Catatan Khusus Pendidikan
Reformasi Pengelolaan Pendidikan Hingga “Guru Tidak Naik Pangkat”
Oleh: Nelson Sihaloho
Kebijakan nasional tentang reformasi pengelolaan pendidikan telah disampaikan oleh Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga KependidikaN Kementerian Pendidikan Nasional pada Temu Ilmiah Nasional Guru “ Profesionalisme Guru untuk Pembelajaran yang berkualitas : Berbagi gagasan keunggulan dan pengalaman terpetik” di UTCC, Pondok Cabe pada tanggal 7 Agustus 2009 lalu.
Sebagaimana diungkapkan oleh Bhaedowi kebijakan nasional tentang reformasi pengelolaan pendidikan terdapat tiga pilar kebijakan yang sangat penting dipahami yaitu, perluasan dan pemerataan akses pendidikan, peningkatan mutu, relevansi dan daya saing pendidikan serta penguatan tata kelola, akuntabilitas dan citra publik pendidikan, dengan sasaran pendidikan bermutu, akuntabel, murah, merata dan terjangkau oleh rakyat banyak.
Kerangka Hukum Reformasi Pendidikan sebenarnya memiliki sejarah panjang dimulai pada tahun 1999-2002 dengan Amandemen UUD 1945 dengan ditetapkannya Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang sistem Pendidikan Nasional beserta Peraturan Pemerintah (PP) turunannya.
Kemudian pada tahun 2005-2007 ditetapkannta UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen beserta PP turunannya, Tahun 2009 tentang Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (BHP) beserta PP turunannya.
Adapun visi Pendidikan Nasional menurut UU No. 20/2003 (Sisdiknas) adalah terwujudnya sistem pendidikan sebagai pranata sosial yang kuat dan berwibawa untuk memberdayakan semua warga negara Indonesia berkembang menjadi manusia yang berkualitas sehingga mampu dan proaktif menjawab tantangan zaman yang selalu berubah.
Sejalan dengan Visi Pendidikan Nasional itu Kementerian Pendidikan Nasional berhasrat untuk pada tahun 2025 menghasilkan Insan Indonesia Cerdas dan Kompetitif (Insan Kamil/Insan Paripurna).
Adapun misi pendidikan nasional adalah terdiri dari lima poin penting yaitu mengupayakan perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan yang bermutu bagi seluruh rakyat Indonesia, membantu dan memfasilitasi pengembangan potensi anak bangsa secara utuh sejak usia dini sampai akhir hayat dalam rangka mewujudkan masyarakat belajar, meningkatkan kesiapan masukan dan kualitas proses pendidikan untuk mengoptimalkan pembentukan kepribadian yang bermoral, meningkatkan keprofesionalan dan akuntabilitas lembaga pendidikan sebagai pusat pembudayaan ilmu pengetahuan, keterampilan, pengalaman, sikap, dan nilai berdasarkan standar nasional dan global serta memberdayakan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan berdasarkan prinsip otonomi dalam konteks Negara Kesatuan RI.
Adapun kebijakan dan terobosan yang dilakukan oleh pemerintah adalah, pendanaan massal pendidikan, peningkatan kualifikasi dan sertifikasi pendidik dan tenaga kependidikan (PTK) secara massal, penerapan TIK secara massal untuk e-Pembelajaran dan e-Administrasi, pembangunan prasarana dan sarana pendidikan secara massal, rehabilitasi prasarana dan sarana pendidikan secara massal, reformasi perbukuan secara mendasar, pningkatan mutu dan daya saing pendidikan dengan pendekatan komprehensif, perbaikan Rasio Peserta Didik SMK:SMA, Otonomisasi Satuan Pendidikan, intensifikasi dan ekstensifikasi pendidikan nonformal dan informal untuk menggapaikan layanan pendidikan kepada peserta didik yang tak terjangkau pendidikan formal (reaching the unreached) serta penguatan tata kelola, akuntabilitas, dan citra publik pendidikan dengan pendekatan komprehensif.
Peningkatan kualifikasi dan sertifikasi pendidik dan tenaga kependidikan secara massal mengacu pada UU Nomor 14 Tahun 2005 menempatkan guru dan dosen sebagai profesi dengan syarat, guru memenuhi kualifikasi minimal S1/D4, dosen memenuhi kualifikasi minimal S2/S3, guru maupun dosen memiliki sertifikat pendidik.
Reformasi pendidik terbesar di dunia (menurut Andrew Steer) adalah sekitar + 1,75 juta guru yang belum S1/D4 harus meraih S1/D4 dalam waktu 10 thn, + 150.000 dosen yang belum S2/S3 harus meraih S2/S3 dalam waktu 10 thn, + 2,7 juta guru dan 300.000 dosen harus meraih sertifikat pendidik dalam waktu 10 thn serta peningkatan kesejahteraan pendidik + 2 x lipat, dengan konsekuensi fiskal lebih dari Rp. 40 Triliun dalam waktu 10 thn.
Itulah sekelumit berbagai program dan reformasi pengelolaan pendidikan yang telah digulirkan oleh pemerintah khsuusnya Kementrian Pendidikan Nasional yang kini dijabat oleh M. Nuh dan Fasli Djalal.
Peningkatan mutu pendidikan dimasa mendatang harus benar-benar dilakukan sehingga bangsa Indonesia tidak tertinggal dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Mengacu pada standar UNESCO, 2001, memiliki resep bahwa untuk meningkatkan kualitas sekolah diperlukan berbagai kebijakan, yang mencakup antara lain sekolah harus siap dan terbuka dengan mengembangkan a reactive mindset, menanggalkan “problem solving” yang menekankan pada orientasi masa lalu, berubah menuju “change anticipating” yang berorientasi pada “how can we do things differently”. Pilar kualitas sekolah adalahlLearning how to learn, learning to do, learning to be, dan learning to live together. Menetapkan standard pendidikan dengan indikator yang jelas, memperbaharui dan kurikulum sehingga relevan dengan kebutuhan masyarakat dan peserta didik. Meningkatkan pemanfaatan ICT dalam pembelajaran dan pengeloaan sekolah. Menekankan pada pengembangan sistem peningkatan kemampuan professional guru. Mengembangkan kultur sekolah yang kondusif pada peningkatan mutu. Meningkatkan partisipasi orang tua masyakat dan kolaborasi sekolah dan fihak-fihak lain serta melaksanakan Quality Assurance.
Meski demikian apabila kita melakukan refleksi pada Hari Pendidikan Nasional pada tanggal 2 Mei 2011 ini tentunya banyak kisah pilu tentang ketimpangan-ketimpangan dalam pengelolaan pendidikan. Terdapat kontras yang sangat jauh antara pengelolaan pendidikan dikawasan pedesaan dengan perkotaan. Bahkan pelayanan pendidikan yang diterima siswa miskin angkanya jauh terpaut dengan dana beasiswa pendidikan yang diterima oleh para dosen-dosen yang getol mengejar titel keluar negeri itu. Kisah pilu tentang anak-anak miskin yang menjadi pemulung yang hidup dikawasan-kawasan kumuh dan pinggiran-pinggiran kota hingga gedung-gedung reyot yang tidak direhabilitasi mengindikasikan bahwa program pembangunan pendidikan seharusnya mengacu pada fakta-fakta dan hasil review ke lapangan. Karena itu kedepan semua ketimpangan-ketimpangan dalam sektor pendidikan kita harus benar-benar di “blue print” sesuai dengan kondisi dan fakta yang terjadi dilapangan.
Sertifikasi, Permen PANRB
Sertifikasi Guru dan Dosen digulirkan oelh Pemerintah tujuan awalnya adalah peningkatan mutu dan kualitas pendidikan dengan sasaran apabila mutu pendidikan meningkat maka guru berhak memperoleh tingkat kesejahteraan yang lebih yaitu satu kali dari gaji pokok.
Namun dalam pelaksanaannya belum ada aturan standar dan baku yang mengatur tentang tindaklanjut tentang pemberian tunjangan sertifikasi guru dan dosen khususnya tentang kinerja. Faktor inilah yang sering menjadi celah betapa banyak aturan-aturan yang dilanggar oleh guru yang telah lulus sertifikasi dimana kinerjanya tidak meningkat bahkan membohongi dan menabrak peraturan. Imbasnya terhadap guru-guru yang mengikuti program sertifikasi selanjutnya semakin diperketat, padahal guru-guru yang belum lulus sertifikasi tidak melakukan palnggaran tentang aturan-aturan sertifikasi itu.
Mengacu pada Peraturan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara Reformasi Birokrasi (Permen PAN-RB) Nomor 16 Tahun 2009 telah diberlakukan aturan baru tentang sistem kenaikan pangkat guru yaitu Pengembangan Profesi Berkelanjutan. Apabila pada aturan sebelumnya guru yang naik pangkat dari IV/a ke IV/b wajib membuat karya tulis ilmiah (KTI) maka sesuai dengan Permen PAN-RB Tahun 2009 dimulai dari golongan III/b mau naik pangkat ke III/c wajib membuat karya tulis ilmiah.
Pada hari kamis (6/5-2010) Kementerian Pendidikan Nasional (Kemdiknas) bersama Badan Kepegawaian Negara (BKN) melakukan penandatanganan peraturan bersama tentang petunjuk pelaksanaan (juklak) jabatan fungsional guru dan angka kreditnya.
Penandatanganan dilakukan oleh Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Mohammad Nuh bersama dengan Kepala BKN Edi Topo Ashari di Kemdiknas, Jakarta.
Peraturan bersama ini juga berisi juklak jabatan fungsional pengembang teknologi pembelajaran dan angka kreditnya, serta juklak jabatan fungsional pranata laboratorium pendidikan dan angka kreditnya.
Mendiknas menyampaikan, juklak ini diterbitkan guna memberikan penghargaan terhadap prestasi yang diraih. Pengakuan itu sangat penting karena ada orang yang prestasinya bagus, tetapi prestasi itu tidak diapresiasi.
Dengan diterbitkannya tiga juklak itu setidaknya sudah bisa memberikan pengakuan terhadap prestasi. Selain itu, juklak ini terkait dengan promosi dan kenaikan pangkat, tidak kalah penting pegawai bisa merencanakan karirnya.
Direktur Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan Kemdiknas Baedhowi menyampaikan, peraturan bersama ini merupakan juklak dari Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi No. 16 Tahun 2009 tentan Jabatan Fungsional Guru dan angka kreditnya. Semua yang berkaitan dengan kenaikan pangkat yang dilakukan oleh Kemdiknas harus mendapatkan pengakuan dari BKN.
Menurut Baedhowi, ada tiga hal terkait kenaikan pangkat. Pertama adalah program induksi bagi guru untuk menjadi pegawai negeri sipil (PNS). Selama satu tahun pertama, guru menjalani masa percobaan. Penilaian dilakukan oleh kepala sekolah, guru-guru dan pengawas. Bila dinyatakan baik baru bisa mengikuti prajabatan untuk diangkat menjadi PNS.
Guru yang akan naik pangkat, diwajibkan untuk menulis karya tulis ilmiah. Sebelumnya, penulisan karya ilmiah untuk naik dari golongan IVA ke IVB, namun sekarang dimulai dari golongan IIIB untuk naik pangkat ke golongan IIIC.
Pada masa pangkat tertentu guru harus mengikuti program pelatihan atau continous professional development (CPD) dan peningkatan kompetensi. Waktunya selama 180 jam dalam waktu empat tahun. Pelatihan meliputi pelatihan secara reguler, seminar, atau kegiatan-kegiatan untuk peningkatan mutu.
Banyak Mentok
Akhir-akhir ini kita sering dibuat terperanjat oleh berita-berita yang menulis tentang banyak guru PNS yang sulit sekali untuk naik pangkat. Jumlahnya sangat fantastis atau bisa dikatakan cukup banyak. Para guru PNS di tingkat DIKDASMEN sulit mencapai pangkat di atas IV/A karena kemampuan mereka membuat karya Tulis Ilmiah (KTI) masih lemah padahal membuat KTI menjadi salah satu syarat kenaikan pangkat.
Dari data Badan Kepegawaian Nasional (BKN) 2005, sekitar 1,4 juta guru berstatus PNS. Umumnya berada di pangkat III/A sampai III/D yang jumlahnya mencapai 996.926 guru. Adapun di golongan IV ada 336.601 guru, dengan rincian golongan IV/A sebanyak 334.184 guru, golongan IV/B berjumlah 2.318 guru, golongan IV/C sebanyak 84 guru dan golongan IV/D sebanyak 15 guru.
Mengapa banyak guru yang kesulitan dalam membuat sebuah karya tulis ilmiah? Hal ini disebabkan oleh belum banyak guru yang memahami dan mengenal Penelitian Tindakan Kelas (PTK) sehingga wajar saja apabila banyak guru yang mengalami kesulitan dalam pembuatan karya tulis ilmiah.
Ironisnya banyak guru-guru ditanah air yang telah menempuh jenjang pendidikan magister (S2) hingga Doktor namun tidak memiliki kemampuan dalam membuat karya tulis ilmiah. Suatu hal yang sangat bertolak belakang dengan “embel-embel” gelar yang telah mereka miliki. Patut dipertanyakan kredibilitas dari para guru-guru yang memiliki gelar S2 dan S3 itu sehingga tidak mamu naik pangkat tepat waktu. Ada beberapa tips yang bisa kita jadikan pedoman supaya guru mampu membuat KTI sebagai bahan kenaikan pangkat adalah memiliki komitmen, konsisten,bekerja keras, kerja cerdas, kerja ikhlas, kerjasama/kolaboratif, memiliki koneksi, memiliki kemauan kuat, kontekstual, kredibel.
Kemudian bekerja tuntas/ketuntasan, kejujuran, ketelitian dan kecermatan, memiliki kesabaran, kreativitas, kondusif/keadaan yang baik, keragaman, konten kreatif, keaslian serta komunikatif.
Guru juga sering mendengar kata penelitian tindakan kelas (PTK). Menurut Burns, 1999, Kemmis & McTaggrt, 1982, Reason & Bradbury, 2001 menyatakan penelitian tindakan merupakan intervensi praktik dunia nyata yang ditujukan untuk meningkatkan situasi praktis. Tentu penelitian tindakan yang dilakukan oleh guru ditujukan untuk meningkatkan situasi pembelajaran yang menjadi tanggung jawabnya dan ia disebut penelitian tindakan kelas (PTK).
Tujuan utama PTK adalah untuk mengubah perilaku pengajaran guru, perilaku siswa di kelas, dan/atau mengubah kerangka kerja melaksanakan pembelajaran di kelas.
Menurut (Cohen & Manion, 1980) PTK berfungsi alat untuk mengatasi masalah-masalah yang didiagnosis dalam situasi pembelajaran di kelas, alat pelatihan dalam-jabatan, membekali guru dengan keterampilan dan metode baru dan mendorong timbulnya kesadaran-diri, khususnya melalui pengajaran sejawat, alat untuk memasukkan ke dalam sistem yang ada (secara alami) pendekatan tambahan atau inovatif, alat untuk meningkatkan komunikasi yang biasanya buruk antara guru dan peneliti, alat untuk menyediakan alternatif bagi pendekatan yang subjektif, impresionistik terhadap pemecahan masalah kelas.Agar PTK berhasil, persyaratan harus dipenuhi. Menuurt Hodgkinson (1988) syarat yang harus dipenuhi adalah kesediaan untuk mengakui kekurangan diri, kesempatan yang memadai untuk menemukan sesuatu yang baru, dorongan untuk mengemukakan gagasan baru, waktu yang tersedia untuk melakukan percobaan, kepercayaan timbal balik antar orang-orang yang terlibat serta pengetahuan tentang dasar-dasar proses kelompok oleh peserta penelitian. Semoga sekelumit karya ini memberi manfaat. (****).