Kamis, 10 Januari 2013
Kurikulum Bermutu dan Deep Learning
Kurikulum Bermutu dan Deep Learning
Oleh: Nelson Sihaloho
Abstrak:
Kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) diberlakukan untuk memberikan kewenangan kepada guru ataupun sekolah untuk menyusun sendiri kurikulum dengan tetap mengacu pada standar nasional pendidikan (KTSP).
Kurikulum bermutu akan melahirkan siswa bermutu. Kewenangan yang diberikan oleh pemerintah pusat harus dimanfaatkan oleh semua pihak khususnya para guru untuk membuktikan kompetensi profesionalismenya.
Selain itu kurikulum yang disusun akan menggambarkan suatu kedalam isi (SI), kompetensi dasar (KD) sehingga standar kelulusan siswa (SKL) akan dapat terukur, akuntabel dan berbanding lurus dengan prestasi anak didik.
Kurikulum yang disusun hendaknya mampu menciptakan suasanan belajar yang mendalam (deep learning) sehingga inovasi kurikulum yang berkelanjutan akan memberikan kontribusi terhadap pendidikan bermutu.
Hasil penelitian dan pengamatan menunjukkan bahwa kurikulum bermutu dan deep learning ada hubungan yang signifikan antara keduanya.
Kata kunci : kurikulum, deep learning.
Pendahuluan
Pembaharuan sistem pendidikan kita memasuki era baru. Kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) yang diberlakukan sejak beberapa tahun silam memberikan pencerahan maupun suasana yang beru terhadap para pendidik untuk menyusun sendiri kurikulum yang menjadi bidang tugas pokoknya.
Meski demikian pembaharuan kurikulum sering dikaitkan adanya perubahan sistem politik. Berbagai kepentingan yang termasuk masuk di dalamnya menimbulkan lebih banyak ”penolakan” terhadap adanya perubahan itu.
Mengutip pendapat Fullan (2001) ”The New Meaning of Educational Charge” mengatakan bahwa akan timbul perbedaan persepsi antara pemegang kebijakan dan pelaku kebijakan untuk setiap perubahan pada sektor pendidikan. Dari sisi pemegang kebijakan, terdapat asumsi dasar bahwa guru cenderung kurang menyukai adanya perubahan. Umumnya pemegang kebijakan kurang memahami kenyataan-kenyataan yang terjadi pada saat dilaksanakannya proses pembelajaran.
Bennie dan Newstead (1999) juga menguraikan ada beberapa faktor yang menyebabkan timbulnya kendala dalam implementasi kebijakan pendidikan apabila dikaitkan dengan kurikulum.
Beberapa faktor itu adalah waktu, harapan-harapan dari pihak orangtua, minimnya buku-buku pelajaran pada saat implementasi kurikulum baru dilaksanakan serta kurang jelasnya konsep kurikulum dan pengetahuan.
Charles dan Jones (1973) juga mengungkapkan bahwa, setiap perubahan pada sektor pendidikan seharusnya diikuti dengan upaya mengamati berbagai bentuk operasional dilapangan sebagai tindak lanjut dan implementasi dari kebijakan. Banyak kendala yang harus diantisipasi agar tidak menimbulkan masalah yang besar dan kompleks khususnya dalam bidang pendidikan itu sendiri.
Hargreaves ( 1995) juga menyatakan seringkali terjadi bahwa implementasi suatu kurikulum baru tidak diikuti dengan pengimbangan kemampuan guru dan tindakan bagaimana meningkatkan guru-guru sebagai ujung tombak dalam impelemtasi kurikulum.
Hal tersebut juga didukung oleh Fennema dan Franke (1992) bahwa kemampuan baik secara keterampilan dan pengetahuan seorang guru akan mempengaruhi prose pembelajaran di kelas dan menentukan sejauh mana kurikulum dapat diterapkan. Studi yang dilakukan oleh Taylor dan Vinjevold (1999) mengungkapkan bahwa kegagalan implementasi kurikulum disebabkan oleh rendahnya pengetahuan konseptual guru, kurang penguasaan terhadap topik yang diajarkan dan kesalahan interpretasi dari apa yang tertulis dalam dokumen kurikulum.
Menurut Middleton (1999) juga menyatakan bahwa, berhasil tidaknya implementasi kurikulum yang diperbarui cenderung ditentukan oleh persepsi atau keyakinan yang dimiliki oleh tenaga pengajar atau guru. Bennie dan Newstead (1999) menyarankan untuk diadakannya penataran bagi guru secara intensif untuk dapat memahami filosofi dan substansi dari kurikulum yang baru.
Laporan UNDP tahun 2006 menunjukkan Human development Indeks (HDI) Indonesia berada pada posisi 108 dari 109 negara bahkan disinyalir Indonesia sudah berada dibawah negara Vietnam.
Untuk menjawab tantangan peningkatan mutu pendidikan diperlukan inovasi kurikulum yaitu kurikulum bermutu. Inovasi kurikulum dilakukan untuk menjadikan siswa sebagai subjek dan siswa didorong untuk menemukan sendiri apa yang mereka pelajari. Dalam kondisi inilah deep learning (belajar mendalam) akan dialami oleh siswa sebagai bentuk implementasi siswa sebagai subjek.
Maka usaha yang perlu dilakukan adalah perbaikan kurikulum (inovasi kurikulum) melalui inovasi dokumen, inovasi pengembangan dan inovasi praktek kurikulum di dalam kelas. Seperti perubahan pola pembelajaran di dalam kelas dari traditional rote learning menjadi inquiry based learning.
Sebagaimana menurut Joyce & Weil, 1991:198, inquiry adalah “designed to bring students directly into scientific process through exercise that compress the scientific process into small periods of time” . Inquiry adalah pola dan pendekatan pembelajaran dengan meletakkan siswa sebagai subjek dan harus didorong menemukan sendiri apa yang sedang mereka pelajari. Inquiry based learning, dikenal ada level dalam proses pemebelajaran, yaitu surface learning (belajar dangkal) dan deep learning (belajar mendalam). Inquiry based learning akan berkorelasi dengan Deep learning .
Menurut Marton&Saljo (1976) mengidentifikasi dua level proses belajar yang dinamakan “surface process” dan “deep process”. Lebih lanjut kedua ahli menyimpulkan surface level process ditandai bila siswa hanya belajar text itu sendiri atau hanya melalui proses menghafal. Deep level process siswa belajar menangkap arti dari materi yang sedang dipelajari, belajar untuk mengerti dan mengidentifikasi hubungan antar konsep dan variable-variabel yang dipalajari.
Brown&Atkin (1991) juga membedakan proses belajar siswa atas dua yaitu “surface learning” dan “deep learning”. Deep learning ditandai oleh proses keaktifan siswa untuk mmenemukan arti dan pengertian terhadap materi yang sedang dipelajari, sedangkan surface learning ditandai oleh proses menghafal materi yang sedang dipelajari.
Biggs (1988: 130) menegaskan “ deep learning is used by many the more successful students in high school and university, they search for structure and meaning and do so while organizing their time and context optimally”.
Artinya deepapproach to learning sangat penting dilakukan untuk meningkatkan keterlibatan siswa secara fisik dan mental dalam proses pembelajaran. Keterlibatan mental siswa secara mendalam dalam operasi berfikir, menganalisa, mensintesa hingga pada tahap menemukan apa yang dituntut oleh tujuan pembelajaran kompetens/ materi yang sedang dipelajari akan meningkatkan pengauasaan materi pelajaran secara tingkat tinggi.
Ryan (1974) mengatakan keterlibatan siswa dalam proses pembelajaran tingkat tinggi (higer involvement) adalah suatu yang sangat penting untuk mewujudkan hasil belajar yang lebih tinggi.
Untuk mewujudkan pendekatan belajar mendalam (deep learning approach) harus melakukan proses pembelajaran berbasis riset. Menurut Gay, 1992:7, riset (research) “ is the formal, systematic application of scientific methods to the study of problems”. Belajar dengan melakukan penelitian atau setidak-tidaknya memakai pola pemikiran riset dalam pembelajaran akan membawa anak didik ke dalam proses belajar mendalam.
Untuk melaksanakan pola pembejalaran berbasis riset maka, minimal ada lima langkah yang harus ditempuh dalam proses pembelajaran. Ke lima langkah itu adala, ada masalah yang merupakan masalah penelitian, mengajukan hipotesis, mengumpulkan data melalui prosedur dan tehnik yang tepat, mengolah data dengan tehnik yang tepat serta menguji hipotesis untuk mengambil kesimpulan.
Menurut Bari Djamarah (1994:21) belajar merupakan suatu aktivitas yang dilakukan secara sadar untuk mendapatkan sejumlah kesan dari bahan yang telah dipelajari. James O. Wittaker menyatakan belajar dapat didefinisikan sebagai proses dimana tingkah laku ditimbulkan atau diubah melalui latihan atau pengalaman. Sedangkan Cronbach menyatakan belajar yang efektif adalah melalui penglaman. Lebih lanjut Howard L. Kingsley menyatakan belajar adalah proses dimana tingkah laku (dalam arti luas) ditimbulkan atau diubah melalui praktek dan latihan sebagaimana dikutip (dalam Dalyono, 2006: 104).
Dari beberapa pendapat para ahli tentang pengertian belajar adalah suatu kegiatan yang dilakukan dengan melibatkan 2 unsur yaitu jiwa dan raga. Gerak raga yang ditunjukkan harus sejalan dengan proses jiwa untuk mendapatkan perubahan sebagai hasil dari proses belajar. Sehingga dilihat dari pengertian prestasi dan belajar tersebut maka dapat diambil kesimpulan prestasi belajar adalah hasil yang diperoleh berupa kesan-kesan yang mengakibatkan perubahan. Bentuk perubahan dari hasil belajar meliputi tiga aspek, yaitu aspek kognitif, afektif dan psikomotorik.
Ranah Benjamin S. Bloom
Dalam sistem pendidikan nasional rumusan tujuan pendidikan, baik tujuan kurikuler maupun tujuan instruksional, menggunakan klasifikasi hasil belajar dari Benyamin S. Bloom yang secara garis besar membaginya menjadi tiga ranah, yakni ranah kognitif, ranah afektif, dan ranah psikomotorik. Benjamin S. Bloom itu berpendapat bahwa pengelompokkan tujuan pendidikan itu harus senantiasa mengacu kepada tiga jenis domain (daerah binaan atau ranah) yang melekat pada diri peserta didik, yaitu ranah proses berfikir (cognitive domain), ranah nilai atau sikap (affective domain) serta ranah keterampilan (psychomotor domain).
Ranah kognitif adalah ranah yang mencakup kegiatan mental (otak). Ranah kognitif berhubungan dengan kemampuan berfikir, termasuk didalamnya kemampuan menghafal, memahami, mengaplikasi, menganalisis, mensintesis, dan kemampuan mengevaluasi. Dalam ranah kognitif itu terdapat enam aspek atau jenjang proses berfikir, mulai dari jenjang terendah sampai dengan jenjang yang paling tinggi. Keenam jenjang atau aspek itu adalah pengetahuan/hafalan/ingatan (knowledge), pemahaman (comprehension), penerapan (application), analisis (analysis), sintesis (syntesis) serta penilaian/penghargaan/evaluasi (evaluation).
Menurut Taksonomi Bloom (Sax ,1980), kemampuan kognitif adalah kemampuan berfikir secara hirarki yang terdiri dari pengetahuan, pemahaman, aplikasi, analisis, sintesis dan evaluasi.
Ranah afektif adalah ranah yang berkaitan dengan sikap dan nilai. Ranah afektif mencakup watak perilaku seperti perasaan, minat, sikap, emosi, dan nilai. Ranah afektif menjadi lebih rinci lagi ke dalam lima jenjang, yaitu receiving, responding, valuing, organization and characterization by evalue or calue complex.
Menurut Andersen (1981:4) menyatakan bahwa pemikiran atau perilaku harus memiliki dua kriteria untuk diklasifikasikan sebagai ranah afektif. Kedua, perilaku harus tipikal perilaku seseorang. Kriteria lain yang termasuk ranah afektif adalah intensitas, arah, dan target. Ada 5 tipe karakteristik afektif yang penting berdasarkan tujuannya, yaitu sikap, minat, konsep diri, nilai, dan moral.
Menurut Fishbein dan Ajzen (1975) sikap adalah suatu predisposisi yang dipelajari untuk merespon secara positif atau negatif terhadap suatu objek, situasi, konsep, atau orang. Sikap peserta didik ini penting untuk ditingkatkan (Popham, 1999). Menurut Getzel (1966), minat adalah suatu disposisi yang terorganisir melalui pengalaman yang mendorong seseorang untuk memperoleh objek khusus, aktivitas, pemahaman, dan keterampilan untuk tujuan perhatian atau pencapaian. Menurut Smith, konsep diri adalah evaluasi yang dilakukan individu terhadap kemampuan dan kelemahan yang dimiliki. Target, arah, dan intensitas konsep diri pada dasarnya seperti ranah afektif yang lain.
Nilai menurut Rokeach (1968) merupakan suatu keyakinan tentang perbuatan, tindakan, atau perilaku yang dianggap baik dan yang dianggap buruk. Definisi lain tentang nilai disampaikan oleh Tyler (1973:7), yaitu nilai adalah suatu objek, aktivitas, atau ide yang dinyatakan oleh individu dalam mengarahkan minat, sikap, dan kepuasan. Piaget dan Kohlberg banyak membahas tentang per-kembangan moral anak. Namun Kohlberg mengabaikan masalah hubungan antara judgement moral dan tindakan moral.
Ranah psikomotor merupakan ranah yang berkaitan dengan keterampilan (skill) tau kemampuan bertindak setelah seseorang menerima pengalaman belajar tertentu. Ranah psikomotor adalah ranah yang berhubungan dengan aktivitas fisik, misalnya lari, melompat, melukis, menari, memukul, dan sebagainya. Simpson (1956) yang menyatakan bahwa hasil belajar psikomotor ini tampak dalam bentuk keterampilan (skill) dan kemampuan bertindak individu. Ranah psikomotor berhubungan dengan hasil belajar yang pencapaiannya melalui keterampilan manipulasi yang melibatkan otot dan kekuatan fisik.
Beberapa ahli banyak menjelaskan penilaian hasil belajar psikomotor. Ryan (1980) menjelaskan bahwa hasil belajar keterampilan dapat diukur melalui pengamatan langsung dan penilaian tingkah laku peserta didik selama proses pembelajaran praktik berlangsung. Tes untuk mengukur ranah psikomotorik adalah tes untuk mengukur penampilan atau kinerja (performance) yang telah dikuasai oleh peserta didik. Tes tersebut dapat berupa tes paper and pencil, tes identifikasi, tes simulasi, dan tes unjuk kerja.
Kurikulum Bermutu
Webster’s (1857), mendefenisikan kurikulum sebagai sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh oleh para siswa untuk dapat naik kelas atau mendapat ijazah. Robert Zais (1976) mengatakan kurikulum adalah sejumlah mata pelajaran atau ilmu pengetahuan yang harus ditempuh oleh siswa untuk mencapai suatu tingkat tertentu atau untuk memperoleh ijazah.
William B. Ragan (1963), Beauchamp (1964), dan Harold B. Alberti Cs. (1965) mendefinisikan kurikulum menekankan pada aspek pengalaman dan kegiatan belajar siswa. Intinya kurikulum adalah semua pengalaman dan kegiatan belajar yang direncanakan oleh (guru) sekolah dan dialami siswa, baik itu yang dilaksanakan di kelas, di halaman sekolah maupun di luar sekolah sekalipun.
Pengertian kurikulum yang lebih luas dan komprehensif dikemukakan oleh J. Lloyd Trump dan Delmas F. Miller (1973) dan Alice Miel (1945). Ketiga ahli tersebut melihat kurikulum bukan hanya berkenaan dengan mata pelajaran dan kegiatan belajar, tetapi juga menyangkut sarana prasarana, metode, waktu, sistem evaluasi, dan administrasi supervisi.
Simpulannya kurikulum dapat dilihat dari dua dimensi, yaitu kurikulum sebagai sebuah dokumen yang berisi rencana pengalaman-pengalaman belajar yang akan dipelajari dan dikuasai oleh para siswa dalam rentang waktu tertentu atau disebut dengan kurikulum tertulis (written curriculum), dan kurikulum sebagai pengalaman dan kegiatan belajar yang dialami siswa secara nyata atau yang disebut dengan kurikulum nyata (real curriculum). Untuk mengembangkan kurikulum nyata diperlukan sejumlah faktor pendukung mulai dari bahan ajar, sarana prasarana, media/sumber belajar, metode, dan sistem evaluasi. Ada sejumlah prinsip pengembangan kurikulum yang perlu diperhatikan agar kurikulum dapat dinilai bermutu yaitu prinsip relevansi, efektivitas, efesiensi serta fleksibilitas.
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dikembangkan dengan mengacu kepada sejumlah aturan perundangan mulai dari UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, PP No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, Permendiknas No. 22/2006 tentang Standar Isi, Permendiknas No. 23/2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan, Permendiknas No. 24/2006 dan No. 6/2007 tentang pelaksanaan Permendiknas No. 22 dan 23/2006.
Saat ini kita dihadapkan pada tantangan era globalisasi. Era globalsiasi ditandai dengan perubahan dalam konsep ruang dan waktu, pasar dan produksi ekonomi di negara-negara yang berbeda menjadi saling bergantung sebagai akibat dari pertumbuhan perdagangan internasional, peningkatan pengaruh perusahaan multinasional, dan dominasi organisasi semacam World Trade Organization (WTO). Kemudian terjadinya peningkatan interaksi kultural melalui perkembangan media massa (terutama televisi, film, musik, dan transmisi berita dan olah raga internasional). saat ini, kita dapat mengonsumsi dan mengalami gagasan dan pengalaman baru mengenai hal-hal yang melintasi beraneka ragam budaya, misalnya dalam bidang fashion, literatur, dan makanan serta meningkatnya masalah bersama, misalnya pada bidang lingkungan hidup, krisis multinasional, inflasi regional dan lain-lain.
Secara lebih khusus, ciri-ciri globalisasi ditandai dengan berkembangnya pertukaran kebudayaan internasional, penyebaran prinsip multi kebudayaan (multiculturalism), dan kemudahan akses suatu individu terhadap kebudayaan lain di luar kebudayaannya. Berkembangnya turisme dan pariwisata, semakin banyaknya imigrasi dari suatu negara ke negara lain, berkembangnya mode yang berskala global, seperti pakaian, film dan lain lain serta bertambah banyaknya event-event berskala global.
Untuk menciptakan pendidikan guru yang berkualitas, berdasarkan beberapa hasil penelitian Darling-Hammond. dan Bransford (Ed.) (2005: 394) menyatakan bahwa minimal ada tiga elemen penting dalam desain program pendidikan guru yang harus diperbaiki. Ketiga elemen tersebut adalah konten pendidikan guru, proses pembelajaran yang berkenaan dengan penyusunan kurikulum serta konteks pembelajaran, yang berkenaan dengan penciptaan proses pembelajaran kontekstual.
Lang dan Evans (2006: 3) secara lebih gamblang menyatakan bahwa penciptaan program pendidikan bermutu dapat didasarkan atas esensi-esensi program pendidikan guru diantaranya keberartian teori disertai pengalaman praktisnya, kerja sama antara perguruan tinggi dengan komunitas pendidikan lainnya, teori dan praktis dalam keterampilan generic dan refleksi serta diskusi tentang efektivitas keterampilan tersebut. Memberikan penekanan proses pada bagaimana cara mahasiswa belajar untuk meningkatkan kreativitas dan kemampuan berpikir kritis, kemampuan untuk mengorganisasikan pembelajaran,penerapan pendekatan konstruktivisme dalam pembelajaran, penerapan alternatif asesmen dan teori motivasi serta membangun profesionalisme berbasis penelitian
Minimal ada lima kapabilitas yang harus terus menerus dibangun guru dalam rangka mengembangkan kualitasnya (Darling-Hammond. et.al. ,1999; Nicholss, G., 2002, dan Lang dan Evans, 2006). Kelima kapabilitas itu adalah konten pengetahuan yang diajarkan, tingkat konseptualisasi, kemampuan guru dalam melaksanakan proses pembelajaran, komunikasi interpersonal dan kapabilitas ego. Kapabilitas ego berhubungan dengan usaha mengetahui diri sendiri dan usaha membangun responsibilitas diri terhadap lingkungan.
Aspek lain yang penting dalam rangka membangun kualitas guru adalah usaha mewujudkan guru sebagai peneliti. Pelaksanaan penelitian di dalam kelas merupakan upaya meningkatkan kualitas pendidik untuk menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi saat menjalankan tugasnya akan memberi kontribusi positif ganda. Kontribusi itu adalah peningkatan kemampuan dalam menyelesaikan masalah pendidikan dan pembelajaran yang nyata, peningkatan kualitas isi, masukan, proses, dan hasil belajar. Peningkatan keprofesionalan pendidik, penerapan prinsip pembelajaran berbasis penelitian. (****).
(Dihimpun dari berbagai sumber dan rujukan : Darling-Hammond. (Ed.).1999. Teaching as the Learning Profession. San Francisco: Jossey-Bass Publishing, License to Teach. San Francisco: Jossey-Bass Publishing, Preparing Teachers for a Changing World. San Francisco: Jossey-Bass Publishing, 2005, Powerful Teacher Education. San Francisco: Jossey-Bass Publishing, 2006, etc)
Karakteristik Karya Tulis Ilmiah
Karakteristik Karya Tulis Ilmiah
Oleh : Nelson Sihaloho
Salah satu yang menjadi isu-isu penting saat ini adalah banyaknya guru yang tidak mampu mengembangkan pengembangan profesi berkelanjutan. Sudah menjadi rahasia umum meskipun saat ini banyak guru yang telah lulus sertifikasi guru dan diberikan sertifikat (guru profesional) diduga banyak guru yang “kurang layak” mendapatkan “guru profesional” apabila melihat kinerja pengembangan profesi berkelanjutannya. Karena itu tradisi ilmiah dikalangan guru sudah semestinya menjadi fokus perhatian para kepala sekolah untuk mengembangkan tradisi ilmiah disekolah yang dipimpinnya.
Guru juga harus membiasakan dan mencontohkan peserta didik untuk menulis. Tradisi ilmiah guru dikembangkan dengan membaca, berpikir, dan menuangkan pikiran dalam bentuk tulisan.
Data dari berbagai sumber menyebutkan, dari 2,6 juta guru di Indonesia untuk guru golongan IV/b hanya 0,87 persen, guru golongan IV/c sebanyak 0,07 persen, dan golongan IV/d sebanyak 0,02 persen. Persyaratan untuk naik (ke golongan) IV/b tidak hanya cukup dengan mengumpulkan angka kredit mengajar, tetapi salah satu komponennya menulis karya ilmiah.
Salah satu kondisi guru di Indonesia yang memerlukan pengembangan lebih lanjut adalah kemampuan guru pada umumnya yang belum terbiasa dengan tradisi ilmiah, atau scientific tradition. Sebagian besar guru belum memiliki kompetensi dalam penulisan karya ilmiah. Hal ini terjadi diberbagai bidang baik tentang substansi keilmuan yang diembannya maupun tentang metode pembelajaran.
Penyebabnya antara lain karena berbagai keterbatasan yang dihadapi guru, baik dalam mengakses informasi melalui perangkat keras untuk melakukan telurus informasi maupun penguasan metode ilmiah oleh guru. Masih terdapat kelangkaan berbagai wahana atau pola pengembangan ilmu dan keterampilan guru dimana guru dapat bertukar dan berbagi informasi yang penting bagi peningkatan profesionalismenya. Kebiasaan-kebiasaan berpikir ilmiah diantara guru perlu dikembangkan dengan cara secara terus menerus membuat penelitian dan karya ilmiah.
Karya Tulis Ilmiah
Karya tulis ilmiah merupakan suatu produk dari kegiatan ilmiah. Karya tulis ilmiah merupakan suatu tulisan yang membahas suatu permasalahan. Pembahasannya dapat dilakukan berdasarkan penyelidikan, pengamatan ataupun melalui pengumpulan data yang diperoleh dalam suatu penelitian.
Karya tulis ilmiah harus menggunakan metode ilmiah yang sistematis untuk memperoleh jawaban secara ilmiah terhadap permasalahan yang akan diteliti. Banyak pakar dan ahli pendidikan mengungkapkan bahwa karya tulis ilmiah sebagai sarana komunikasi ilmu pengetahuan yang berbentuk tulisan menggunakan sistematika yang dapat diterima oleh komunitas keilmuan melalui suatu sistematika penulisan yang disepakati.
Adapun ciri-cirin suatu karya tulis ilmiah harus dapat dipertanggung jawabkan secara empirik dan objektif. Teknik penulisan ilmiah mempunyai dua aspek yaitu gaya penulisan dalam membuat pernyataan ilmiah serta teknik notasi dalam menyebutkan sumber pengetahuan ilmiah yang digunakan dalam penulisannya
Apabila dalam penelitian bahan penulisan karya tulis ilmiah mengutip pernyataan orang lain sebagai dasar atau sebagai landasan penyusunan penelitian harus disebutkan sumbernya. Pernyataan ilmiah digunakan sesuai tujuannya agar kita bisa menjelaskan suatu konsep, atau dapat digunakan sebagai premis dalam pengambilan kesimpulan pada suatu argumentasi. Pernyataan ilmiah ini berguna untuk mengidentifikasikan media komunikasi ilmiah pada media mana pernyataan itu disampaikan apakah buku, seminar, lokakarya, simposium maupun buletin. Termasuk kita bisa menegidentifikasi lembaga yang menerbitkan publikasi ilmiah, tempat dan waktu penerbitan.
Cara kita mencantumkan ketiga hal tersebut dalam karya tulis ilmiah disebut teknik notasi ilmiah.
Karya tulis ilmiah merupakan karya tulis yang menyajikan fakta dan ditulis dengan menggunakan metode penulisan yang baku. Hal-hal yang harus ada dalam karya ilmiah adalah karya tulis ilmiah memuat gagasan ilmiah lewat pikiran dan alur pikiran, keindahan karya tulis ilmiah terletak pada bangun pikir dengan unsur-unsur yang menyangganya, alur pikir dituangkan dalam sistematika dan notasi, karya tulis ilmiah terdiri dari unsur-unsur: kata, angka, tabel, dan gambar, yang tersusun mendukung alur pikir yang teratur, karya tulis ilmiah harus mampu mengekspresikan asas-asas yang terkandung dalam hakikat ilmu dengan mengindahkan kaidah-kaidah kebahasaan serta karya tulis ilmiah terdiri dari serangkaian narasi (penceritaan), eksposisi (paparan), deskripsi (lukisan) dan argumentasi (alasan). (Dirjen PMPTK, Depdiknas, 2008 tentang Penulisan Karya Ilmiah).
Menurut,et.al,2008 mengungkapkan bahwa metode penelitian yang digunakan untuk mengungkapkan pemecahan masalah memiliki pengertian diantarnya penelitian adalah usaha yang sistematik dan terorganisasi untuk menyelidiki masalah spesifik yang memerlukan pemecahan, cara ilmiah yang digunakan untuk mendapatkan data dengan tujuan tertentu, cara ilmiah dilandasi oleh metode rasional dan metode empiris serta metode kesisteman, penelitian meliputi proses pemeriksaan, penyelidikan, pengujian dan eksperimen yang harus diilakukan secara sistematik, tekun, kritis, objektif, dan logis serta penelitian dapat didefinisikan sebagai pemeriksaan atau penyelidikan ilmiah sistematik, terorganisasi didasarkan data dan kritis mengenai masalah spesifik yang dilakukan secara objektif untuk mendapatkan pemecahan masalah atau jawaban dari masalah tersebut.
Intinya, metode penulisan karya tulis ilmiah mengacu pada metode pengungkapan fakta yang biasanya berasal dari hasil penelitian dengan berbagai metode yang digunakan. Karya tulis ilmiah dapat juga disebut sebagai laporan hasil penelitian. Laporan hasil penelitian ditulis sesuai dengan tujuan laporan tersebut dibuat atau ditujukan untuk keperluan yang dibutuhkan. Laporan hasil penelitian dapat ditulis dalam dua macam, yaitu sebagai dokumentasi dan sebagai publikasi. Perbedaan kedua karya tulis ilmiah ini terletak pada format penulisan. Karya tulis ilmiah sebagian besar merupakan publikasi hasil penelitian. Dengan demikian format yang digunakan dalam karya tulis ilmiah ini ditentukan oleh isi penelitian yang menggambarkan metode atau sistematika penelitian. Metode penelitian secara garis besar dapat dibagi dalam empat macam.yaitu yang disusun berdasarkan hasil penelitian kuantitatif, hasil penelitian kualitatif, hasil kajian pustaka, dan hasil kerja pengembangan.
Adapun persyaratan karya tulis ilmiah menurut et.al (2008) yaitu karya tulis ilmiah menyajikan fakta objektif secara sistematis atau menyajikan aplikasi hukum alam pada situasi spesifik, karya tulis ilmiah ditulis secara cermat, tepat, benar, jujur dan tidak bersifat terkaan. Dalam pengertian jujur terkandung sikap etik penulis ilmiah yakni mencantukan rujukan dan kutipan yang jelas. Karya tulis ilmiah disusun secara sistematis setiap langkah direncanakan secara terkendali, konseptual dan procedural, karya tulis ilmiah menyajikan rangkaian sebab-akibat dengan pemahaman dan alasan yang indusif yang mendorong pembaca untuk menarik kesimpulan. Karya tulis ilmiah mengandung pandangan yang disertai dukungan dan pembuktian berdasarkan suatu hipotesis serta Karya tulis ilmiah hanya mengandung kebenaran faktual sehingga tidak akan memancing pertanyaan yang bernada keraguan. Penulis karya ilmiah tidak boleh memanipulasi fakta, serta tidak bersifat ambisius dan berprasangka, penyajian tidak boleh bersifat emotif. Intinya dalam menulis karya ilmiah memerlukan persiapan yang dapat dibantu dengan menyusun kerangka tulisan.
Penelitian Tindakan Kelas
Banyak guru saat ini kesulitan dalam melakukan penelitian tindakan kelas (PTK). Bahkan berdasarkan pengalaman penulis ada guru yang melakukan PTK tidak mengusulkan judul penelitiannya kepada kepala sekolah. Lebih fatal lagi ketika guru selesai melakukan PTK laporan PTK hanya berupa laporan-laporan seperti tabel-tabel dan berbagai bentuk laporan lainnya. Semestinya apabila seorang guru telah selesai melakukan PTK maka laporan PTK guru harus dituangkan dalam karya tulis ilmiah (KTI). Itulah sebabnya PTK menjadi acuan dasar terhadap seorang guru untuk menuangkan hasil PTK nya dalam bentuk KTI.
Berdasarkan pengalaman penulis, PTK sangat berguna untuk mengukur kinerja guru khususnya dalam pengembangan profesi berkelanjutan. Pada awalnya pada tahun 2007, penulis sangat kesulitan dalam melakukan PTK. Bahkan pengalaman penulis pada tahun 2007 berujung pada pengalaman pahit dan getirnya menuangkan PTK menjadi KTI. Sejak itu, penulis menyadari bahwa sering menulis di media seperti majalah, koran, buletin tidak menjadi jaminan bagi seorang guru mulus untuk naik pangkat. Akhirnya penulis terus melakukan perubahan belajar dan belajar secara terus menerus. Penulis akhirnya baru mendapatkan hasil yang luar biasa pada tahun 2008. Berbekal pengelaman itu akhirnya penulis rajin melakukan PTK minimal 1 buah PTK setiap tahun, sering menulis di media dan terus melakukan perbaikan metode penulisan ilmiah.
Persoalan yang sering muncul dilapangan adalah mengapa guru kurang mampu mengembangkan tugas pengembangan profesi berkelanjutan pada tugas pokok fungsinya? Contoh kecil adalah X sebagai guru bahasa Inggris mengapa X sulit melakukan PTK pada bidangnya? Padahal guru X tersebut sudah lulus sertifikasi 3 tahun silam dan dinyatakan dalam sertifikat pendidiknya Guru Profesional. Lebih ironis guru X tersebut sudah memiliki pangkat dan golongan ruang Pembina, IV/a pada tahun 2001. Dengan kondisi demikian selama kurun waktu 11 tahun mengapa tidak bisa naik pangkat. Selanjutnya relevankah sertifikat pendidiknya (Guru Profesional) dengan pengembangan profesi berkelanjutannya?.
Berdasarkan pengalaman itu sudah semestinya para guru yang kurang mampu mengembangkan profesi berkelanjutannya dan tidak naik pangkat lebih dari 6 tahun sertifikatnya perlu ditinjau ulang. Pihak Dinas Pendidikan, Lembaga Penjaminan Mutu dan LPTK Penyelenggara Sertifikasi harus melakukan review ulang atas pelaksanaan sertifikasi guru yang diduga tidak melakukan evaluasi secara menyeluruh.
Kemmis & McTaggrt, 1982, Burns, 1999 dan Reason & Bradbury, 2001, menyatakan bahwa penelitian tindakan merupakan intervensi praktik dunia nyata yang ditujukan untuk meningkatkan situasi praktis. Penelitian tindakan yang dilakukan oleh guru ditujukan untuk meningkatkan situasi pembelajaran yang menjadi tanggung jawabnya dan sering disebut dengan penelitian tindakan kelas atau PTK.
Adapun syarat-syarat PTK menurut McNiff, Lomax dan Whitehead (2003) ada delapan Pertama, anda dan kolaborator serta murid-murid harus punya tekad dan komitmen untuk meningkatkan kualitas pembelajaran dan komitmen itu terwujud dalam keterlibatan mereka dalam seluruh kegiatan PTK secara proporsional.
Kedua, anda dan kolaborator menjadi pusat dari penelitian sehingga dituntut untuk bertanggung jawab atas peningkatan yang akan dicapai. Ketiga, tindakan yang anda lakukan hendaknya didasarkan pada pengetahun, baik pengetahuan konseptual dari tinjauan pustaka teoretis, maupun pengetahuan teknis prosedural, yang diperoleh lewat refleksi kritis dan dipadukan dengan pengalaman orang lain dari tinjauan pustaka hasil penelitian tindakan), berdasarkan nilai-nilai yang diyakini kebenarannya.
Keempat, tindakan tersebut dilakukan atas dasar komitmen kuat dan keyakinan bahwa situasi dapat diubah ke arah perbaikan. Kelima, penelitian tindakan melibatkan pengajuan pertanyaan agar dapat melakukan perubahan melalui tindakan yang disadari dalam konteks yang ada dengan seluruh kerumitannya. Keenam, anda mesti mamantau secara sistematik agar anda mengetahui dengan mudah arah dan jenis perbaikan, yang semuanya berkenaan dengan pemahaman yang lebih baik terkadap praktik dan pemahaman tentang bagaimana perbaikan ini telah terjadi.
Kutujuh, anda perlu membuat deskripsi otentik objektif (bukan penjelasan) tentang tindakan yang dilaksanakan dalam riwayat faktual, perekaman video and audio, riwayat subjektif yang diambil dari buku harian dan refleksi dan observasi pribadi, dan riwayat fiksional. Kedelapan, anda perlu memberi penjelasan tentang tindakan berdasarkan deskripsi autentik tersebut di atas.
Deskripsi itu mencakup, identifikasi makna-makna yang mungkin diperoleh (dibantu) wawasan teoretik yang relevan, pengaitan dengan penelitian lain (misalnya lewat tinjauan pustaka di mana kesetujuan dan ketidaksetujuan dengan pakar lain perlu dijelaskan), dan konstruksi model (dalam konteks praktik terkait) bersama penjelasannya. Mempermasalahkan deskripsi terkait, yaitu secara kritis mempertanyakan motif tindakan dan evaluasi terhadap hasilnya, teorisasi, yang dilahirkan dengan memberikan penjelasan tentang apa yang dilakukan dengan cara tertentu.
Kesembilan, anda perlu menyajikan laporan hasil PTK dalam berbagai bentuk tulisan tentang hasil refleksi-diri, dalam bentuk catatan harian dan dialog, yaitu percakapan dengan dirinya sendiri, percakapan tertulis, yang dialogis, dengan gambaran jelas tentang proses percakapan tersebut, narasi dan cerita serta bentuk visual seperti diagram, gambar, dan grafik.
Kesepuluh, anda perlu memvalidasi pernyataan anda tentang keberhasilan tindakan anda lewat pemeriksaan kritis dengan mencocokkan pernyataan dengan bukti (data mentah), baik dilakukan sendiri maupun bersama teman (validasi-diri), meminta teman sejawat untuk memeriksanya dengan masukan dipakai untuk memperbaikinya (validasi sejawat), dan terakhir menyajikan hasil seminar dalam suatu seminar (validasi public). Perlu dipastikan bahwa temuan validasi selaras satu sama lain karena semuanya berdasarkan pemeriksaan terhadap penyataan dan data mentah. Jika ada perbedaan, pasti ada sesuatu yang masih harus dicermati kembali.
PTK berfungsi sebagai alat untuk meningkatkan kualitas pelaksanaan pembelajaran kelas. Menurut Cohen & Manion, 1980, PTK sebagai alat untuk mengatasi masalah-masalah yang didiagnosis dalam situasi pembelajaran di kelas, alat pelatihan dalam-jabatan, membekali guru dengan keterampilan dan metode baru dan mendorong timbulnya kesadaran-diri, khususnya melalui pengajaran sejawat. Alat untuk memasukkan ke dalam sistem yang ada (secara alami) pendekatan tambahan atau inovatif, alat untuk meningkatkan komunikasi yang biasanya buruk antara guru dan peneliti, alat untuk menyediakan alternatif bagi pendekatan yang subjektif, impresionistik terhadap pemecahan masalah kelas.
Meski demikian PTK memiliki kelebihan. Menurut Shumsky, 1982 kelebihannya yaitu tumbuhnya rasa memiliki melalui kerja sama dalam PTK, tumbuhnya kreativitias dan pemikiran kritis lewat interaksi terbuka yang bersifat reflektif/evaluatif dalam PTK, dalam kerja sama ada saling merangsang untuk berubah serta meningkatnya kesepakatan lewat kerja sama demokratis dan dialogis dalam PTK.
PTK juga memiliki kelemahan yaitu kurangnya pengetahuan dan keterampilan dalam teknik dasar penelitian pada anda sendiri karena terlalu banyak berurusan dengan hal-hal praktis, rendahnya efisiensi waktu karena anda harus punya komitmen peneliti untuk terlibat dalam prosesnya sementara anda masih harus melakukan tugas rutin serta konsepsi proses kelompok yang menuntut pemimpin kelompok yang demokratis dengan kepekaan tinggi terhadap kebutuhan dan keinginan anggota-anggota kelompoknya dalam situasi tertentu, padahal tidak mudah untuk mendapatkan pemimpin demikian.
Supaya PTK kita berhasil menurut Hodgkinson, 1988, syarat-syarat yang harus dipenuhi adalah kesediaan untuk mengakui kekurangan diri, kesempatan yang memadai untuk menemukan sesuatu yang baru, dorongan untuk mengemukakan gagasan baru, waktu yang tersedia untuk melakukan percobaan, kepercayaan timbal balik antar orang-orang yang terlibat dan pengetahuan tentang dasar-dasar proses kelompok oleh peserta penelitian. (Sumber: Disarikan dan dihimpun dari berbagai sumber).
LPIR Ajang Mengasah Kemampuan Siswa Meneliti
Catatan pengembangan bidang kesiswaan di sekolah
LPIR Ajang Mengasah Kemampuan Siswa Meneliti
Oleh : Nelson Sihaloho
Abstrak:
Peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) melalui pendidikan memiliki peran yang sangat strategis dalam mengembangkan potensi, watak dan peradaban bangsa.
Peningkatan kualitas SDM khususnya dilingkungan sekolah dapat dilakukan dengan melakukan penelitian dibidang IPA, IPS maupun bidang teknologi. Melalui penelitian diharapkan bakat, minat dan kemampuahn siswa akan semakin terasah serta mampu menjadikan sekolah sebagai garda terdepan dalam melakukan riset-riset ataupun penelitian.
Berbagai moment dan agenda penting yang telah menjadi kalender of event dilakukan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) seperti OSN,FO2SLN maupun Lomba Penelitian Ilmiah Remaja (LPIR) merupakan suatu kompetisi untuk meningkatkan mutu dan kualitas SDM.
Sekolah yang mampu menunjukkan prestasi apabila lolos menjadi finalis dan berhasil meraih juara akan menjadi bahan penilaian khusus pada standar nasional pendidikan (SNP) oleh instansi terkait khususnya pada indikator kinerja kunci tambahan (IKKT).
Intinya dapat disimpulkan bahwa kegiatan LPIR yang merupakan salah satu agenda penting Kemdikbud dan rutin dilakukan setiap tahun secara signifikan akan mengasah kemampuan siswa dalam bidang penelitian ataupun riset-riset.
Kata kunci: Lomba, Penelitian, Ilmiah dan Remaja.
Pendahuluan
Lomba Penelitian Ilmiah Remaja (LPIR) tingkat SD, SMP dan SMA diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah (Dirjenmandikdasmen). Khusus untuk SMP diselenggarakan oleh Direktorat Pembinaan SMP merupakan suatu ajang kompetisi karya ilmiah remaja yang diperuntukkan untuk siswa di seluruh Indonesia.
Kegiatan ini merupakan suatu upaya untuk meningkatkan mutu pendidikan terutama memotivasi siswa, guru dan sekolah untuk berperan mengikuti perkembangan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek). Peran serta siswa, guru dan sekolah secara signifikan cukup baik terbukti dnegan jumlah naskah karya ilmiah yang diterima oleh panitian setiap tahunnya terus mengalami peningkatan. Berdasarkan data dari Kemdikbud (2011) pada tahun 2006 naskah yang masuk sebanyak 754 naskah, tahun 2007 sebanyak 1134 naskah, tahun 2008 sebanyak 1051 naskah, tahun 2009 sebanyak 1332 naskah, tahun 2010 sebanyak 1105 naskah serta tahun 2011 sebanyak 1113 naskah.
Sebagaimana sumber Kemdikbud (2011) menjelaskan bahwa dengan jumlah naskah yang masuk ke pihak panitia terus mengalami peningkatan itu merupakan indikasi positif dalam upaya peningkatan mutu pendidikan terutama adanya peningkatan motivasi sekolah dan guru untuk memfasilitasi siswanya mengikuti lomba penelitian ilmiah remaja.
Fasilitasi yang dilaksanakan oleh pihak sekolah dan guru kepada siswa diharapkan menjadi salah satu pendukung pilar peningkatan mutu pendidikan yang sedang dilaksanakan oleh Kemdikbud sebagai visi dan misinya dalam pembangunan pendidikan nasional.
Meski demikian banyak hambatan yang dihadapi oleh suatu sekolah dalam mengasah bakat dan kemampuan siswa khususnya dalam bidang penelitian. Masalah yang dihadapi diantaranya khususnya sekolah Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) yang jadwalnya cukup padat.
Jadwal belajar yangdimulai pada pukul 07.15 akan berakhir dengan pukul 15.30 WIB. Berbeda dengan sekolah reguler dan sekolah standar nasional (SSN) dengan jadwal sekolah dimulai pada pukul 07.15-14.00 WIB memiliki banyak peluang dan waktu untuk mempersiapkan siswanya untuk melakukan penelitian.
Namun permasalahan yang muncul dilapangan bukan hanya pada masalah waktu, tetapi masalah lainnya adalah seperti biaya, sarana dan prasarana pendukung penelitian ditambah dengan berbagai faktor penghambat lainnya akan menjadikan sekolah khususnya para guru pendamping siswa sering mengalami kewalahan dalam mempersiapkan siswa untuk LPIR.
Pengalaman penulis selama membimbing siswa dalam LPIR banyak hambatan dan kesulitan yang harus disingkirkan agar karya penelitian siswa bisa lolos menjadi finalis. Tahun 2006 misalnya dalam lomba lingkungan hidup tingkat SMP yang dilaksanakan oleh Dirjen Mandikdasmen, Kemdinas di pusatkan di Ciawi Bogor sangat terasa bahwa karya yang lolos benar-benar qualified. Tapi dalam presentase karya ilmiah tersebut banyak yang harus diperbaiki khususnya dalam mengkaji hasil-hasil penelitian maupun dalam memaparkan hasil-hasil penelitian.
Tiga tahun kemudian pada tahun 2009 bertempat di Grand Hotel Jakarta juga demikian, hasil karya penelitian siswa yang lolos masuk finalis dipresentasekan dihadapan dewan juri penulis akui masih banyak kekurangannya.
Tahun 2011 bertempat di Hotel Solo Paragon, Surakarta, Semarang Jawa Tengah sebanyak 2 naskah karya siswa bimbingan penulis lolos masuk finalis bidang IPA dan IPS. Tatkala dipresentasekan dihadapan dewan juri ternyata setelah dilakukan pemaparan penulis mengakui masih banyak kekurangan yang harus diperbaiki baik dalam metode penelitian maupun dalam memaparkan hasil-hasil penelitian.
Berbagai permasalahan sebagaimana diuraikan diatas mengindikasikan bahwa karya penelitian yang bisa masuk finalis adalah karya-karya yang berbobot, bermutu dan memang layak masuk finalis sesuai dengan kriteria penilaian yang dilakukan oleh Tim Pusat.
Tujuan dan Hasil yang Diharapkan
Sebagaimana data Kemdikbud tahun 2011 bahwa tujuan diadakannya LPIR adalah meningkatkan apresiasi siswa terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi, meningkatkan kesadaran siswa secara dini terhadap peranan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam kehidupan serta menumbuhkan rasa ingin tahun, kreativitas dan inovasi para remaja melalui kegiatan penelitian.
Kemudian memberikan ajang komunikasi kelompok ilmiah remaja (KIR), menumbuhkembangkan suasana kompetitif yang sehat di bidang penelitian, mengembangkan iklim yang akademis untuk meningkatkan kreativitas siswa serta mengembangkan kemampuan berkomunikasi secara ilmiah.
Sedangkan hasil yang diharapkan dalam kegiatan LPIR adalah terwujudnya suasana iklim akademis disekolah melalui peningkatan kreativitas, kemampuan berkomunikasi secara ilmiah dan kepedulian terhadap permasalahan yang berkembang di masyarakat serta terpilihnya karya ilmiah siswa terbaik dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan.
Keterangan Foto: Salah satu siswa bidang lomba IPS sebelum mepresentasekan karya iliah dihadapan dewan juri di hotel Solo Paragon. Penulis ketika sedang mengikuti kegiatan “Tour Education” di Candi Borobudur yang merupakan suatu rangkaian kegiatan LPIR tahun 2011.
Pembahasan
Membimbing siswa dalam karya tulis ilmiah khususnya karya ilmiah remaja termasuk salah satu kegiatan yang paling sulit bagi setiap siswa maupun guru apalagi lolos finalis.
Berdasarkan pengalaman penulis sebagus apapun karya-karya yang dibuat oleh siswa apabila tidak pernah dilombakan ataupun dinilai oleh orang lain dapat dibuktikan bahwa karya-karya yang dikerjakan belum tentu bermutu.
Untuk membuktikan bahwa karya-karya siswa dan guru dikatakan profesional adalah melalui kompetisi dan lomba. Sekolah bermutu dan favorit adalah sekolah yang benar-benar menciptakan iklim belajar yang menyenangkan dan kondusif dalam lingkungan sekolah. “Learning is fun atau belajar menyenangkan merupakan “atmosfir keberhasilan awal” dalam melakukan riset-riset ataupun penelitian dilingkungan sekolah.
Penelitian-penelitian yang bemutu akan lahir dari lingkungan suatu sekolah apabila pihak sekolah mengimplementasikan budaya meneliti. Dengan menanamkan semangat keberhasilan dan “berpikir bisa” semua berbagai bentuk dan ragam hasil-hasil penelitian akan berkembang seiring dengan kemajuan teknologi.
Keterangan foto: Penulis bersama Diyah Budi Avriani, Juliyanti usai melapor ke pihak panitia di Hotel Solo Paragon berfoto ditempat gedung utama tempat berlangsungnya acara pembukaan LPIR tahun 2011. (foto/ist).
Belajar ataupun bekerja pada bidang-bidang yang diminati terlebih lagi didukung dengan bakat serta talenta yang sesuai, akan memberi semangat dalam mempelajari atau menjalaninya. Namun seringkali remaja memilih suatu bidang ekstra kurikuler yaitu bidang yang sedang popular, tanpa sempat mencerna terlebih dahulu dan memahami bidang yang akan dipelajari. Bakat adalah kemampuan bawaan yang merupakan potensi yang masih perlu dikembangkan atau dilatih untuk mencapai suatu kecakapan, pengetahuan dan keterampilan khusus.
Menurut John Holland, minat adalah aktivitas atau tugas-tugas yang membangkitkan perasaan ingin tahu, perhatian, dan memberi kesenangan atau kenikmatan. Minat dapat menjadi indikator dari kekuatan seseorang di area tertentu dimana siswa akan termotivasi untuk mempelajarinya dan menunjukkan kinerja yang tinggi. Bakat akan sulit berkembang dengan baik apabila tidak diawali dengan adanya minat pada bidang yang akan ditekuni.
Masa remaja merupakan masa peralihan dari masa anak ke masa dewasa. Dalam mengembangkan kompetensinya remaja tetap membutuhkan bimbingan dari orang tua dan lingkungan rumah maupun sekolah. Ada beberapa hal yang perlu dilakukan oleh guru untuk mengambangkan bakat dan minat siswa yaitusejak usia dini cernati berbagai kelebihan, ketrampilan dan kemampuan yang tampak menonjol pada anak, membantu anak dalam meyakini dan fokus pada kelebihan dirinya. Mengembangkan konsep diri positif pada anak, perkaya anak dengan berbagai wawasan, pengetahuan, serta pengalaman di berbagai bidang. Mengusahakan berbagai cara untuk meningkatkan minat anak untuk belajar dan menekuni bidang-bidang yang menjadi kelebihannya, meningkatkan motivasi anak dan melatih kemampuannya, stimulasi anak untuk meluaskan kemampuannya dari satu bakat ke bakat yang lain. Memberikan penghargaan dan pujian untuk setiap usaha yang dilakukan anak, menyediakan fasilitas atau sarana untuk mengembangkan bakat anak, mendukung anak untuk mengatasi berbagai kesulitan dan hambatan dalam mengembangkan bakatnya.
Sejalan dengan peningkatan mutu sumberdaya manusia, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) terus berupaya untuk meningkatkan mutu pendidikan. Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Pertama (Direktorat PSMP), Ditjen Mandikdasmen, telah melakukan berbagai upaya, baik pengembangan mutu pembelajaran, pengadaan sarana dan prasarana, perbaikan manajemen kelembagaan sekolah, maupun pembinaan kegiatan kesiswaan.
Peningkatan mutu diarahkan kepada guru sebagai tenaga kependidikan yang berperan sentral dan strategis dalam memfasilitasi perkembangan pribadi peserta didik di sekolah. Peningkatan mutu guru merupakan upaya mediasi dalam rangka pembinaan kesiswaan. Dalam pembinaan kesiswaan terlingkup program kegiatan yang langsung melibatkan peserta didik (siswa) sebagai sasaran, termasuk program yang melibatkan guru sebagai mediasi atau sasaran antara (tidak langsung). Sasaran akhir dari kinerja pembinaan kesiswaan adalah perkembangan siswa yang optimal, sesuai dengan karakteristik pribadi, tugas perkembangan, kebutuhan, bakat, minat dan kreativitasnya.
Pembinaan kesiswaan di sekolah merupakan tanggung jawab semua tenaga kependidikan. Setiap guru sebagai pendidik seyogianya memahami, menguasai, dan menerapkan kompetensi bidang pembinaan kesiswaan. Fungsi dan tujuan akhir pembinaan kesiswaan secara umum sama dengan fungsi dan tujuan pendidikan nasional; sebagaimana tercantum dalam Undang-undang RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Bab II, Pasal 3.
Sesuai dengan tujuan dan karakteristik materi program pembinaan kesiswaan tersebut di atas, maka strategi yang digunakan meliputi pelatihan (terintegrasi dan distrik), lokakarya, kunjungan sekolah (school visit), dan perlombaan/ pertandingan (bersifat kompetisi). Penggunaan jenis strategi harus bersifat fleksibel, artinya dapat digunakan satu strategi untuk program tertentu dan atau beberapa strategi dikombinasikan dalam pelaksanaan satu atau beberapa program, yang disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan pelaksanaan.
Penutup
Pembinaan kesiswaan berkaitan erat dengan bagaimana kita mempersiapkan siswa untuk mampu mengembangkan potensi, minat, bakatnya dengan optimal. LPIR merupakan salah satu kegiatan dalam bidang pembinaan kesiswaan dimana siswa difokuskan untuk melakukan penelitian sesuai dengan potensi, minat dan bakatnya.
Meskipun kegiatan penelitian terasa sulit namun apabila dilakukan secara berkelanjutan siswa akan mampu menjadi peneliti-peneliti muda yang berprestasi. Menciptakan iklim dan kompetisi yang sehat pada lingkungan sekolah melalui berbasis penelitian dan riset akan melahirkan siswa-siswa yang andal. Perlu dicermati bahwa dengan membudayakan iklim penelitian sejak dini pada lingkungan sekolah maka potensi bakat dan minat siswa akan tersalurkan.
Bidang kesiswaan harus mendapatkan perhatian yang serius dari pihak sekolah termasuk pengembangan kurikulum bidang pembinaan kesiswaan sehingga memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pengembangan bakat, minat dan potensi siswa. (* dihimpun dari berbagai sumber-sumber relevan).
Peningkatan Mutu Layanan BK Dalam Era Globalisasi
Peningkatan Mutu Layanan BK Dalam Era Globalisasi
Oleh: Nelson Sihaloho
Globalisasi akan mendominasi horizon persaingan dimana konsepnya telah lama digaungkan dan intensitas tantangan yang terjadi semakin dapat kita rasakan. Globalisasi itu sendiri akan memunculkan dan mensyaratkan pasar baru, produk baru termasuk mindset baru, kompetensi baru serta bisnis baru.
Perubahan terjadi demikian cepat itu memerlukan suatu kajian dan analisis yang mendalam terhadap keseimbangan lingkungan, munculnya para pesaing global, hilangnya batas-batas pasar nasional, regionalisasi perdagangan termasuk homogenisasi pelanggan.
Selain itu aturan main dalam kompetisi globalpun mensyaratkan adanya pasar yang diproteksi dan diregulasi, munculnya monopoli dan oligopoli, economies of scale, akses ke sumber finansial serta teknologi dan proses yang berkembang demikian cepat dengan mengandalkan mutu.
Demikian halnya dengan pendidikan. Munculnya berbagai tawaran kompetitif tentang mutu dan kualitas pendidikan sebagai upaya untuk menghadapi persaingan bebas dan global akan memicu kekhawatiran berbagai kalangan termasuk kalangan pendidikan.
Ke depan akan muncul competence-based assets (intellectual and social capital), dimana kreativitas, inovasi, pembelajaran organisasional dan kapabilitas strategik akan menjadi faktor utama dalam mengembangkan model-model pembelajaran berbasis global.
Hal ini dapat dimaklumi sebagai upaya untuk menghadapi persaingan bebas dan global mutlak dilakukan penyempurnaan dan harmonisasi model-model pengajaran termasuk teknologi pembelajaran berbasis mutu. Perkembangan teknologi dimana inovasi teknologi terjadi semakin cepat. Berbagai teknologi baru seperti, internet, video conferencing, networks, global paging, informasi dan analisis instan memunculkan kegiatan bisnis yang benar-benar baru. Teknologi telah membuat dunia menjadi lebih kecil, lebih dekat dan “berputar lebih cepat”. Tantangan nyata manajemen pembelajaran adalah aplikasi teknologi secara efektif dan kreatif yang menambah nilai, bukan sekadar akuisisi teknologi semata. Bisnis berbasis kompetensi akan semakin berkembang. Persaingan bisnis terjadi bukan antar produk, tetapi antar kompetensi, mindset versus mindset (Hamel & Prahalad, 1993). Pengembangan kompetensi dapat dilakukan dengan proses pelatihan (training) dan Pengembangan (development). Pembelajaran terjadi ketika konsep bertemu pengalaman melalui refleksi.
SDM yang mempunyai kapabilitas untuk belajar (ability to learn) dan berkembang (ability to develop). Ini berarti SDM tidak hanya menguasai action, tetapi juga capacity to learn (pembelajaran) dan to reflect. Pengembangan dan pengoperasian perusahaan yang akan lebih responsif terhadap nilai pelanggan (customer focus). Penciptaan nilai pelanggan adalah suatu mess (a system of interacting problems), bukan suatu masalah pemasaran, atau masalah produksi, dan sebagainya, serta tidak dapat dipenuhi hanya dengan menganalisis dan memahami nilai internal, tetapi harus dengan memadukan sistem nilai (suppliers,buyers, dan stakeholders lain) yang lebih luas.
Artinya SDM yang mempunyai kemampuan untuk melakukan sintesis (yang memerlukan daya kreatif, intuitif dan integratif), tidak hanya analisis, pemahaman multidisipliner, ketrampilan interaksi dan proses, serta berpikir ke depan.
SDM juga dituntut mempunyai kemampuan untuk menjadi pembelajar mandiri (self-learner) dan melakukan continuous learning, serta kapabilitas pengelolaan perubahan.
Menyikapi perkembangan sebagaimana diuraikan diatas guru sebagai pendidik profesional dituntut untuk memberikan pelayanan terbaik kepada siswa dalam menyikapi perkembangan yang semakin pesat itu. Termasuk peran guru Bimbingan Konseling (BK) semakin strategis.
Mutu Layanan Pembelajaran
Apabila selama ini guru BK selalu “dianak tirikan” bahkan dianggap sebagai “guru pinggiran” dan tidak memiliki kontribusi disekolah sesuai dengan aturan baru guru BK wajib masuk kelas. Guru BK memiliki tanggung jawab untuk memberikan mutu layanannya khususnya dalam layanan bimbingan pribadi, sosial, belajar dan karir. Sekolah yang tidak mengalokasikan jam pelajaran BK disekolah adalah sekolah “primitif”. Jam pelajaran BK apabila dialokasikan oeh sekolah dengan jam tatap muka maka pemberian layanan BK khususnya bimbingan pribadi, sosial, belajar dan karir akan semakin efektif. Pemberian layanan BK tidak bisa dilakukan hanya dibelakang meja. Bahkan selama ini guru BK sebagai tempat pelimpahan masalah-masalah siswa. Berdasarkan UU Guru dan Dosen guru yang lulus sertifikasi adalah guru profesional. Jika seorang guru memiliki permasalahan dengan siswanya selesaikanlah secara profesional seseuai dengan tanda sertifikasi yang ada dalam sertifikat pendidik itu. Sedapat mungkin guru mata pelajaran mengupayakan untuk tidak lagi melimpahkan masalah-masalah sepele kepada guru BK.
Dalam karir misalnya pada jenjang SMP guru BK dituntut untuk mengembangkan potensi siswa seperti psikologis siswa sehingga anak memiliki kecerdasana emosi (EQ), spritual (SQ), moral (MQ) dan adversity (AQ). Selain itu harus memberikan layanan bermutu kepada siswa agar kelak memiliki kepribadian yang dewasa termasuk mental ( entention and self humor, unifying of philosophy of live). Siswa juga harus diberikan layanan tentang interpreneuership and leadership.
Karena itu guru BK disekolah harus mengubah paradigma pelayanannya serta memberikan layanan kepada siswa tentang bagaimana menyikapi tentang persaingan global, pentingnya penguasaan aplikais teknologi komunikasi dan informasi, kemampuan belajar dan pengembangan potensi bakat dan minat siswa.
Harus mengembangkan kemampuan sintesis (daya kreatif, intuitif, integratif dan berpikir ke depan), kreatif, inovatif, manajemen berkualitas serta kemampuan untuk mengelola perubahan.
Program-program BK harus ddikembangkan dengan mengacu pada konsep berpikir ke masa depan. Guru BK dituntut untuk tidak terpaku pada program-program BK yang kaku namun harus menyesuaikan dan menyelaraskan program layanan kepada siswa sesuai dengan perkembangan zaman dan pengetahuan. Mutu layanan pembelajaran BK akan semakin dinamis dan luwes apabila difokuskan pada empat layanan yaitu bimbingan pribadi, sosial, belajar dan karir.
Tantangan Pendidikan ke depan
John F Kennedy dalam sebuah metafora menyatakan, “Change is a way of life. Those who look only to the past or present will miss the future”. Proses pendidikan tidak hanya sekadar mempersiapkan anak didik untuk mampu hidup dalam masyarakat kini, tetapi mereka juga harus disiapkan untuk hidup di masyarakat yang akan datang yang semakin lama semakin sulit diprediksi karakteristiknya.
Era globalisasi, dunia mengalami perkembangan teknologi yang dahsyat, termasuk teknologi informasi. Buah pikiran para pemikir dunia, seperti John Naisbitt, Samuel P. Huntington, Kenichi Ohmae, Francis Fukuyama, dan lain-lain.
Inovasi pendidikan merupakan upaya dasar untuk memperbaiki aspek-aspek pendidikan dalam praktiknya. Inovasi pendidikan adalah ide, barang, metode yang dirasakan atau diamati sebagai hal yang baru terhadap seseorang atau sekelompok orang (masyarakat) yang digunakan untuk mencapai tujuan tertentu dalam pendidikan atau memecahkan masalah-masalah pendidikan.
Teknologi komunikasi dan informasi yang terus berkembang cenderung akan mempengaruhi segenap bidang kehidupan temasuk bidang pendidikan dan pelatihan yang akan semakin banyak diwarnai oleh teknologi komunikasi dan informasi. Secara khusus untuk pendidikan dan pelatihan akan dirasakan adanya kecendrungan seperti bergesernya pendidikan dan pelatihan dari sistem berorientasi pada guru/dosen/lembaga ke sistem yang berorientasi pada siswa/mahasiswa/peserta didik. Tumbuh dan makin memasyarakatnya pendidikan terbuka/jarak jauh, semakin banyaknya pilihan sumber belajar yang tersedia. Diperlukannya standar kualitas global dalam rangka persaingan global serta semakin diperlukannya pendidikan sepanjang hayat (life long learning). Aplikasi teknologi komunikasi dan informasi telah memungkinkan terciptanya lingkungan belajar global yang berhubungan dengan jaringan yang menempatkan siswa di tengah-tengah proses pembelajaran, dikelilingi oleh berbagai sumber belajar dan layanan belajar elektronik. Untuk itu, sistem pendidikan konvensional seharusnya menunjukkan sikap yang bersahabat dengan alternatif cara belajar yang baru yang sarat dengan teknologi.
Teknologi informasi merupakan suatu teknologi yang digunakan untuk mengolah data, termasuk memproses, mendapatkan, menyusun, menyimpan, memanipulasi data dalam berbagai cara untuk menghasilkan informasi yang berkualitas, yaitu informasi yang relevan, akurat dan tepat waktu, yang digunakan untuk keperluan pribadi, bisnis, dan pemerintahan dan merupakan informasi yang strategis untuk mengambil keputusan.
Teknologi komunikasi merupakan perluasan dari ilmu komunikasi dengan basis teknologi seperti wireless, internet, faximille, komputer dan sebagainya. Dengan teknologi diharapkan tidak ada lagi batasan waktu/jarak dalam berkomunikasi.
Sejarah IT dan internet tidak dapat dilepaskan dari bidang pendidikan. Internet di Amerika mulai tumbuh dari lingkungan akademis (NSFNET). Demikian pula Internet di Indonesia mulai tumbuh di lingkungan akademis (UI dan ITB), dan perlu diperbanyak lagi cerita tentang manfaat internet bagi bidang pendidikan.
Adanya internet membuka sumber informasi yang tadinya susah diakses. Akses terhadap sumber informasi bukan menjadi masalah lagi. Perpustakaan merupakan salah satu sumber informasi yang mahal harganya. Adanya internet memungkinkan seseroang di Indonesia untuk mengakses perpustakaan di Amerika Serikat. Mekanisme akses perpustakaan dapat dilakukan dengan menggunakan program khusus, aplikasi telnet atau melalui web browser (Netscape dan Internet Explorer).Makalah dan penelitian dapat dilakukan dengan saling tukar menukar data melalui internet, via email, ataupun dengan menggunakan mekanisme file sharring.
Guru BK dapat memberikan layanan tanpa harus berhadapan langsung dengan siswa. Demikian pula siswa dapat memperoleh informasi dalam lingkup yang luas dari berbagai sumber melalui cyber space atau ruang maya dengan menggunakan komputer atau internet. Hal yang mutakhir adalah berkembangnya apa yang disebut “cyber teaching” atau pengajaran maya, yaitu proses pengajaran yang dilakukan dengan menggunakan internet. Istilah lain yang makin popular saat ini adalah “e-learning” yaitu suatu model pembelajaran dengan menggunakan media teknologi komunikasi dan informasi khususnya internet. Menurut Rosenberg (2001;28), e-learning merupakan satu penggunaan teknologi internet dalam penyampaian pembelajaran dalam jangkauan luas yang berlandaskan tiga criteria. Ketiga kriteria itu adalah E-learning merupakan jaringan dengan kemampuan untuk memperbaharui, menyimpan, mendistribusi dan membagi materi ajar atau informasi. Pengiriman sampai ke pengguna terakhir melalui komputer dengan menggunakan teknologi internet yang standar serta memfokuskan pada pandangan yang paling luas tentang pembelajaran di balik paradigma pembelajaran tradisional.
Saat ini e-learning telah berkembang dalam berbagai model pembelajaran yang berbasis teknologi informasi dan komunikasi seperti WBT (Web Based Training), LCC (Learner-Cemterted Classroom), CBI (Computer Based Instruction), Curricie, ACT (Adaptive Computer Testing).
Distance Learning (online) sering disebut dengan pendidikan jarak jauh. Pendidikan jarak jauh adalah sekumpulan metoda pengajaran dimana aktivitas pengajaran dilaksanakan secara terpisah dari aktivitas belajar. Pemisah kedua kegiatan tersebut dapat berupa jarak fisik, misalnya karena peserta ajar bertempat tinggal jauh dari lokasi institusi pendidikan. pemisah dapat pula jarak non-fisik yaitu berupa keadaan yang memaksa seseorang yang tempat tinggalnya dekat dari lokasi institusi pendidikan namun tidak dapat mengikuti kegiatan pembelajaran di institusi tersebut. Keterpisahan kegiatan pengajaran dari kegiatan belajar adalah ciri yang khas dari pendidikan jarak jauh sistem pendidikan jarak jauh merupakan suatu alternatif pemerataan kesempatan dalam bidang penddikan. sistem in dapat mengatasi beberapa masalah yang ditimbulkan akibat keterbatasan tenaga pengajar yang berkualitas. pada sistem pendidikan pelatihan ini tenaga pengajar dan peserta didik tidak harus berada dalam lingkungan geografi yang sama.
Cyber university atau virtual university merupakan sebuah aplikasi baru bagi internet. Cyber university atau virtual university memiliki karakteristik yang scalable, yaitu dapat menyediakan pendidikan yang diakses oleh orang banyak. Cyber university/virual university merupakan format distance learning yang memberikan gelar (degree kepada pesertanya). Menggunakan komputer dan jaringan komputer (internet) untuk melaksakan fungsinya. Perangkat cyber university/virtual university adalah: Koleksi materi dalam format digital, contoh: silabus, textbook, eBooks. Bulletin/discussion board untuk diskusi secara asinkron. Chat room untuk diskusi real-time/sinkron (tutorial/kerja kelompok). Cyber university/virtual university memiliki dampak positif yaitu dimana dengan cyber university dapat menghubungkan beberapa universitas untuk sharring resources, meningkatkan kemampuan dan kualitas bersama serta tidak adanya batasan wilayah.
Dalam sejarah peradaban manusia, setidak-tidaknya telah terjadi empat revolusi besar pada bidang teknologi pembelajaran. Revolusi pertama yakni terjadi ketika orang tua menitipkan anak kepada seorang guru untuk mendapatkan pendidikan. Revolusi kedua terjadi ketika manusia mengenal tulisan. Tulisan merupakan lambang-lambang yang disepakati bersama guna menyampaikan suatu pesan. Perkembangan budaya tulis semakin pesat saat memasuki revolusi ketiga, yakni ditemukannya mesin cetak. Mesin cetak membawa dampak yang sangat luas dalam komunikasi tulisan, yang semula buku ditulis dan disalin oleh orang perorang, maka setelah ditemukannya mesin cetak, tulisan dapat diterbitkan secara masal. Pada penghujung abad 20 terjadi revolusi yang sangat menakjubkan, yakni revolusi elektronik. Revolusi elektronik pada bidang teknologi pembelajaran dimulai sejak ditemukannya citra bergerak (motion picture) tahun 1910, siaran radio (1930), televisi pendidikan (1950), serta komputer dan internet (1980).
Awal abad 21 merupakan kelanjutan dari revolusi elektronik. Pada masa ini, dikenal berbagai istilah berkaitan dengan pembelajaran elektronik atau sering disebut elearning. Konsep elearning sendiri mencakup terminologi yang sangat luas, dari mulai pembelajaran plus elektronik sampai dengan electronic based learning. Saat ini di sekolah telah mulai diperkenalkan pemanfaatan teknologi informasi dan komunikaksi (TIK). Pendayagunaan TIK dalam pendidikan pada dasarnya adalah suatu kelanjutan proses revolusi pembelajaran yang masih belum selesai. Sejalan dengan perkembangan teknologi komputer, istilah TIK sendiri semakin identik dengan komputer, sehingga apabila disebutkan TIK maka yang dimaksud biasanya akan menunjuk kepada penggunaan komputer dan internet.
Pada blue print (cetak biru) arsitektur sekolah modern Indonesia, disebutkan terdapat tujuh peranan TIK dalam pendidikan yakni; sumber belajar, alat bantu atau media belajar, fasilitas atau sarana belajar, standard kompetensi, pendukung administrasi, pendukung sistem manajemen, dan infrastruktur kelembagaan. Sedangkan dalam proses pembelajaran sendiri, setidak-tidaknya TIK menempati 3 peranan, yakni sebagai konten pembelajaran (standard kompetensi), sebagai media pembelajaran, dan sebagai alat belajar. Atau dengan kata lain: belajar menggunakan komputer, menggunakan komputer untuk belajar, dan belajar melalui komputer.
Sejumlah penelitian membuktikan bahwa penggunaan media dalam pembelajaran menunjang efektivitas dan efisiensi proses pembelajaran. Penelitian tersebut antara lain yang dilakukan oleh Francis M. Dwyer. Hasil penelitian ini antara lain menyebutkan bahwa setelah lebih dari tiga hari pada umumnya manusia dapat mengingat pesan yang disampaikan melalui tulisan sebesar 10%, pesan audio 10%, visual 30%, audio visual 50%, dan apabila ditambah dengan melakukan maka akan mencapai 80%. Masalahnya adalah tidak semua materi pelajaran dapat dilakukan sendiri secara nyata. Penyebabnya adalah topik materi yang diajarkan sulit dilakukan (abstrak), membahayakan siswa, bahan praktek sulit didapatkan (langka), akan merusak lingkungan, dan sebagainya. Solusi yang dapat dilakukan adalah menggunakan multimedia interaktif untuk menyampaikan topik materi yang sulit dilakukan tadi. Berdasarkan hasil penelitian ini maka multimedia interaktif dapat dikatakan sebagai media yang mempunyai potensi besar dalam membantu proses pembelajaran.
Multimedia telah mengalami perkembangan konsep sejalan dengan berkembangnya teknologi pembelajaran. Ketika teknologi komputer belum dikenal, konsep multimedia sudah dikenal yakni dengan mengintegrasikan berbagai unsur media, seperti: cetak, kaset audio, video, dan slide suara. Unsur-unsur tersebut dikemas dan dikombinasikan untuk menyampaikan suatu topik materi pelajaran tertentu. Pada konsep ini, setiap unsur media dianggap mempunyai kekuatan dan kelemahan. Kekuatan salah satu unsur media dimanfaatkan untuk mengatasi kelemahan media lainnya. Misalnya, penjelasan yang tidak cukup disampaikan dengan teks tertulis seperti cara mengucapkan sesuatu maka dibantu oleh media audio.
Demikian juga materi yang perlu visualisasi dan gerak maka dibantu dengan video. Pada pertengahan dekade tahun 1980-an tatkala teknologi komputer multimedia mulai diperkenalkan, maka sejak saat itu multimedia pembelajaran berbasis komputer pun dimulai. Terdapat berbagai sebutan untuk media pembelajaran berbasis komputer seperti CAI (computer assited instruction), MPI (multimedia pembelajaran interaktif), software pembelajaran mandiri, media presentasi berbantuan komputer, multimedia pembelajaran, dll. Setiap penyebutan tentu saja mempunyai karakteristik khusus sesuai dengan yang dimaksudkan oleh pengembangnya. Bagaimana dengan gur BK siapkah kita mengembangkan multi media pembelajaran BK dalam meningkatkan mutu layanan BK. Bagaimana apabila sarana dan prasarana multi media pembelajaran BK tidak tersedia disekolah?. Tentunya akan menghambat tugas-tugas guru BK dalam meningkatkan mutu layanannya. ( disarikan dan dihimpun dari berbagai sumber).
Kreativitas Siswa dan Ketrampilan Berpikir
Kreativitas Siswa dan Ketrampilan Berpikir
Oleh: Nelson Sihaloho
Kreativitas merupakan suatu bidang kajian yang kompleks dan seringkali menimbulkan berbagai perbedaan maupun pandangan. Banyak para ahli yang mendefenisikan tentang kreativitas. Perbedaan sudut pandang tersebut menjadikan dasar dasar perbedaan dari definisi kreativitas. Definisi kreativitas tergantung pada segi penekanannya, kreativitas dapat didefinisikan kedalam empat jenis dimensi sebagai “ Four P’s Creativity” yaitu dimensi Person, Proses, Press dan Product.
Person mendefenisikan kreativitas sebagai upaya yang berfokus pada individu atau person dari individu yang dapat disebut kreatif. Guilford, 1950 menyatakan “creativity refers to the abilities that are characteristics of creative people”. Hulbeck, 1945 menyatakan “creative action is an imposing of one’s own whole personality on the environment in an unique and characteristic way”. Sedangkan
Guilford menyatakan bahwa kreativitas merupakan kemampuan atau kecakapan yang ada dalam diri seseorang dan terkait engan bakat. Adapun Hulbeck menerangkan bahwa tindakan kreatif muncul dari keunikan keseluruhan kepribadian dalam interaksi dengan lingkungannya. Persoalannya sekarang bagaimana upaya yang dapat dilakukan oleh guru ataupun lembaga pendidikan dalam meningkatkan kreativitas siswa melalui ketrampilan berpikir. Bahkan guru disekolah seringkali mengalami berbagai hambatan dalam mengakomodasi kreativitas siswa. Selain wahana, wadah dan waktu yang tidak memungkinkan dalam mengembangkan kreativitas siswa pihak sekolah dituntut untuk selalu memiliki kesiapan dalam segala hal. Tidak jarang guru Bimbingan dan Konseling (BK) disekolah dalam mengembangkan potensi,bakat, minat anak didik sering tidak mampu mengakomodasi berbagai bentuk penyaluran kreativitas siswa.
Meski demikian ketrampilan berpikir merupakan salah satu alternatif yang harus dikembangkan untuk meningkatkan kreativitas siswa disekolah maupun dalam mempersiapkan anak didik menghadapi event-event penting seperti lomba penelitian ilmiah remaja (LPIR), OSN maupun ISPO.
Pengertian Kreativitas
Kreativitas berasal dari kata sifat creative artinya pandai mencipta. Pengertian yang lebih luas, kreativitas merupakan suatu proses yang tercermin dalam kelancaran, kelenturan (fleksibilitas) dan orisinalitas berpikir. Menurut Komite Penasehat Nasional Pendidikan Kreatif dan Pendidikan Budaya, keativitas merupakan bentuk aktivitas imajinatif yang mampu menghasilkan sesuatu yang bersifat orisinal, murni, dan bermakna (Munandar, 1999). Guilford (1967) menyatakan bahwa kreativitas adalah kemampuan untuk melihat bermacam-macam kemungkinan penyelesaian terhadap suatu masalah. Bentuk pemikiran kreatif masih kurang mendapat perhatian dalam pendidikan, sebab, disekolah yang dilatih adalah penerimaan pengetahuan, ingatan, dan penalaran (berfikir logis).
Hurlock (1992) menjelaskan bahwa kreativitas merupakan proses mental yang dilakukan untuk menghasilkan sesuatu yang baru, berbeda, dan orisinal dan menekankan pada pembuatan sesuatu yang baru dan berbeda. Kreativitas juga tidak selalu menghasilkan sesuatu yang dapat diamati dan dinilai.
Sedangkan Chandra (1994) menyatakan bahwa kreativitas adalah kemampuan mental dan berbagai jenis ketrampilan khas manusia yang dapat melahirkan pengungkapan unik, berbeda, orisinal, sama sekali baru, indah, efisien, tepat sasaran dan tepat guna.
Maslow (dalam Schultz, 1991) menyatakan bahwa kreativitas disamakan dengan daya cipta dan daya khayal naif yang dimiliki anak-anak, suatu cara yang tidak berprasangka, dan langsung melihat kepada hal-hal atau bersikap asertif. Kreativitas merupakan suatu sifat yang akan diharapkan seseorang dari pengaktualisasian diri.
Munandar (1999) menguraikan bahwa kreativitas adalah kemampuan untuk membuat kombinasi baru yang berdasarkan data informasi atau unsur-unsur yang ada. Pengertian kreativitas tidak hanya kemampuan untuk bersikap kritis pada dirinya sendiri melainkan untuk menciptakan hubungan yang baik antara dirinya dengan lingkungan dalam hal material, sosial, dan psikis.
Munadi (1987) memberikan batasan kreativitas sebagai proses berpikir yang membawa seseorang berusaha menemukan metode dan cara baru di dalam memecahkan suatu masalah.
Jawwad (2004) menyatakan bahwa kreativitas adalah kemampuan berpikir untuk meraih hasil-hasil yang variatif dan baru, serta memungkinkan untuk diaplikasikan, baik dalam bidang keilmuan, kesenian, kesusastraan, maupun bidang kehidupan lain yang melimpah.
Ciri Individu Kreatif
Munandar (1999) menyatakan ciri-ciri pribadi kreatif meliputi ciri-ciri aptitude dan non-aptitude. Ciri-ciri aptitude yaitu ciri yang berhubungan dengan kognisi atau proses berpikir. Adapun cirinya adalah keterampilan berpikir lancar, berpikir luwes, berpikir orisinal, terampil memperinci (mengelaborasi), terampil menilai (mengevaluasi).
Sedangkan c iri-ciri non-aptitude merupakan ciri yang lebih berkaitan dengan sikap atau perasaan, motivasi atau dorongan dari dalam untuk berbuat sesuatu. Ciri-cirinya adalah rasa ingin tahu, bersifat imajinatif, merasa tertantang oleh kemajemukan, berani mengambil risiko serta sifat menghargai.
Menurut Guilford (dalam Nursito, 2000) menyatakan bahwa aspek-aspek kreativitas adalah, fluency, fleksibilitas, orisinalitas, elaborasi serta redefinition. Hurlock (1992) mengemukakan kondisi yang mempengaruhi kreativitas adalah waktu , kesempatan menyendiri, dorongan, sarana belajar dan bermain, lingkungan yang merangsang, hubungan orangtua, cara mendidik anak serta kesempatan untuk memperoleh pengetahuan. Menurut Kutner dan Kanto (dalam Rismiati, 2002) menyatakan faktor-faktor yang menimbulkan kreativitas yaitu lingkungan didalam rumah maupun di sekolah yang merangsang belajar kreatif. Pengaturan fisik, konsentrasi serta orangtua dan guru sebagai fasilitator.
Hurlock (1992) menyatakan kondisi yang dapat melemahkan kreativitas adalah pembatasan eksplorasi, pengaturan waktu yang terlalu ketat. Anak menjadi tidak kreatif jika terlalu diatur, dorongan kebersamaan keluarga, membatasi hayalan, penyediaan alat-alat permainan yang sangat terstruktur, sikap orang tua yang konservatif, membatasi hayalan serta orang tua yang terlalu melindungi.
Ketrampilan Berpikir
Keterampilan berpikir yang efektif merupakan suatu karakteristik yang dianggap penting oleh sekolah pada setiap jenjangnya, meskipun keterampilan berpikir jarang diajarkan oleh guru di kelas. Mengajarkan keterampilan berpikir secara eksplisit dan memadukannya dengan materi pembelajaran (kurikulum) dapat membantu para siswa untuk menjadi pemikir yang kritis dan kreatif secara efektif.
Keterampilan berpikir dapat didefinisikan sebagai proses kognitif yang dipecah-pecah ke dalam langkah-langkah nyata yang kemudian digunakan sebagai pedoman berpikir. Satu contoh keterampilan berpikir adalah menarik kesimpulan (inferring), yang didefinisikan sebagai kemampuan untuk menghubungkan berbagai petunjuk (clue) dan fakta atau informasi dengan pengetahuan yang telah dimiliki untuk membuat suatu prediksi hasil akhir yang terumuskan.
Untuk mengajarkan keterampilan berpikir menarik kesimpulan tersebut, pertama-tama proses kognitif inferring harus dipecah ke dalam suatu langkah-langkah. Adapun langkah-langkahnya adalah mengidentifikasi pertanyaan atau fokus kesimpulan yang akan dibuat, mengidentifikasi fakta yang diketahui, mengidentifikasi pengetahuan yang relevan dan telah diketahui sebelumnya serta membuat perumusan prediksi hasil akhir.
Ada tiga istilah berkaitan dengan keterampilan berpikir, yang cukup berbeda, berpikir tingkat tinggi (high level thinking), berpikir kompleks (complex thinking), dan berpikir kritis (critical thinking). Berpikir tingkat tinggi adalah operasi kognitif yang banyak dibutuhkan pada proses-proses berpikir yang terjadi dalam short-term memory. Jika dikaitkan dengan taksonomi Bloom, berpikir tingkat tinggi meliputi evaluasi, sintesis, dan analisis. Berpikir kompleks adalah proses kognitif yang melibatkan banyak tahapan atau bagian-bagian. Berpikir kritis merupakan salah satu jenis berpikir yang konvergen, yaitu menuju ke satu titik. Lawan dari berpikir kritis adalah berpikir kreatif, yaitu jenis berpikir divergen, yang bersifat menyebar dari suatu titik.
Andrew P. Jhonson dalam makalahnya “The Educational Resources Information Center (ERIC), 2002” memberikan contoh 10 keterampilan berpikir kritis dan 8 keterampilan berpikir kreatif beserta kerangka berpikirnya. Yang dimaksud dengan kerangka berpikir adalah suatu representasi dari proses kognitif tertentu yang dipecah ke dalam langkah-langkah spesifik dan digunakan untuk mendukung proses berpikir. Kerangka berpikir tersebut digunakan sebagai petunjuk berpikir bagi siswa ketika mereka mempelajari suatu keterampilan berpikir. Dalam praktiknya, kerangka berpikir tersebut dapat dibuat dalam bentuk poster yang ditempatkan di dalam ruang kelas untuk membantu proses belajar mengajar.
Jika pengajaran keterampilan berpikir kepada siswa belum sampai pada tahap siswa dapat mengerti dan belajar menggunakannya, maka keterampilan berpikir tidak akan banyak bermanfaat. Pembelajaran yang efektif dari suatu keterampilan memiliki empat komponen, yaitu identifikasi komponen-komponen prosedural, instruksi dan pemodelan langsung, latihan terbimbing, dan latihan bebas. Kendalanya pembelajaran di sekolah masih terfokus pada guru, belum student centered dan fokus pendidikan di sekolah lebih pada yang bersifat menghafal/pengetahuan faktual. Keterampilan berpikir sebenarnya merupakan suatu keterampilan yang dapat dipelajari dan diajarkan, baik di sekolah maupun melalui belajar mandiri. Yang perlu diperhatikan dalam pengajaran keterampilan berpikir ini adalah bahwa keterampilan tersebut harus dilakukan melalui latihan yang sesuai dengan tahap perkembangan kognitif anak. Tahapan-tahapannya adalah, Identifikasi komponen-komponen procedural, instruksi dan pemodelan langsung, latihan terbimbing, latihan bebas.
Prinsip-prinsip yang harus diperhatikan dalam pengajaran keterampilan berpikir disekolah adalah bahwa keterampilan berpikir tidak otomatis dimiliki siswa, keterampilan berpikir bukan merupakan hasil langsung dari pengajaran suatu bidang studi, pada kenyataannya siswa jarang melakukan transfer sendiri keterampilan berpikir ini, sehingga perlu adanya latihan terbimbing serta pengajaran keterampilan berpikir memerlukan model pembelajaran yang berpusat kepada siswa (student-centered).
Kreativitas dan Peningkatan Mutu
Sekolah yang mampu meningkatkan kreativitas dam ketrampilan berpikir siswa akan menjadi sekolah bermutu. Sesuai dengan kondisi dan tuntutan maupun perubahan dalam pelayanan pendidikan mutu saat ini harus dikedepankan. Dalam Kamus Indonesia-Inggris kata mutu memiliki arti dalam bahasa Inggris quality artinya taraf atau tingkatan kebaikan atau nilai sesuatu. Jadi mutu berarti kualitas atau nilai kebaikan suatu hal. Menuurt Juran bahwa mutu produk adalah kecocokan penggunaan produk untuk memenuhi kebutuhan dan kepuasan pelanggan. Sedangkan Crosby mendefinisikan mutu adalah conformance to requirement, yaitu sesuai dengan yang disyaratkan atau distandarkan.
Deming mendefinisikan mutu, bahwa mutu adalah kesesuaian dengan kebutuhan pasar.
Feigenbaum mendefinisikan mutu adalah kepuasan pelanggan sepenuhnya.
Menurut Garvin dan Davis menyebutkan bahwa mutu adalah suatu kondisi dinamis yang berhubungan dengan produk, manusia/tenaga kerja, proses dan tugas, serta lingkungan yang memenuhi atau melebihi harapan pelanggan atau konsumen.
Meskipun tidak ada definisi mutu yang diterima secara universal, namun dari kelima definisi diatas terdapat beberapa persamaan. Elemen-elemennya adalah bahwa mutu mencakup usaha memenuhi atau melebihi harapan pelanggan. Mutu mencakup produk, tenaga kerja, proses, dan lingkungan. Mutu merupakan kondisi yang selalu berubah (misalnya apa yang dianggap merupakan mutu saat ini, mungkin dianggap kurang bermutu pada masa mendatang).
Adapun standar-standar mutu ataupun standar produk dan jasa yaitu kesesuaian dengan spesifikasi, kesesuaian dengan tujuan dan manfaat, tanpa cacat (Zero Defects), selalu baik sejak awal. Sedangkan standar pelanggan terdiri dari kepuasan pelanggan, memenuhi kebutuhan pelanggan serta menyenangkan pelanggan.
Belajar dan berpikir merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Proses belajar dapat dianalogikan sebagai keseluruhan perjalanan mencapai satu tujuan. Sementara berpikir merupakan proses perjalanan itu sendiri, kaki mana yang harus dilangkahkan dan ke arah mana kita perlu melangkahkannya. Langkah yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan adalah dengan pola pikir yang kritis. Untuk mendapatkan hasil yang optimal dalam pembelajaranb guru harus lebih fokus untuk melatih siswa. Untuk lebih terfokus guru harus menentukan hal yang ingin anda pelajari, mengumpulkan semua sumber informasi, tanyakan asumsi dsar siswa, membuat pola sederhana atas materi yang dipelajari ,tanyakan pada siswa, kemukakan serta ujilah kemampuan siswa.
Selain itu kurikulum yang dikembangkan saat ini oleh sekolah dituntut untuk merubah pendekatan pembelajaran yang berpusat pada guru (teacher centered learning) menjadi pendekatan pembelajaran yang berpusat pada siswa (student-centered learning). Hal ini sesuai dengan tuntutan dunia masa depan anak yang harus memiliki kecakapan berpikir dan belajar (thinking and learning skils). Kecakapan-kecakapan tersebut diantaranya adalah kecakapan memecahkan masalah (problem solving), berpikir kritis (critical thinking), kolaborasi, dan kecakapan berkomunikasi. Semua kecakapan ini bisa dimiliki oleh siswa apabila guru mampu mengembangkan rencana pembelajaran yang berisi kegiatan-kegiatan yang menantang siswa untuk berpikir kritis dalam memecahkan masalah. Kegiatan yang mendorong siswa untuk bekerja sama dan berkomunikasi harus tampak dalam setiap rencana pembelajaran yang dibuatnya. Selain pendekatan pembelajaran, siswa pun harus diberi kesempatan untuk mengembangkan kecakapannya dalam menguasai teknologi informasi dan komunikasi - khususnya komputer. Literasi ICT adalah suatu kemampuan untuk menggunakan teknologi dalam proses pembelajaran untuk mencapai kecakapan berpikir dan belajar siswa. Kegiatan-kegiatan yang harus disiapkan oleh guru adalah kegiatan yang memberikan kesempatan pada siswa untuk menggunakan teknologi komputer untuk melatih keterampilan berpikir kritisnya dalam memecahkan masalah melalui kolaborasi dan komunikasi dengan teman sejawat, guru-guru, ahli atau orang lain yang memiliki minat yang sama. Aspek lain yang tidak kalau pentingnya adalah Assessmen. Guru harus mampu merancang sistem assessmen yang bersifat kontinyu – on going assessmen - sejak siswa melakukan kegiatan, sedang dan setelah selesai melaksanakan kegiatannya. Assessmen bisa diberikan diantara siswa sebagai feedback, oleh guru dengan rubric yang telah disiapkan atau berdasarkan kinerja serta produk yang mereka hasilkan. Untuk mencapai tujuan di atas, pendekatan pembelajaran yang cukup menantang bagi guru adalah pendekatan pembelajaran berbasis proyek (Project-based learning atau PBL). Di dalam mengembangkan PBL, guru dituntut untuk menyiapkan unit plan, sebagai portfolio guru dalam proses pembelajarannya. Di dalam unit plan, guru harus mengarahkan rencana proyeknya dalam sebuah Kerangka Pertanyaan berdasarkan SK/KD yang ada dalam kurikulum. CFQ atau Curriculum frame Question adalah sebagai alat untuk mengarahkan siswa dalam mengerjakan proyeknya, sehingga sesuai dengan tujuan yang telah direncakan. PBL merupakan salah satu model pembelajaran yang berpusat pada siswa yang diyakini para ahli mampu menyiapkan siswa kita untuk menghadapi dunia kerja di abad ke-21. Menurut hasil survey The Conference Board, Corporate Voices for Working Families, Partnership for 21st Century Skills, dan The Society of Human Resources Management yang dirilis pada tanggal 2 Oktober 2006 : apakah mereka siap untuk bekerja? Kecakapan paling penting untuk bisa sukses bekerja ketika lulus SMA, Etos kerja (80%), Kolaborasi (75%), Komunikasi yang baik (70%), Tanggung jawab Sosial (63%) , Berpikir kritis sertan kemampuan memecahkan masalah (58%). Kelemahan yang dimiliki siswa lulusan SMA ketika mereka diterima kerja, komunikasi menulis (81%), Kepemimpinan (73%), Etos kerja (70%), Berpikir kritis dan memecahkan masalah (70%), dan Pengarahan diri (58%). Kecakapan apa dan objek apa yang sedang tumbuh dalam lima tahun yang akan datang? Berpikir kritis (78%), ICT (77%); Kesehatan dan Kesejahteraan (76%); Kolaborasi (74%), Inovasi (74%) dan tanggung jawab finansial pribadi (72%)
Dari hasil survey di atas menunjukkan bahwa kecakapan-kecakapan yang termasuk dalam Thinking and Learning Skills (problem solving, critical thinking, collaboration, communication) menjadi kecakapan-kecakapan yang sangat penting harus dimiliki oleh siswa agar mampu bersaing dengan siswa negara lain. Semoga. (disarikan dari berbagai sumber).
Guru Profesional dan Tuntutan Pendidikan Bermutu
Guru Profesional dan Tuntutan Pendidikan Bermutu
Oleh: Nelson Sihaloho
Pendidikan berkualitas bertaraf internasional (a world class education) saat ini sudah mulai berkembang di kalangan pengelola pendidikan di pusat dan daerah. Pemerintah, sejak empat tahun terakhir sudah memperkenalkan model pengelolaan sekolah bertaraf internasional (SBI) dan sekolah mandiri (SM). Upaya pemerintah untuk meningkatkan mutu pendidikan melalui berbagai penyempurnaan sistem administrasi dan pengelolaan pendidikan patut diapresiasi. Penataan institusi (institutional building), kurikulum, dan penilaian itu hendaknya juga didukung dan dapat diselaraskan dengan program penguatan kapasitas guru (teachers capacity building) dan kepala sekolah.
Saat ini, kebutuhan akan pendidikan bermutu sudah menjadi tuntutan dalam proses pendidikan. Lembaga pendidikan mendapatkan tugas cukup berat untuk menyiapkan peserta didik yang memiliki kemampuan dan keterampilan yang dibutuhkan pada abad ke-21. Ketrampilan itu adalah teknologi informasi, berpikir kritis dan kreatif, pemecahan masalah, dan kompetensi sosial agar mereka dapat hidup dan bekerja sama untuk kesejahteraan masyarakat dunia.
Model pembinaan guru saat ini telah diarahkan pada kebutuhan dan tuntutan perubahan. Kurikulum penataran yang selama ini hanya berfokus pada pengetahuan generik diubah dan difokuskan pada penguatan substansi mata pelajaran (subject knowledge), termasuk peningkatan kemampuan guru (teachers capacity building). Berbagai kegiatan, seperti rapat-rapat sekolah/guru, konferensi, lokakarya, presentasi, forum guru mata pelajaran sejenis, belajar mandiri (independent learning), dan continuous self-reflection harus dipahami sebagai bagian dari upaya pembinaan kemampuan guru.
Sebagai fasilitator pembelajaran, guru dituntut memiliki keinginan untuk senantiasa meningkatkan pengetahuan dan keterampilannya (continuous learners).
Banyak hasil studi menunjukkan, seorang guru akan dapat bekerja secara baik dan profesional apabila yang bersangkutan memiliki beberapa kemampuan. Daintaranya menguasai mata pelajaran yang diajarkan dengan baik (academic competence). Mampu menerjemahkan kurikulum menjadi paket-paket pembelajaran, yang tersusun secara sistematis, tematis, dan menunjukkan relevansinya dengan mata pelajaran lain dan kehidupan keseharian. Mampu menyampaikan materi pembelajaran itu kepada siswa dengan menggunakan pendekatan yang menarik, inspiratif, dan menantang (methodological competence) serta memiliki kemampuan dalam berkomunikasi dengan siswanya secara baik.
Metode Pelatihan Guru
Banyak metode dan desain pelatihan guru digulirkan oleh pemerintah. Namun secar konseptual metode dan desai pelatihan maupun peningkatan kompetensi profesionalisme guru sering salah arah dan tidak menyentuh substansi penegmbangan profesionalisme guru secara berkelanjutan.
Daniels (2007) menegaskan bahwa ’the most effective programs put content at the center, focusing professional development squarely in the curriculum: on math, or science, or writing, social studies, or reading. Broader concerns such as classroom management then is quite naturally covered in the context of content learning, not vice versa’.
Desain pelatihan hendaknya juga dapat diarahkan pada upaya untuk meningkatkan pemikiran kritis (critical thinking), kemampuan komunikasi, dan pemanfaatan teknologi informasi. Dengan demikian guru, sebagai fasilitator pembelajaran, dapat merespons tuntutan perubahan dengan cepat dan tepat dimanakemampuan dan keterampilan itu haruslah disampaikan sebagai bagian dari diskusi dan pembahasan tentang mata pelajaran (content knowledge).
Pelatihan yang berkaitan dengan penguatan content knowledge dan pengelolaan kelas, guru dan pimpinan sekolah juga harus diberi keterampilan dan pengetahuan tentang bagaimana mengembangkan dan menggunakan alat ukur pendidikan dengan benar. Dukungan dan program pembinaan terhadap guru secara berkesinambungan dari pemerintah pusat dan daerah akan menjadi prasyarat utama untuk dapat menciptakan pendidikan bermutu (quality education) sebagaimana menurut Daniels, ’simply trusting that structural and learning is wishful thinking’.
Penguatan KTSP
Sebagaimana target Departemen Pendidikan Nasional (Kemdikbud) pada tahun ajaran 2009/2010, seluruh sekolah menengah harus sudah menerapkan kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP). Meski demikian membutuhkan proses yang cukup panjang untuk bisa memahami kurikulum baru itu. KTSP dikembangkan berdasarkan prinsip-prinsip berpusat pada potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta didik dan lingkungannya, beragam dan terpadu, tanggap terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni. Kemudian relevan dengan kebutuhan kehidupan, menyeluruh dan berkesinambungan, belajar sepanjang hayat serta seimbang antara kepentingan nasional dan kepentingan daerah.
Banyak kesulitan terutama akan dialami oleh para pendidik terutama para guru yang belum merasakan kurikulum berbasis kompetensi (KBK 2004).
Sebenarnya KTSP memberikan otonomi kepada pendidik dan sekolah untuk menyusun atau menjabarkan sendiri kurikulum. Semangat pemberian kekuasaan atau wewenang untuk mengembangkan kurikulum kesatuan pendidikan itu mirip dengan konsep school based curriculum development (SCBD) di Australia yang mulai diterapkan pada pertengahan 1970-an.
Karena itu program penguatan penerapan KTSP perlu dilaksanakan secara berkelanjutan. Hal yang sangat penting adalah evaluasi KTSP terhadap peningkatan mutu pendidikan. Apakah dengan diberlakukannya KTSP tersebut kualutas mutu pendidikan dan profesionalisme guru semakin meningkat. Perlu kajian lebih mendalam oleh Badan Standar Nasional Pendidikan tentang pelaksanaan KTSP dan hasilnya harus dipublikasikan kepada publik untuk mengetahui sampai sejauh mana keberhasilan penerapan KTSP itu terhadap peningkatan mutu pendidikan termasuk profesionalisme guru.
Penilaian Profesionalisme Guru Bersertifikasi
Jika tidak ada aral melintang pada tahun 2012 mendatang akan dilakukan penilaian terhadap profesionalisme guru bersertifikasi. Paling tidak para guru-guru yang pertama sekali mendapatkan tunjangan sertifikasilah yang akan dinilai kinerja dan profesionalismenya.
Menurut Nanik Setiaji (2005) menyatakan guru menjadi mata rantai terpenting yang menghubungkan antara pengajaran dengan harapan akan masa depan pendidikan di sekolah yang lebih baik.
Sumber permasalahan pendidikan di Indonesia, sebenarnya bukan hanya pada ”persoalan guru” saja, tetapi persoalan perhatian pemerintah dan masyarakat, dana, kurikulum, metologi, manajemen, pimpinan sekolah yang memiliki kemampuan profesional dan integritas dalam mengelola pendidikan. Tuntutan sumber daya pendidikan yang berkualitas dan profesional menjadi suatu keharusan pada era global, informasi dan reformasi pendidikan bahkan kita dihadapkan pada persaingan yang semakin kompetitif.
Menurut Laporan Bank Dunia (1999) bahwa salah satu penyebab makin menurunnya mutu pendidikan di Indonesia adalah “kurang profesionalnya” para kepala sekolah sebagai manajer pendidikan di tingkat lapangan.
Jurnal Education Leadership (1994) ada lima ukuran seorang guru dinyatakan profesional, yaitu, memiliki komitmen pada siswa dan proses belajarnya, secara mendalam menguasai bahan ajar dan cara mengajarkan, bertanggung jawab memantau kemampuan belajar siswa melalui berbagai teknik evaluasi, mampu berpikir sistematis dalam melakukan tugas dan menjadi bagian dari masyarakat belajar di lingkungan profesinya.
Guru saat ini dituntut untuk menguasai kemampuan akademik, pedagogik, sosial dan budaya, teknologi informasi, mampu berpikir kritis, mengikuti dan tanggap terhadap setiap perubahan serta mampu menyelesaikan masalah.
Profesi guru di abad 21 ini sangat dipengaruhi oleh pendayagunaan teknologi komunikasi dan informasi. Guru dengan kemampuan artifisialnya dapat membelajarkan siswa dalam jumlah besar, bahkan dapat melayani siswa yang tersebar di seluruh penjuru dunia. Maka muncul distributed intelligence (distributed knowledge) menuju suatu proses long life learning, learning based sebagai pengembangan sumber daya manusia.
Kemajuan teknologi informasi juga akan mempengaruhi profesionalisme dan kinerja guru. Dalam era teknologi informasi dan komunikasi guru dituntut untuk lebih inovatif dalam melaksanakan tugas profesionalismenya. Upaya peningkatan profesionalisme guru pada akhirnya memang berpulang dan ditentukan oleh guru itu sendiri. Tuntutan peningkatan kualitas profesionalisme guru, maka guru harus memahami tuntutan standar profesi yang ada, yaitu guru berupaya memahami tuntutan standar profesi yang ada dan ditempatkan sebagai prioritas utama. Sebagai profesional seorang guru harus mengikuti tuntutan perkembangan profesi secara global, dan tuntutan masyarakat yang menghendaki pelayanan yang lebih baik. Untuk memenuhi standar profesi ini, guru harus belaiar secara terus menerus sepanjang hayat, membuka diri, mau mendengar dan melihat perkembangan baru di bidangnya.
engan demikian, guru harus siap dan bersedia untuk diuji kompetensinya secara berkala untuk menjamin agar kinerjanya tetap memenuhi syarat profesional yang terus berkembang. Sebab, di masa depan dapat dipastikan bahwa profil kelayakan guru akan ditekankan kepada aspek-aspek kemampuan membelajarkan siswa yang dimulai dari merencanakan atau merancang, menganalisis, mengembangkan, mengimplementasikan dan menilai pembelajaran yang berbasis pada penerapan teknologi pendidikan.
Masalah mutu profesionalisme guru yang masih belum memadai sebagaimana diuraikan diatas memerlukan upaya peningkatan. Diperlukan upaya penilaian terhadap kinerja guru secara berkala untuk menjamin agar kinerja guru tetap memenuhi syarat profesionalisme. Wacana yang mencuat saat ini adalah adanya rencana evaluasi terhadap para guru ber- sertifikasi melalui evaluasi kinerja. Tujuannya adalah Lisensi Sertifikasi Guru yang telah melakat itu berbanding lurus dengan prestasi ataupun kinerja profesionalismenya.
Bila memang benar Pemerintah khususnya Kementerian Pendidikan Kebudayaan akan melakukan evaluasi terhadap kinerja guru sertifikasi jelas akan memberikan umpan balik terhadap penilaian kinerja guru. Guru yang kinerjanya asal-asalan diperkirakan Lisensi Sertifikasinya akan dicabut. Apalagi jika berbuat kesalahan dan melanggar kode etik akibatnya lebih fatal lagi.
Pada intinya setiap ada program baru pada akhirnya akan selalu dievaluasi. Termasuk sertifikasi gurupun kelak para guru-guru yang pertama sekali mendapatkan tunjangan sertifikasi selama 3 tahun mereka menyandang predikat guru bersertifikat akan dimintakan pertanggungjawabannya oleh negara. Kita tentu berharap adanya kegiatan evaluasi itu memberikan pencerahan dan momentum terhadap guru bahwa profesionalisme guru saat ini bukan lagi profesi asal-asalan. Pada intinya jika guru ingin profesinya dihargai dan bermartabat harus menjalankan semua kegiatan-kegiatan pengembangan profesi berkelanjutan secara bermutu. Terhadap peserta didik guru juga dituntut untuk menjunjung tinggi integritas kepribadiannya, profesionalismenya, kompetensinya serta kompetensi sosialnya.
Tidak dapat dipungkiri bahwa tuntutan profesionalisme guru dengan tuntutan pendidikan bermutu adalah saling terkait dalam menghadapi era globalisasi. Bangsa yang kompetitif adalah bangsa yang memiliki sumber daya manusia (SDM) yang andal. Kompetitifnya suatu bangsa dapat dinilai dari prestasi maupun produk-produk yang mereka produksi membanjiri pasaran-pasaran serta mereka mampu menguasai segmen pasar secara luas. Meski tantangan cukup berat kita harus optimis bahwa kita masih memiliki peluang besar untuk mampu engejar ketertinggalan kita dengan bangsa lain. Sepanjang pemerintah memiliki komitmen tinggi untuk memajukan sektor pendidikan dan meminimalisir semua persoalan-persoalan yang menghambat kemajuan pendidikan akan mampu mengungguli bangsa lain. Semoga. (disarikan dan dihimpun dari berbagai sumber).
Problematika Guru dan Persaingan Global
Problematika Guru dan Persaingan Global
Oleh: Nelson Sihaloho
Tantangan yang amat berat kini dihadapi oleh guru dalam menyiapkan kualitas sumber daya manusia (SDM) yang mampu bersaing di era global. Selain itu akibat terjadinya krisis dalam berbagai bidang kehidupan dan kenaikan harga-harga bahan kebutuhan pokok berimplikasi pada meningkatnya biaya pendidikan bahkan biaya kebutuhan guru tidak sepadan dengan gaji yang diterimanya setiap bulan dari Negara.Hasil penelitian tentang Human Development Index (HDI) yang dikeluarkan oleh UNDP 2005, Indonesia berada pada peringkat 110 dari 174 negara yang diteliti. Apabila dibandingkan dengan negara Malaysia, Filipina, Brunei apalagi dengan Singapura kita jauh tertinggal. Hal ini menunjukkan betapa rendahnya daya saing SDM Indonesia untuk memperoleh posisi kerja yang baik di tengah-tengah persaingan global yang kompetitif itu.
Berbagai usaha dan inovasi telah dilakukan untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional, antara lain melalui penyempurnaan kurikulum, pengadaan buku dan alat pelajaran, perbaikan sarana dan prasarana pendidikan, pelatihan dan peningkatan kompetensi guru, manajemen mutu sekolah, sistem SKS, dan menyiapkan sekolah unggul.Dunia pendidikan kita sedang menghadapi masalah yang demikian kompleks. Begitu kompleksnya masalah tidak jarang guru merupakan pihak yang paling sering dituding sebagai orang yang paling bertanggung jawab terhadap kualitas pendidikan. Guru merupakan salah satu komponen mikrosistem pendidikan yang sangat strategis dan banyak mengambil peran di dalam proses pendidikan secara luas bahkan komponen determinan dalam penyelenggaraan pengembangan SDM menempati posisi kunci dalam Sisdiknas.
Guru yang profesional tidak hanya menguasai bidang ilmu, bahan ajar, menguasai metode yang tepat, mampu memotivasi peserta didik, memiliki keterampilan yang tinggi dan wawasan yang luas terhadap dunia pendidikan. Guru yang profesional juga harus memiliki pemahaman yang mendalam tentang hakekat manusia, dan masyarakat. Hakikat-hakikat ini akan melandasi pola pikir dan pola kerja guru dan loyalitasnya kepada profesi pendidikan. Dalam mengimplementasikan proses belajar mengajar guru harus mampu mengembangkan budaya organisasi kelas, dan iklim organisasi pengajaran yang bermakna, kreatif dan dinamis bergairah, dialogis sehingga menyenangkan peserta didik sesuai dengan UU Sisdiknas No 20 / 2003 Pasal 40 ayat 2a.
Menurut Supriadi (1988) untuk menjadi profesional seorang guru dituntut untuk memiliki lima hal yaitu guru mempunyai komitmen pada siswa dan proses belajarnya, menguasai secara mendalam bahan/mata pelajaran yang diajarkannya serta cara mengajarnya kepada siswa. Guru bertanggung jawab memantau hasil belajar siswa melalui berbagai cara evaluasi, mampu berfikir sistematis tentang apa yang dilakukannya dan belajar dari pengalamannya serta guru harus merupakan bagian dari masyarakat belajar dalam lingkungan profesinya.
Persoalan lain yang tidak kalah pentingnya menyebabkan mutu pendidikan semakin memprihatinkan adalah kecenderungan kita mengambil konsep dari luar, tanpa mau memahami konteksnya yang lebih luas dan implikasinya yang lebih jauh. Guru-gurupun sibuk mengejar jenjang pendidikan Magister (S2) bahkan hingga S3 (Doktor) namun implementasi ilmu yang diperolehnya pada jenjang pendidikan magister dan doktor itu diduga sering sulit diimplementasikan dilapangan.Kini semakin menyeruak saja tuduhan kepada guru-guru akibatnya banyaknya dugaan penyimpangan-penyimpangan dalam dunia pendidikan kita.
Thomas L. Friedman dalam bukunya yang berjudul World is Flat pun mengatakan bahwa saat ini seluruh dunia mengalami globalisasi tahap 3.0. Peringkat global competitiveness index 2009 Indonesia yang berada di urutan 54 (Asia dan Oceania) masih ada di bawah Malaysia, Singapura, bahkan Thailand. Sejarah pendidikan di berbagai negara telah memberikan bukti kuat bahwa kompetensi seorang guru begitu mempengaruhi terhadap output yang dihasilkan. Framework berfikir bahwa sentuhan psikologis yang dimiliki oleh seorang pendidik akan membawa efek positif yang mampu mempengaruhi seorang anak didik untuk mau belajar secara intensif dan memiliki rasa percaya diri dalam beadaptasi dengan teman-temannya. Kompetensi yang dimiliki oleh seorang guru adalah tidak lahir begitu saja, namun itu diperoleh dengan proses waktu yang lama dan penggemblengan yang intensif, seperti dari banyaknya referensi yang dibaca dan luasnya experience (pengalaman) yang dimiliki.
Globalisasi
Pendidikan memegang peran penting dalam era globalisasi. Anthony Giddens dalam bukunya yang berjudul “The Global Third Way Debate” mengatakan bahwa kemakmuran ekonomi jangka panjang suatu bangsa berkaitan erat dengan kemampuannya dalam kapasitas inovasi, pendidikan dan riset seperti yang ditunjukkan oleh Jepang, China, dan Korea Selatan. Pemikiran Giddens sangat relevan apabila kita melihat kondisi pendidikan Indonesia saat ini.
Menurut hasil survei The Political and Economic Risk Consultantcy (PERC) Hongkong menempatkan mutu pendidikan Indonesia lebih rendah dibandingkan Vietnam dari 12 negara yang disurvei. Laporan studi Bank Dunia menyatakan bahwa hasil tes membaca murid kelas IV SD di Indonesia menempati peringkat terendah di Asia Timur. Hasil The Third International Mathematic and Science Study-Repeat menunjukkan prestasi belajar siswa kelas II SMP di Indonesia berada di urutan ke 32 untuk IPA dan ke 34 untuk Matematika dari 38 negara peserta studi (Rohmat, 2007). Penurunan kualitas pendidikan Indonesia juga di tegaskan oleh Laporan Bank Dunia (1999), bahwa salah satu penyebab makin menurunnya mutu pendidikan di Indonesia “kurang profesionalnya” para kepala sekolah sebagai manajer pendidikan di tingkat lapangan (Hujair, 2003).
Selain itu SDM sebagai faktor kunci dalam mengarungi era global. Ekonomi abad ke-21, yang ditandai dengan globalisasi ekonomi, merupakan suatu proses kegiatan ekonomi dan perdagangan, di mana negara-negara di seluruh dunia menjadi satu kekuatan pasar yang semakin terintegrasi dengan
tanpa rintangan batas teritorial negara. Indonesia dalam kancah persaingan global menurut World Competitiveness Report menempati urutan ke-45 atau terendah dari seluruh negara yang diteliti, di bawah Singapura (8), Malaysia (34), Cina (35), Filipina (38), dan Thailand (40). Kegiatan bisnis korporasi (bisnis corporate) di atas dapat dikatakan bahwa globalisasi mengarah pada meningkatnya ketergantungan ekonomi antarnegara melalui peningkatan volume dan keragaman transaksi antarnegara (cross-border transactions) dalam bentuk barang dan jasa, aliran dana internasional (international capital flows), pergerakan tenaga kerja (human movement) dan penyebaran teknologi informasi yang cepat. Jati diri bangsa sangat ditentukan oleh kualitas sumber daya manusia (SDM) yang ada. Untuk itu, diperlukan kader terbaik bangsa yang memiliki kecerdasan tinggi, sikap dan mental prima, daya juang dan daya saing tinggi, kemampuan handal, dan nasionalisme sejati.
Sebagaimana diamanatkan Presiden RI dalam pembukaan Konferensi Nasional Revitalisasi Pendidikan, tanggal 7 Agustus 2006, bahwa bangsa Indonesia perlu mengadakan refleksi ulang sekaligus reposisi terhadap sistem pendidikan mengingat bahwa anak-anak bangsa yang terdidik merupakan aset yang paling berharga untuk menghasilkan human capital yang berdaya saing serta mampu mengubah Indonesia dari developing country menjadi developed country.
Dunia pendidikan masih menghadapi tantangan-tantangan yang cukup mendasar yaitu masalah perluasan dan pemerataan, mutu, relevansi, daya saing pendidikan, masalah penguatan tata kelola, akuntabilitas dan pencitraan publik. Secara keseluruhan, belum membaiknya pembangunan manusia di tanah air akan melemahkan kekuatan daya saing bangsa. Ukuran daya saing ini kerap digunakan untuk mengetahui kemampuan suatu bangsa dalam bersaing dengan bangsa-bangsa lain secara global. Semakin lemah daya saing suatu bangsa akan semakin sulit untuk berkembang. Bahkan, ada indikasi bahwa daya saing yang rendah akan menyebabkan ketergantungan pada bangsa lain yang pada gilirannya akan menurunkan kapabilitas bangsa untuk mandiri dan berdaulat.
Menurut World Economic Forum 2007, ada sembilan pilar yang digunakan untuk menentukan daya saing suatu bangsa yaitu, institusi publik baik dari pemerintah maupun swasta, infrastruktur, ekonomi makro, kondisi pendidikan dan kesehatan, pendidikan tinggi, efisiensi pasar, penguasaan teknologi, jaringan bisnis serta inovasi.
Berdasarkan acuan sembilan pilar tersebut, telah disusun daya saing bangsa oleh Forum Ekonomi Dunia (World Economic Forum) tentang Indeks Daya Saing Global (Global Competitiveness Index atau GCI) tahun 2006-2007. Dalam laporan itu, posisi Indonesia berada pada peringkat ke-50 dari 125 negara. Ini menunjukkan bahwa daya saing Indonesia berada pada tingkat menengah. Di antara lima negara-negara ASEAN, peringkat Indonesia masih berada di bawah Singapura (peringkat ke-5), Malaysia (ke-26) dan Thailand (ke-35). Namun, peringkat Indonesia masih lebih baik dibanding dengan Filipina (ke-71).
Dari kondisi tersebut, Indonesia harus segera melakukan strategi baru dalam memperbaiki dan meningkatkan kualitas bangsa melalui pendidikan yang berkualitas. Sehingga diharapkan mampu menghasilkan manusia-manusia yang unggul, cerdas dan kompetitif.
Untuk itu diperlukan tiga pilar utama dalam pembangunan pendidikan nasional yaitu peningkatan pemerataan dan akses pendidikan, peningkatan mutu, relevansi dan daya saing serta manajemen bersih dan transparan sehingga masyarakat memiliki citra yang baik (good governance).
SDM Berdaya Saing Global
Indonesia dihadapkan pada persaingan yang semakin kompetitif dalam memperoleh peluang untuk menjadi bangsa yang mandiri. Keterlibatan Indonesia dalam forum Asean Free Trade Area (AFTA), Asia Pasific Economic Cooperation (APEC), General Agreement on Tariff and Trade (GATT), World Trade Organization (WTO) menunjukkan Indonesia harus mematuhi aturan yang disepakati dalam forum itu.
Karena itu diperlukan manajemen pendidikan nasional yang fleksibel, dinamis, antisipatif, dan responsive terhadap perubahan internal maupun eksternal. Penelitian dan inovasi pendidikan diharapkan member masukan terhadap penetapan kebijakan seperti pendidikan inklusif, pendidikan untuk semua (Education for All) serta pendidikan untuk Pembangunan Berkelanjutan (Education for Sustainable Development, ESD)
Pendidikan ikklusif adalah pendidikan yang berkualitas harus disediakan kepada semua anak, dengan keragaman kebutuhan belajar, gaya dan kecepatan belajar, serta berbagaikondisi anak lainnya. Termasuk di sini adalah anak berkebutuhan khusus fisik dan mental;pekerja anak dan anak jalanan;anak tinggal di daerah terpencil dan berpindah-pindah;anak dari kelompok minoritas etnis, budaya, dan bahasa;serta kelompok termarjinalkan lainnya. Pemastian kualitas pendidikan dilaksanakan melalui penyusunan kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan belajar dan kondisi anak, pengorganisasian dan strategi pembelajaran yang tepat, pemanfaatan sumberdaya belajar yang memadai dan kerjasama dengan masyarakat.(Unesco, Salamanca Framework for Action, 1994).
Komponen pendidikan untuk semua dapat dilakukan dengan memperluas dan meningkatkan keseluruhan perawatan dan pendidikan anak usia dini terutama bagi anak-anak yang sangat rawan dan kurang beruntung, menjamin bahwa pada tahun 2015 semua anak, khususnya perempuan, anak miskin dan kurang beruntung, anak-anak suku minoritas memperoleh akses dan menyelesaikan pendidikan dasar yang bermutu serta menjamin bahwa kebutuhan belajar semua anak muda dan orang dewasa terpenuhi melalui akses yang adil pada program-program belajar dan kecakapan hidup yang sesuai. (The Dakar Framework for Action dan Penilaian Paruh Dekade Pendidikan untuk Semua, Indonesia, 2007).
Selain itu (et.al) terrcapainya penurunan angka buta aksara sekitar 50 % pada tahun 2015 melalui perluasan akses dan perbaikan kinerja pendidikan keaksaraan bagi kelompok usia 15 tahun ke atas, mengurangi disparitas gender pada tingkat pendidikan dasar dan menengah pada tahun 2005 dan mencapai keadilan gender pada bidang pendidikan pada tahun 2015, dengan penekanan pad apenjaminan atas kesamaan pemenuhan akses dan prestasi anak perempuan pada pendidikan dasar yang bermutu serta meningkatkan semua aspek mutu pendidikan yang diberikan kepada semua peserta didik dan peningkatan itu tercermin pada ukuran-ukuran outcome yang dapat diandalkan, khususnya kemampuan membaca, menulis, dan berhitung,serta kecakapan untuk hidup.
Hal itu diperlukan untuk pembangunan yang berkelanjutan yang merupakan kebutuhan pada masa kini tanpa menghilangkan kemampuan dari generasi mendatang untuk dapat memenuhi kebutuhan mereka sendiri. Keselamatan manusia tidak akan terjamin tanpa pembangunan yang berkelanjutan.
Sebagaimana dipaparkan oleh Bappenas bahwa dekade pendidikan untuk pembangunan berkelanjutan 2005-2014 bertujuan untuk lebih mempromosikan pendidikan sebagai basis dari kehidupan masyarakat yang berkelanjutan dan memperkuat kerjasama internasional terhadap pengembangan inovasi kebijakan, program-progran dan pelaksanaan Education for Sustainable Development (ESD), mengintegrasikan Pembangunan Berkelanjutan kedalam Sistem Pendidikan pada semua tingkat pendidikan, menyediakan Bantuan dan dukungan Pendanaan bagi Pendidikan, Penelitian dan Program kepedulian public dan lembaga pengembangan dinegara-negara berkembang dan Negara dalam transisi ekonomi (Decade of Education for Sustainable Development (DESD), ditetapkan dalam Sidang Umum PBB tahun 2002).
Karena itu SDM berdaya saing global hanya dapat diperoleh melalui pendidikan melalui terobosan baru dengan penciptaan pengetahuan baru, pengumpulan dan pendistribusian informasi dengan cepat, penenaman kemampuan untuk secara efektif memanfaatkannya, penanaman kemampuan untuk belajar lebih lanjut, keberhasilan penyelenggaraan pendidikan dalam jangka panjang amat tergantung dari keterlibatan aktif masyarakat, masyarakat merupakan salah satu pihak yang dapat memberikan kontribusi keberhasilan pembaharuan-pembaharuan pendidikan, khususnya masyarakat lokal yang mencakup pengertian orangtua, kepala sekolah, dan guru serta peran serta masyarakat dalam menilai kebutuhan yang dihadapi sekolah dan dialog dengan para penguasa publik dan kelompok-kelompok yang berkepentingan merupakan entry point yang hakiki untuk memperluas kesempatan pendidikan, melakukan pembaharuan pendidikan, serta memperbaiki kualitas hasil pendidikan.
SDM yang kompetitif ditunjukkan dengan cirri-ciri berkepribadian unggul dan gandrung akan keunggulan, bersemangat juang tinggi, mandiri, pantang menyerah, pembangun dan pembina jejaring, bersahabat dengan perubahan, inovatif dan menjadi agen perubahan, produktif, sadar mutu, berorientasi global dan belajar sepanjang hayat. Hal demikian merupakan konsekuensi logis yang muncul dari berlangsungnya perubahan realitas kehidupan yang cepat dan berkesinambungan, dengan meninggalkan berbagai bentuk pengajaran dan pembelajaran sebagai sesuatu hal yang berdiri sendiri atau bahkan saling bersaing, sebaliknya mencoba mengembangkan tahap-tahap lingkungan modern yang bersifat saling melengkapi. Mengacu pada pentingnya melakukan pembaharuan pengetahuan yang terus-menerus, seluruh waktu hidup manusia serta di dalam kehidupan dunia dengan tingkat perubahan yang amat cepat dan situasi yang semakin mengglobal yang sedang mengubah hubungan perorangan dalam waktu dan ruang, belajar sepanjang hayat amat diperlukan untuk tetap mampu menentukan nasib sendiri dan hubungannya dengan manusia-manusia lain, lokal maupun global. (disarikan dari berbagai sumber relevan).
Langganan:
Postingan (Atom)