Catatan Tentang Pemberian Sertifikasi Guru
Tatkala Oknum Guru Jadi “Penipu” dan “Pembohong”
Oleh : Nelson Sihaloho
United Nation Development Programe (UNDP) 1990 menyatakan bahwa pembangunan manusia adalah suatu proses untuk memperbanyak pilihan-pilihan yang dimiliki oleh, manusia. Diantara berbagai pilihan tersebut, pilihan yang terpenting adalah untuk berumur panjang dan sehat, untuk berilmu pengetahuan, dan untuk merupakan akses terhadap sumberdaya yang dibutuhkan agar dapat hidup secara layak. Dua buah elemen yang tidak dapat dipisahkan dalan dunia pendidikan yakni lembaga pendidikan dan guru yang memiliki pengaruh besar dalam menghasilkan sumber daya manusia (SDM) berkualitas yang mampu berkompetisi dalam masyarakat. Guru dan anak didik adalah memiliki hubungan erat dalam mendukung terciptanya pembangunan bangsa yang berkelanjutan.
Kebijakan yang mengharuskan para guru memperoleh sertifikasi dan memberikan kompensasi yang memadai merupakan bentuk usaha konkrit dalam menghasilkan para guru yang memiliki profesionalime dalam bidangnya. Dengan lahirnya para guru yang profesionalisme pada bidangnya diharapkan usaha dan cita-cita pada lahirnya lulusan yang memiliki SDM tinggi adalah akan terwujud. Namun pada praktik dan kenyataannya dilapangan diduga banyak ditemukan penyimpangan-penyimpangan dalam pemberian sertifikasi guru dalam jabatan. Suatu hal yang sangat ironis adalah beban kerja guru yang semestinya minimal 24 jam tatap muka-40 jam tatap muka yang sebenarnya berhak mendapatkan tunjangan sertifikasi dalam jabatan. Kenyataannya diduga ada beban kerja guru dibawah 24 jam (22 jam, 20 jam, 18 jam, 16 jam bahkan 12 jam tatap muka) juga mendapatkan tunjangan sertifikasi.
Dengan kondisi itu diduga semakin banyak oknum guru jadi “penipu” dan “pembohong” kepada negara. Bila disuatu daerah ada ribuan guru yang beban kerja guru tidak memenuhi persyaratan maka setiap bulannya puluhan milyar negara dirugikan oleh oknum-oknum guru yang menipu dan pembohong itu. Semestinya guru yang harus digugu dan ditiru pada era sekarang berubah menjadi pelaku tindak pidana korupsi yang tega menerima hak yang bukan haknya. Ibarat kewajiban meski kewajiban guru belum terpenuhi dana terus dikucurkan oleh pemerintah. Inilah type-type baru guru profesional yang melakukan modus operandi pembohongan kepada negara.
Profesi Guru
Pekerjaan seorang guru adalah sebuah profesi yang mulia. Menurut Endang Komara, (2006) guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.
Mc Cully (1992) menyatakan “profesi adalah a vocation an wich profesional knowledge of some departement a learning science is used in its application to the of other or in the practice of an art found it”.
Freidson (2000) menyatakan bahwa, “profesionalisme adalah sebagai komitmen untuk ide-ide profesional dan karir”. Hubungan antara professional dan profesi dalam konteks pekerjaan sebagaimana dikemukakan Wina Sanjaya (2005) bahwa pekerjaan profesional didukung oleh suatu ilmu tertentu secara mendalam yang hanya mungkin didapatkan dari lembaga pendidikan yang sesuai, sehingga kinerjanya didasarkan kepada keilmuan yang dimilikinya yang dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah. Suatu profesi menekankan kepada suatu keahlian dalm bidang tertentu yang spesifik sesuai dengan jenis profesinya, sehingga antara profesi yang satu dengan yang lainnya dapat dipisahkan secara tegas. Tingkat kemampuan dan keahlian suatu profesi didasarkan kepada latar belakang pendidikan yang dialaminya yang diakui oleh masyarakat, sehingga semakin tinggi latar belakang pendidikan akademik sesuai dengan profesinya, semakin tinggi pula tingkat keahliannya dengan demikian semakin tinggi pula tingkat penghargaan yang diterimanya.
Suatu profesi selain dibutuhkan oleh masyarakat juga memiliki dampak terhadap sosial kemasyarakatan, sehingga masyarakat memiliki kepekaan yang sangat tinggi terhadap efek yang ditimbulkan dari pekerjaan profesinya. Sebagai suatu profesi, kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang guru, yaitu kompetensi pribadi, kompetensi profesional dan kompetensi sosial kemasyarakatan. Pekerjaan seorang guru adalah sebuah pekerjaan yang berprofesi khusus (special profesion) yaitu mendidik dan mengayomi seorang anak didik dari kondisi tidak mengerti atau kurang mengerti kearah yang lebih baik. Penegasa pekerjaan guru adalah sebuah pekerjaan yang khusus juga ditegaskan dalam UU Guru pasal 5 ayat (1) dikatakan bahwa profesi guru dan dosen merupakan bidang pekerjaaan khusus yang memerlukan prinsip-prinsip professional. Karena kita melihat pekerjaan seorang guru adalah sangat spesifik atau khusus maka untuk mendorong kearah spesialisasi yang lebih dalam adalah dengan mensertifikasikan para guru secara profesional.
Salah satu kebijakan pemerintah dalam hal ini Departement Pendidikan untuk meningkatkan dan menerapkan suatu management profesional bagi para guru di Indonesia adalah dengan mengharuskan para guru memiliki dan mengikuti sertifikasi guru. Dalam pasal 1 butir (11) UUGD (Undang-undang Guru dan Dosen) disebutkan bahwa sertifikasi adalah proses pemberian sertifikat pendidik kepada guru dan dosen. Menurut Hasibuan (1986) sebagai key person guru harus melaksanakan perilaku-perilaku mengenai kejelasan dalam menyampaikan informasi secara verbal maupun non verbal, kemampuan guru dalam membuat variasi tugas dan tingkah lakunya, sifat hangat dan antusias guru dalam berkomunikasi, perilaku guru yang berorientasi pada tugasnya saja tanpa merancukan dengan hal-hal yang bukan merupakan tugas keguruannya. Kesalahan guru dalam menggunakan gagasan-gagasan yang dikemukakan siswa dan pengarahan umum secara tidak langsung, perilaku guru yang berkaitan dengan pemberian kesempatan kepada siswanya dalam mempelajari tugas yang ditentukan, perilaku guru dalam memberikan komentar-komentar yang terstruktur, perilaku guru dalam menghindari kritik yang bersifat negatif terhadap siswa, perilaku guru dalam membuat variasi keterampilan bertanya, kemampuan guru dalam menentukan tingkat kesulitan pengajarannya serta kemampuan guru mengalokasikan waktu mengajarnya sesuai dengan alokasi waktu-waktu dalam perencanaan satuan pelajaran.
Guru yang professional harus memiliki kompetensi. Kompetensi menurut Lefrancois (1995) “kompetensi merupakan kapasitas untuk melakukan sesuatu yang dihasilkan dari proses belajar.” Richard N. Cowell (1988) berpendapat bahwa kompetensi dilihat sebagai suatu keterampilan/kemahiran yang bersifat aktif.
SDM dan Sertifikasi Guru
Dalam peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 18 tahun 2007 tentang sertifikasi guru dalam jabatan pada pasal 1 ayat 1 dijelaskan sertifikasi bagi guru dalam jabatan adalah proses pemberian sertifikat pendidik untuk guru dalam jabatan.
Ujian sertifikasi yang diberikan kepada para guru adalah memiliki bebagai efek positif bagi pendidikan di Indonesia yaitu memfungsikan para guru sebagai pengontrol mutu pendidikan di lembaga pendidikan, memposisikan diri guru menjadi jauh lebih terhormat dan mulia serta menjauhkan profesi guru dari praktik-praktik yang bersifat tidak sehat dan mencemarkan nama baik guru. Mensistematiskan peningkatan kualitas pendidikan di tanah air karena telah memprogramkan peningkatan kualitas guru secara terprogram, menghasilkan guru sesuai dengan kompetensi dan keahlian yang dimilikinya, memberikan rasa percaya diri dikalangan para guru untuk tampil sebagai pendidik dan pemikir bagi pengembangan dunia pendidikan di tanah air serta menghasilkan guru yang professional pada bidangnya.
Pendidikan begitu memegang peran penting dalam era globalisasi ini. Menurut Anthony Giddens dalam bukunya yang berjudul “The Global Third Way Debate” mengatakan bahwa kemakmuran ekonomi jangka panjang suatu bangsa berkaitan dengan kemampuannya dalam kapasitas inovasi, pendidikan, dan riset.
Faktor penyebab dari kurang memuaskannya mutu pendidikan di Indonesia dengan melihat output siswa yang sebagian tidak sesuai dengan yang diinginkan adalah kurangnya strategi yang jitu dalam membawa bangsa Indonesia ke depan.
Saat ini guru berhadapan dengan tuntutan kualitas profesi, amanah dari orang, masyarakat, stakeholder, pemerintah dan karena guru tetap dianggap memiliki akuntabilatas atas keberhasilan pembalajan akademis siswa. Permasalahan guru di Indonesia baik secara langsung maupun tidak langsung berkaitan dengan masalah mutu profesionalisme guru yang masih belum memadai dan akan ikut menentukan mutu pendidikan nasional. Program peningkatan kemampuan sumber daya pendidikan berupa training for trainers atau kemampuan untuk belajar terus untuk meningkatkan kualitas bagi para pendidik merupakan suatu hal yang harus diperhatikan. Hingga kini persoalan guru belum pemah terselesaikan secara tuntas. Pada era reformasi dan disentralisasi pendidikan saat ini, guru semestinya dapat lebih mendapatkan pemberdayaan baik dalam arti profesi maupun kesejahteraan. Sebab saat ini pendidikan menjadi urusan pemerintah daerah, sehingga berbagai persoalan yang terkait dengan profesionalisme dan kesejahteraan guru tentu dapat langsung dipantau oleh pemerintah daerah.
Tetapi usaha kerah itu, belum terlihat secara nyata dilakukan oleh pemerintah, sementara guru selalu dihadapkan pada tuntutan profesionalisme dan harus mengikuti perubahan yang terjadi begitu cepat di masyarakat. Guru saat ini berhadapan dengan kondisi ”ekstrim” yaitu akan terjadi percepatan ilmu pengetahuan melalui informasi internet dan media lain. Guru sekarang, harus menguasai kemampuan akademik, pedagogik, sosial dan budaya, teknologi informasi, mampu berpikir kritis, mengikuti dan tanggap terhadap setiap perubahan serta mampu menyelesaikan masalah. Guru dengan kemampuan artifisialnya dapat membelajarkan siswa dalam jumlah besar, bahkan dapat melayani siswa yang tersebar di seluruh penjuru dunia. Guru bukan lagi hanya mengendalikan siswa yang belajar di kelas, tetapi ia mampu membelajarkan jutaan siswa di "kelas dunia" memberi pelayanan secara individual pada waktu yang bersamaan. Permasalahan guru, baik secara langsung maupun tidak langsung sangat terkait dengan mutu profesionalisme guru yang dianggap ”belum optimal”. Oleh karena itu, permasalah guru harus diselesaikan secara komprehensif yang menyangkut dengan semua aspek yang terkait yaitu aspek kualifikasi, kualitas, pembinaan, training profesi, perlindungan profesi, manajemen, kesejahteraan guru dan fasilitas.
Guru dengan kemampuannya diharapkan dapat mengembangkan dan membangun tiga pilar keterampilan, yaitu learning skills, yaitu keterampilan mengembangkan dan mengola pengetahuan dan pengalaman serta kemampuan dalam menjalani belajar sepanjang hayat. Thinking skills, yaitu keterampilan berpikir kritis, kreatif dan inovatif untuk menghasilkan keputusan dan pemecahan masalah secara optimal serta living skills, yaitu keterampilan hidup yang mencakup kematangan emosi dan sosial yang bermuara pada daya juang, tanggungjawab dan kepekaan sosil yang tinggi. Dari berbagai kajian dan pengamatan sekolah sebagai “institusi pendidikan” mungkin akan tergeser perannya dan sudah tidak menjadi sumber informasi satu-satunya, bahkan bukan lagi menjadi pencetus sumber informasi yang mutakhir. Guru juga dituntut berubah peran menjadi fasilitator yang membelajarkan siswa hingga menemukan sesuatu (scientific curiosity)], bersikap demokratis serta menjadi profesional yang mandiri dan otonom. Proses pembelajaran lebih terfokus pada outcomes competency dan peningkatan relevansi dengan kebutuhan masyarakat.
Ada lima hal yang harus diperhatikan untuk meningkatkan profesionalisme guru yaitu guru harus menguasai kemampuan-kemampuan dan keterampilan dasar pembelajaran secara baik, guru berusaha meningkatkan kualitasnya dengan mengikuti pelatihan dalam bidang keterampilan baru yang diperluakn guru sesuai perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. harus membuat penilaian atas kinerjanya sendiri atau mau melakukan otokritik terhadap kinerjanya, kritik yang membangun, pendapat dan berbagai harapan masyarakat harus menjadi perhatian sebagai upaya perbaikan kinerja guru serta, guru harus berusaha memperbaiki profesionalismenya sendiri dan masyaraakat hanya membantu mempertajam dan menjadi pendorong untuk meningkatkan profesi guru. Penilaian atas kinreja guru misalnya diduga tidak valid dengan beban kerjanya. Akibatnya semakin banyak penyimpangan dan pembohongan yang dilakukan oleh guru terhadap dirinya sendiri, masyarakat maupun terhadap negara atas tunjangan profesi yang diterimanya satu kali dari gaji pokok itu. Sekitar 2,2 juta jumlah guru yang ada ditanah air. Pernahkah instansi terkait melakukan penelitian terhadap beban kerja guru pada masing-masing sekolah? Berapa banyak guru yang memenuhi beban kerja 24 jam tatap muka dan sebanyak-banyaknya 40 jam tatap muka?. Pernahkah pihak Bank atau inspektorat daerah, pengawas pendidikan instansi terkait melakukan pencocokan data ke sekolah-sekolah dengan data guru-guru penerima tunjangan sertifikasi sesuai dengan roster yang tertera di papan tulis suatu sekolah?. Mengapa penyimpangan penerimaan tunjangan sertifikasi guru terus dibiarkan?. Mengapa oknum guru yang tidak mampu memenuhi beban kerja minimal 24 jam tatap muka itu mendapatkan tunjangan sertifikasi?. Mengapa dugaan penyimpangan penerimaan tunjangan sertifikasi guru itu tidak pernah diusut?. Ada apa dibalik itu semua? Karena itu sudah saatnya penegakan supremasi hukum dilakukan terhadap penerima tunjangan sertifikasi guru yang menyimpang itu. Bila perlu pemerintah perlu menerapkan aturan baru jika guru tidak mampu naik pangkat 6 tahun dari golongan IV/a ke IV/b tunjangan sertifikasinya dihentikan. Hal itu jauh lebih baik jika negara ini mempekerjakan oknum-oknum guru bermental “penipu” dan “pembohong”. (disarikan dari berbagai tulisan yang relevan).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar