MDGs, SDM dan Tantangan Pendidikan Kita
Oleh: Nelson Sihaloho
Target waktu pencapaian semua tujuan pembangunan milenium atau millenium development goals (MDGs) adalah pada 2015. Indonesia termasuk salah satu negara yang berkomitmen untuk mencapai MDGs, apakah Indonesia mampu memenuhi janji pencapaian target MDGs itu? Sebagaimana diekathui bahwa MDGs berisi daftar sasaran-sasaran pembangunan yang menjadi tantangan pembangunan di seluruh dunia. Deklarasi MDGs telah diadopsi oleh 189 negara dan ditandatangani oleh 147 kepala pemerintahan dan kepala negara, termasuk Indonesia, pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Milenium di New York, 8 September 2000 silam yang difasilitasi oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Sebanyak 8 tujuan MDGs yang dikonkretkan dalam 18 target dan indikator kemajuan yang terukur. Ke-8 tujuan itu adalah, menanggulangi kemiskinan dan kelaparan, mencapai pendidikan untuk semua, mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan, mengurangi kematian anak, meningkatkan kesehatan ibu, memerangi HIV/AIDS dan penyakit menular lainnya, memastikan kelestarian lingkungan hidup, dan mengembangkan kemitraan global. Indonesia setiap tahun mempublikasikan laporan pencapaian MDGs dimana secara nasional, pelaporannya dikoordinasikan oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional / Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) telah melaporkan pencapaian kumulatif Indonesia dalam target-target MDGs hingga tahun 2010 lalu.
Laporan Bappenas menunjukkan bahwa pencapaian MDGs Indonesia dinyatakan optimistik. Laporan pencapaian MDGs Indonesia menunjukkan bahwa sebagian target sudah berhasil, bahkan ada target-target yang dilaporkan melebihi target.
Contohnya adalah penanggulangan kemiskinan, proporsi penduduk dengan pendapatan per kapita kurang dari 1 USD per hari telah menurun dari 20,6 persen pada 1990 menjadi 5,9 persen pada 2008, atau lebih dari separuh dari kondisi pada tahun 1990. Data Bappenas juga menunjukkan pencapaian MDGs Indonesia dalam tiga kategori, yaitu target-target yang telah dicapai, target-target yang telah mencapai kemajuan signifikan serta target-target yang masih perlu kerja keras untuk mencapai sasaran pada 2015.
Era global syarat dengan berbagai persaingan yang semakin ketat dalam berbagai bidang. Era glogal abad 21 memiliki banyak tantangan yang harus siap dan sigap dilakukan oleh segenap umat manusia untuk bisa berbenah diri dalam peningkatan SDM termasuk dalam upaya peningkatan kualitas dan kuantitas ekonomi. Secara mendasar, ada dua hal penting menyangkut kondisi SDM Indonesia, yaitu ketimpangan antara jumlah kesempatan kerja dan angkatan kerja serta tingkat pendidikan angkatan kerja masih relatif rendah. Menurut catatan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Ditjen Dikti) Kemdiknas angka pengangguran sarjana di Indonesia lebih dari 300.000 orang.
Rendahnya alokasi APBN untuk sektor pendidikan meski pada saat ini dikategorikan pada tataran 20 % belum menunjukkan perbaikan kualitas SDM. Hal itu bisa dilihat dari hambatan pasar kerja dimana faktor penyebabnya adalah rendahnya kualitas SDM untuk memenuhi kebutuhan pasar kerja.
Ekonomi abad ke-21 yang ditandai dengan globalisasi ekonomi, merupakan suatu proses kegiatan ekonomi dan perdagangan, dimana negara-negara di seluruh dunia menjadi satu kekuatan pasar yang semakin terintegrasi dengan tanpa rintangan batas teritorial negara. Berdasarkan data, posisi Indonesia dalam kancah persaingan global menurut World Competitiveness Report menempati urutan ke-45 atau terendah dari seluruh negara yang diteliti, di bawah Singapura (8), Malaysia (34), Cina (35), Filipina (38), dan Thailand (40). Kondisi sumber daya manusia Indonesia juga ditemukan adanya ketimpangan antara jumlah kesempatan kerja dan angkatan kerja. Jumlah angkatan kerja nasional pada krisis ekonomi tahun pertama (1998) sekitar 92,73 juta orang, sementara jumlah kesempatan kerja hanya sekitar 87,67 juta orang dan sekitar 5,06 juta orang penganggur terbuka (open unemployment). Angka ini meningkat terus selama krisis ekonomi yang kini berjumlah sekitar 8 juta.
Salah satu problem struktural yang dihadapi dalam dunia pendidikan adalah bahwa pendidikan merupakan subordinasi dari pembangunan ekonomi. Pada era sebelum reformasi pembangunan dengan pendekatan fisik begitu dominan. Hal ini sejalan dengan kuatnya orientasi pertumbuhan ekonomi. Sementara itu pengaruh Iptek terhadap peningkatan SDM Indonesia khususnya dalam persaingan global dewasa ini meliputi berbagai aspek. Aspek-aspek itu adalah akibat yang ditimbulkan oleh aspek teknologi dalam era globalisasi. Kemudian aspek ekonomi dan aspek sosial budaya.
Perubahan Global dan Kurikulum
Menurut Peter Drucker era globalisasi merupakan zaman transformasi sosial. Fenomena globalisasi ini dari hari ke hari terus berkembang secara dinamis. Waktu hari ini tidak bisa digantikan untuk hari esok. Namun hari esok bisa saja muncul peristiwa dan sejarah baru. Selain itu peningkatan interaksi kultural melalui perkembangan media massa terutama televisi, film, musik, dan transmisi berita dan olah raga internasional. Globalisasi dalam bidang budaya, ditandai dengan berkembangnya pertukaran kebudayaan internasional.
Sektor pendidikan kita merupakan garda terdepan dalam mempersiapkan sumber daya manusia. Daya saing suatu bangsa ditentukan oleh kualitas SDM nya. Pada tahun 2008 Indonesia mengusulkan sebanyak delapan program kerjasama pendidikan kepada negara -negara berkembang terbesar di dunia (E-9). Usulan yang disampaikan oleh mantan Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Bambang Sudibyo pada Pembukaan Senior Officials Meeting of E-9 Countries di Depdiknas, Jakarta, Rabu tanggal 22 Oktober 2008 silam.
Program kerjasama yang ditawarkan adalah untuk mencapai target pendidikan untuk semua atau education for all (EFA) dan Millenium Development Goals (MDGs) pada 2015.Terungkap dalam konferensi itu sebanyak 70 persen permasalahan pendidikan di dunia terdapat di sembilan negara yang tergabung dalam E-9. Negara - negara tersebut adalah India, Cina, Bangladesh, Pakistan, Indonesia, Mesir, Nigeria, Meksiko, dan Brazil.
Program yang diusulkan adalah program beasiswa Sandwich untuk guru dan dosen, program pembelajaran jarak jauh, program pertukaran dan berbagi sumber daya memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) menggunakan Indonesia Higher Education and Research Network (INHERENT), Global Development Learning Network (GDLN), dan Jejaring Pendidikan Nasional (Jardiknas ). Program lainnya adalah model madrasah modern, sertifikasi guru dalam jabatan, pelatihan dan pengembangan profesional berkelanjutan untuk guru dalam jabatan, pertukaran guru formal dan nonformal, dan pelatihan kompetensi ganda untuk guru yang memiliki latar belakang pendidikan yang berbeda dengan mata pelajaran yang diampunya serta program pelatihan terhadap guru dalam jabatan melalui 12 pusat pelatihan guru yang terdapat di Indonesia.
Program yang diusulkan adalah program beasiswa Sandwich untuk guru dan dosen, program pembelajaran jarak jauh, program pertukaran dan berbagi sumber daya memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) menggunakan Indonesia Higher Education and Research Network (INHERENT), Global Development Learning Network (GDLN), dan Jejaring Pendidikan Nasional (Jardiknas ). Program lainnya adalah model madrasah modern, sertifikasi guru dalam jabatan, pelatihan dan pengembangan profesional berkelanjutan untuk guru dalam jabatan, pertukaran guru formal dan nonformal, dan pelatihan kompetensi ganda untuk guru yang memiliki latar belakang pendidikan yang berbeda dengan mata pelajaran yang diampunya serta program pelatihan terhadap guru dalam jabatan melalui 12 pusat pelatihan guru yang terdapat di Indonesia.
Reformasi Pendidikan dan Daya Saing
Bambang Sudibyo (2009) mengatakan, hasil 10 tahun reformasi di bidang pendidikan nasional baru bisa dinikmati oleh masyarakat Indonesia pada 2014/2015 mendatang. Pasal 31 UUD ’45 lebih tegas menyatakan tentang hak warga negara atas pendidikan dan kewajiban negara memberikan pendidikan kepada warganya.
Pada pasal 31 dinyatakan setiap warga berhak mendapat pendidikan, setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya, negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 % dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) dan anggaran pendapatan belanja daerah (APBD).
Adapun persoalan pendidikan di Indonesia yaitu pendidikan rata-rata penduduk Indonesia masih sangat rendah. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa 61 persen penduduk Indonesia diatas 15 tahun hanya berpendidikan SD ke bawah. Dua puluh dua (22) persen diantaranya bahkan tidak pernah lusus SD atau tidak sekolah sama sekali.
Persoalan lainnya adalah angka partisipasi sekolah (APS)—rasio penduduk yang bersekolah menurut kelompok usia sekolah—masih belum sebagaimana yang diharapkan. Susenas 2003 menunjukkan bahwa APS untuk penduduk usia 7-12 tahun sudah mencapai 96,4 persen, namun APS penduduk usia 13-15 tahun baru mencapai 81,0 persen. Kemudian angka drop out (DO) masih tinggi, fasilitas pelayanan pendidikan dasar belum tersedia secara merata, kualitas pendidikan yang rendah. Hasil survei Depdiknas tahun 2004 menunjukkan rendahnya kualitas tenaga pendidik dan rendahnya kesejahteraan pendidik.
Keterbatasan anggaran pendidikan menggiring pemerintah menempuh kebijakan membagi dua jalur pendidikan. Kebijakan ini dikeluarkan dengan Peraturan Pemerintah (PP) no 19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Secara formal PP tentang standar nasional pendidikan ini membedakan pendidikan menjadi dua jalur yaitu sekolah formal mandiri dan sekolah formal standar. Ada dua hal yang patut dikritisi dari kebijakan pembagian dua jalur pendidikan ini. Pertama berkaitan dengan substansi kebijakan itu sendiri dan kedua berkaitan dengan proses terbitnya kebijakan.
Kemudian adalah masalah daya saing dalam pasar dunia yang semakin terbuka merupakan isu kunci dan tantangan yang sangat. Tanpa dibekali kemampuan dan keunggulan daya saing yang tinggi produk suatu negara, termasuk produk Indonesia, tidak akan mampu menembus pasar internasional.
Masuknya produk impor dapat mengancam posisi pasar domestik. Intinya dengan kondisi pasar yang bersaing, keunggulan kompetitif (competitive advantage) merupakan faktor yang desisif dalam meningkatkan kinerja perusahaan.
Diperlukan upaya meningkatkan daya saing dan meningkatkan keunggulan kompetitif terhadap produk Indonesia baik itu pelaku bisnis, aparat birokrasi, berbagai organisasi dan anggota masyarakat serta lingkungan kerja sehingga bisnis corporate Indonesia memiliki keunggulan dalam pasar luar negeri.
Realitas globalisasi mmeunculkan sejumlah implikasi terhadap pengembangan SDM di Indonesia termasuk tuntutan globalisasi daya saing ekonomi. Daya saing ekonomi akan terwujud apabila didukung oleh SDM yang handal. Untuk menciptakan SDM berkualitas dan handal yang diperlukan adalah pendidikan.
Pendidikan sebagai suatu mekanisme kelembagaan pokok dalam mengembangkan keahlian dan pengetahuan merupakan kegiatan investasi dimana pembangunan ekonomi sangat berkepentingan. Pembangunan ekonomi membutuhkan kualitas SDM yang unggul baik dalam kapasitas penguasaan Iptek, sikap mental sehingga mampu menjadi subyek atau pelaku pembangunan yang handal. Dalam kerangka globalisasi, penyiapan pendidikan perlu juga disinergikan dengan tuntutan kompetisi. Dimensi daya saing dalam SDM menjadi semakin penting untuk memacu kualitas SDM melalui pendidikan.
Problem utama dalam pembangunan sumberdaya manusia adalah terjadinya missalocation of human resources. Pada era sebelum reformasi, pasar tenaga kerja mengikuti aliran ekonomi konglomeratif, dimana tenaga kerja yang ada cenderung memasuki dunia kerja yang bercorak konglomeratif yaitu mulai dari sektor industri manufaktur hingga perbankan. Termasuk dunia pendidikan akhirnya masuk dalam kemelut ekonomi politik, yakni terjadinya kesenjangan ekonomi yang diakselerasi struktur pasar.
Kenyataan menunjukkan banyak lulusan terbaik pendidikan masuk ke sektor-sektor ekonomi yang justru bukannya memecahkan masalah ekonomi, tapi malah memperkuat proses konsentrasi ekonomi dan konglomerasi, yang mempertajam kesenjangan ekonomi. Visi pengembangan SDM melalui pendidikan terkait dengan kondisi ekonomi politik yang diciptakan pemerintah. Disisi lain Indonesia kekurangan berbagai keahlian untuk mengisi berbagai tuntutan globalisasi.
Untuk mengantisipasi tuntutan globalisasi diperlukan suatu kebijakan link and match serta sebuah terobosan melalui strategi yang mengintegrasikan pembangunan ekonomi dengan pendidikan.
Paradigma pembangunan pendidikan berbasis ekonomi dan profit akan menjadikan sektor pendidikan kita kehilangan jati diri dan karakter. Itulah sebabnya pendidikan seminimal mungkin harus dijauhkan dari praktek bisnis. Apabila praktik bisnis diberlakukan dalam dunia pendidikan maka daya saing dan mutu suatu sekolah atau lembaga pendidikan akan semakin tidak sehat.
Melineum Develompent Goals (MDGS) sebagai acuan untuk mengukur keberhasilan Indonesia dalam berbagai sektor khususnya pendidikan harus diimplementasikan dengan langkah konkrit. Anggaran pendidikan yang mencapai 286 trilyun lebih pada tahun 2012 sebagaiamana Pidato Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 16 Agustus 2011 dalam Pengantar Rencana APBN 2012 diharapkan mampu meningkatkan kualitas dan mutu pendidikan.
Pendidikan karakter yang telah digulirkan sebenarnya menjadi kekuatan utama bangsa Indonesia untuk kembali menggali nilai-nilai luhur budaya bangsa sebagai kearifan lokal berbasis global.
Dalam konteks ini kita patut bersyukur, Indonesia yang memiliki keberagaman budaya dengan sebanyak 16.666 pulau yang terbentang dari Sabang- Merauke apabila digali sumber-sumber dan nilai-nilai yang terkandung didalam budaya itu sendiri berkemungkinan ribuan tahun ke depan belum bisa terkuak. Indonesia harus bangga sebagai bangsa yang memiliki keberagaman budaya. Tugas kita adalah melestarikan nilai-nilai luhurdan budaya bangsa. Pemimpin bangsa harus memiliki visi dan kepedulian yang tinggi dalam melestarikan nilai-nilai budaya bangsa. Persoalannya sekarang mengapa begitu banyak gedung-gedung dan nilai-nilai sejarah yang semakin tergusur dengan program pembangunan super-super blok diperkotaan?
Kebijakan politik pembangunan pemerintah yang kurang tepat dan menggusur bukti-bukti maupun fakta-fakta sejarah membuktikan bahwa pemimpin salah dalam menafsirkan politik pembangunan ekonomi. Politik yang sehat dan santun semakin jauh dari harapan manakala kita melakukan refleksi kembali betapa begitu banyaknya bukti-bukti sejarah budaya, perjuangan hingga hutan adatpun ikut digusur akibat aktivitas pembangunan.
Bangsa ini tidak bisa lagi melihat miniatur budaya-budaya bernilai sejarah tinggi, semestinya meskipun suatu kawasan sejarah akan dilakukan kegiatan pembangunan bukti-bukti sejarah harus didokumentasikan pemerintah sehingga kelak kawasan suatu kegiatan pembangunan dapat direfleksikan kembali.
Karena itu dibutuhkan suatu keraifan dan kebijaksanaan dalam kegiatan pembangunan sehingga bangsa ini memiliki martabat yang tinggi dan berkarakter. MDGs tahun 2015 sudah diambang pintu, kita harus bergegas cepat mengimpelemtasikan semua program kegiatan pembangunan secara terukur.( Penulis dadal Guru SM
Tidak ada komentar:
Posting Komentar