Reformasi dan Peningkatan Mutu Pendidikan
Oleh: Nelson Sihaloho
Mantan
Menteri
Pendidikan Nasional (Mendiknas) Bambang Sudibyo
(15/7/2009) lalu mengatakan, hasil 10 tahun
reformasi di bidang pendidikan nasional baru bisa dinikmati oleh masyarakat
Indonesia pada 2014/2015 mendatang.
Beberapa hal yang telah dilakukan reformasi oleh
Kementerian Pendidikan Nasional (Kemdiknas) mulai dari kurikulum, guru,
sarana dan prasana, proses pembelajaran, manajemen satuan pendidikan serta hal lainnya.
Diberlakukannya UU Nomor 14 tentang Guru
dan Dosen, diikuti dengan Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2005 tentang
Guru, PP Nomor 41 tahun 2009 tentang Tunjangan Profesi Guru, Tunjangan Profesi
Dosen, Tunjangan Khusus bagi Guru yang bertugas di Daerah Khusus dan Tunjangan Kehormatan
terhadap Guru Besar (http://edukasi.kompas.com, 2009).
Fazli Jalal,
2005, mengatakan bahwa pendidikan
dasar wajib yang dipilih Indonesia
adalah 9 tahun, yaitu pendidikan SD dan SMP. Apabila dilihat dari umur maka
mereka yang wajib bersekolah adalah 7-15 tahun. Saat ini populasi kelompok umur
7-15 tahun adalah sekitar 39 juta orang.
Sejumlah
persoalan masih mendera pelaksanaan pendidikan di Indonesia. Beberapa
diantaranya adalah pendidikan rata-rata penduduk Indonesia masih
sangat rendah. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan sekitar 61 persen penduduk Indonesia
diatas 15 tahun hanya berpendidikan SD ke bawah. Dua puluh dua (22) persen
diantaranya bahkan tidak pernah lusus SD atau tidak sekolah sama sekali.
Kemudian angka partisipasi sekolah (APS) dengan rasio penduduk yang
bersekolah menurut kelompok usia sekolah berdasarkan data Susenas 2003 menunjukkan bahwa APS untuk penduduk
usia 7-12 tahun sudah mencapai 96,4 persen, namun APS penduduk usia 13-15 tahun
baru mencapai 81,0 persen. Angka tersebut mengindikasikan bahwa masih terdapat
sekitar 19 persen anak usai 13-15 tahun yang tidak bersekolah baik karena
belum/ tidak pernah sekolah maupun karena putus sekolah atau tidak melanjutkan
ke jenjang yang lebih tinggi. Data Susenas 2003 mengungkapkan bahwa faktor
ekonomi merupakan alasan utama anak putus sekolah atau tidak melanjutkan
pendidikan (75,7 persen).
Angka drop out (DO) masih tinggi.
Pada tahun ajaran 2004/2005 angka DO untuk anak SD/MI mencapai 685.967. Selain
itu anak yang lulus SD tetapi tidak mampu melanjutkan ke jenjang SMP juga
tinggi, untuk tahun 2004/2005 jumlahnya mencapai 495.261. Tingginya angka DO
dan angka lulusan SD yang tidak melanjutkan ke SMP biasanya adalah karena
faktor ekonomi orang orang tua, sementara itu biaya yang harus dikeluarkan
untuk bersekolah semakin mahal.
Fasilitas pelayanan pendidikan dasar belum
tersedia secara merata. Fasilitas pelayanan pendidikan di daerah pedesaan,
terpencil dan kepulauan yang masih terbatas menyebabkan anak-anak daerah
tersebut sulit mengakses pendidikan dasar.
Selain itu masih
banyak dijumpai gedung-gedung Sekolah dasar dan sekolah menengah dalam keadaan
rusak dan tak layak huni. Hasil survei Departemen Pendidikan Nasional
(Depdiknas) tahun 2004 menunjukkan bahwa 57.2 persen gedung SD/ MI dan sekitar
27.3 persen gedung SMP/MTs mengalami rusak ringan dan rusak berat. Akibatnya
para murid terpaksa belajar di ruangan terbuka, atau menanggung bahaya belajar
di dalam gedung yang hampir roboh
serta kualitas pendidikan yang rendah.
Peningkatan mutu
pendidikan dan standaridisasi pendidikan yang dilaksanakaan saat ini juga tidak mudah. Untuk meningkatkan
mutu pendidikan di Indonesia
dibutuhkan strategi bertahap dan tanpa penyeragaman. Sekolah-sekolah yang
kurang berkualitas atau di daerah-daerah terpencil dapat dipacu dahulu dengan
berbagai bantuan untuk peningkatan kualitas, baik dari segi prasarana dan
tenaga pengajar hingga siap
dilakukan standarisasi yang sesungguhnya.
Peningkatan
status guru dari pekerja menjadi profesi harus diikuti pendidikan khusus yang
dapat meningkatkan kualitas mereka. Menurut mantan Menteri Pendidikan
Nasional Bambang Sudibyo, peningkatan kualitas guru itu sangat
diperlukan untuk meningkatkan kualitas pendidikan (Kompas, Jum’at 28 Januari
2005).
Fasli Djalal (2005) mendukung hak-hak guru
adalah langkah maju dalam kebijakan pendidikan. Sebab kebijakan ini seiring
dengan tuntutan peran profesional guru. Hanya saja persoalan profesionalisme
guru tak akan selesai semata dengan memberikan sebuah Dirjen yang mengurusi
peningkatan mutu guru. Pasalnya peningkatan mutu guru bukanlah persoalan
birokrasi dan manajemen semata.
Jama’an Satori (2005) menyatakan bahwa pencapaian
mutu pendidikan untuk pendidikan dasar dan menengah dikaji berdasarkan delapan
Standar Nasional Pendidikan dari BSNP. Empat hal penting yang perlu dilakukan
dalam penjaminan dan peningkatan mutu pendidikan untuk pendidikan dasar
dan menengah di Indonesia adalah pengkajian
mutu pendidikan, analisis dan pelaporan mutu pendidikan,
peningkatan mutu pendidikan, penumbuhan budaya peningkatan mutu
berkelanjutan serta peningkatan
mutu merujuk pada Standar Nasional Pendidikan (SNP).
Persoalannya sekarang bagaimana upaya dan strategi
yang harus ditempuh sehingga reformasi pendidikan signifikan dengan peningkatan
mutu pendidikan di Indonesia. Bagaimana
agar paradigma tuntutan penjaminan mutu dapat diselaraskan dengan tuntutan era
globalisasi yang kini tengah kita hadapi bersama.
Reformasi Berkelanjutan
Reformasi dibidang pendidikan sebenarnya tidak
perlu dirisaukan. Reformasi adalah merupakan suatu langkah untuk melakukan
perbaikan secara berkelanjutan terhadap sistem yang menghambat pendidikan
bermutu. Jama’an Satori (2005)
menyatakan paradigma penjaminan mutu telah bergeser dari praktek quality
control ke quality assurance and development. Hasil-hasil kajian
menunjukkan bahwa peningkatan mutu tidak selalu berkaitan dengan peningkatan
anggaran pendidikan dan ketersediaan guru dalam jumlah dan kualifikasi.
Peningkatan mutu terjadi dalam perwujudan budaya mutu yang menunjukkan
perubahan cara berpikir dan
budaya kerja yang mengutamakan mutu.
Lebih lanjut Jama’an Satori (2005) menyatakan
bahwa indikator-indikator kajian internasional maupun regional dalam
banyak aspek selalu menunjukkan bahwa daya saing Indonesia menduduki peringkat
yang belum memberikan kebanggaan sebagai bangsa. Dengan mempertimbangkan
peranan strategis pendidikan dalam investasi sumber daya manusia, diyakini
bahwa penyelenggaraan pendidikan yang bermutu akan mampu secara bertahap
membangun martabat dan daya saing bangsa Indonesia. Satu sistem penjaminan
dan peningkatan mutu diperlukan untuk menghindari pelaksanaan program-program
pendidikan yang parsial, tidak berkelanjutan, serta belum kuatnya tata kerja
akuntabilitas penyelenggaraan pendidikan.
Di Indonesia saat ini justeru jabatan dipandang
sebagai upaya investasi untuk mendapatkan profit dan capital yang
sebesar-besarnya. Maka kita tidak perlu heran begitu banyak “oknum pejabat”
yang terjerat kasus korupsi karena diduga melakukan perbuatan menyimpang. Pada
akhirnya educational people (manusia terdidik) justeru tidak terdidik
karena profesionalismenya dibidang
“korupsi”.
Pemandangan itu kontras dengan ilmu pengetahuan
yang telah mereka peroleh ketika mengenyam pendidikan. Ditambah dengan berbagai
aktivitas media yang menyiarkan perbuatan oknum-oknum pelaku korupsi
mengindikasikan bahwa “manusia terdidik” yang telah di didik itu berubah
menjadi oknum-oknum pelaku tindak pidana korupsi.
Untuk mencegah berbagai perbuatan tidak terpuji
itu semakin merajalela diperlukan suatu sinergi dan refleksi kembali terhadap
kasus-kasus yang telah mencuat itu. Apakah ada relevansi gelar pendidikan yang
melekat pada oknum pelaku korupsi itu dengan ilmu pengetahuan dan teknologi yang
mereka peroleh semasa dalam pendidikan?.
Apabila reformasi tidak dilakukan secara
berkelanjutan maka dapat kita bayangkan sistem pendidikan kita juga tidak akan
efektif dalam upaya peningkatan mutu pendidikan.Berbagai fakta-fakta juga
menunjukkan dengan diberlakukannya otonomi daerah (Otda) diduga profesionalisme
guru juga semakin tidak sinkron dengan prestasi dan profesionalisme guru.
Contoh kecil adalah sistem karir dan kepangkatan seorang guru. Diduga ada
oknum Kepala Sekolah memiliki bawahan
yang kepangkatannya lebih tinggi. Padahal untuk mencapai jenjang kepangkatan
seorang guru harus mampu memenuhi berbagai persayaratan dalam kenaikan pangkat.
Saat ini diberlakukan pengembangan profesi berkelanjutan dimana kenaikan
pangkat dari III/B ke atas wajib membuat karya tulis ilmiah. Semestinya sesuai
dengan reformasi berkelanjutan suatu sekolah jika seorang guru memiliki pretasi
yang baik dan mampu mencapai jenjang kepangkatan yang lebih tinggi dan tepat
waktu itulah yang harus dipromosikan mendapatkan tugas tambahan sebagai Kepala Sekolah.
Profesionalisme seorang guru bukan
diukur berdasarkan “setoran” dan “upeti” ataupun “buah “tangan”, kepada
penentu kebijakan. Namun profesionalisme guru diukur berdasarkan hasil
kinerja dan prestasi yang telah diraihnya selama menjalankan tugasnys sebagai
guru. Reformasi berkelanjutan terhadap karir guru harus dilakukan secara
obejketif. Mengacu pada sistem kepangkatan yang berlaku dalam Kementerian
Pendidikan Nasional (Kemdiknas) dan kepegawaian semestinya tidak diperkenankan
oknum Kepala Sekolah yang kepangkatannya lebih rendah dari guru menjadi
Kepala Sekolah. Semestinya berlaku kepangkatan yang lebih tinggi mengatur
pangkat dan golongan ruang yang lebih rendah. Badan Kepegawaian Daerah (BKD)
semestinya harus tanggap dan memahami peraturan kepegawaian secara benar,
cermat dan seksama apabila ada seorang guru memiliki kepangakatan lebih
tinggi dari Kepsek untuk segera melakukan penggantian Kepsek dan menggantinya
dengan guru yang kepangkatannya lebih tinggi.
Kompetensi dan Peningkatan Mutu
|
Kompetensi
guru meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi
sosial, dan kompetensi profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi.
Persoalannya sekarang banyak guru
yang telah memenuhi syarat kualifikasi namun kinerjanya kurang profesional.Apabilam dicermati otoritas professional guru berbeda antara otonomi profesi
dosen dengan otonomi profesi guru.
Guru
profesional tidak akan
terombang-ambing oleh selera masyarakat, karena tugas guru adalah membantu dan membuat
peserta didik belajar. Tugas
profesional seorang pendidik adalah membantu peserta didik belajar (to
help the others learn), bahkan terlepas dari persoalan apakah mereka
suka atau tidak suka.
Karakteristik profesional minimum seorang
guru adalah mempunyai komitmen pada siswa dan proses
belajarnya, menguasai secara mendalam bahan belajar atau mata pelajaran serta
cara pembelajarannya, bertanggung
jawab memantau hasil belajar siswa melalui berbagai cara evaluasi, mampu
berfikir sistematis tentang apa yang dilakukannya dan belajar dari
pengalamannya serta menjadi
partisipan aktif masyarakat belajar dalam lingkungan profesinya.
Dalam peraturan perundang-undangan yang
mengatur standar kualifikasi akademik dan kompetensi guru beberapa point diantaranya adalah menguasai karakteristik peserta didik dari
aspek fisik, moral, sosial, kultural, emosional, dan intelektual, menguasai teori belajar dan
prinsip-prinsip pembelajaran yang mendidik, mengembangkan kurikulum yang
terkait dengan bidang pengembangan yang diampu, menyelenggarakan kegiatan
pengembangan yang mendidik,
memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk kepentingan
penyelenggaraan kegiatan pengembangan yang mendidik, dan memfasilitasi
pengembangan potensi peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi
yang dimiliki.
|
Faktor-faktor
yang menentukan kualitas proses pendidikan suatu sekolah adalah terletak pada
unsur-unsur dinamis yang ada di dalam sekolah itu dan lingkungannya sebagai
suatu kesatuan sistem. Salah satu unsurnya ialah guru sebagai pelaku terdepan
dalam pelaksanaan pendidikan di tingkat institusional dan instruksional.
Peran serta guru
dalam kaitan dengan mutu pendidikan, sekurang-kurangnya dapat dilihat dari
empat dimensi yaitu guru sebagai pribadi, guru sebagai unsur keluarga, guru
sebagai unsur pendidikan, dan guru sebagai unsur masyarakat. Apabila dipandang dari sudut manajemen SDM
guru, guru masih berada dalam pengelolaan yang lebih bersifat
birokratis-administratif dan kurang kurang
berlandaskan pada paradigma
pendidikan seperti manajemen
pemerintahan, kekuasaan, politik, dan
sebagainya.
Menurut Carl D.
Glickman (1990) guru masih berada di lingkungan kerja yang disebut “The legacy of the One-Room
Schoolhouse” atau warisan
satu-kamar bangunan sekolah. Kualitas profesionalisme ditunjukkan
oleh lima untuk kerja yaitu keinginan
untuk selalu menampilkan perilaku yang mendekati standar ideal, meningkatkan dan memelihara citra profesi, keinginan untuk senantiasa
mengejar kesempatan pengembangan profesional yang dapat meningkatkan dan
memperbaiki kualitas pengetahuan dan ketrampilannya, mengejar kualitas dan cita-cita dalam
profesi serta memiliki
kebanggaan terhadap profesinya.
Pada tatanan
global seluruh umat manusia di dunia dihadapkan pada tantangan yang bersumber
dari perkembangan global sebagai akibat pesatnya perkembangan ilmu perngetahuan
dan teknologi.
Menurut Robert B Tucker (2001)
mengidentifikasi adanya sepuluh tantangan pada abad 21. Tantangan
itu adalah kecepatan (speed), kenyamanan (convinience), gelombang generasi (age wave), pilihan
(choice), ragam gaya hidup (life
style), kompetisi harga
(discounting), pertambahan nilai
(value added), pelayananan pelanggan (costumer service), teknologi
sebagai andalan (techno age) serta jaminan
mutu (quality control.
Lebih lanjut Robert B Tucker (2001) mengatakan kesepuluh tantangan itu
menuntut inovasi dikembangkannya paradigma baru dalam pendidikan seperti:
accelerated learning, learning revolution, megabrain, quantum learning, value
clarification, learning than teaching, transformation of knowledge, quantum
quotation (IQ, EQ, SQ,), process approach, forfolio evaluation, school/community based management, school based
quality improvement, life skills, competency based corriculum.
Linda Darling
Hammond dan Joan Baratz Snouwden (2007) dalam tulisannya yang berjuudul “Good Teacher in Every Classroom:
Preparing the High Qualified Teachers Our Children Deserve” ada beberapa alasan mengapa hal itu bisa terjadi, karena pemerintah dan masyarakat belum
menunjukkan keseriusannya dalam menangani hak-hak anak terutama dari kelompok
miskin, penyempitan makna konvensional yang menyatakan bahwa pengajaran
semata-mata sebagai proses penyampaian materi sebagaimana digariskan dalam
kurikulum.
Selanjutnya adalah banyak pihak yang tidak
memahami hakekat mengajar yang sebenarnya,
hampir semua meyakini bahwa yang penting adalah pengajaran dan bukan
pembelajaran dari peserta didik, masih longgarnya tuntutan persyaratan untuk
menjadi guru yang berkualitas, serta
para peneliti dan pendidik guru barui sampai pada kesepakatan mengenai
pengetahuan dasar yang diperlukan oleh guru untuk memasuki kelas. Itulah yang disebut oleh Wayne K. Hoy dan
Cecil G. Miskel sebagai proses
interaksi antara pengajaran dan pembelajaran sebagai “technical core” dalam pendidikan guru. Mereka menyarankan
agar pendidikan guru baik pra-jabatan maupun dalam jabatan dibangun dalam satu
sistem yang utuh dengan memperhatikan aspek input, proses, dan output dan
terjadi keterpaduan berbagai unsur sub-sistem secara utuh.
Menurut Suyanto (2007) guru memiliki peran
yang amat penting bagi proses pendidikan. Suyanto yang mengutip pendapat dari John Goodlad, Ketua Asosiasi
Kepala Sekolah di Amerika Serikat suatu saat berujar, "Manakala guru sudah
masuk ke ruang kelas dan menutup pintu kelas itu, dialah yang akan menentukan
apakah proses belajar hari itu berjalan dengan baik atau tidak, dapat mencapai
tujuan atau tidak.
Penutup
Itulah sekelumit persoalan dalam melakukan
reformasi dan peningkatan mutu pendidikan di negeri. Belajar dari informasi-informasi
dari berbagai sumber-sumber ilmu pengetahuan dan teknologi pelaksanaan
reformasi dibidang pendidikan akan terus berlanjut seiring dengan tuntutan dan
perkembanganm zaman.
Kualitas dan mutu pendidikan suatu bangsa hanya
bisa diukur dengan kemandirian suatu bangsa dan negara dalam menghadapi tatanan
global. Semakain banyak sumber daya manusia (SDM) suatu bangsa yang mampu
berkiprah dalam dunia internasional itulah bangsa yang memiliki SDM-SDM yang
tinggi. Meski demikian peranan guru dalam meningkatkan mutu pendidikan di
negeri ini sangat besar pengaruhnya terhadap kemandirian suatu bangsa. Selain
itu pendidikan karakter yang telah kita lakukan sekarang ini hendaknya mampu
menjadikan bangsa ini memiliki karakter berbeda dengan bangsa lain. Apabila kita
berhasil membangun karakter bangsa yang tangguh, kompetitif dan mampu bersaing
secara global melalui pendidikan maka dimasa mandatang bangsa ini akan lebih
baik lagi. Semoga menuju masyarakat adil dan makmur dapat tercapai melalui
peningkatan mutu pendidikan yang secara terus menerus tiada henti. (*** dihimpun dari berbagai sumber-sumber
relevan.).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar