Selasa, 30 November 2010

PERTANIAN

Indonesia Menuju Sektor Pertanian Andal
Oleh: Nelson Sihaloho
Krisis moneter pada tahun 1990-an menguncang ekonomi Indonesia pada titik nadir. Suatu tantangan berat pembangunan ekonomi menghadapi dilemma yang sangat sulit dituntaskan bahkan hingga kini krisis ekonomi Indonesia belum pulih total. Rebooting pengatan ekonomi yang dilakukan oleh pemerintah saat ini difokuskan pada pembangunan ekonomi strategis yang diyakini mampu meningkatkan peran Indonesia di dunia internasional.
Pada saat terjadinya krisis ekonomi pada tahun 1990-an itu sektor industri manufaktur terpuruk bahkan Indonesia kembali mengandalkan ekspor komoditi primer yang dianggap memiliki nilai tambah yang rendah. Banyak kalangan yang mengkritisi keadaan itu karena dianggap sudah bukan zamannya lagi pada masa kini negara hanya menjual bahan baku.
Negara tetangga sesama ASEAN yang ekonominya meningkat pesat sangat mengandalkan ekspor industri manufaktur untuk mendukung pertumbuhan ekonominya sebagaimana yang dilakukan oleh Malaysia, Singapura dan Thailand.
Vietnam sebagai Negara yang paling terakhir bergabung dengan ASEAN justeru mampu tumbuh menjadi Negara raksasa ekonomi baru dikawasan Asia sepuluh tahun mendatang dengan segala pertumbuhan sektor industry manufaktor yang andal. Tidak ketinggalan Negara Vietnam mampu membangun sektor pertaniannya seacara andal.
Hal itu terbukti ketika Indonesia diterpa krisis ekonomi pernah melakukan sistem imbal balik beras ditukar dengan dengan produk-produk andalan Indonesia untuk menyelamtakan ekonomi Indonesia dari guncangan krisis ekonomi yang sempat membuat seluruh bangsa “panik dan demam”.
Malaysia, Singapura dan Thailand sangat export oreinted bukan hanya untuk produk manufaktur tapi juga untuk produk pertanian. Indonesia dianggap terbelakang karena belum sepenuhnya ekspor oreinted, bahkan untuk produk perkebunan seperti Crude Palm Oil (CPO) juga perdaganganya masih diatur dengan mendahulukan pasar dalam negeri melalui pengenaan pajak ekspor.
Kebijakan tersebut selama ini dianggap kurang mendukung perekonomian karena kurang mendorong pengusaha untuk mengembangkan ekspor. Namun ternyata ada sisi positif dari kondisi tersebut ketika krisis finansial global terjadi yang telah mendorong melambungnya harga komoditi primer, Indonesia turut menikmati keuntungan karena harga CPO, karet, kakao maupun barang tambang seperti batubara, timah, dan nikel yang meningkat tinggi serta meningkatnya devisa yang masuk.
Setelah puncaknya harga minyak tercapai pada pertengahan Juli 2008 berbagai harga komoditi primer kemudian menurun karena kelesuan ekonomi di negara maju sebagai pasar tujuan ekspor utama. Negara yang merasakan dampak negatif peristiwa itu terutama negara eksportir produk manufaktur, karena volume dan nilai pasarnya yang nyaris anjlok.
Singapura sangat bergantung pasar ekspor paling merasakan akibat negatif sehingga ekonominya mengalami kontraksi hingga 10 % awal tahun 2009 termasuk Negara Thailand yang mulai memasuki maswa resesi ekonomi setelah dalam dua triwulan berturut-turut mengalami pertumbuhan negatif. Malaysia juga menghadapi hal yang sama sehingga mulai mengurangi tenaga kerja asing yang selama ini mendukung kegiatan ekonomi Negara tersebut.
Sementara itu di Indonesia peranan ekspor produk manufaktur tidak sedominan negara tetangga. Masih cukup besar pasar dalam negeri yang menyerap produk manufaktur seperti tekstil, elektronik maupun industry manufaktur lainnya.
Demikian juga produk pertanian dan perkebunan turut mendukung ketahanan ekonomi Indonesia. Seperti padi, selama ini Indonesia merupakan importir terbesar dunia pada tahun 2008 ternyata mampu berswasembada.
Pada tahun 2007 Indonesia masih mengimpor beras sebesar 1,5 juta ton dan diprediksikan akan akan mengimpor beras sebanyak 1,1 juta ton pada tahun 2008. Namun pada tahun 2008 produksi padi Indonesia diprediksi mencapai 60,28 juta ton Gabah Kering Giling (GKG). Produksinya meningkat 3,12 juta ton (5,46 persen) dibandingkan produksi pada tahun 2007.
Dengan produksi sebesar itu berarti impor beras tidak dibutuhkan sehingga akibat harga beras dunia yang melambung hingga dua kali lipat pada tahun 2008 tidak banyak pengaruhnya kepada pasar dalam negeri, bahkan Indonesia bersiap-siap menjadi eksportir beras pada tahun 2009.
Selain beras, komoditi pertanian tanaman pangan lainnya seperti jagung dan kedelai kini mulai meningkat produksinya. Sebelumnya pengadaan komoditas ini selalu defisit sehingga impor kedua komoditas tersebut sangat besar setiap tahunnya. Bahkan jagung mulai tahun 2009 telah swasembada sehingga Pemerintah akan mulai menyetop impor jagung.
Sebelumnya pada tahun 2007 impor jagung Indonesia mencapai 400.000 ribu ton dan tahun 2006 masih di atas 600 ribu ton/tahun.
Pada tahun 2008 produksi jagung nasional mencapai 15,86 juta ton, berarti menmingkat dari 2007 yang hanya sekitar 13, 29 juta ton. Sementara itu kebutuhan dalam negeri hanya 13 juta ton. Dengan peningkatan produksi tersebut beberapa daerah penghasil jagung seperti Gorontalo dan NTB bahkan sudah mengekspor komoditas jagung ke negara tetangga seperti Malaysia dan Filipina. Tahun 2008 ekspor jagung telah Indonesia lebih dari 100 ribu ton
Pada tahun 2009, Deptan menargetkan produksi jagung nasional 18 juta ton pipilan kering yang diperoleh dari luas tanam 4,28 juta hektar serta luas panen 4,08 juta hektar serta produktivitas 44,12 kuintal/ha.
Sementara itu data dari Biro Pusat Statistik (BPS) tercata bahwa produksi kedelai tahun 2008 diperkirakan sekitar 761,21 ribu ton biji kering. Angka itu berarti naik 168,67 ribu ton (28,47 persen) dibandingkan produksi tahun 2007 lalu.
Kenaikan produksi diperkirakan terjadi karena peningkatan luas panen seluas 120,48 ribu hektar (26,24 persen) dan produktivitas sebesar 0,22 kuintal/hektar (1,70 persen). Kenaikan harga kedelai diperkirakan menjadi sebab kenaikan produksi ini karena para petani kemudian berlomba-lomba untuk mengkonversi lahannya untuk lahan kedelai. Dengan kenaikan ini diharapkan akan mengurangi ketergantungan Indonesia terhadap impor kedelai.
Termasuk dengan komoditi CPO, meskipun harganya sempat anjlok mengikuti turunnya harga minyak dunia, namun kini harga CPO dunia mulai meningkat karena permintaan CPO dari negara seperti Cina, India dan Pakistan telah tumbuh kembali. Negara tersebut terutama Cina dan India merupakan negara berkembang yang ekonominya masih tumbuh positif selain Indonesia.
Di dalam negeri konsumsi CPO juga tetap tinggi dengan demikian dampak turunnya harga komoditi tidak begitu terasa kepada pasar CPO Indonesia. Hanya beberapa waktu ketika harga CPO anjlok dari US$ 1200 per ton menjadi kurang dari US$ 600 per ton di kuartatal I - 2009. Namun kini harga CPO dunia telah mearap naik kembali diatas US$ 700 per ton. Kenaikan harga komoditas perkebunan juga terjadi pada komoditi kopi.
Pertanian Andal
Indonesia sebagai Negara agraris harus mampu membangun sektor pertanian secara andal. Sebab sektor pertanian sangat penting dalam menunjang ketahanan ekonomi telah terbukti ketika krisis finansial terjadi. Ketika negara lain seperti Singapura dan Thailand ekonominya menurun karena sangat tergantung ekonominya terhadap ekspor, Indonesia masih bisa terus mengalami pertumbuhan ekonomi.
Pada kwartal pertama 2009, pertumbuhan ekonomi Indonesia menurut Badan Pusat Statistik (BPS) secara Year on Year (YoY) mencapai 4, 4 persen dan berpeluang meningkat atau paling tidak bertahan hingga akhir tahun 2010. Masih tingginya tingkat konsumen rumah tangga dan belanja pemerintah memberikan prospek positif terhadap pertumbuhan ekonomi.
Salah satu peranan konsumsi masyarakat adalah konsumsi bahan makanan seperti beras, minyak goreng, dedelai dan produk pertanian lainnya. Demikian juga untuk ekspor produk pertanian masih memberikan andil terhadap melambatnya laju penurunan ekspor yang terjadi sejak akhir tahun 2009 karena harga komoditas pertanian yang beranjak naik ditengah masih lesunya pasar ekspor komoditas manufaktur.
Dengan semakin banyaknya komoditas pertanian yang telah mampu dipenuhi sendiri, maka telah terjadi pergeseran dalam bisnis disektor pertanian terutama pertanian tanaman pangan. Sebelumnya besarnya impor beras, jagung dan kedelai menjadi salah satu target bagi negara produsen produk pertanian untuk mengincar pasar Indonesia. Namun kini orientasi pasar telah bergeser.
Kenaikan produksi padi, jagung dan kedelai tidak lepas dari mulai digunakannya bibit unggul seperti benih jagung hibrida. Penggunaan benih jagung hibrida kini telah mencapai lebih dari 60 persen benih unggul konvensional. Sementara itu untuk padi penggunaan benih hibrida masih dalam tahap awal kurang dari 1, persen dari seluruh kebutuhan benih padi atau sekitar 4500 ton. Padahal setiap tahunnya Indonesia membutuhkan benih padi sekitar 300 ribu ton.
Peluang ivestasi untuk sektor perbenihan memiliki prospek yang snagat cerah dalam mendukung sektor pertanian yang andal. Melihat peluang pasar yang besar untuk pasar benih hibrida dimasa mendatang maka banyak investor yang tertarik untuk menanamkan modalnya di sektor ini. Bukan hanya perusahaan nasional namun pemain dunia dibidang benih tanaman hibrida juga telah menunjukkan minatnya seperti DuPont, Monsanto, Bayer, Syngenta dll sudah mulai merintis pembangunan industri benih hibrida untuk padi dan jagung.
Penggunaan benih jagung hibrida tidak begitu banyak hambatan dari kalangan petani maupun akademisi disektor pertanian karena telah terbukti mampu meningkatkan produksi dan memberikan keuntungan kepada petani, sedangkan pemanfaatan benih padi hibrida saat ini masih banyak menghadapi kendala.
Selain masalah teknis seperti adanya perbedaan pola budidaya seperti pemakaian pupuk, frekwensi pemupukkan dan harga benih yang lebih mahal, penggunaan benih padi hibrida ditanggapi dengan hati-hati baik oleh petani maupun oleh masyarakat luas.
Kekhawatiran sebagian kalangan adalah penggunaan benih padi hibrida bisa menimbulkan ketergantungan kepada pihak asing karena kebanyakan benih induk padi hibrida berada di luar negeri sehingga petani akan tergantung kepada pasokkan dari agen benih tersebut. Padahal padi sebagai bahan makanan pokok akan sangat riskan pengadaannya bila suatu ketika pasokan benihnya terhambat.
Untuk itu maka Pemerintah telah mengeluarkan kebijakan dengan mengharuskan investor dibidang benih hibrida untuk dalam waktu dua tahun sudah bisa mengembangkan benih hibridanya di dalam negeri dan menghentikan impor benih.
Selama ini muncul keengganan perusahaan benih multinasional untuk mengembangkan benihnya di Indonesia karena selain biayanya tinggi, akan lebih menguntungkan mereka menggunakan benih induk dari perusahaan yang dikembangkan dinegerinya sendiri. Namun jika melihat peluang pasar yang besar bagi industri benih hibrida di Indonesia maka wajar apabila Pemerintah Indonesia mengharuskan perusahaan dibidang perbenihan untuk membiakan benih induknya di Indonesia.
Dimasa depan diperkirakan berbagai komoditas primer seperti produk pertnian harganya akan semakin mahal dengan demikian upaya meningkatkan produksi hasil pertanian merupakan prospek bisnis yang menarik disamping meningkatkan ketahanan eknomi. Peluang untuk investasi di sektor ini terbuka bagi perusahaan lokal maupun asing, namun Pemerintah mengharapkan Indonesia tidak sekadar sebagai tempat tujuan pemasaran saja tapi untuk tempat produksi dan pengembangan, suatu harapan yang wajar mengingat pasar Indonesia yang besar.
Indonesia dengan kondisi daerah serta iklim yang mendukung diperkirakan mampu tampil sebagai Negara yang andal dalam membangun sektor pertanian. Diversifikasi produk pertanian mutlak dikembangkan sebab komoditi pertanian merupakan sektor yang bersentuhan langsung dengan kepentingan makanan pokok masyarakat dunia.
Bahkan tanaman palawija seperti ketela yang saat ini dijadikan sebagai bahan bakar biofull telah mampu memberikan nilai tambah dari sektor pertanian. Di masa mendatang bila kelak Indonesia mampu melakukan diversifikasi komoditi pertanian secara andal akan mampu tampil sebagai Negara yang berswasembada padi, jagung, kedelai, ketela meupun komoditi-komoditi pertanian lainnya.
Suatu hal yang patut digaris bawahi, keandalan mutu sektor pertanian selalu berkaitan erat dengantersedianya benih unggul. Ketersedian bibit benih yang unggul akan mendukung produk pertanian berbasis ramah lingkungan namum mutu produknya selalu andal. Dengan segenap kemampuan dan potensi yang ada diperkiran Indonesia selama 10 tahun ke depan akan mampu menjadi Negara yang memiliki hasil produk pertanian yang andal serta kompetitif.(dihimpun dari berbagai sumber)

1 komentar: