Jumat, 29 April 2011

Pendidikan


Catatan  Khusus Pendidikan
Reformasi Pengelolaan Pendidikan Hingga “Guru Tidak Naik Pangkat”
Oleh: Nelson Sihaloho
Kebijakan nasional tentang reformasi pengelolaan pendidikan telah disampaikan oleh Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga KependidikaN Kementerian Pendidikan Nasional pada Temu Ilmiah Nasional Guru “ Profesionalisme Guru untuk Pembelajaran yang berkualitas : Berbagi gagasan keunggulan dan pengalaman terpetik” di UTCC, Pondok Cabe pada tanggal 7 Agustus 2009 lalu.  
Sebagaimana diungkapkan oleh Bhaedowi  kebijakan nasional tentang reformasi pengelolaan pendidikan terdapat tiga pilar kebijakan yang sangat penting dipahami yaitu, perluasan dan pemerataan akses pendidikan, peningkatan mutu, relevansi dan daya saing pendidikan serta penguatan tata kelola, akuntabilitas dan citra publik pendidikan, dengan sasaran pendidikan bermutu, akuntabel, murah, merata dan terjangkau oleh rakyat banyak.
Kerangka Hukum Reformasi Pendidikan sebenarnya memiliki sejarah panjang dimulai pada tahun 1999-2002 dengan Amandemen UUD 1945 dengan ditetapkannya Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang sistem Pendidikan Nasional beserta Peraturan Pemerintah (PP) turunannya.
Kemudian pada tahun 2005-2007 ditetapkannta UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen beserta PP turunannya, Tahun 2009 tentang Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (BHP) beserta PP turunannya.
Adapun visi Pendidikan Nasional menurut UU No. 20/2003 (Sisdiknas) adalah terwujudnya sistem pendidikan sebagai pranata sosial yang kuat dan berwibawa untuk memberdayakan semua warga negara Indonesia berkembang menjadi manusia yang berkualitas sehingga mampu dan proaktif menjawab tantangan zaman yang selalu berubah.
Sejalan dengan Visi Pendidikan Nasional  itu Kementerian Pendidikan Nasional berhasrat untuk pada tahun 2025 menghasilkan Insan Indonesia Cerdas dan Kompetitif (Insan Kamil/Insan Paripurna).
Adapun misi pendidikan nasional adalah terdiri dari lima poin penting yaitu mengupayakan perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan yang bermutu bagi seluruh rakyat Indonesia, membantu dan memfasilitasi pengembangan potensi anak bangsa secara utuh sejak usia dini sampai akhir hayat dalam rangka mewujudkan masyarakat belajar, meningkatkan kesiapan masukan dan kualitas proses pendidikan untuk mengoptimalkan pembentukan kepribadian yang bermoral, meningkatkan keprofesionalan dan akuntabilitas lembaga pendidikan sebagai pusat pembudayaan ilmu pengetahuan, keterampilan, pengalaman, sikap, dan nilai berdasarkan standar nasional dan global serta  memberdayakan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan berdasarkan prinsip otonomi dalam konteks Negara Kesatuan RI.
Adapun kebijakan dan terobosan yang dilakukan oleh pemerintah adalah, pendanaan massal pendidikan, peningkatan kualifikasi  dan sertifikasi pendidik dan tenaga kependidikan  (PTK) secara massal, penerapan TIK  secara massal untuk e-Pembelajaran dan e-Administrasi, pembangunan prasarana dan sarana pendidikan secara massal, rehabilitasi prasarana dan sarana pendidikan secara massal, reformasi perbukuan secara mendasar, pningkatan mutu dan daya saing pendidikan dengan pendekatan komprehensif, perbaikan Rasio Peserta Didik SMK:SMA, Otonomisasi  Satuan Pendidikan, intensifikasi dan ekstensifikasi pendidikan nonformal dan informal untuk menggapaikan layanan pendidikan kepada peserta didik yang tak terjangkau pendidikan formal (reaching the unreached) serta penguatan tata kelola, akuntabilitas, dan citra publik pendidikan dengan pendekatan komprehensif.
Peningkatan kualifikasi dan sertifikasi pendidik dan tenaga kependidikan secara massal mengacu pada UU Nomor 14 Tahun 2005 menempatkan guru dan dosen sebagai profesi dengan syarat, guru memenuhi kualifikasi minimal S1/D4, dosen memenuhi kualifikasi minimal S2/S3, guru maupun dosen memiliki sertifikat pendidik.
Reformasi pendidik terbesar di dunia (menurut Andrew Steer) adalah sekitar + 1,75 juta guru yang belum S1/D4 harus meraih S1/D4 dalam waktu 10 thn, + 150.000 dosen yang belum S2/S3 harus meraih S2/S3 dalam waktu 10 thn, + 2,7 juta guru dan 300.000 dosen harus meraih sertifikat pendidik dalam waktu 10 thn serta  peningkatan kesejahteraan pendidik + 2 x lipat, dengan konsekuensi fiskal lebih dari Rp. 40 Triliun dalam waktu 10 thn.
Itulah sekelumit berbagai program dan reformasi pengelolaan pendidikan yang telah digulirkan oleh pemerintah khsuusnya Kementrian Pendidikan Nasional yang kini dijabat oleh M. Nuh dan Fasli Djalal.
Peningkatan mutu pendidikan dimasa mendatang harus benar-benar dilakukan sehingga bangsa Indonesia tidak tertinggal dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Mengacu pada standar UNESCO, 2001,  memiliki resep bahwa untuk meningkatkan kualitas sekolah diperlukan berbagai kebijakan, yang mencakup antara lain sekolah harus siap dan terbuka dengan mengembangkan a reactive mindset, menanggalkan “problem solving” yang menekankan pada orientasi masa lalu, berubah menuju “change anticipating” yang berorientasi pada “how can we do things differently”. Pilar kualitas sekolah adalahlLearning how to learn, learning to do, learning to be, dan learning to live together. Menetapkan standard pendidikan dengan indikator yang jelas, memperbaharui dan kurikulum sehingga relevan dengan kebutuhan masyarakat dan peserta didik. Meningkatkan pemanfaatan ICT dalam pembelajaran dan pengeloaan sekolah. Menekankan pada pengembangan sistem peningkatan kemampuan professional guru. Mengembangkan kultur sekolah yang kondusif pada peningkatan mutu. Meningkatkan partisipasi orang tua masyakat dan kolaborasi sekolah dan fihak-fihak lain serta melaksanakan Quality Assurance.
Meski demikian apabila kita melakukan refleksi pada Hari Pendidikan Nasional pada tanggal 2 Mei 2011 ini tentunya banyak kisah pilu tentang ketimpangan-ketimpangan dalam pengelolaan pendidikan. Terdapat kontras yang sangat jauh antara pengelolaan pendidikan dikawasan pedesaan dengan perkotaan. Bahkan pelayanan pendidikan yang diterima siswa miskin angkanya jauh terpaut dengan dana beasiswa pendidikan yang diterima oleh para dosen-dosen yang getol mengejar titel keluar negeri itu. Kisah pilu tentang anak-anak miskin yang menjadi pemulung yang hidup dikawasan-kawasan kumuh dan pinggiran-pinggiran kota hingga gedung-gedung reyot yang tidak direhabilitasi mengindikasikan bahwa program pembangunan pendidikan seharusnya mengacu pada fakta-fakta  dan hasil review  ke lapangan. Karena itu kedepan semua ketimpangan-ketimpangan dalam sektor pendidikan kita harus benar-benar di “blue print” sesuai dengan kondisi dan fakta yang terjadi dilapangan.
Sertifikasi, Permen PANRB
Sertifikasi Guru dan Dosen digulirkan oelh Pemerintah tujuan awalnya adalah peningkatan mutu dan kualitas pendidikan dengan sasaran apabila mutu pendidikan meningkat maka guru berhak memperoleh tingkat kesejahteraan yang lebih yaitu satu kali dari gaji pokok.
Namun dalam pelaksanaannya belum ada aturan standar dan baku yang mengatur tentang tindaklanjut tentang pemberian tunjangan sertifikasi guru dan dosen khususnya tentang kinerja. Faktor inilah yang sering menjadi celah betapa banyak aturan-aturan yang dilanggar oleh  guru yang telah lulus sertifikasi dimana kinerjanya tidak meningkat bahkan membohongi dan menabrak peraturan. Imbasnya terhadap guru-guru yang mengikuti program sertifikasi selanjutnya semakin diperketat, padahal guru-guru yang belum lulus sertifikasi tidak melakukan palnggaran tentang aturan-aturan sertifikasi itu.
Mengacu pada Peraturan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara Reformasi Birokrasi (Permen PAN-RB)  Nomor 16 Tahun 2009 telah diberlakukan aturan baru tentang sistem kenaikan pangkat guru yaitu Pengembangan Profesi Berkelanjutan. Apabila pada aturan sebelumnya guru yang naik pangkat dari IV/a ke IV/b wajib membuat karya tulis ilmiah (KTI) maka sesuai dengan Permen PAN-RB Tahun 2009 dimulai dari golongan III/b mau naik pangkat ke III/c wajib membuat karya tulis ilmiah.
Pada hari kamis (6/5-2010)  Kementerian Pendidikan Nasional (Kemdiknas) bersama Badan Kepegawaian Negara (BKN) melakukan penandatanganan peraturan bersama tentang petunjuk pelaksanaan (juklak) jabatan fungsional guru dan angka kreditnya.
Penandatanganan dilakukan oleh Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Mohammad Nuh bersama dengan Kepala BKN Edi Topo Ashari di Kemdiknas, Jakarta.
Peraturan bersama ini juga berisi juklak jabatan fungsional pengembang teknologi pembelajaran dan angka kreditnya, serta juklak jabatan fungsional pranata laboratorium pendidikan dan angka kreditnya.
Mendiknas menyampaikan, juklak ini diterbitkan guna memberikan penghargaan terhadap prestasi yang diraih. Pengakuan itu sangat penting karena ada orang yang prestasinya bagus, tetapi prestasi itu tidak diapresiasi.
Dengan diterbitkannya tiga juklak itu setidaknya sudah bisa memberikan pengakuan terhadap prestasi. Selain itu, juklak ini terkait dengan promosi dan kenaikan pangkat, tidak kalah penting pegawai bisa merencanakan karirnya.
Direktur Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan Kemdiknas Baedhowi menyampaikan, peraturan bersama ini merupakan juklak dari Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi No. 16 Tahun 2009 tentan Jabatan Fungsional Guru dan angka kreditnya. Semua yang berkaitan dengan kenaikan pangkat yang dilakukan oleh Kemdiknas harus mendapatkan pengakuan dari BKN.
Menurut Baedhowi, ada tiga hal terkait kenaikan pangkat. Pertama adalah program induksi bagi guru untuk menjadi pegawai negeri sipil (PNS). Selama satu tahun pertama, guru menjalani masa percobaan. Penilaian dilakukan oleh kepala sekolah, guru-guru dan pengawas. Bila dinyatakan baik baru bisa mengikuti prajabatan untuk diangkat menjadi PNS.
Guru yang akan naik pangkat, diwajibkan untuk menulis karya tulis ilmiah. Sebelumnya, penulisan karya ilmiah untuk naik dari golongan IVA ke IVB, namun sekarang dimulai dari golongan IIIB untuk naik pangkat ke golongan IIIC.
Pada masa pangkat tertentu guru harus mengikuti program pelatihan atau continous professional development (CPD) dan peningkatan kompetensi. Waktunya selama 180 jam dalam waktu empat tahun. Pelatihan meliputi pelatihan secara reguler, seminar, atau kegiatan-kegiatan untuk peningkatan mutu.
Banyak Mentok
Akhir-akhir ini kita sering dibuat terperanjat oleh berita-berita yang menulis tentang banyak guru PNS yang sulit sekali untuk naik pangkat. Jumlahnya sangat fantastis atau bisa dikatakan cukup banyak. Para guru PNS di tingkat DIKDASMEN sulit mencapai pangkat di atas IV/A karena kemampuan mereka membuat karya Tulis Ilmiah (KTI) masih lemah padahal membuat KTI menjadi salah satu syarat kenaikan pangkat.
Dari data Badan Kepegawaian Nasional (BKN) 2005, sekitar 1,4 juta guru berstatus PNS. Umumnya berada di pangkat III/A sampai III/D yang jumlahnya mencapai 996.926 guru. Adapun di golongan IV ada 336.601 guru, dengan rincian golongan IV/A sebanyak 334.184 guru, golongan IV/B berjumlah 2.318 guru, golongan IV/C sebanyak 84 guru dan golongan IV/D sebanyak 15 guru.
Mengapa banyak guru yang kesulitan dalam membuat sebuah karya tulis ilmiah? Hal ini disebabkan oleh belum banyak guru yang memahami dan mengenal Penelitian Tindakan Kelas (PTK) sehingga wajar saja apabila banyak guru yang mengalami kesulitan dalam pembuatan karya tulis ilmiah.
Ironisnya banyak guru-guru ditanah air yang telah menempuh jenjang pendidikan magister (S2) hingga Doktor namun tidak memiliki kemampuan dalam membuat karya tulis ilmiah. Suatu hal yang sangat bertolak belakang dengan “embel-embel” gelar yang telah mereka miliki. Patut dipertanyakan kredibilitas dari para guru-guru yang memiliki gelar S2 dan S3 itu sehingga tidak mamu naik pangkat tepat waktu. Ada beberapa tips yang bisa kita jadikan pedoman supaya guru mampu membuat KTI sebagai bahan kenaikan pangkat adalah memiliki komitmen, konsisten,bekerja keras, kerja cerdas, kerja ikhlas, kerjasama/kolaboratif, memiliki koneksi, memiliki kemauan kuat, kontekstual, kredibel.
Kemudian bekerja tuntas/ketuntasan, kejujuran, ketelitian dan kecermatan, memiliki kesabaran, kreativitas, kondusif/keadaan yang baik, keragaman, konten kreatif, keaslian serta komunikatif.
Guru juga sering mendengar kata penelitian tindakan kelas (PTK). Menurut  Burns, 1999, Kemmis & McTaggrt, 1982, Reason & Bradbury, 2001 menyatakan  penelitian tindakan merupakan intervensi  praktik dunia nyata yang ditujukan untuk meningkatkan situasi praktis. Tentu penelitian tindakan yang dilakukan oleh guru ditujukan untuk meningkatkan situasi pembelajaran yang menjadi tanggung jawabnya dan ia disebut penelitian tindakan kelas (PTK).
Tujuan utama PTK adalah untuk mengubah perilaku pengajaran guru, perilaku siswa di kelas, dan/atau mengubah kerangka kerja melaksanakan pembelajaran di kelas.
Menurut (Cohen & Manion, 1980)  PTK berfungsi alat untuk mengatasi masalah-masalah yang didiagnosis dalam situasi pembelajaran di kelas, alat pelatihan dalam-jabatan, membekali guru dengan keterampilan dan metode baru dan mendorong timbulnya kesadaran-diri, khususnya melalui pengajaran sejawat,  alat untuk memasukkan ke dalam sistem yang ada (secara alami)  pendekatan tambahan atau inovatif, alat untuk meningkatkan komunikasi yang biasanya buruk antara guru dan peneliti, alat untuk menyediakan alternatif bagi pendekatan yang subjektif, impresionistik terhadap pemecahan masalah kelas.Agar PTK berhasil, persyaratan harus dipenuhi. Menuurt Hodgkinson (1988) syarat yang harus dipenuhi adalah  kesediaan untuk mengakui kekurangan diri, kesempatan yang memadai untuk menemukan sesuatu yang baru,  dorongan untuk mengemukakan gagasan baru, waktu yang tersedia untuk melakukan percobaan, kepercayaan timbal balik antar orang-orang yang terlibat serta pengetahuan tentang dasar-dasar proses kelompok oleh peserta  penelitian. Semoga sekelumit karya ini memberi manfaat. (****).

Pendidikan


Catatan  Khusus Pendidikan
Reformasi Pengelolaan Pendidikan Hingga “Guru Tidak Naik Pangkat”
Oleh: Nelson Sihaloho
Kebijakan nasional tentang reformasi pengelolaan pendidikan telah disampaikan oleh Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga KependidikaN Kementerian Pendidikan Nasional pada Temu Ilmiah Nasional Guru “ Profesionalisme Guru untuk Pembelajaran yang berkualitas : Berbagi gagasan keunggulan dan pengalaman terpetik” di UTCC, Pondok Cabe pada tanggal 7 Agustus 2009 lalu.  
Sebagaimana diungkapkan oleh Bhaedowi  kebijakan nasional tentang reformasi pengelolaan pendidikan terdapat tiga pilar kebijakan yang sangat penting dipahami yaitu, perluasan dan pemerataan akses pendidikan, peningkatan mutu, relevansi dan daya saing pendidikan serta penguatan tata kelola, akuntabilitas dan citra publik pendidikan, dengan sasaran pendidikan bermutu, akuntabel, murah, merata dan terjangkau oleh rakyat banyak.
Kerangka Hukum Reformasi Pendidikan sebenarnya memiliki sejarah panjang dimulai pada tahun 1999-2002 dengan Amandemen UUD 1945 dengan ditetapkannya Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang sistem Pendidikan Nasional beserta Peraturan Pemerintah (PP) turunannya.
Kemudian pada tahun 2005-2007 ditetapkannta UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen beserta PP turunannya, Tahun 2009 tentang Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (BHP) beserta PP turunannya.
Adapun visi Pendidikan Nasional menurut UU No. 20/2003 (Sisdiknas) adalah terwujudnya sistem pendidikan sebagai pranata sosial yang kuat dan berwibawa untuk memberdayakan semua warga negara Indonesia berkembang menjadi manusia yang berkualitas sehingga mampu dan proaktif menjawab tantangan zaman yang selalu berubah.
Sejalan dengan Visi Pendidikan Nasional  itu Kementerian Pendidikan Nasional berhasrat untuk pada tahun 2025 menghasilkan Insan Indonesia Cerdas dan Kompetitif (Insan Kamil/Insan Paripurna).
Adapun misi pendidikan nasional adalah terdiri dari lima poin penting yaitu mengupayakan perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan yang bermutu bagi seluruh rakyat Indonesia, membantu dan memfasilitasi pengembangan potensi anak bangsa secara utuh sejak usia dini sampai akhir hayat dalam rangka mewujudkan masyarakat belajar, meningkatkan kesiapan masukan dan kualitas proses pendidikan untuk mengoptimalkan pembentukan kepribadian yang bermoral, meningkatkan keprofesionalan dan akuntabilitas lembaga pendidikan sebagai pusat pembudayaan ilmu pengetahuan, keterampilan, pengalaman, sikap, dan nilai berdasarkan standar nasional dan global serta  memberdayakan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan berdasarkan prinsip otonomi dalam konteks Negara Kesatuan RI.
Adapun kebijakan dan terobosan yang dilakukan oleh pemerintah adalah, pendanaan massal pendidikan, peningkatan kualifikasi  dan sertifikasi pendidik dan tenaga kependidikan  (PTK) secara massal, penerapan TIK  secara massal untuk e-Pembelajaran dan e-Administrasi, pembangunan prasarana dan sarana pendidikan secara massal, rehabilitasi prasarana dan sarana pendidikan secara massal, reformasi perbukuan secara mendasar, pningkatan mutu dan daya saing pendidikan dengan pendekatan komprehensif, perbaikan Rasio Peserta Didik SMK:SMA, Otonomisasi  Satuan Pendidikan, intensifikasi dan ekstensifikasi pendidikan nonformal dan informal untuk menggapaikan layanan pendidikan kepada peserta didik yang tak terjangkau pendidikan formal (reaching the unreached) serta penguatan tata kelola, akuntabilitas, dan citra publik pendidikan dengan pendekatan komprehensif.
Peningkatan kualifikasi dan sertifikasi pendidik dan tenaga kependidikan secara massal mengacu pada UU Nomor 14 Tahun 2005 menempatkan guru dan dosen sebagai profesi dengan syarat, guru memenuhi kualifikasi minimal S1/D4, dosen memenuhi kualifikasi minimal S2/S3, guru maupun dosen memiliki sertifikat pendidik.
Reformasi pendidik terbesar di dunia (menurut Andrew Steer) adalah sekitar + 1,75 juta guru yang belum S1/D4 harus meraih S1/D4 dalam waktu 10 thn, + 150.000 dosen yang belum S2/S3 harus meraih S2/S3 dalam waktu 10 thn, + 2,7 juta guru dan 300.000 dosen harus meraih sertifikat pendidik dalam waktu 10 thn serta  peningkatan kesejahteraan pendidik + 2 x lipat, dengan konsekuensi fiskal lebih dari Rp. 40 Triliun dalam waktu 10 thn.
Itulah sekelumit berbagai program dan reformasi pengelolaan pendidikan yang telah digulirkan oleh pemerintah khsuusnya Kementrian Pendidikan Nasional yang kini dijabat oleh M. Nuh dan Fasli Djalal.
Peningkatan mutu pendidikan dimasa mendatang harus benar-benar dilakukan sehingga bangsa Indonesia tidak tertinggal dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Mengacu pada standar UNESCO, 2001,  memiliki resep bahwa untuk meningkatkan kualitas sekolah diperlukan berbagai kebijakan, yang mencakup antara lain sekolah harus siap dan terbuka dengan mengembangkan a reactive mindset, menanggalkan “problem solving” yang menekankan pada orientasi masa lalu, berubah menuju “change anticipating” yang berorientasi pada “how can we do things differently”. Pilar kualitas sekolah adalahlLearning how to learn, learning to do, learning to be, dan learning to live together. Menetapkan standard pendidikan dengan indikator yang jelas, memperbaharui dan kurikulum sehingga relevan dengan kebutuhan masyarakat dan peserta didik. Meningkatkan pemanfaatan ICT dalam pembelajaran dan pengeloaan sekolah. Menekankan pada pengembangan sistem peningkatan kemampuan professional guru. Mengembangkan kultur sekolah yang kondusif pada peningkatan mutu. Meningkatkan partisipasi orang tua masyakat dan kolaborasi sekolah dan fihak-fihak lain serta melaksanakan Quality Assurance.
Meski demikian apabila kita melakukan refleksi pada Hari Pendidikan Nasional pada tanggal 2 Mei 2011 ini tentunya banyak kisah pilu tentang ketimpangan-ketimpangan dalam pengelolaan pendidikan. Terdapat kontras yang sangat jauh antara pengelolaan pendidikan dikawasan pedesaan dengan perkotaan. Bahkan pelayanan pendidikan yang diterima siswa miskin angkanya jauh terpaut dengan dana beasiswa pendidikan yang diterima oleh para dosen-dosen yang getol mengejar titel keluar negeri itu. Kisah pilu tentang anak-anak miskin yang menjadi pemulung yang hidup dikawasan-kawasan kumuh dan pinggiran-pinggiran kota hingga gedung-gedung reyot yang tidak direhabilitasi mengindikasikan bahwa program pembangunan pendidikan seharusnya mengacu pada fakta-fakta  dan hasil review  ke lapangan. Karena itu kedepan semua ketimpangan-ketimpangan dalam sektor pendidikan kita harus benar-benar di “blue print” sesuai dengan kondisi dan fakta yang terjadi dilapangan.
Sertifikasi, Permen PANRB
Sertifikasi Guru dan Dosen digulirkan oelh Pemerintah tujuan awalnya adalah peningkatan mutu dan kualitas pendidikan dengan sasaran apabila mutu pendidikan meningkat maka guru berhak memperoleh tingkat kesejahteraan yang lebih yaitu satu kali dari gaji pokok.
Namun dalam pelaksanaannya belum ada aturan standar dan baku yang mengatur tentang tindaklanjut tentang pemberian tunjangan sertifikasi guru dan dosen khususnya tentang kinerja. Faktor inilah yang sering menjadi celah betapa banyak aturan-aturan yang dilanggar oleh  guru yang telah lulus sertifikasi dimana kinerjanya tidak meningkat bahkan membohongi dan menabrak peraturan. Imbasnya terhadap guru-guru yang mengikuti program sertifikasi selanjutnya semakin diperketat, padahal guru-guru yang belum lulus sertifikasi tidak melakukan palnggaran tentang aturan-aturan sertifikasi itu.
Mengacu pada Peraturan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara Reformasi Birokrasi (Permen PAN-RB)  Nomor 16 Tahun 2009 telah diberlakukan aturan baru tentang sistem kenaikan pangkat guru yaitu Pengembangan Profesi Berkelanjutan. Apabila pada aturan sebelumnya guru yang naik pangkat dari IV/a ke IV/b wajib membuat karya tulis ilmiah (KTI) maka sesuai dengan Permen PAN-RB Tahun 2009 dimulai dari golongan III/b mau naik pangkat ke III/c wajib membuat karya tulis ilmiah.
Pada hari kamis (6/5-2010)  Kementerian Pendidikan Nasional (Kemdiknas) bersama Badan Kepegawaian Negara (BKN) melakukan penandatanganan peraturan bersama tentang petunjuk pelaksanaan (juklak) jabatan fungsional guru dan angka kreditnya.
Penandatanganan dilakukan oleh Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Mohammad Nuh bersama dengan Kepala BKN Edi Topo Ashari di Kemdiknas, Jakarta.
Peraturan bersama ini juga berisi juklak jabatan fungsional pengembang teknologi pembelajaran dan angka kreditnya, serta juklak jabatan fungsional pranata laboratorium pendidikan dan angka kreditnya.
Mendiknas menyampaikan, juklak ini diterbitkan guna memberikan penghargaan terhadap prestasi yang diraih. Pengakuan itu sangat penting karena ada orang yang prestasinya bagus, tetapi prestasi itu tidak diapresiasi.
Dengan diterbitkannya tiga juklak itu setidaknya sudah bisa memberikan pengakuan terhadap prestasi. Selain itu, juklak ini terkait dengan promosi dan kenaikan pangkat, tidak kalah penting pegawai bisa merencanakan karirnya.
Direktur Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan Kemdiknas Baedhowi menyampaikan, peraturan bersama ini merupakan juklak dari Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi No. 16 Tahun 2009 tentan Jabatan Fungsional Guru dan angka kreditnya. Semua yang berkaitan dengan kenaikan pangkat yang dilakukan oleh Kemdiknas harus mendapatkan pengakuan dari BKN.
Menurut Baedhowi, ada tiga hal terkait kenaikan pangkat. Pertama adalah program induksi bagi guru untuk menjadi pegawai negeri sipil (PNS). Selama satu tahun pertama, guru menjalani masa percobaan. Penilaian dilakukan oleh kepala sekolah, guru-guru dan pengawas. Bila dinyatakan baik baru bisa mengikuti prajabatan untuk diangkat menjadi PNS.
Guru yang akan naik pangkat, diwajibkan untuk menulis karya tulis ilmiah. Sebelumnya, penulisan karya ilmiah untuk naik dari golongan IVA ke IVB, namun sekarang dimulai dari golongan IIIB untuk naik pangkat ke golongan IIIC.
Pada masa pangkat tertentu guru harus mengikuti program pelatihan atau continous professional development (CPD) dan peningkatan kompetensi. Waktunya selama 180 jam dalam waktu empat tahun. Pelatihan meliputi pelatihan secara reguler, seminar, atau kegiatan-kegiatan untuk peningkatan mutu.
Banyak Mentok
Akhir-akhir ini kita sering dibuat terperanjat oleh berita-berita yang menulis tentang banyak guru PNS yang sulit sekali untuk naik pangkat. Jumlahnya sangat fantastis atau bisa dikatakan cukup banyak. Para guru PNS di tingkat DIKDASMEN sulit mencapai pangkat di atas IV/A karena kemampuan mereka membuat karya Tulis Ilmiah (KTI) masih lemah padahal membuat KTI menjadi salah satu syarat kenaikan pangkat.
Dari data Badan Kepegawaian Nasional (BKN) 2005, sekitar 1,4 juta guru berstatus PNS. Umumnya berada di pangkat III/A sampai III/D yang jumlahnya mencapai 996.926 guru. Adapun di golongan IV ada 336.601 guru, dengan rincian golongan IV/A sebanyak 334.184 guru, golongan IV/B berjumlah 2.318 guru, golongan IV/C sebanyak 84 guru dan golongan IV/D sebanyak 15 guru.
Mengapa banyak guru yang kesulitan dalam membuat sebuah karya tulis ilmiah? Hal ini disebabkan oleh belum banyak guru yang memahami dan mengenal Penelitian Tindakan Kelas (PTK) sehingga wajar saja apabila banyak guru yang mengalami kesulitan dalam pembuatan karya tulis ilmiah.
Ironisnya banyak guru-guru ditanah air yang telah menempuh jenjang pendidikan magister (S2) hingga Doktor namun tidak memiliki kemampuan dalam membuat karya tulis ilmiah. Suatu hal yang sangat bertolak belakang dengan “embel-embel” gelar yang telah mereka miliki. Patut dipertanyakan kredibilitas dari para guru-guru yang memiliki gelar S2 dan S3 itu sehingga tidak mamu naik pangkat tepat waktu. Ada beberapa tips yang bisa kita jadikan pedoman supaya guru mampu membuat KTI sebagai bahan kenaikan pangkat adalah memiliki komitmen, konsisten,bekerja keras, kerja cerdas, kerja ikhlas, kerjasama/kolaboratif, memiliki koneksi, memiliki kemauan kuat, kontekstual, kredibel.
Kemudian bekerja tuntas/ketuntasan, kejujuran, ketelitian dan kecermatan, memiliki kesabaran, kreativitas, kondusif/keadaan yang baik, keragaman, konten kreatif, keaslian serta komunikatif.
Guru juga sering mendengar kata penelitian tindakan kelas (PTK). Menurut  Burns, 1999, Kemmis & McTaggrt, 1982, Reason & Bradbury, 2001 menyatakan  penelitian tindakan merupakan intervensi  praktik dunia nyata yang ditujukan untuk meningkatkan situasi praktis. Tentu penelitian tindakan yang dilakukan oleh guru ditujukan untuk meningkatkan situasi pembelajaran yang menjadi tanggung jawabnya dan ia disebut penelitian tindakan kelas (PTK).
Tujuan utama PTK adalah untuk mengubah perilaku pengajaran guru, perilaku siswa di kelas, dan/atau mengubah kerangka kerja melaksanakan pembelajaran di kelas.
Menurut (Cohen & Manion, 1980)  PTK berfungsi alat untuk mengatasi masalah-masalah yang didiagnosis dalam situasi pembelajaran di kelas, alat pelatihan dalam-jabatan, membekali guru dengan keterampilan dan metode baru dan mendorong timbulnya kesadaran-diri, khususnya melalui pengajaran sejawat,  alat untuk memasukkan ke dalam sistem yang ada (secara alami)  pendekatan tambahan atau inovatif, alat untuk meningkatkan komunikasi yang biasanya buruk antara guru dan peneliti, alat untuk menyediakan alternatif bagi pendekatan yang subjektif, impresionistik terhadap pemecahan masalah kelas.Agar PTK berhasil, persyaratan harus dipenuhi. Menuurt Hodgkinson (1988) syarat yang harus dipenuhi adalah  kesediaan untuk mengakui kekurangan diri, kesempatan yang memadai untuk menemukan sesuatu yang baru,  dorongan untuk mengemukakan gagasan baru, waktu yang tersedia untuk melakukan percobaan, kepercayaan timbal balik antar orang-orang yang terlibat serta pengetahuan tentang dasar-dasar proses kelompok oleh peserta  penelitian. Semoga sekelumit karya ini memberi manfaat. (****).

Pendidikan


Tantangan Pemberian Layanan Pendidikan di Indonesia
Oleh: Nelson Sihaloho
Pendidikan di Indonesia setiap tahun terus diterpa berbagai masalah mulai dari minimnya anggaran dana pendidikan hingga berubahnya sistem kelulusan siswa bahkan hingga maraknya tuntutan pemberian layanan pendidikan bermutu terus menggelinding. Hal itu seiring dengan tuntutan era globalisasi yang kini tengah kita arungi bersama.
Isu pendidikan karakter misalnya dibangun atas dasar kecemasan, karena kian hari kehidupan moral bangsa semakin terpuruk. Berbagai masalah yang ditampilkan media, baik koran, radio, televisi dan majalah dipenuhi masalah sekitar seks bebas, penggunaan narkoba, kekerasan, KKN, serta praktik-praktik culas dalam kehidupan bermasyarakat siap menginjeksi kehidupan belia, anak-anak, dan remaja kita.
Memperbaiki kualitas bangsa untuk memberantas segala macam bentuk KKN, dan berbagai bentuk kebobrokan akhlak masyarakat dalam kehidupan berbangsa sebagai niat mulia dapat saja tergelincir karena digunakan untuk melegitimasi agenda perpolitikan. Isu politik dan pembenahan sistem semestinya mampu dicerna secara cerdas oleh individu-individu decision maker yang berada dalam dunia pendidikan. Kondisi ini tentu saja bukan hal yang mudah karena mesti melalui proses panjang serta dialog yang mampu mempertemukan antara kemauan politik yang dilembagakan melalui peraturan dan undang-undang yang appropriate dengan kebutuhan anak didik, pendidik dan masyarakat yang ada di lapangan.
Membahas isu pendidikan nilai, akhlak mulia, pendidikan moral, pendidikan karakter yang dilembagakan melalui sebuah sistem merupakan sebuah  usaha yang fitrah serta dapat mempertemukan antara pendidikan nilai yang dilembagakan melalui sebuah sistem dan usaha individu manusia, sehingga niat untuk memperbaiki kondisi moral anak didik dapat dilaksanakan dengan baik di lapangan. Tujuan mendasar pendidikan nasional sesungguhnya adalah mampu membentuk manusia  Indonesia seutuhnya, yang baik dan cerdas ternyata hingga hari ini belum tercapai.
Banyak orang Indonesia yang cerdas secara akademik tetapi kurang cerdas secara emosi yang berakibat negatif terhadap kualitas SDM secara keseluruhan. Mengutip pendapat Balamore yang menyampaikan bahwa mengajar kebajikan kepada anak mestinya dilakukan sedini mungkin dalam proses pembelajaran di sekolah. Pihaknya mengajak para pendidik untuk membantu anak didiknya untuk dapat  “jatuh cinta pada kebajikan”. Kebajikan adalah pencarian yang dikejar manusia sepanjang hidupnya. Usaha kelanjutannya adalah mengajarkan kebajikan pada anak didik tidak akan pernah tiba di titik tujuan “there is never a point of arrival.”
Pandangan David Brooks yang menyatakan bahwa nilai-nilai yang terkandung dalam pembelajaran mestinya adalah sekantung nilai-nilai kebajikan, yang diistilahkan  dengan sekantong the bag of virtues”. Hal ini sesuai dengan makna karakter itu sendiri, yaitu mengukir. Bahwa mengajarkan anak nilai-nilai kebajikan hendaknya dilakukan sejak dini usia.  Ibarat mengukir diatas batu yang akan senantiasa  terus berbekas hingga tua.
Menurut Marvin Berkowitz (l998) banyak pendidikan moral yang terjadi di sekolah-sekolah tidak memperhatikan bagaimana pendidikan itu mampu membentuk perilaku anak karena tujuan akhir dari pendidikan moral hanya mengarahkan bagaimana manusia dapat berperilaku sesuai dengan kaidah-kaidah moral.  Pendidikan karakter mempunyai makna yang lebih tinggi dari pendidikan moral. Perdebatan panjang tentang nilai-nilai yang ingin diajarkan dalam pendidikan karakter masih terus berlangsung secara akademik. Standar moral universal ini diungkapkan Arthur Schopenhauer (1788-1860) yang mengakui adanya standar moral universal dan mengkritik filosofi Hegelian dan sejawatnya yang menganut filosofi moral relativism. Pengamatan Schopenhauer yang mendalam tentang perilaku manusia yang cenderung berbuat baik dimiliki oleh semua manusia dari latar berbeda baik budaya, etnis, agama, dan gender.
Melalui pengamatan empirisnya Schopenhauer melihat bahwa compassion (kasih sayang, empati, dan simpati) merupakan titik awal dari perbuatan manusia yang bermoral sebagai fitrahnya manusia. Compassion ini adalah dasar dari semua kebajikan yang bermakna metafisika yang membawa manusia pada tingkat pengalaman yang hakiki dalam meraih penyatuan sempurna (all encompassing oneness). Intinya dalah penemuan jati diri sejati manusia. Pendapat Schopenhauer ini memberikan pembenaran terhadap pentingnya pendidikan karakter yang mengajarkan nilai-nilai tertentu seperti kasih sayang, keadilan, kejujuran, tanggung jawab, dan keberanian mengungkapkan kebenaran.   Seperti yang diungkapkan Lord Channing “The Great hope of society is individual character. Sistem demokrasi yang kita idam-idamkan dalam kehidupan berbangsa ke depan hanya akan mampu diraih oleh para demokrat sejati yang lahir dari proses pendidikan di sekolah. Mereka adalah individu-individu yang berkarakter terbuka, jujur, pekerja keras, bertanggung jawab, dan  sederet akhlak mulia lainnya.
Tantangan Layanan Pendidikan
Tantangan layanan pendidikan di Indonesia adalah pendidikan inklusif untuk semua (education for all), pendidikan untuk pembangunan berkelanjutan (education for sustainable development, ESD), globalsiasi, perdagangan bebas, era knowledge based economy/society serta pasrtisipasi masyarakat dalam pendidikan. Pendidikan yang berkualitas harus disediakan kepada semua anak, dengan keragaman kebutuhan belajar, gaya dan kecepatan belajar, serta berbagai kondisi anak lainnya. Termasuk di sini adalah anak berkebutuhan khusus fisik dan mental;pekerja anak dan anak jalanan;anak tinggal di daerah terpencil dan berpindah-pindah, anak dari kelompok minoritas etnis, budaya, dan bahasa, serta kelompok termarjinalkan lainnya. Pemastian kualitas pendidikan dilaksanakan antara lain  melalui penyusunan kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan belajar dan kondisi anak, pengorganisasian dan strategi pembelajaran yang tepat, pemanfaatan sumberdaya belajar yang memadai dan kerjasama dengan masyarakat (Unesco, Salamanca Framework for Action, 1994).
Memperluas dan meningkatkan keseluruhan perawatan dan pendidikan anak usia dini terutama bagi anak-anak yang sangat rawan dan kurang beruntung, menjamin bahwa pada tahun 2015 semua anak, khususnya perempuan, anak miskin dan kurang beruntung, anak-anak suku minoritas memperoleh akses dan menyelesaikan pendidikan dasar yang bermutu serta   menjamin bahwa kebutuhan belajar semua anak muda dan orang dewasa terpenuhi melalui akses yang adil pada program-program belajar dan kecakapan hidup yang sesuai. Tercapainya penurunan angka buta aksara sebesar  50 % pada tahun 2015 melalui perluasan akses dan perbaikan kinerja pendidikan keaksaraan bagi kelompok usia 15 tahun ke atas. Mengurangi disparitas gender pada tingkat pendidikan dasar dan menengah pada tahun 2005 dan mencapai keadilan gender pada bidang pendidikan pada tahun 2015, dengan penekanan pad apenjaminan atas kesamaan pemenuhan akses dan prestasi anak perempuan pada pendidikan dasar yang bermutu serta  meningkatkan semua aspek mutu pendidikan yang diberikan kepada semua peserta didik dan peningkatan itu tercermin pada ukuran-ukuran outcome yang dapat diandalkan, khususnya kemampuan membaca, menulis, dan berhitung,serta kecakapan untuk hidup (The Dakar Framework for Action dan Penilaian Paruh Dekade Pendidikan untuk Semua, Indonesia, 2007). Pembangunan yang memenuhi kebutuhan pada masa kini tanpa menghilangkan kemampuan dari generasi mendatang untuk dapat memenuhi kebutuhan mereka sendiri. Keselamatan manusia tidak akan terjamin tanpa pembangunan yang berkelanjutan. Karena itu pendidikan merupakan unsur terpenting dalam mewujudkan pembangunan  berkelanjutan dengan tujuan utamanya adalah  memberikan pemahaman, ketrampilan, dan menanamkan nilai-nilai untuk hidup berkelanjutan dalam masyarakat dimana pendidikan dilihat sebagaitugas setiap orang dan semua sector masyarakat ikut bertanggungjawab. Sebagai upaya untuk menjawab tantangan layanan pendidikan di Indonesia pemerintah bersama masyarakat harus Lebih mempromosikan pendidikan sebagai basis dari kehidupan masyarakat yang berkelanjutan dan memperkuat kerjasama internasional bagipengembangan inovasi kebijakan, program-progran dan pelaksanaan ESD, mengintegrasikan pembangunan berkelanjutan kedalam Sistem Pendidikan pada semua tingkatpendidikan, menyediakan bantuan dan dukungan pendanaan bagi pendidikan, penelitian dan program kepedulian public dan lembaga pengembangan dinegara-negara berkembang  dan Negara dalam transisi ekonomi.
Era global yang ditandai dengan perdagangan bebas, aliran barang dan jasa antar-negara, termasuk SDM, tidak dapat lagi dibatasi dengan peraturan dan perlindungan lain. Kemudian produk bermutu dan berharga murah yang akan laku dan SDM bermutu tinggi namun menuntut remunerasi lebih rendah yang akan mendapatkan pekerjaaan dimanapun.
Karena itu tuntutan terhadap pendidikan,  pendidikan harus menghasilkan manusia yang berkompetensi tinggi dalam tolok ukur internasional yang mampu menghasilkan produk barang dan jasa bermutu dengan biaya produksi rendah dengan timing yang tepat. Masyarakat inovatif dan pembelajar sepanjang hayat, beranggotakan terutama para pembelajar, peneliti, perkeyasa, teknisi, dan institusi yang bergerak di bidang perekayasaan teknologi dan pemberian layanan yang terintegrasi dengan sistem produksi, penyebarluasan, pemanfaatan, dan perlindungan pengetahuan antar-bangsa. Adapun faktor pendorong pembentukan masyarakat berbasis penegtahuan adalah Globalisasi merupakan  pendorong pembentukan pengetahuan. Kemampuan penciptaan dan pemanfaatan pengetahuan merupakan faktor terpenting dalamkeunggulan kompetitif pada era global serta  tngkat penguasaan informasi: merupakan barometer pengukur tingkat produktifitas bangsa. Peningkatan pengetahuan secara besar-besaran yang berdampak pada sistem pemanfaatan informasi dan intensitas pengelolaannya. Perubahan bentuk, isi, dan kesempatan kerja. Mengingat bahwa pengetahuan dalam suatu bidang akan berkurang nilainya dengan berlalunya waktu, maka diperlukan pengetahuan baru untuk menggantikan atau melangkapi yang lama. Pekerjaan di masa depan memerlukan kemampuan tinggi untuk berkreasi, intuisi, dan tanggung jawab sosial.
Peran Pendidikan
Pendidikan memiliki peranan yang sangat strategis dalam penciptaan sumber daya manusia yang berkualitas dan sesuai dengan tuntutan arah maupun perkembangan Iptek. Karena itu pendidikan harus mampu mensinergikan  penciptaan pengetahuan baru, pengumpulan dan pendistribusian informasi dengan cepat, penenaman kemampuan untuk secara efektifmemanfaatkannya dan  penanaman kemampuan untuk belajar lebih lanjut. Keberhasilan penyelenggaraan pendidikan dalam jangka panjang amat tergantung dari keterlibatan aktif masyarakat. Masyarakat merupakan salah satu pihak yang dapat memberikan kontribusi keberhasilan pembaharuan-pembaharuan pendidikan, khususnya masyarakat lokal yang mencakup pengertian orangtua, kepala sekolah, dan guru. Peran serta masyarakat dalam menilai kebutuhan yang dihadapi sekolah, dan dialog dengan para penguasa publik dan kelompok-kelompok yang berkepentingan merupakan entry point yang hakiki untuk memperluas kesempatan pendidikan, melakukan pembaharuan pendidikan, serta memperbaiki kualitas hasil pendidikan. Beberapa upaya yang dapat kita lakukan adalah pengembangan dan pembentukan insan Indonesia cerdas komprehensif dan kompetitif, pendidikan sepanjang hayat, tiga pilar kebijakan pendidikan nasional, sembilan terobosan dibidang pendidikan, manajemen berbasis sekolah, program buku murah serta bentuk-bentuk lainnya yang mendukung mutu dan kualitas pendidikan. Selain itu pembentukan kecerdasan siswa beraktualisasi dirimelalui olah hati/kalbu untuk menumbuhkan dan memperkuat keimanan, ketakwaan dan akhlak mulia termasuk budi pekerti luhur dan kepribadian unggul. Cerdas emosionil beraktualisasi diri melalui oleh rasa, serta kompetensi untuk mengekspresikannya, beraktualisasi diri melalui interaksi sosial.
Cerdas intelektual beraktualisasi melalui olah piker untuk memperoleh kompetensi dan kemandirian dalam iptek. Aktualisasi insan intelektual yang kritis, kreatif dan imajinatif. Cerdas kinetis beraktualisasi diri melalui olah raga dan aktualisasi insane diraga. Kompetitif  dengan  berkepribadian unggul dan gandrung akan keunggulan bersemangat juang tinggi, mandiri, pantang menyerah, pembangun dan Pembina jejaring, bersahabat dengan perubahan, inovatif dan menjadi agen perubahan, produktif, sadar mutu, berorentasi global,  pembelajar sepanjang hayat. Merupakan konsekuensi logis yang muncul dari berlangsungnya perubahan realitas kehidupan yang cepat dan berkesinambungan, dengan meninggalkan berbagai bentuk pengajaran dan pembelajaran sebagai sesuatu hal yang berdiri sendiri atau bahkan saling bersaing, sebaliknya mencoba mengembangkan tahap-tahap lingkungan modern yang bersifat saling melengkapi.