Selasa, 30 November 2010

PENDIDIKAN

Menilai Kinerja dan Prestasi Guru Sertifikasi Dalam Jabatan
Oleh: Nelson Sihaloho
Kinerja dapat diartikan sebagai sesuatu yang dicapai, prestasi yang diperlihatkan maupun kemampuan kerja seseorang guru atau pendidik. Dalam bahasa Inggris kinerja identik dengan performance. Moenir (1998) mendefinisikan kinerja sebagai hasil kerja seseorang pada kesatuan waktu atau ukuran tertentu.
Prawirosentoso (1999) menyatakan bahwa performance merupakan hasil kerja yang dapat dicapai oleh seseorang atau sekelompok orang dalam suatu organisasi sesuai dengan wewenang dan tanggung jawab masing-masing dalam rangka mencapai tujuan organisasi bersangkutan secara legal, tidak melanggar hukum dan sesuai dengan moral maupun etika.
Kebijakan pemerintah khususnya Kementerian Pendidikan Nasional (Kemdiknas) dalam meningkatkan dan menerapkan suatu management profesional bagi para guru di Indonesia adalah dengan mengharuskan para guru memiliki dan mengikuti sertifikasi guru. Ditegaskan pada pasal 1 butir (11) UUGD (Undang-undang Guru dan Dosen) disebutkan bahwa sertifikasi adalah proses pemberian sertifikat pendidik kepada guru dan dosen. Intinya bagi seorang guru yang menginginkan terjadinya peningkatan kompetensi akdemik akan mempersiapkan diri secara utuh untuk memperoleh sertifikasi tersebut.
Melalui penilaian kinerja, organisasi dapat memilih dan menempatkan orang yang tepat untuk menduduki suatu jabatan tertentu secara obyektif. Untuk mengetahui tinggi-rendahnya kinerja seseorang, perlu dilakukan penilaian kinerja. Penilaian prestasi kerja para karyawan merupakan bagian penting dari seluruh proses kekaryaan pegawai yang bersangkutan. Pentingnya penilaian prestasi kerja yang rasional yang diterapkan secara objektif terlihat pada paling sedikit dua kepentingan,yaitu kepentingan pegawai yang bersangkutan sendiri dan kepentingan organisasi. Menurut Handoko (2001) penilaian berperan sebagai umpan balik tentang berbagai hal seperti kemampuan, keletihan, kekurangan dan potensinya yang pada gilirannya bermanfaat untuk menentukan tujuan, jalur, rencana dan pengembangan kariernya.
Sistem-sistem penilaian pada kebanyakan organisasi direncanakan untuk mencapai sasaran-sasaran yakni mengendalikan perilaku karyawan dengan menggunakan sebagai sebuah instrumen untuk memberikan ganjaran, hukuman dan ancaman, mengambil keputusan mengenai kenaikan gaji dan promosi, menempatkan orang supaya dapat melaksanakan pekerjaan yang tepat, mengenali kebutuhan para karyawan akan pelatihan dan pengawasan.
Dalam penilaian prestasi kerja guru terdapat beberapa hal yang dapat merusak teknik penilaian, seperti tidak jelasnya standar, efek halo, kecondongan memusat serta masalah bias.
Prestasi kerja yang baik dapat bermanfaat untuk mendorong peningkatan prestasi kerja, sebagai pengambilan keputusan dalam pemberian imbalan, untuk kepentingan mutasi karyawan, misalnya seperti promosi, alih tugas, alih wilayah maupun demosi, untuk menyusun program pendidikan dan pelatihan, baik yang dimaksudkan untuk mengatasi berbagai kekurangan dari kelemahan maupun untuk mengembangkan potensi serta membantu para karyawan menentukan rencana kariernya. Menurut Lower dan Porter (1968) dalam Indra Wijaya (1989) menyatakanbahwa faktor faktor yang mempengaruhi kinerja adalah faktor motivasi, kepuasan kerja, kondisi fisik pekerjaan serta kemampuan kerja karyawan.
Dari berbagai uraian diatas maka beberapaindikator penting dalam menilai kinerja dan prestasi guru secara umum dapat digambarkan melalui prestasi kerjanya dan hasil-hasil inovasi pembelajaran yang telah dilakukan oleh seorang guru. Meski demikian banyak faktor yang menakibatkan kinerja dan prestasi guru ditempat tugasnya bekerja tidak dinilai dengan objektif sehingga meperburuk citra guru sebagai pendidik yang professional. Diperlukan suatu penelitian empirik untuk menilai kinerja dan prestasi guru yang lebih objektif.
Kinerja Profesinalisme Guru
Guru memiliki pengaruh besar dalam menghasilkan sumber daya manusia (SDM) berkualitas yang mampu berkompetisi secara andaldi era globalisasi. Kebijakan yang mengharuskan para guru memperoleh sertifikasi dan memberikan kompensasi yang memadai merupakan bentuk upaya konkrit untuk menjadikan guru benar-benar memiliki profesi yang andal dan teruji.
Menurut Mc Cully (dalam A.Tabrani Rusyan 1992:4) mengatakan bahwa “Profesi adalah a vocation an wich profesional knowledge of some departement a learning science is used in its application to the of other or in the practice of an art found it”. Sedangkan pengertian profesionalime, Freidson (dalam Syaiful Sagala, 2000:199) berpendapat bahwa, “profesionalisme adalah sebagai komitmen untuk ide-ide profesional dan karir”.
Pekerjaan profesional didukung oleh suatu ilmu tertentu secara mendalam yang hanya mungkin didapatkan dari lembaga pendidikan yang sesuai, sehingga kinerjanya didasarkan kepada keilmuan yang dimilikinya yang dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah. Selain itu suatu profesi menekankan kepada suatu keahlian dalm bidang tertentu yang spesifik sesuai dengan jenis profesinya, sehingga antara profesi yang satu dengan yang lainnya dapat dipisahkan secara tegas. Tingkat kemampuan dan keahlian suatu profesi didasarkan kepada latar belakang pendidikan yang dialaminya yang diakui oleh masyarakat, sehingga semakin tinggi latar belakang pendidikan akademik sesuai dengan profesinya akan semakin tinggi tingkat keahliannya dan semakin tinggi tingkat penghargaan yang diterimanya. Suatu profesi selain dibutuhkan oleh masyarakat juga memiliki efek terhadap sosial kemasyarakatan, sehingga masyarakat memiliki kepekaan yang sangat tinggi terhadap efek yang ditimbulkan dari pekerjaan profesinya. Sebagai suatu profesi, kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang guru adalah kompetensi pribadi, professional, padagogik, sosial kemasyarakatan serta iman dan taqwa.
Sesuai dengan Undang-undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, jabatan guru sebagai pendidik merupakan jabatan profesional. Untuk itu profesionalisme guru dituntut agar terus berkembang sesuai dengan perkembangan zaman, ilmu pengetahuan dan teknologi, serta kebutuhan masyarakat termasuk kebutuhan terhadap sumber daya manusia yang berkualitas dan memiliki kapabilitas untuk mampu bersaing baik di forum regional, nasional maupun internasional.
Makin kuatnya tuntutan akan profesionalisme guru bukan hanya di Indonesia, melainkan di negara-negara maju. Dalam jurnal pendidikan, Educational Leadership (1993) seorang guru dituntut untuk memiliki lima hal yakni guru mempunyai komitmen kepada siswa dan proses belajarnya, guru menguasai secara mendalam bahan/mata pelajaran yang diajarkannya serta cara mengajarkannya kepada para siswa, guru bertanggung jawab memantau hasil belajar siswa melalui berbagai teknik evaluasi, mulai cara pengamatan dalam perilaku siswa sampai tes hasil belajar serta guru mampu berpikir sistematis tentang apa apa yang akan dilakukakannya dan belajar dari pengalamannya.
Untuk mewujudkan seorang guru yang professional harus memiliki kompetensi. Kompetensi menuurt Lefrancois (1995) merupakan kapasitas untuk melakukan sesuatu yang dihasilkan dari proses belajar. Richard N. Cowell (1988) menyatakan bahwa kompetensi dilihat sebagai suatu keterampilan/kemahiran yang bersifat aktif. Sedangkan Cowell (1988) mengatakan bahwa kompetensi dikategorikan mulai dari tingkat sederhana atau dasar hingga lebih sulit atau kompleks dan berhubungan dengan proses penyusunan bahan atau pengalaman belajar.
Pengalaman belajar yang lazim itu adalah penguasan minimal kompetensi dasar, praktik kompetensi dasar dan penambahan penyempurnaan atau pengembangan terhadap kompetensi serta keterampilan.
Mengacu pada Peraturan Pemerintah RI Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, Pasal 28 dijelaskan bahwa, pendidik harus memiliki kualifikasi akademik dan kompetensi sebagai agen pembelajaran, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Kompetensi seorang guru dibagi dalam tiga bagian yaitu, kompetensi kognitif, afektif dan kompetensi perilaku
Nanang Fatah (2004) menyatakan seorang guru dinyatakan professional apabila mampu menguasai substansi mata pelajaran secara sistematis, khususnya materi pelajaran yang secara khusus diajarkannya, memahami dan dapat menerapkan psikologi perkembangan sehingga seorang guru dapat memilih materi pelajaran berdasarkan tingkat kesukaran sesuai dengan masa perkembangan peserta didik yang diajarkan serta memiliki kemampuan mengembangkan program-program pendidikan yang secara khusus disusun sesuai dengan tingkat perkembangan peserta didik yang akan diajarannya.
Pendidikan memiliki peran yang sangat penting dalam era globalisasi. Menurut Anthony Giddens dalam bukunya yang berjudul “The Global Third Way Debate” mengatakan bahwa kemakmuran ekonomi jangka panjang suatu bangsa berkaitan dengan kemampuannya dalam kapasitas inovasi, pendidikan dan riset.
Penyimpangan Beban Kerja Guru
Saat ini penyimpangan beban kerja guru disekolah-sekolah semakin merebak dan menimbulkan permasalahan baru dalam dunia pendidikan kita. Apabila mengacu pada kinerja dan prestasi guru sesuai dengan UU No. 14 Tahun 2005 tentang UUGD guru dan dosen wajib mengajar minimal 24 jam tatap muka dan sebanyak-banyaknya 40 jam tatap muka per minggu. Permendiknas No. 18 tahun 2007 tentang Sertifikasi Guru Dalam Jabatan mengamanatkan bahwa guru yang telah memperoleh sertifikat pendidik, nomor registrasi dan telah memenuhi beban kerja mengajar minimal 24 jam tatap muka per minggu memperoleh tunjangan profesi sebesar satukali gaji pokok.
Kenyataan dilapangan banyak terjadi penyimpangan jam tatap muka dalam suatu sekolah mulai dari rekayasa surat keputusan (SK) pembagian tugas disuatu sekolah tidak sesuai dengan SK aslinya. Bahkan semakin banyak ditemukan SK-SK asli tapi palsu. SK asli tapi palsu tersebut semakin “beranak pinak” sehingga guru semakin banyak menjadi penipu. Selain menipu diri sendiri khususnya predikat lulus sertifikasi dalam jabatan juga menipu masyarakat bangsa dan Negara. Oknum kepala sekolah yang semestinya mengajar minimal 6 jam diduga ada yang tidak melaksanakan tugas pokok mengajarnya dengan memberikan tugas atau menyuruh bawahannya mengajar yang menjadi tugas pokoknya. Diduga ada kerjasama terkordinir antara oknum Kepala Sekolah dengan bawahan maupun petugas laboratorium komputer untuk menggandakan SK-SK palsu yang “beranak pinak” itu.
Penyimpangan-penyimpangan yang tidak mendapatkan tindakan tegas dari instansi terkait itu semakin memperburuk kinerja dan prestasi guru. Bahkan tidak menutup kemungkinan dimasa mendatang apabila penyimpangan beban kerja guru tersebut tidak mendapat tindakan tegas akan mengakibatkan semakin merajalelanya oknum guru melakukan penipuan terhadap tugas-tugas profesionalismenya. Kita berharap semoga ada tindakan konkrit dan upaya nyata dari pihak-pihak terkait untuk mengusut dugaan penyimpangan beban kerja guru disetiap sekolah-sekolah. Surat-surat keterangan dari oknum Kepala Sekolah yang menyatakan bahwa guru benar mengajar 24 jam tatap muka perlu diklarifikasi secara ketat ke sekolah-sekolah. Apabila benar ada guru dan Kepala Sekolah terbukti melakukan pelanggaran terhadap beban kerka guru pihak terkait sudah semestinya memeberikan ganjaran/hukuman dengan memecat guru dan kepala sekolah yang diduga telah melakukan penyimpangan-penyimpangan beban kerja guru tersebut. Integritas dan kejujuran para pendidik apabila mengacu pada pemenuhan beban kerja guru seharusnya lebih mengedepankan prinsip-prinsip profesionalisme. Sebagaimana dikatakan Dirjen PMPTK Kemendiknas RI, Baedhowi (2008) bahwa berhasilnya implementasi pemenuhan beban kerja guru sangat tergantung pada pemahaman, kesadaran, keterlibatan dan upaya sungguh-sungguh dan segenap unsur yang terkait serta dukungan pemerintah dan masyarakat.
Keberhasilan pemenuhan beban kerja guru juga menjadi harapan nyata terhadap pembangunan pendidikan, pembangunan guru professional yang mampu menghasilkan insane Indonesia yang cerdas dan kompetitif secara adil, bermutu dan relevan untuk kebutuhan masyarakat Indonesia dan global.(* Dihimpun dari berbagai sumber relevan: email/face book: sihaloho11@yahoo.com, www.blogger.com-nelson.blog.)

1 komentar: