Rabu, 30 Mei 2012

PENDIDIKAN

Kurikulum Bermutu dan Deep Learning Oleh: Nelson Sihaloho Abstrak: Kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) diberlakukan untuk memberikan kewenangan kepada guru ataupun sekolah untuk menyusun sendiri kurikulum dengan tetap mengacu pada standar nasional pendidikan (KTSP). Kurikulum bermutu akan melahirkan siswa bermutu. Kewenangan yang diberikan oleh pemerintah pusat harus dimanfaatkan oleh semua pihak khususnya para guru untuk membuktikan kompetensi profesionalismenya. Selain itu kurikulum yang disusun akan menggambarkan suatu kedalam isi (SI), kompetensi dasar (KD) sehingga standar kelulusan siswa (SKL) akan dapat terukur, akuntabel dan berbanding lurus dengan prestasi anak didik. Kurikulum yang disusun hendaknya mampu menciptakan suasanan belajar yang mendalam (deep learning) sehingga inovasi kurikulum yang berkelanjutan akan memberikan kontribusi terhadap pendidikan bermutu. Hasil penelitian dan pengamatan menunjukkan bahwa kurikulum bermutu dan deep learning ada hubungan yang signifikan antara keduanya. Kata kunci : kurikulum, deep learning. Pendahuluan Pembaharuan sistem pendidikan kita memasuki era baru. Kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) yang diberlakukan sejak beberapa tahun silam memberikan pencerahan maupun suasana yang beru terhadap para pendidik untuk menyusun sendiri kurikulum yang menjadi bidang tugas pokoknya. Meski demikian pembaharuan kurikulum sering dikaitkan adanya perubahan sistem politik. Berbagai kepentingan yang termasuk masuk di dalamnya menimbulkan lebih banyak ”penolakan” terhadap adanya perubahan itu. Mengutip pendapat Fullan (2001) ”The New Meaning of Educational Charge” mengatakan bahwa akan timbul perbedaan persepsi antara pemegang kebijakan dan pelaku kebijakan untuk setiap perubahan pada sektor pendidikan. Dari sisi pemegang kebijakan, terdapat asumsi dasar bahwa guru cenderung kurang menyukai adanya perubahan. Umumnya pemegang kebijakan kurang memahami kenyataan-kenyataan yang terjadi pada saat dilaksanakannya proses pembelajaran. Bennie dan Newstead (1999) juga menguraikan ada beberapa faktor yang menyebabkan timbulnya kendala dalam implementasi kebijakan pendidikan apabila dikaitkan dengan kurikulum. Beberapa faktor itu adalah waktu, harapan-harapan dari pihak orangtua, minimnya buku-buku pelajaran pada saat implementasi kurikulum baru dilaksanakan serta kurang jelasnya konsep kurikulum dan pengetahuan. Charles dan Jones (1973) juga mengungkapkan bahwa, setiap perubahan pada sektor pendidikan seharusnya diikuti dengan upaya mengamati berbagai bentuk operasional dilapangan sebagai tindak lanjut dan implementasi dari kebijakan. Banyak kendala yang harus diantisipasi agar tidak menimbulkan masalah yang besar dan kompleks khususnya dalam bidang pendidikan itu sendiri. Hargreaves ( 1995) juga menyatakan seringkali terjadi bahwa implementasi suatu kurikulum baru tidak diikuti dengan pengimbangan kemampuan guru dan tindakan bagaimana meningkatkan guru-guru sebagai ujung tombak dalam impelemtasi kurikulum. Hal tersebut juga didukung oleh Fennema dan Franke (1992) bahwa kemampuan baik secara keterampilan dan pengetahuan seorang guru akan mempengaruhi prose pembelajaran di kelas dan menentukan sejauh mana kurikulum dapat diterapkan. Studi yang dilakukan oleh Taylor dan Vinjevold (1999) mengungkapkan bahwa kegagalan implementasi kurikulum disebabkan oleh rendahnya pengetahuan konseptual guru, kurang penguasaan terhadap topik yang diajarkan dan kesalahan interpretasi dari apa yang tertulis dalam dokumen kurikulum. Menurut Middleton (1999) juga menyatakan bahwa, berhasil tidaknya implementasi kurikulum yang diperbarui cenderung ditentukan oleh persepsi atau keyakinan yang dimiliki oleh tenaga pengajar atau guru. Bennie dan Newstead (1999) menyarankan untuk diadakannya penataran bagi guru secara intensif untuk dapat memahami filosofi dan substansi dari kurikulum yang baru. Laporan UNDP tahun 2006 menunjukkan Human development Indeks (HDI) Indonesia berada pada posisi 108 dari 109 negara bahkan disinyalir Indonesia sudah berada dibawah negara Vietnam. Untuk menjawab tantangan peningkatan mutu pendidikan diperlukan inovasi kurikulum yaitu kurikulum bermutu. Inovasi kurikulum dilakukan untuk menjadikan siswa sebagai subjek dan siswa didorong untuk menemukan sendiri apa yang mereka pelajari. Dalam kondisi inilah deep learning (belajar mendalam) akan dialami oleh siswa sebagai bentuk implementasi siswa sebagai subjek. Maka usaha yang perlu dilakukan adalah perbaikan kurikulum (inovasi kurikulum) melalui inovasi dokumen, inovasi pengembangan dan inovasi praktek kurikulum di dalam kelas. Seperti perubahan pola pembelajaran di dalam kelas dari traditional rote learning menjadi inquiry based learning. Sebagaimana menurut Joyce & Weil, 1991:198, inquiry adalah “designed to bring students directly into scientific process through exercise that compress the scientific process into small periods of time” . Inquiry adalah pola dan pendekatan pembelajaran dengan meletakkan siswa sebagai subjek dan harus didorong menemukan sendiri apa yang sedang mereka pelajari. Inquiry based learning, dikenal ada level dalam proses pemebelajaran, yaitu surface learning (belajar dangkal) dan deep learning (belajar mendalam). Inquiry based learning akan berkorelasi dengan Deep learning . Menurut Marton&Saljo (1976) mengidentifikasi dua level proses belajar yang dinamakan “surface process” dan “deep process”. Lebih lanjut kedua ahli menyimpulkan surface level process ditandai bila siswa hanya belajar text itu sendiri atau hanya melalui proses menghafal. Deep level process siswa belajar menangkap arti dari materi yang sedang dipelajari, belajar untuk mengerti dan mengidentifikasi hubungan antar konsep dan variable-variabel yang dipalajari. Brown&Atkin (1991) juga membedakan proses belajar siswa atas dua yaitu “surface learning” dan “deep learning”. Deep learning ditandai oleh proses keaktifan siswa untuk mmenemukan arti dan pengertian terhadap materi yang sedang dipelajari, sedangkan surface learning ditandai oleh proses menghafal materi yang sedang dipelajari. Biggs (1988: 130) menegaskan “ deep learning is used by many the more successful students in high school and university, they search for structure and meaning and do so while organizing their time and context optimally”. Artinya deepapproach to learning sangat penting dilakukan untuk meningkatkan keterlibatan siswa secara fisik dan mental dalam proses pembelajaran. Keterlibatan mental siswa secara mendalam dalam operasi berfikir, menganalisa, mensintesa hingga pada tahap menemukan apa yang dituntut oleh tujuan pembelajaran kompetens/ materi yang sedang dipelajari akan meningkatkan pengauasaan materi pelajaran secara tingkat tinggi. Ryan (1974) mengatakan keterlibatan siswa dalam proses pembelajaran tingkat tinggi (higer involvement) adalah suatu yang sangat penting untuk mewujudkan hasil belajar yang lebih tinggi. Untuk mewujudkan pendekatan belajar mendalam (deep learning approach) harus melakukan proses pembelajaran berbasis riset. Menurut Gay, 1992:7, riset (research) “ is the formal, systematic application of scientific methods to the study of problems”. Belajar dengan melakukan penelitian atau setidak-tidaknya memakai pola pemikiran riset dalam pembelajaran akan membawa anak didik ke dalam proses belajar mendalam. Untuk melaksanakan pola pembejalaran berbasis riset maka, minimal ada lima langkah yang harus ditempuh dalam proses pembelajaran. Ke lima langkah itu adala, ada masalah yang merupakan masalah penelitian, mengajukan hipotesis, mengumpulkan data melalui prosedur dan tehnik yang tepat, mengolah data dengan tehnik yang tepat serta menguji hipotesis untuk mengambil kesimpulan. Menurut Bari Djamarah (1994:21) belajar merupakan suatu aktivitas yang dilakukan secara sadar untuk mendapatkan sejumlah kesan dari bahan yang telah dipelajari. James O. Wittaker menyatakan belajar dapat didefinisikan sebagai proses dimana tingkah laku ditimbulkan atau diubah melalui latihan atau pengalaman. Sedangkan Cronbach menyatakan belajar yang efektif adalah melalui penglaman. Lebih lanjut Howard L. Kingsley menyatakan belajar adalah proses dimana tingkah laku (dalam arti luas) ditimbulkan atau diubah melalui praktek dan latihan sebagaimana dikutip (dalam Dalyono, 2006: 104). Dari beberapa pendapat para ahli tentang pengertian belajar adalah suatu kegiatan yang dilakukan dengan melibatkan 2 unsur yaitu jiwa dan raga. Gerak raga yang ditunjukkan harus sejalan dengan proses jiwa untuk mendapatkan perubahan sebagai hasil dari proses belajar. Sehingga dilihat dari pengertian prestasi dan belajar tersebut maka dapat diambil kesimpulan prestasi belajar adalah hasil yang diperoleh berupa kesan-kesan yang mengakibatkan perubahan. Bentuk perubahan dari hasil belajar meliputi tiga aspek, yaitu aspek kognitif, afektif dan psikomotorik. Ranah Benjamin S. Bloom Dalam sistem pendidikan nasional rumusan tujuan pendidikan, baik tujuan kurikuler maupun tujuan instruksional, menggunakan klasifikasi hasil belajar dari Benyamin S. Bloom yang secara garis besar membaginya menjadi tiga ranah, yakni ranah kognitif, ranah afektif, dan ranah psikomotorik. Benjamin S. Bloom itu berpendapat bahwa pengelompokkan tujuan pendidikan itu harus senantiasa mengacu kepada tiga jenis domain (daerah binaan atau ranah) yang melekat pada diri peserta didik, yaitu ranah proses berfikir (cognitive domain), ranah nilai atau sikap (affective domain) serta ranah keterampilan (psychomotor domain). Ranah kognitif adalah ranah yang mencakup kegiatan mental (otak). Ranah kognitif berhubungan dengan kemampuan berfikir, termasuk didalamnya kemampuan menghafal, memahami, mengaplikasi, menganalisis, mensintesis, dan kemampuan mengevaluasi. Dalam ranah kognitif itu terdapat enam aspek atau jenjang proses berfikir, mulai dari jenjang terendah sampai dengan jenjang yang paling tinggi. Keenam jenjang atau aspek itu adalah pengetahuan/hafalan/ingatan (knowledge), pemahaman (comprehension), penerapan (application), analisis (analysis), sintesis (syntesis) serta penilaian/penghargaan/evaluasi (evaluation). Menurut Taksonomi Bloom (Sax ,1980), kemampuan kognitif adalah kemampuan berfikir secara hirarki yang terdiri dari pengetahuan, pemahaman, aplikasi, analisis, sintesis dan evaluasi. Ranah afektif adalah ranah yang berkaitan dengan sikap dan nilai. Ranah afektif mencakup watak perilaku seperti perasaan, minat, sikap, emosi, dan nilai. Ranah afektif menjadi lebih rinci lagi ke dalam lima jenjang, yaitu receiving, responding, valuing, organization and characterization by evalue or calue complex. Menurut Andersen (1981:4) menyatakan bahwa pemikiran atau perilaku harus memiliki dua kriteria untuk diklasifikasikan sebagai ranah afektif. Kedua, perilaku harus tipikal perilaku seseorang. Kriteria lain yang termasuk ranah afektif adalah intensitas, arah, dan target. Ada 5 tipe karakteristik afektif yang penting berdasarkan tujuannya, yaitu sikap, minat, konsep diri, nilai, dan moral. Menurut Fishbein dan Ajzen (1975) sikap adalah suatu predisposisi yang dipelajari untuk merespon secara positif atau negatif terhadap suatu objek, situasi, konsep, atau orang. Sikap peserta didik ini penting untuk ditingkatkan (Popham, 1999). Menurut Getzel (1966), minat adalah suatu disposisi yang terorganisir melalui pengalaman yang mendorong seseorang untuk memperoleh objek khusus, aktivitas, pemahaman, dan keterampilan untuk tujuan perhatian atau pencapaian. Menurut Smith, konsep diri adalah evaluasi yang dilakukan individu terhadap kemampuan dan kelemahan yang dimiliki. Target, arah, dan intensitas konsep diri pada dasarnya seperti ranah afektif yang lain. Nilai menurut Rokeach (1968) merupakan suatu keyakinan tentang perbuatan, tindakan, atau perilaku yang dianggap baik dan yang dianggap buruk. Definisi lain tentang nilai disampaikan oleh Tyler (1973:7), yaitu nilai adalah suatu objek, aktivitas, atau ide yang dinyatakan oleh individu dalam mengarahkan minat, sikap, dan kepuasan. Piaget dan Kohlberg banyak membahas tentang per-kembangan moral anak. Namun Kohlberg mengabaikan masalah hubungan antara judgement moral dan tindakan moral. Ranah psikomotor merupakan ranah yang berkaitan dengan keterampilan (skill) tau kemampuan bertindak setelah seseorang menerima pengalaman belajar tertentu. Ranah psikomotor adalah ranah yang berhubungan dengan aktivitas fisik, misalnya lari, melompat, melukis, menari, memukul, dan sebagainya. Simpson (1956) yang menyatakan bahwa hasil belajar psikomotor ini tampak dalam bentuk keterampilan (skill) dan kemampuan bertindak individu. Ranah psikomotor berhubungan dengan hasil belajar yang pencapaiannya melalui keterampilan manipulasi yang melibatkan otot dan kekuatan fisik. Beberapa ahli banyak menjelaskan penilaian hasil belajar psikomotor. Ryan (1980) menjelaskan bahwa hasil belajar keterampilan dapat diukur melalui pengamatan langsung dan penilaian tingkah laku peserta didik selama proses pembelajaran praktik berlangsung. Tes untuk mengukur ranah psikomotorik adalah tes untuk mengukur penampilan atau kinerja (performance) yang telah dikuasai oleh peserta didik. Tes tersebut dapat berupa tes paper and pencil, tes identifikasi, tes simulasi, dan tes unjuk kerja. Kurikulum Bermutu Webster’s (1857), mendefenisikan kurikulum sebagai sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh oleh para siswa untuk dapat naik kelas atau mendapat ijazah. Robert Zais (1976) mengatakan kurikulum adalah sejumlah mata pelajaran atau ilmu pengetahuan yang harus ditempuh oleh siswa untuk mencapai suatu tingkat tertentu atau untuk memperoleh ijazah. William B. Ragan (1963), Beauchamp (1964), dan Harold B. Alberti Cs. (1965) mendefinisikan kurikulum menekankan pada aspek pengalaman dan kegiatan belajar siswa. Intinya kurikulum adalah semua pengalaman dan kegiatan belajar yang direncanakan oleh (guru) sekolah dan dialami siswa, baik itu yang dilaksanakan di kelas, di halaman sekolah maupun di luar sekolah sekalipun. Pengertian kurikulum yang lebih luas dan komprehensif dikemukakan oleh J. Lloyd Trump dan Delmas F. Miller (1973) dan Alice Miel (1945). Ketiga ahli tersebut melihat kurikulum bukan hanya berkenaan dengan mata pelajaran dan kegiatan belajar, tetapi juga menyangkut sarana prasarana, metode, waktu, sistem evaluasi, dan administrasi supervisi. Simpulannya kurikulum dapat dilihat dari dua dimensi, yaitu kurikulum sebagai sebuah dokumen yang berisi rencana pengalaman-pengalaman belajar yang akan dipelajari dan dikuasai oleh para siswa dalam rentang waktu tertentu atau disebut dengan kurikulum tertulis (written curriculum), dan kurikulum sebagai pengalaman dan kegiatan belajar yang dialami siswa secara nyata atau yang disebut dengan kurikulum nyata (real curriculum). Untuk mengembangkan kurikulum nyata diperlukan sejumlah faktor pendukung mulai dari bahan ajar, sarana prasarana, media/sumber belajar, metode, dan sistem evaluasi. Ada sejumlah prinsip pengembangan kurikulum yang perlu diperhatikan agar kurikulum dapat dinilai bermutu yaitu prinsip relevansi, efektivitas, efesiensi serta fleksibilitas. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dikembangkan dengan mengacu kepada sejumlah aturan perundangan mulai dari UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, PP No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, Permendiknas No. 22/2006 tentang Standar Isi, Permendiknas No. 23/2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan, Permendiknas No. 24/2006 dan No. 6/2007 tentang pelaksanaan Permendiknas No. 22 dan 23/2006. Saat ini kita dihadapkan pada tantangan era globalisasi. Era globalsiasi ditandai dengan perubahan dalam konsep ruang dan waktu, pasar dan produksi ekonomi di negara-negara yang berbeda menjadi saling bergantung sebagai akibat dari pertumbuhan perdagangan internasional, peningkatan pengaruh perusahaan multinasional, dan dominasi organisasi semacam World Trade Organization (WTO). Kemudian terjadinya peningkatan interaksi kultural melalui perkembangan media massa (terutama televisi, film, musik, dan transmisi berita dan olah raga internasional). saat ini, kita dapat mengonsumsi dan mengalami gagasan dan pengalaman baru mengenai hal-hal yang melintasi beraneka ragam budaya, misalnya dalam bidang fashion, literatur, dan makanan serta meningkatnya masalah bersama, misalnya pada bidang lingkungan hidup, krisis multinasional, inflasi regional dan lain-lain. Secara lebih khusus, ciri-ciri globalisasi ditandai dengan berkembangnya pertukaran kebudayaan internasional, penyebaran prinsip multi kebudayaan (multiculturalism), dan kemudahan akses suatu individu terhadap kebudayaan lain di luar kebudayaannya. Berkembangnya turisme dan pariwisata, semakin banyaknya imigrasi dari suatu negara ke negara lain, berkembangnya mode yang berskala global, seperti pakaian, film dan lain lain serta bertambah banyaknya event-event berskala global. Untuk menciptakan pendidikan guru yang berkualitas, berdasarkan beberapa hasil penelitian Darling-Hammond. dan Bransford (Ed.) (2005: 394) menyatakan bahwa minimal ada tiga elemen penting dalam desain program pendidikan guru yang harus diperbaiki. Ketiga elemen tersebut adalah konten pendidikan guru, proses pembelajaran yang berkenaan dengan penyusunan kurikulum serta konteks pembelajaran, yang berkenaan dengan penciptaan proses pembelajaran kontekstual. Lang dan Evans (2006: 3) secara lebih gamblang menyatakan bahwa penciptaan program pendidikan bermutu dapat didasarkan atas esensi-esensi program pendidikan guru diantaranya keberartian teori disertai pengalaman praktisnya, kerja sama antara perguruan tinggi dengan komunitas pendidikan lainnya, teori dan praktis dalam keterampilan generic dan refleksi serta diskusi tentang efektivitas keterampilan tersebut. Memberikan penekanan proses pada bagaimana cara mahasiswa belajar untuk meningkatkan kreativitas dan kemampuan berpikir kritis, kemampuan untuk mengorganisasikan pembelajaran,penerapan pendekatan konstruktivisme dalam pembelajaran, penerapan alternatif asesmen dan teori motivasi serta membangun profesionalisme berbasis penelitian Minimal ada lima kapabilitas yang harus terus menerus dibangun guru dalam rangka mengembangkan kualitasnya (Darling-Hammond. et.al. ,1999; Nicholss, G., 2002, dan Lang dan Evans, 2006). Kelima kapabilitas itu adalah konten pengetahuan yang diajarkan, tingkat konseptualisasi, kemampuan guru dalam melaksanakan proses pembelajaran, komunikasi interpersonal dan kapabilitas ego. Kapabilitas ego berhubungan dengan usaha mengetahui diri sendiri dan usaha membangun responsibilitas diri terhadap lingkungan. Aspek lain yang penting dalam rangka membangun kualitas guru adalah usaha mewujudkan guru sebagai peneliti. Pelaksanaan penelitian di dalam kelas merupakan upaya meningkatkan kualitas pendidik untuk menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi saat menjalankan tugasnya akan memberi kontribusi positif ganda. Kontribusi itu adalah peningkatan kemampuan dalam menyelesaikan masalah pendidikan dan pembelajaran yang nyata, peningkatan kualitas isi, masukan, proses, dan hasil belajar. Peningkatan keprofesionalan pendidik, penerapan prinsip pembelajaran berbasis penelitian. (****). (Dihimpun dari berbagai sumber dan rujukan : Darling-Hammond. (Ed.).1999. Teaching as the Learning Profession. San Francisco: Jossey-Bass Publishing, License to Teach. San Francisco: Jossey-Bass Publishing, Preparing Teachers for a Changing World. San Francisco: Jossey-Bass Publishing, 2005, Powerful Teacher Education. San Francisco: Jossey-Bass Publishing, 2006, etc)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar