Senin, 17 Oktober 2011

PENDIDIKAN


Reformasi dan Peningkatan Mutu Pendidikan

Oleh: Nelson Sihaloho

Mantan Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Bambang Sudibyo (15/7/2009)  lalu mengatakan, hasil 10 tahun reformasi di bidang pendidikan nasional baru bisa dinikmati oleh masyarakat Indonesia pada 2014/2015 mendatang.
Beberapa hal yang telah dilakukan reformasi oleh Kementerian Pendidikan Nasional (Kemdiknas) mulai dari kurikulum, guru, sarana dan prasana, proses pembelajaran, manajemen satuan pendidikan serta hal lainnya.
Diberlakukannya UU Nomor 14 tentang Guru dan Dosen, diikuti dengan Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2005 tentang Guru, PP Nomor 41 tahun 2009 tentang Tunjangan Profesi Guru, Tunjangan Profesi Dosen, Tunjangan Khusus bagi Guru yang bertugas di Daerah Khusus dan Tunjangan Kehormatan terhadap Guru Besar (http://edukasi.kompas.com, 2009).
Fazli Jalal, 2005, mengatakan bahwa pendidikan dasar wajib yang dipilih Indonesia adalah 9 tahun, yaitu pendidikan SD dan SMP. Apabila dilihat dari umur maka mereka yang wajib bersekolah adalah 7-15 tahun. Saat ini populasi kelompok umur 7-15 tahun adalah sekitar 39 juta orang.
Sejumlah persoalan masih mendera pelaksanaan pendidikan di Indonesia. Beberapa diantaranya adalah pendidikan rata-rata penduduk Indonesia masih sangat rendah. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan sekitar 61 persen penduduk Indonesia diatas 15 tahun hanya berpendidikan SD ke bawah. Dua puluh dua (22) persen diantaranya bahkan tidak pernah lusus SD atau tidak sekolah sama sekali.
Kemudian angka partisipasi sekolah (APS) dengan rasio penduduk yang bersekolah menurut kelompok usia sekolah berdasarkan data Susenas 2003 menunjukkan bahwa APS untuk penduduk usia 7-12 tahun sudah mencapai 96,4 persen, namun APS penduduk usia 13-15 tahun baru mencapai 81,0 persen. Angka tersebut mengindikasikan bahwa masih terdapat sekitar 19 persen anak usai 13-15 tahun yang tidak bersekolah baik karena belum/ tidak pernah sekolah maupun karena putus sekolah atau tidak melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi. Data Susenas 2003 mengungkapkan bahwa faktor ekonomi merupakan alasan utama anak putus sekolah atau tidak melanjutkan pendidikan (75,7 persen).
Angka drop out (DO) masih tinggi. Pada tahun ajaran 2004/2005 angka DO untuk anak SD/MI mencapai 685.967. Selain itu anak yang lulus SD tetapi tidak mampu melanjutkan ke jenjang SMP juga tinggi, untuk tahun 2004/2005 jumlahnya mencapai 495.261. Tingginya angka DO dan angka lulusan SD yang tidak melanjutkan ke SMP biasanya adalah karena faktor ekonomi orang orang tua, sementara itu biaya yang harus dikeluarkan untuk bersekolah semakin mahal.
Fasilitas pelayanan pendidikan dasar belum tersedia secara merata. Fasilitas pelayanan pendidikan di daerah pedesaan, terpencil dan kepulauan yang masih terbatas menyebabkan anak-anak daerah tersebut sulit mengakses pendidikan dasar.
Selain itu masih banyak dijumpai gedung-gedung Sekolah dasar dan sekolah menengah dalam keadaan rusak dan tak layak huni. Hasil survei Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) tahun 2004 menunjukkan bahwa 57.2 persen gedung SD/ MI dan sekitar 27.3 persen gedung SMP/MTs mengalami rusak ringan dan rusak berat. Akibatnya para murid terpaksa belajar di ruangan terbuka, atau menanggung bahaya belajar di dalam gedung yang hampir roboh serta kualitas pendidikan yang rendah.
Peningkatan mutu pendidikan dan standaridisasi pendidikan yang dilaksanakaan saat ini juga tidak mudah. Untuk meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia dibutuhkan strategi bertahap dan tanpa penyeragaman. Sekolah-sekolah yang kurang berkualitas atau di daerah-daerah terpencil dapat dipacu dahulu dengan berbagai bantuan untuk peningkatan kualitas, baik dari segi prasarana dan tenaga pengajar hingga siap dilakukan standarisasi yang sesungguhnya.
Peningkatan status guru dari pekerja menjadi profesi harus diikuti pendidikan khusus yang dapat meningkatkan kualitas mereka. Menurut mantan Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo, peningkatan kualitas guru itu sangat diperlukan untuk meningkatkan kualitas pendidikan (Kompas, Jum’at 28 Januari 2005).
Fasli Djalal (2005) mendukung hak-hak guru adalah langkah maju dalam kebijakan pendidikan. Sebab kebijakan ini seiring dengan tuntutan peran profesional guru. Hanya saja persoalan profesionalisme guru tak akan selesai semata dengan memberikan sebuah Dirjen yang mengurusi peningkatan mutu guru. Pasalnya peningkatan mutu guru bukanlah persoalan birokrasi dan manajemen semata.
Jama’an Satori (2005) menyatakan bahwa pencapaian mutu pendidikan untuk pendidikan dasar dan menengah dikaji berdasarkan delapan Standar Nasional Pendidikan dari BSNP. Empat hal penting yang perlu dilakukan dalam  penjaminan dan peningkatan mutu pendidikan untuk pendidikan dasar dan menengah di Indonesia adalah pengkajian mutu pendidikan,  analisis dan pelaporan mutu pendidikan, peningkatan mutu pendidikan, penumbuhan budaya peningkatan mutu berkelanjutan serta peningkatan mutu merujuk pada Standar Nasional Pendidikan (SNP).
Persoalannya sekarang bagaimana upaya dan strategi yang harus ditempuh sehingga reformasi pendidikan signifikan dengan peningkatan mutu pendidikan di  Indonesia. Bagaimana agar paradigma tuntutan penjaminan mutu dapat diselaraskan dengan tuntutan era globalisasi yang kini tengah kita hadapi bersama.
Reformasi Berkelanjutan
Reformasi dibidang pendidikan sebenarnya tidak perlu dirisaukan. Reformasi adalah merupakan suatu langkah untuk melakukan perbaikan secara berkelanjutan terhadap sistem yang menghambat pendidikan bermutu.  Jama’an Satori (2005) menyatakan paradigma penjaminan mutu telah bergeser dari praktek quality control ke quality assurance and development. Hasil-hasil kajian menunjukkan bahwa peningkatan mutu tidak selalu berkaitan dengan peningkatan anggaran pendidikan dan  ketersediaan guru dalam jumlah dan kualifikasi. Peningkatan mutu terjadi dalam perwujudan budaya mutu yang menunjukkan perubahan cara berpikir dan budaya kerja yang mengutamakan mutu.
Lebih lanjut Jama’an Satori (2005) menyatakan bahwa indikator-indikator kajian internasional maupun regional dalam banyak aspek selalu menunjukkan bahwa daya saing Indonesia menduduki peringkat yang belum  memberikan kebanggaan sebagai bangsa. Dengan mempertimbangkan peranan strategis pendidikan dalam investasi sumber daya manusia, diyakini bahwa penyelenggaraan pendidikan yang bermutu akan mampu secara bertahap membangun martabat dan daya saing bangsa Indonesia. Satu sistem penjaminan dan peningkatan mutu diperlukan untuk menghindari pelaksanaan program-program pendidikan yang parsial, tidak berkelanjutan, serta belum kuatnya tata kerja akuntabilitas penyelenggaraan pendidikan.
Di Indonesia saat ini justeru jabatan dipandang sebagai upaya investasi untuk mendapatkan profit dan capital yang sebesar-besarnya. Maka kita tidak perlu heran begitu banyak “oknum pejabat” yang terjerat kasus korupsi karena diduga melakukan perbuatan menyimpang. Pada akhirnya educational people (manusia terdidik) justeru tidak terdidik karena  profesionalismenya dibidang “korupsi”.
Pemandangan itu kontras dengan ilmu pengetahuan yang telah mereka peroleh ketika mengenyam pendidikan. Ditambah dengan berbagai aktivitas media yang menyiarkan perbuatan oknum-oknum pelaku korupsi mengindikasikan bahwa “manusia terdidik” yang telah di didik itu berubah menjadi oknum-oknum pelaku tindak pidana korupsi.  
Untuk mencegah berbagai perbuatan tidak terpuji itu semakin merajalela diperlukan suatu sinergi dan refleksi kembali terhadap kasus-kasus yang telah mencuat itu. Apakah ada relevansi gelar pendidikan yang melekat pada oknum pelaku korupsi itu dengan ilmu pengetahuan dan teknologi yang mereka peroleh semasa dalam pendidikan?.
Apabila reformasi tidak dilakukan secara berkelanjutan maka dapat kita bayangkan sistem pendidikan kita juga tidak akan efektif dalam upaya peningkatan mutu pendidikan.Berbagai fakta-fakta juga menunjukkan dengan diberlakukannya otonomi daerah (Otda) diduga profesionalisme guru juga semakin tidak sinkron dengan prestasi dan profesionalisme guru. Contoh kecil adalah sistem karir dan kepangkatan seorang guru. Diduga ada oknum  Kepala Sekolah memiliki bawahan yang kepangkatannya lebih tinggi. Padahal untuk mencapai jenjang kepangkatan seorang guru harus mampu memenuhi berbagai persayaratan dalam kenaikan pangkat. Saat ini diberlakukan pengembangan profesi berkelanjutan dimana kenaikan pangkat dari III/B ke atas wajib membuat karya tulis ilmiah. Semestinya sesuai dengan reformasi berkelanjutan suatu sekolah jika seorang guru memiliki pretasi yang baik dan mampu mencapai jenjang kepangkatan yang lebih tinggi dan tepat waktu itulah yang harus dipromosikan mendapatkan tugas tambahan sebagai  Kepala Sekolah.
Profesionalisme seorang guru bukan diukur berdasarkan “setoran” dan “upeti” ataupun “buah “tangan”, kepada penentu kebijakan. Namun profesionalisme guru diukur berdasarkan hasil kinerja dan prestasi yang telah diraihnya selama menjalankan tugasnys sebagai guru. Reformasi berkelanjutan terhadap karir guru harus dilakukan secara obejketif. Mengacu pada sistem kepangkatan yang berlaku dalam Kementerian Pendidikan Nasional (Kemdiknas) dan kepegawaian semestinya tidak diperkenankan oknum Kepala Sekolah yang kepangkatannya lebih rendah dari guru menjadi Kepala Sekolah. Semestinya berlaku kepangkatan yang lebih tinggi mengatur pangkat dan golongan ruang yang lebih rendah. Badan Kepegawaian Daerah (BKD) semestinya harus tanggap dan memahami peraturan kepegawaian secara benar, cermat dan seksama apabila ada seorang guru memiliki kepangakatan lebih tinggi dari Kepsek untuk segera melakukan penggantian Kepsek dan menggantinya dengan guru yang kepangkatannya lebih tinggi.
Kompetensi dan Peningkatan Mutu
Kompetensi guru meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi. Persoalannya sekarang banyak guru yang telah memenuhi syarat kualifikasi namun kinerjanya kurang profesional.Apabilam dicermati  otoritas professional guru berbeda antara otonomi profesi dosen dengan otonomi profesi guru.
Guru profesional tidak akan terombang-ambing oleh selera masyarakat, karena tugas guru adalah membantu dan membuat peserta didik belajar. Tugas profesional seorang pendidik adalah membantu peserta didik belajar (to help the others learn), bahkan terlepas dari persoalan apakah mereka suka atau tidak suka.
Karakteristik profesional minimum seorang guru adalah  mempunyai komitmen pada siswa dan proses belajarnya, menguasai secara mendalam bahan belajar atau mata pelajaran serta cara pembelajarannya, bertanggung jawab memantau hasil belajar siswa melalui berbagai cara evaluasi, mampu berfikir sistematis tentang apa yang dilakukannya dan belajar dari pengalamannya serta menjadi partisipan aktif masyarakat belajar dalam lingkungan profesinya.
Dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur standar kualifikasi akademik dan kompetensi guru beberapa point diantaranya adalah  menguasai karakteristik peserta didik dari aspek fisik, moral, sosial, kultural, emosional, dan intelektual, menguasai teori belajar dan prinsip-prinsip pembelajaran yang mendidik, mengembangkan kurikulum yang terkait dengan bidang pengembangan yang diampu, menyelenggarakan kegiatan pengembangan yang mendidik,  memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk kepentingan penyelenggaraan kegiatan pengembangan yang mendidik, dan memfasilitasi pengembangan potensi peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimiliki. 
Faktor-faktor yang menentukan kualitas proses pendidikan suatu sekolah adalah terletak pada unsur-unsur dinamis yang ada di dalam sekolah itu dan lingkungannya sebagai suatu kesatuan sistem. Salah satu unsurnya ialah guru sebagai pelaku terdepan dalam pelaksanaan pendidikan di tingkat institusional dan instruksional.
Peran serta guru dalam kaitan dengan mutu pendidikan, sekurang-kurangnya dapat dilihat dari empat dimensi yaitu guru sebagai pribadi, guru sebagai unsur keluarga, guru sebagai unsur pendidikan, dan guru sebagai unsur masyarakat. Apabila dipandang dari sudut manajemen SDM guru, guru masih berada dalam pengelolaan yang lebih bersifat birokratis-administratif dan kurang kurang berlandaskan pada paradigma pendidikan seperti manajemen pemerintahan, kekuasaan, politik, dan sebagainya.
Menurut Carl D. Glickman (1990) guru masih berada di lingkungan kerja yang disebut The legacy of the One-Room Schoolhouseatau  warisan satu-kamar bangunan sekolah.  Kualitas profesionalisme ditunjukkan oleh lima untuk kerja yaitu keinginan untuk selalu menampilkan perilaku yang mendekati standar ideal, meningkatkan dan memelihara citra profesi, keinginan untuk senantiasa mengejar kesempatan pengembangan profesional yang dapat meningkatkan dan memperbaiki kualitas pengetahuan dan ketrampilannya, mengejar kualitas dan cita-cita dalam profesi serta memiliki kebanggaan terhadap profesinya.
Pada tatanan global seluruh umat manusia di dunia dihadapkan pada tantangan yang bersumber dari perkembangan global sebagai akibat pesatnya perkembangan ilmu perngetahuan dan teknologi.
Menurut Robert B Tucker (2001) mengidentifikasi adanya sepuluh tantangan pada abad 21. Tantangan itu adalah kecepatan (speed), kenyamanan (convinience), gelombang generasi (age wave),  pilihan (choice), ragam gaya hidup (life style), kompetisi harga (discounting), pertambahan nilai (value added), pelayananan pelanggan (costumer service),  teknologi sebagai andalan (techno age) serta jaminan mutu (quality control.
Lebih lanjut Robert B Tucker (2001) mengatakan kesepuluh tantangan itu menuntut inovasi dikembangkannya paradigma baru dalam pendidikan seperti: accelerated learning, learning revolution, megabrain, quantum learning, value clarification, learning than teaching, transformation of knowledge, quantum quotation (IQ, EQ, SQ,), process approach, forfolio evaluation, school/community based management, school based quality improvement, life skills, competency based corriculum.
Linda Darling Hammond dan Joan Baratz Snouwden (2007) dalam tulisannya yang berjuudulGood Teacher in Every Classroom: Preparing the High Qualified Teachers Our Children Deserve ada beberapa alasan mengapa hal itu bisa terjadi, karena pemerintah dan masyarakat belum menunjukkan keseriusannya dalam menangani hak-hak anak terutama dari kelompok miskin, penyempitan makna konvensional yang menyatakan bahwa pengajaran semata-mata sebagai proses penyampaian materi sebagaimana digariskan dalam kurikulum.
Selanjutnya adalah banyak pihak yang tidak memahami hakekat mengajar yang sebenarnya,  hampir semua meyakini bahwa yang penting adalah pengajaran dan bukan pembelajaran dari peserta didik, masih longgarnya tuntutan persyaratan untuk menjadi guru yang berkualitas, serta para peneliti dan pendidik guru barui sampai pada kesepakatan mengenai pengetahuan dasar yang diperlukan oleh guru untuk memasuki kelas. Itulah yang disebut oleh Wayne K. Hoy dan Cecil G. Miskel sebagai proses interaksi antara pengajaran dan pembelajaran sebagai technical coredalam pendidikan guru. Mereka menyarankan agar pendidikan guru baik pra-jabatan maupun dalam jabatan dibangun dalam satu sistem yang utuh dengan memperhatikan aspek input, proses, dan output dan terjadi keterpaduan berbagai unsur sub-sistem secara utuh.
Menurut Suyanto (2007) guru memiliki peran yang amat penting bagi proses pendidikan. Suyanto yang mengutip pendapat dari John Goodlad, Ketua Asosiasi Kepala Sekolah di Amerika Serikat suatu saat berujar, "Manakala guru sudah masuk ke ruang kelas dan menutup pintu kelas itu, dialah yang akan menentukan apakah proses belajar hari itu berjalan dengan baik atau tidak, dapat mencapai tujuan atau tidak.
Penutup
Itulah sekelumit persoalan dalam melakukan reformasi dan peningkatan mutu pendidikan di negeri. Belajar dari informasi-informasi dari berbagai sumber-sumber ilmu pengetahuan dan teknologi pelaksanaan reformasi dibidang pendidikan akan terus berlanjut seiring dengan tuntutan dan perkembanganm zaman.
Kualitas dan mutu pendidikan suatu bangsa hanya bisa diukur dengan kemandirian suatu bangsa dan negara dalam menghadapi tatanan global. Semakain banyak sumber daya manusia (SDM) suatu bangsa yang mampu berkiprah dalam dunia internasional itulah bangsa yang memiliki SDM-SDM yang tinggi. Meski demikian peranan guru dalam meningkatkan mutu pendidikan di negeri ini sangat besar pengaruhnya terhadap kemandirian suatu bangsa. Selain itu pendidikan karakter yang telah kita lakukan sekarang ini hendaknya mampu menjadikan bangsa ini memiliki karakter berbeda dengan bangsa lain. Apabila kita berhasil membangun karakter bangsa yang tangguh, kompetitif dan mampu bersaing secara global melalui pendidikan maka dimasa mandatang bangsa ini akan lebih baik lagi. Semoga menuju masyarakat adil dan makmur dapat tercapai melalui peningkatan mutu pendidikan yang secara terus menerus tiada henti.  (*** dihimpun dari berbagai sumber-sumber relevan.).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar