Sabtu, 14 September 2013

Guru Berkinerja

Guru Berkinerja dan Tuntutan Pengembangan Profesi Oleh: Nelson Sihaloho Abstrak: Sejalan dengan tantangan kehidupan global, peran dan tanggung jawab guru di masa depan semakin kompleks dan menuntut guru untuk senantiasa melakukan berbagai peningkatan dan penyesuaian penguasaan kompetensinya. Guru juga dituntut untuk lebih dinamis dan kreatif dalam mengembangkan profesinya. Dimasa depan guru bukan satu-satunya yang paling well informed terhadap berbagai informasi dan pengetahuan. Guru bukan satu-satunya orang yang paling pandai di tengah-tengah siswanya. Apabila guru tidak mampu memahami mekanisme dan pola penyebaran informasi yang demikian cepat, maka guru akan terpuruk secara profesional. Jika ini terjadi, maka ia akan kehilangan kepercayaan, baik dari siswa, orang tua, maupun masyarakat. Untuk menghadapi tantangan profesionalitas tersebut, maka guru perlu berpikir secara antisipatif dan proaktif. Guru harus melakukan pembaharuan terhadap lmu dan pengetahuan yang dimilikinya secara berkelanjutan. Guru wajib memahami penelitian guna mendukung efektivitas pembelajaran yang menjadi tugas pokok fungsinya. Dengan dukungan dari hasil penelitian guru maka guru tidak terjebak pada praktik pembelajaran yang menurut asumsinya sudah efektif, namun pada kenyataannya justru mematikan kreativitas siswanya sendiri. Dukungan hasil penelitian yang mutakhir lebih memungkinkan guru melakukan pembelajaran variatif. Guru berkinerja merupakan guru yang secara terus menerus mengembangkan tugas profesionalismenya muali dari merencanakan pembelajaran hingga membuat karya-karya inovatif. Kata kunci: Guru, Kinerja dan Profesi Pendahuluan Tuntutan terhadap guru professional berkinerja tinggi sudah menjadi sebuah kebutuhan. Sebab guru memegang peranan penting dan strategis dalam penentuan tujuan pembelajaran. Selain itu guru wajib menciptakan suasana belajar yang menyenangkan. Selengkap apapun sarana prasarana pendidikan, kurikulum, media, sumber atau hebatnya teknologi pendidikan semuanya tidak berarti apabila tidak dibarengi dengan kinerja tinggi. Kinerja guru akan terlihat profesional jika guru mampu mempersiapkan sendiri perangkat pengajaran yang menjadi tanggung jawabnya.Menurut Nuraini (2009: 90) menyatakan bahwa harapan tersebut ternyata berbanding terbalik dengan fakta yang ditemukan di lapangan. Nuraini, et.al, menyebutkan masih ditemukan guru yang memiliki kinerja yang rendah dengan tidak menyusun sendiri silabus, rencana pembelajaran, tes yang terstandar dan perangkat pengajaran lainnya. Sanusi dkk. (1999: 34) menjelaskan bahwa kinerja guru dapat dirinci empat fungsi. Pertama, merencanakan PBM seperti perumusan tujuan instruksional, menguraikan dan mendiskripsikan satuan pokok bahasan, merancang KBM, pemilihan media dan sumber belajar serta penyusunan instrumen evaluasi. Kedua adalah melaksanakan dan memimpin PBM mencakup kegiatan: pembimbingan dan pengarahan PBM, pengaturan dan pengubahan suasana belajar-mengajar, penetapan dan pengubahan urutan KBM. Ketiga, menilai kemajuan belajar yang meliputi pemberian skor hasil evaluasi, pentransformasian skor menjadi nilai serta penetapan peringkat. Keempat adalah guru menafsirkan dan memanfaatkan berbagai informasi basil penilaian dan penelitian untuk memecahkan masalah profesional kependidikan. Sebagaimana kita ketahui bahwa pendidikan merupakan salah satu bentuk investasi utama peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) yang bermanfaat untuk mengembangkan potensi individu dalam hubungannya dengan kehidupan bermasyarakat. Kemajuan hidup di masyarakat akan diraih melalui terciptanya lulusan yang kompeten seiring dengan tuntutan dunia kerja. Relevansinya kualitas pendidikan ditentukan oleh kualitas gurunya sebagai pelaksana tugas pendidikan. Kulaitas guru terlihat dari kinerjanya dalam melaksanakan tugas profesinya. Kinerja guru merupakan hasil kerja yang dicapainya sesuai dengan wewenang dan tanggungjawab yang didasarkan pada pengetahuan, sikap, keterampilan, dan motivasi dalam pelaksanaan tugas. Kinerja guru akan terpenuhi melalui motivasi kerja guru itu sendiri. Menuurt Megarry dan Dean, 1999:12-14 menyatakan, guru sebagai pendidik profesional wajib mengembangkan dan memanfaatkan kemampuan profesionalnya, sehingga dapat meningkatkan kinerja dalam melaksanakan tugas dan fungsionalnya, karena “pendidikan masa datang menuntut keterampilan profesi pendidikan yang berkualitas. Sementara itu Surya, 2000:4 menyatakan dalam tingkatan operasional, guru merupakan penentu keberhasilan pendidikan melalui kinerjanya pada tingkat institusional, instruksional, dan eksperiensial. Lebih lanjut Depdikbud, 1994:63 menyatakan “guru merupakan SDM yang mampu mendayagunakan faktor-faktor lainnya sehingga tercipta PBM yang bermutu dan menjadi faktor utama yang menentukan mutu pendidikan. Guru harus terdidik dan terlatih secara akademik dan profesional serta mendapat pengakuan formal sebagaimana mestinya dan profesi mengajar harus memiliki status profesi yang membutuhkan pengembangan (Tilaar, 2001:142). Menurut Lengkanawati, 2006: 10 menyatakan program sertifikasi terhadap guru akan menjadi kontrol yang mendorong para penyelenggara pendidikan untuk meningkatkan profesionalismenya dan memberikan layanan maksimal kepada para stakeholders. Menurut Raths sebagaimana dikutip Sukmadinata, 2002:192, mengemukakan bahwa untuk menjadi guru yang profesional dan berkualitas harus memiliki 12 kemampuan. Kemampuan itu adalah: (1).Explaining, informing, showing how, (2).Initiating, directing, administering,(3).Unifying the group, (4) Giving security, (5) Clarifying attitudes, beliefs, problems, (6) Dagnosing learning problems, (7) Making curriculum materials, (8) Evaluating, recording, reporting, (9) Enrichment community activities, (10) Organizing and arranging classroom, (11) participating in professional and civic life, and (12) Participating in school activities. Ke 12 kemampuan tersebut sebaiknya dapat diterapkan oleh para guru untuk menuju profesionalisme. Guru yang profesional harus selalu kreatif dan produktif dalam melakukan inovasi pendidikan untuk meningkatkan kualitas pendidikan (Danumihardja, 2001:39). Peningkatan Kinerja Sebuah Keharusan Peningkatan motivasi kerja guru dalam melaksanakan tugas-tugas pendidikan dalam organisasi pendidikan sangat penting dilakukan oleh manajer pendidikan. Sweeney and McFarlin, 2002:83, menyimpulkan bahwa motivasi merupakan “The Big Issue, … the most important issue in organizational behavior”. Dalam konteks manajemen personalia, Deesler,1993:19, menyebut motivasi sebagai “isu sentral dalam manajemen”. Namun kenyataan menunjukkan bahwa kondisi kerja para guru, baik sifatnya fisik maupun non fisik masih belum memberikan derajat kepuasan kerja sehingga mempengaruhi kinerja guru. Kondisi kerja berupa kelas bocor, lantai pecah, kekurangan alat bantu, iklim hubungan guru kurang baik, dan sebagainya merupakan faktor yang mempengaruhi kinerja dan kepuasaan kerja guru. Kinerja guru tidak hanya ditunjukkan berupa hasil kerja, akan tetapi termasuk perilaku kerja. Menurut Murphy dan Cleveland, 1991:92, menyatakan bahwa: “Job Performance should be defined in term of behavior or in term of the results of behavior”. Dipertegas oleh Stoner dan Wankel, 1993:159, bahwa kinerja merupakan hasil kerja secara nyata yang ditunjukkan oleh individu. Lembaga Administrasi Negara, 1993:3, menyebut performansi sebagai kinerja yaitu gambaran tentang tingkat pencapaian pelaksanaan suatu kegiatan dalam mewujudkan sasaran. Harley sebagaimana dikutip Siagian, 1996:14, menyebut kinerja sebagai upaya yang dilakukan dalam menyelesaikan pekerjaan untuk menghasilkan keluaran dalam periode tertentu. Pendidikan bermutu memiliki kaitan ke depan (forward linkage) dan kaitan ke belakang (backward linkage). Forward linkage diartikan bahwa pendidikan bermutu merupakan syarat utama untuk mewujudkan kehidupan bangsa yang maju, modern, dan sejahtera. Backward linkage berarti bahwa pendidikan yang bermutu tergantung pada keberadaan guru yang bermutu, guru yang profesional, sejahtera, dan bermartabat. Danim, 2002, mengungkapkan bahwa salah satu ciri krisis pendidikan di Indonesia adalah guru belum mampu menunjukkan kinerja (work performance) yang memadai. Kinerja guru belum sepenuhnya didukung derajat penguasaan kompetensi yang memadai dan apabila masalah tersebut tidak diatasi akan berakibat pada rendahnya mutu pendidikan. Banyak para ahli menyatakan, kepuasan kerja ditentukan oleh tiga faktor, yaitu gaji yang sesuai, adanya kebebasan berpikir dan mengekspresikan kreativitasnya, serta penghargaan atas pekerjaan yang dilakukan. Kondisi kerja yang baik akan membuat guru diterima dan nyaman dalam bekerja sehingga guru bekerja sukarela dan tanpa paksaan. Sebagai pembanding, National Board for Professional Teaching Standards (2002) telah merumuskan standar kompetensi terhadap guru di Amerika yang menjadi dasar bagi guru untuk mendapatkan sertifikasi guru, dengan rumusan “What Teachers Should Know and Be Able To Do”. Di dalamnya memuat lima proposisi utama yaitu (1), Guru harus berkomitmen terhadap siswa dan pembelajarannya, (2), Guru harus tahu mata pelajaran yang diajarkan dan bagaimana mengajarnya kepada siswa, (3), Guru harus bertanggung jawab untuk mengelola dan memantau pembelajaran siswanya, (4). Guru harus berpikir secara sistematis tentang praktek pembelajaran dan belajar dari pengalaman, serta (5), Guru harus menjadi anggota komunitas pembelajar. Banyak hasil penelitian menunjukkan bahwa kepemimpinan pendidikan memerlukan perhatian yang utama. Sebab melalui kepemimpinan yang baik diharapkan akan lahir tenaga-tenaga berkualitas dalam berbagai bidang sebagai pemikir, pekerja yang pada akhirnya dapat meningkatkan SDM berkualitas. Kepala Sekolah sebagai sosok pimpinan yang mendapatkan tugas tambahan kepemimpinannya akan sangat berpengaruh menentukan kemajuan sekolah. Seorang Kepala Sekolah juga tidak lepas dari adanya penilaian dari para guru di organisasi sekolah, karena sebagai tokoh panutan tidak: hanya sebagai penganjur saja, melainkan harus dapat juga memberi contoh dan bimbingan dalam pelaksanaannya. Kepuasan kerja terhadap guru sebagai pendidik diperlukan untuk meningkatkan kinerjanya. Kepuasan kerja berkenaan dengan kesesuaian antara harapan seseorang dengan imbalan yang disediakan. Karena itu peningkatan peningkatan kinerja guru sangat urgen dilakukan dan perlu mendapatkan penelusuran yang lebih mendalam. Guru berkinerja adalah guru profesional yang secara terus menerus mengembangkan profesionalismenya. Melaksanakan tugas profesional, melakukan penelitian, publikasi ilmiah ataupun membuat karya-karya inovatif merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kinerja guru. Evaluasi Kinerja Guru Profesional Guru sebagai pemegang sertifikat apabila sudah lulus sertifikasi dalam piagam sertifikat guru sudah jelas tertera ada kata/kalimat “ guru profesional”. Para dosen-dosen Lembaga Pendidikan dan Tenaga Keppendidikan (LPTK) Perguruan Tinggi Negeri ditunjuk oleh Pemerintah (Kemdikbud) untuk melakukan sertifikasi guru. Namun pada prakteknya sering materi Diklat yang diberikan oleh assesor ataupun dosen tidak sinkron dengan profesionalisme guru ketika mereka kembali bertugas ke tempat masing-masing. Fakta-fakta menunjukkan misalnya saja adalah Penelitian Tindakan Kelas (PTK) atau menyusun Karya Tulis Ilmiah (KTI) pada materi Diklat Pendidikan Latihan Profesi Guru (PLPG). Diduga meskipun guru sudah 3 tahun mendapatkan tunjangan sertifikasi 1 (satu) karya tulispun belum ada dihasilkan oleh guru yang sudah mendapatkan sertifikat pendidik itu. Perlu dipertanyakan kembali terhadap dosen LPTK dan Panitia penyelenggara Sertifikasi Guru (Sergur) mengapa sampai 3 (tiga) tahun guru tersebut tidak mampu menunjukkan kinerjanya?. Akhirnya guru yang telah menerima sertifikat pendidik pada kenyataanya memunculkan dampak positif dan negatif. Efek positif terlihat dari tanggungjawab guru untuk meningkatkan profesionalismenya sesuai bidang keahliannya terhadap aktifitas pembelajaran baik untuk guru itu sendiri maupun untuk peserta didik. Dampak negatif terlihat pada penurunan aktifitas pembelajaran yang seharusnya dilaksanakan. Rasa telah memiliki sertifikat beserta tunjangan profesional yang diberikan pemerintah dianggap merupakan puncak pencapaian kinerja sehingga tanpa peningkatan apapun mereka sudah mendapatkannya. Kondisi ini menyebabkan tidak ada perubahan bahkan kemungkinan terjadi penurunan kinerja bila dibandingkan antara sebelum dan setelah menerima sertifikat. Agar tidak terjadi dampak negatif, maka perlu dilaksanakan penilaian berkelanjutan atau resertifikasi bagi guru profesional sebagai wujud nyata penjaminan mutu guru profesional. Menurut Setya Raharjo, dkk, 2008, tentang kinerja guru profesional menyatakan dampak negatifnya menemukan bahwa: (1) upaya atau aktivitas guru yang telah lulus sertifikasi dan telah menerima tunjangan profesi dalam rangka mengembangkan dirinya melalui mengikuti diklat, mengikuti forum ilmiah belum menunjukkan upaya yang cukup menggembirakan. Meskipun ada sebagian guru dengan gigih mencari informasi diklat atau forum ilmiah yang mungkin diikuti. Sebagian besar guru masih belum aktif mengikuti diklat dan forum ilmiah baik yang dibiayai oleh sekolah atau pemerintah maupun dengan biaya sendiri, (2) upaya atau aktivitas guru pasca lulus sertifikasi untuk meningkatkan kemampuan akademik yang banyak dilakukan oleh sebagian besar guru adalah membimbing siswa mengikuti lomba atau olimpiade, sedangkan aktivitas yang lain masih perlu perhatian secara serius, antara lain penulisan karya tulis ilmiah dan kursus Bahasa Inggris, dan (3) upaya atau aktivitas guru untuk mengembangkan profesi yang banyak ditekuni oleh sebagian guru adalah membuat modul dan membuat media pembelajaran, sedangkan yang berkenaan dengan penulisan artikel, penelitian, membuat karya seni/teknologi, menulis soal Ujian Nasional (UN), serta mereview buku baru dilakukan oleh sebagian kecil guru. Kurnas 2013 Guru Bersertifikat “Bingung” Pembaharuan sistem pendidikan, termasuk di dalamnya pembaharuan kurikulum sering disikapi sebagai akibat dari perubahan sistem politik. Berbagai kepentingan masuk di dalamnya yang menimbulkan lebih banyak ”penolakan” terhadap adanya perubahan terhadap Kurikulum Nasional (2013). Menurut Fullan (2001) ”The New Meaning of Educational Charge” mengatakan bahwa akan timbul perbedaan persepsi antara pemegang kebijakan dan pelaku kebijakan untuk setiap perubahan pada sektor pendidikan. Sedangkan dari sisi pemegang kebijakan, terdapat asumsi dasar bahwa guru cenderung kurang menyukai adanya perubahan. Mereka juga meyakini bahwa umumnya pemegang kebijakan kurang memahami kenyataan-kenyataan yang terjadi pada saat dilaksanakannya proses pembelajaran. Kurnas 2013 resmi diberlakukan pada jenjang SD kelas I dan IV, SMP kelas VII dan SMA/K kelas X. Triliyunan rupiah dana dialokasikan oleh pemerintah untuk pelaksanaan Kurnas 2013 itu. Mulai sosialisasi, pengadaan buku, diklat kurikulm mengaji instruktur hingga biaya-biaya akomodasi hingga biaya-biaya hotel dialokasikan oleh pemerintah. Meski demikian hingga kini guru masih kebingungan melaksanakan Kurnas 2013 itu. Menurut Bennie dan Newstead, 1999, menguraikan beberapa faktor yang menyebabkan timbulnya kendala dalam implementasi kebijakan pendidikan terutama dikaitkan dengan kurikulum. Faktor itu antara lain waktu, harapan-harapan dari pihak orangtua, ketidakberadaan bahan pembelajaran termasuk buku-buku pelajaran pada saat implementasi kurikulum yang baru, kekurangjelasan konsep kurikulum dan pengetahuan dikaitkan dengan kuriklum baru tersebut. Charles dan Jones, 1973, menyatakan setiap perubahan pada sektor pendidikan seharusnya diikuti dengan upaya mengamati berbagai bentuk operasional di lapangan sebagai tindak lanjut dan implikasi dari kebijakan perubahan tersebut. Setiap kendala atau hambataan harus segera diantisipasi sebelum menimbulkan masalah yang besar dan kompleks. Ketidakmampuan mengatasi kendala-kendala tersebut akan menyebabkan kegagalan dalam implementasi kebijakan atau perubahan kurikulum KTSP ke Kurnas 2013. Suatu studi menunjukkan bahwa umumnya hambatan yang ditemui dalam implementasi suatu kurikulum adalah kurangnya kompetensi guru-guru. Menurut Hargreaves, 1995, menungkapkan bahwa seringkali terjadi bahwa implementasi suatu kurikulum baru tidak diikuti dengan pengimbangan kemampuan guru dan tindakan bagaimana meningkatkan guru-guru sebagai ujung tombak dalam impelementasi kurikulum tersebut. Bahkan Fennema dan Franke,1992, mendukung pernyataan Hargreaves, bahwa kemampuan baik secara keterampilan dan pengetahuan seorang guru akan mempengaruhi proses pembelajaran di kelas dan menentukan sejauh mana kurikulum baru dapat diterapkan. Studi yang dilakukan oleh Taylor dan Vinjevold, 1999, mengungkapkan bahwa kegagalan implementasi kurikulum disebabkan oleh rendahnya pengetahuan konseptual guru, kurang penguasaan terhadap topik yang diajarkan dan kesalahan interpretasi dari apa yang tertulis dalam dokumen kurikulum. Middleton, 1999, menyatakan berhasil tidaknya implementasi kurikulum yang diperbarui cenderung ditentukan oleh persepsi atau keyakinan yang dimiliki oleh tenaga pengajar atau guru dimana perubahan kurkikulum berkaitan dengan perubahan paradigma pembelajaran. Perubahan paradigma baik langsung atau tidak langsung akan memberikan dampak bagi para guru di mana para guru perlu melakukan penyesuaian pemberlakuan Kurnas 2013. Penyesuaian yang dilakukan kemungkinan akan memberikan ketidaknyamanan lingkungan pembelajaran terhadap guru. Beberapa kasus menunjukkan bahwa para guru akan bersikap mendukung implementasi kurikulum apabila mereka memahami kurikulum baru tersebut secara rasional dan praktikal. Karena itu Bennie dan Newstead, 1999, menyarankan untuk diadakannya penataran terhadap guru secara intensif untuk dapat memahami filosofi dan substansi dari kurikulum yang baru. Agar berhasil, mereka menyarankan untuk cenderung menunda implementasi kurikulum sebelum diperoleh keyakinan secara faktual bahwa para guru benar-benar tahu apa yang semestinya dilakukan dengan kurikulum yang baru itu. Implementasi suatu kurikulum baru memerlukan waktu dalam proses transisinya dan perlu waktu untuk mengetahui apakah kebijakan baru mengenai kurikulum telah menyebabkan adanya perubahan, dapat dievaluasi oleh setidak-tidaknya tiga indikator. Menurut Fullan, 2001, ada tiga indikator yaitu pertama, sejauh mana materi-materi baru atau yang direvisi digunakan oleh guru guru. Kedua, sejauh mana pendekatan-pendekatan pengajaran yang baru telah diterapkan dalam proses kegiatan-kegiatan belajar di kelas. Ketiga, sejauhmana guru guru berkeyakinan bahwa kebijakan berdampak kepada perbaikan mutu dan proses pembelajaran. Ketiga indikator ini secara bersama-sama akan menentukan tercapai tidaknya tujuan-tujuan perubahan pendidikan. Terjadinya perubahan yang cepat di era globalisasi diikuti perubahan dalam dunia pendidikan, yaitu dengan diberlakukannya penggantian KTSP ke Kurikulum 2013. Dengan kondisi disibukkan dengan implementasi Kurikulum 2013 akankah guru berkinerja profesional atau menjalankan Kurikulum 2013 dengan penuh kebingungan?.(***).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar