiatan pembelajaran. Lingkungan
belajar ini merupakan konsteks yang kaya, baik berupa landasan pengetahuan,
masalah yang otentik, dan perangkat otentik yang digunakan untuk memecahkan
masalah.
Ada semacam keengganan terhadap adanya perumusan pengetahuan
secara rinci yang harus dikuasai, dan kengganan terhadap simplikasi atau
regulasi isi, karena semua proses itu akan meniadakan arti penting konteks yang
kaya yang memungkinkan terjadinya transfer.
Perspektif alternatif lain yang mempengaruhi teknologi
pembelajaran adalah dari kelompok yang memandang penting atas keunggulan
belajar situasional (situated learning). Belajar situasional
terjadi bilamana siswa mengerjakan “tugas otentik” dan berlangsung di latar
dunia nyata. Belajar semacam ini tidak akan terjadi apabila pengetahuan dan
keterampilan tidak diajarkan secara kontekstual”. Bila orang menekankan pada
belajar situasional, maka logika kelanjutannya adalah memahami belajar sebagai
suatu proses yang aktif, berkesinambungan dan dinilai lebih pada aplikasi
daripada sekedar perolehan.
Gerakan teknologi kinerja yang lebih berbasis terapan (Geis,
1986) juga mengajukan perspektif alternatif lain dalam Teknologi Pembelajaran.
Para teknololog kinerja cenderung mengidentifikasi kebutuhan bisnis dan tujuan
organisasinya daripada tujuan belajar. Teknologi kinerja sebagai suatu
pendekatan pemecahan masalah adalah suatu produk dari berbagai pengaruh teori
seperti cybernetic, ilmu menajemen, dan ilmu kognitif (Geis, 1986).
Para teknolog kinerja tidak selalu merancang intervensi
pembelajaran sebagai suatu solusi dalam memecahkan masalah. Teknolog kinerja
akan cenderung memperhatikan peningkatan insentif, desain pekerjaan, pemilihan
personil, umpan balik atau alokasi sumber sebagai intervensi.
Filsafat alternatif pun turut mewarnai terhadap perkembangan
teknologi pembelajaran. Filsafat alternatif ini berkembang dari kelompok
post-modernis (pasca-modern), yang telah melakukan analisis kritis terhadap
berbagai landasan keyakinan tradisional dan nilai-nilai dalam bidang Teknologi
Pembelajaran. Dalam perspektif post-modern, bahwa teknologi pembelajaran
sebagai suatu kiat sekaligus sebagai ilmu. Hlynka (1991) menjelaskan bahwa post-modern
adalah suatu cara berfikir yang menjunjung prinsip keanekaragaman, temporal dan
kompleks, dari pada bersifat universal, stabil dan sederhana. Banyak implikasi
filsafat post-modern untuk praktek dan teori desain sekarang ini, terutama
tentang orientasi pemikiran yang menggunakan paradigma desain baru, dan tidak
bersandarkan pada model desain yang sistematis. Filsafat post-modern lebih
menyenangi pada hal-hal yang bersifat terbuka dan fleksibel, dari pada hal-hal
yang tertutup, terstruktur dan kaku (Hlynka, 1991). Kekuatan teknologi
pembelajaran memang terletak pada teknologi itu sendiri. Kemajuan dalam
teknologi akan banyak merubah hakekat praktek dalam bidang teknologi
pembelajaran. Teknologi telah memberikan prospek munculnya stimulus yang
realistik, memberikan akses terhadap sejumlah besar informasi dalam waktu yang
cepat, menghubungkan informasi dan media dengan cepat, dan dapat menghilangkan
jarak antara pengajar dan pembelajar (Hannfin, 1992).
Perancang yang terampil dan kreatif dapat menghasilkan
produk pembelajaran yang dapat memberikan keunggulan dalam mengintegrasikan
media, menyelenggarakan pengemdalian
atas pembelajar yang jumlahnya hampir tidak terbatas serta mendesain kembali untuk kemudian disesuaikan
kebutuhan, latar belakang dan lingkungan kerja setiap individu.
Teknologi, disamping berfungsi menyediakan berbagai
kemungkinan tersedianya media pembelajaran yang lebih bervariasi, juga dapat
mempengaruhi praktek di lapangan dengan digunakannya sarana berbasis komputer
dalam mendukung tugas perancangan.
Aplikasi Terus
Berkembang
Aplikasi teknologi pembelajaran berkembang sesuai dengan
tuntutan dan perubahan. Dalam pendidikan khususnya pembelajaran akan berkembang
aplikasi teknologi pembelajaran berbasis modern. Hal itu wajar karena teknologi
pembelajaran harus up to date. Meski demikian teknologi aplikasi pembelajaran
yang semakin canggih dan modern itu akan menjadikan produk media komputer meraup untung yang sangat
besar. Termasuk para penyedia teknologi dan perangkat-perangkat lunaknya juga
ikut menikmati keuntungan dan profit pengembangan aplikasi model belajar pada
abad 21. Sementara penyedia jaringan listrik (PLN) mendapatkan untung dari
sumber daya listrik yang digunakan oleh para konsumen.