Sabtu, 04 Agustus 2012

PSIKOLOGI

MEMOTIVASI SISWA GUIT BELAJAR DAN BERKARAKTER Oleh: Nelson Sihaloho Pendahuluan Sering kita melihat anak atau siswa malas belajar bahkan siswa lebih banyak meluangkan waktu untuk bermain. Era sekarang ini anak atau siswa yang sering berlama-lama nongkrong di warung internet (warnet) menjadi kegelisahan para orangtua di negeri ini. Kelak seperti apakah generasi bangsa ini di masa mendatang. Berbagai keluhan pun muncul dalam pemikiran kita. Jika dulunya anak-anak sekolah tawuran sering terjadi diberbagai kota-kota besar saat ini pemandangan tawuran itu semakin berkurang. Begitu juga dengan guru sering mengeluh dengan semakin “cueknya” siswa terhadap materi pembelajaran yang diajarkan dipapan tulis menggunakan spidol. Kini model pembelajaran dengan menggunakan infocus menjadi trend disekolah-sekolah. Komputer-komputer lengkap dengan infocus menjadi kebutuhan utama yang harus disediakan oleh sekolah-sekolah di era teknologi informasi dan komunikasi. Suasana kelas yang gerah akibat pemanasan global sepertinya AC menjadi primadona utama bagi penyelenggara pendidikan untuk menyediakan fasilitas berkelas “hotel”. Tidak mengherankan di negeri ini semakin membengkak saja anggaran pendidikan akibat dampak “pemanasan global” itu. Anak atau siswa tahan berjam-jam di internet main game, bahkan menjelajahi berbagai ilmu pengetahuan yang didapatkan dari situs-situs web. Meskipun murah namun apabila setiap hari siswa ke warnet rata-rata 6 jam sehari akan menghabiskan tarif Rp. 15.000 per hari. Persoalannya sekarang bagaimana seorang seorang pendidik, memotivasi siswa untuk belajar dikaitkan dengan fenomena sebagaimana yang diuraikan diatas. Belum lagi tentang Ujian Nasional (UN) meskipun telah ditandatangani fakta kejujuran dalam UN selalu saja ada oknum atau pihak-pihak tertentu yang membocorkan soal khususnya rahasia negara (dokumen negara). Selain itu benarkan pendidikan kita murah dan bermutu jika anak lebih banyak meluangkan waktunya di internet dari pada belajar dirumah sambil berdiskusi atau bimbingan belajar (bimbel) jika untuk mengerjakan tugas saja para siswa harus mengcopinya ke warnet? Tugas Guru Memotivasi Siswa Beberapa strategi yang dapat dilakukan oleh guru untuk meningkatkan motivasi belajar siswa khususnya dalam kelas adalah menggunakan pertanyaan berpikir kritis. Metode berpikir kritis mengajak siswa untuk tidak selalu memiliki jawaban benar atau salah sehingga mereka diperbolehkan untuk mengungkapkan pendapatnya sendiri. Hal ini jauh lebih baik jika dibandingkan dengan siswa hanya diberitahu untuk menghafal fakta. Banyak guru yang menggunakan musik untuk mengajar. Musik merupakan salah satu alat pembelajaran paling sederhana dan merupakan cara yang baik untuk memicu minat siswa. Bahkan ada yang menggunakan video berupa klip singkat agar waktu dapat digunakan sefektif mungkin sesuai dengan alokasi waktu yang tersedia. Memutar klip video bisa menjadi pemicu untuk memotivasi siswa lebih giat belajar. Selain itu guru juga harus menghubungkan apa yang dipelajari siswa dengan dunia nyata, menghubungkan apa yang dipelajari siswa dengan hal-hal yang penting bagi siswa akan semakin efektif bagi guru dalam memotivasi siswa dalam belajar. Dalam proses belajar mengajar (PBM) guru juga dituntut untuk meningkatkan kecerdasan emosionil siswa. Kecerdasan emosi sangat penting dalam menata kehidupan untuk meraih kesuksesan. Beberapa aspek penting yang perlu diperhatikan untuk meningkatkan kecerdasan emosi. Dua ahli EQ (Emotional Quotient), Salovey & Mayer (1990) yang dikenal sebagai pengembang konsep EQ, jauh sebelum Goleman merangkumnya menjadi lima aspek. Kelima aspek itu adalah kesadaran diri (self awareness), mengelola emosi (managing emotions), memotivasi diri sendiri (motivating oneself), empati (emphaty) serta menjaga relasi (handling relationship). Daniel Goleman menyebut 5 dimensi guna mengembangkan kecerdasan emosi yaitu penyadaran diri, mengelola emosi, motivasi diri, empati dan ketrampilan sosial. Dalam bukunya kompetensi EQ, “The emotionally Intelligent Workplace” Goleman menjelaskan bahwa perilaku EQ tidak bisa hanya dilihat dari sisi setiap kompetensi EQ melainkan harus dari satu dimensi atau setiap cluster-nya. Kemampuan penyadaran sosial (social awareness) misalnya tidak hanya tergantung pada kompetensi empati semata melainkan juga pada kemampuan untuk berorientasi pelayanan dan kesadaran akan organisasi. Ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kecerdasan emosional . Mengenali emosi orang lain berarti kita memiliki empati terhadap apa yang dirasakan orang lain. Penguasaan ketrampilan ini membuat kita lebih efektif dalam berkomunikasi dengan orang lain. Inilah yang disebut sebagai komunikasi empatik. Berusaha mengerti terlebih dahulu sebelum dimengerti. Ketrampilan ini merupakan dasar dalam berhubungan dengan manusia secara efektif. Kemudian mengelola emosi orang lain. Jika ketrempilan mengenali emosi orang lain merupakan dasar dalam berhubungan antar pribadi, maka ketrampilan mengelola emosi orang lain merupakan pilar dalam membina hubungan dengan orang lain. Ketrampilan mengelola emosi orang lain merupakan kemampuan yang dahsyat jika kita dapat mengoptimalkannya. Sehingga kita mampu membangun hubungan antar pribadi yang kokoh dan berkelanjutan. Memotivasi orang lain, ketrampilan memotivasi orang lain adalah kelanjutan dari ketrampilan mengenali dan mengelola emosi orang lain. Ketrampilan ini adalah bentuk lain dari kemampuan kepemimpinan, yaitu kemampuan menginspirasi, mempengaruhi dan memotivasi orang lain untuk mencapai tujuan bersama. Hal ini erat kaitannya dengan kemampuan membangun kerja sama tim yang tangguh dan andal. Thomas Amstrong dalam bukunya In Their Own Way: Discovering and Encouraging Your Child’s Multiple Intelligences, 2003) mengungkapkan bahwa pada dasarnya semua anak terlahir dengan potensi genius. Kecerdasan bukan hanya dilihat dari skor IQ dan nilai yang diperoleh seseorang. Kecerdasan merupakan kemampuan yang dimiliki oleh seseorang untuk melihat suatu masalah, lalu menyelesaikan masalah tersebut atau membuat sesuatu yang dapat berguna bagi orang lain. Sayangnya baik sekolah maupun orang tua seringkali terjebak melihat sisi kecerdasan anak hanya pada nilai raportnya yang mengukur kecerdasan matematika dan verbal semata. Padahal ada banyak kecerdasan (multiple Intellegences) yang harus dikenali pada diri anak agar bisa dikembangkan secara maksimal. Beberapa macam kecerdasan yang diungkapkan oleh Gardner (1983) dalam Multiple Intellegences yaitu kecerdasan Verbal-bahasa (Word Smart) pandai berbicara, gemar bercerita, dengan tekun mendengarkan cerita atau membaca merupakan tanda anak yang memiliki kecerdasan linguistik yang menonjol. Kecerdasan ini menuntut kemampuan anak untuk menyimpan berbagai informasi yang berarti berkaitan dengan proses berpikirnya. Kecerdasan Matematika – Logika (Number Smart) Anak-anak dengan kecerdasan matematika-logika yang tinggi memperlihatkan minat yang besar terhadap kegiatan eksplorasi. Mereka sering bertanya tentang berbagai fenomena yang dilihatnya. Mereka menuntut penjelasan logis dari setiap pertanyaan. Selain itu mereka juga suka mengklasifikasikan benda dan senang berhitung. Kecerdasan Spatial – Visual (Picture Smart) Anak-anak dengan kecerdasan visual – spatial yang tinggi cenderung berpikir secara visual. Mereka kaya dengan khayalan internal (internal imagery), sehingga cenderung imaginatif dan kreatif. Kecerdasan Fisik- Olah Tubuh (Body Smart). Anak-anak dengan kecerdasan bodily – kinesthetic di atas rata-rata, senang bergerak dan menyentuh. Mereka memiliki kontrol pada gerakan, keseimbangan, ketangkasan, dan keanggunan dalam bergerak. Mereka mengeksplorasi dunia dengan otot-ototnya. Kecerdasan Musik (Music Smart). Anak dengan kecerdasan musical yang menonjol mudah mengenali dan mengingat nada-nada. Ia juga dapat mentranformasikan kata-kata menjadi lagu, dan menciptakan berbagai permainan musik. Mereka pintar melantunkan beat lagu dengan baik dan benar. Mereka pandai menggunakan kosakata musical, dan peka terhadap ritme, ketukan, melodi atau warna suara dalam sebuah komposisi musik. Kecerdasan Interpersonal/Bergaul (People Smart). Anak dengan kecerdasan interpersonal yang menonjol memiliki interaksi yang baik dengan orang lain, pintar menjalin hubungan sosial, serta mampu mengetahui dan menggunakan beragam cara saat berinteraksi. Mereka juga mampu merasakan perasaan, pikiran, tingkah laku dan harapan orang lain, serta mampu bekerja sama dengan orang lain. Kecerdasan Intra personal/Cerdas Diri (Self Smart). Anak dengan kecerdasan intra personal yang menonjol memiliki kepekaan perasaan dalam situasi yang tengah berlangsung, memahami diri sendiri, dan mampu mengendalikan diri dalam situasi konflik. Ia juga mengetahui apa yang dapat dilakukan dan apa yang tidak dapat dilakukan dalam lingkungan sosial. Mereka mengetahui kepada siapa harus meminta bantuan saat memerlukan. Kecerdasan Lingkungan/Natural (Nature Smart). Anak-anak dengan kecerdasan naturalist yang menonjol memiliki ketertarikan yang besar terhadap alam sekitar, termasuk pada binatang, di usia yang sangat dini. Mereka menikmati benda-benda dan cerita yang berkaitan dengan fenomena alam, misalnya terjadinya awan dan hujan, asal usul binatang, pertumbuhan tanaman, dan tata surya. Kecerdasan Eksistensi (Spiritual). Anak yang memiliki kecerdasan ini memiliki ciri-ciri yaitu cenderung bersikap mempertanyakan segala sesuatu mengenai keberadaan manusia, arti kehidupan, mengapa manusia mengalami kematian, dan realitas yang dihadapinya. Kecerdasan ini dikembangkan oleh Gardner pada tahun 1999. Multiple Intelligences memberikan pandangan bahwa terdapat sembilan macam kecerdasan yang dimiliki oleh setiap orang. Yang membedakan antara yang satu dengan yang lainnya adalah komposisi atau dominasi dari kecerdasan tersebut. Setiap kecerdasan dalam Multiple intelligences dapat dikembangkan hingga batas maksimalnya. Peran orang tua sangat besar dalam mengembangkan kecerdasan majemuk ini. Memberi stimulus pada setiap sisi kecerdasan memberi peluang berkembangnya setiap kecerdasan tersebut. Pendidikan karakter Masih segar diingatan kita Pidato Medikbud Prof. Dr. Muhammad Nuh, DEA, mengawali pidato pada saat pembukaan Sarase¬han Nasional Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa yang diselenggarakan pada Tanggal 14 Januari 2010 yang lalu di Jakarta. “Hari ini merupakan hari yang sangat mem¬bahagiakan, kesempatan bagi kita untuk menggagas, menganalisis dan memberikan masukan untuk pengembangan budaya dan karakter bangsa dalam rangka menjawab kerisauan masyarakat karena kekhawatiran akan hilangnya nilai-nilai budaya dan karak¬ter bangsa serta kerinduan terhadap kehidu¬pan yang harmoni”. Mengutip pendapat M.Nuh ada beberapa kebiasaan yang harus di bangun dinegeri ini yaitu kebiasaan men¬gapresiasi setiap prestasi, kebiasaan ini akan memban¬gun tumbuh suburnya orang-orang yang berprestasi. Tradisi obyektif dan komprehensif, intelektual dan “curiosity” yaitu kebiasaan eksploratif, pemikir, kreatif, inovatif yang didukung oleh pembelajar mengingat dan memahami. Tega terhadap orang sakit harus digeser menjadi tidak tega, kesediaan belajar dari orang lain dan pendidikan tidak boleh dibiarkan lepas dari budaya. Pendidikan karakter saat ini masuk dalam kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP). Intinya setiap KTSP wajib memuat pendidikan karakter sehingga jati diri bangsa Indonesia lebih dikedepankan sebagai bangsa yang berbudaya dan berkarakter. Pendidikan karakter juga berkaitan erat dengan kecerdasan emosionil seseorang dimana setiap orang akan memiliki karakternya sendiri, jati dirinya sendiri dan menghargai budayanya sendiri. Budaya-budaya nasional bangsa kita merupakan hasil olah pikiran, hasil kecerdasan yang tidak hanya tercipta semudah membalikkan telapak tangan. Itulah kunci kecerdasan emosionil yang sudah ribuan tahun turun temurun dari generasi ke generasi namun kita belum menyadari kekuatan atas karakter bangsa kita. Kecerdasaran-kecerdasaran sebagaimana yang diuraikan diatas perlu digali lebih mendalam oleh guru sehingga anak didik/siswa yang kita didik benar-benar potensinya dikembangkan secara optimal. Optimalisasi kecerdasan siswa bisa dipadukan dengan pendidikan berbasis karakter melalui motivasi terhadap anak didik disekolah. Pendidikan berbasis karakter akan menunjukkan eksistensi dan kekuatannya apabila bangsa ini tetap berpegang teguh pada nilai-nilai, norma-norma serta tradisi-tradisi yang dibingkai dalam suatu harmonisasi budaya yaitu karakter yang sesungguhnya. (dihimpun dari berbagai sumber). Tulisan ini telah dimuat pada Majalah TEGAS

Tidak ada komentar:

Posting Komentar