Rabu, 25 Februari 2015

PEMBENTUKAN DITJEN GTK AKANKAH BERHASIL MENGUFUSI GURU

Ditjen GTK Akankah Berhasil Mengurusi Guru? Oleh: Nelson Sihaloho Abstrak Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikbud-Dasmen), Anies Baswedan telah meresmikan pembentukan Ditjen Guru dan Tenaga Kependidikan. Ditjen GTK bertugas mengurusi peningkatan kompetensi, pencairan tunjangan fungsional guru hingga tunjangan profesi guru (TPG). Hingga saat ini sebanyak 800.000 tenaga guru di seluruh Indonesia mentok pada golongan ruang IV/a (pembina) bahkan ada yang telah lebih 15 tahun tidak naik-naik pangkat. Langkah pemerintahan Joko Widodo dalam memenuhi janji khususnya membentuk Ditjen GTK perlu didukung semua pihak, termasuk Mendikbud-Dasmen sebagai institusi mengurusi guru dan tenaga kependidikan harus mampu mengangkat harkat dan martabat guru. Saat ini persoalan guru sangat “krusial” bahkan wibawa “kepangkatan” seakan-akan tidak memiliki makna lagi sebab soal pengangkatan Kepala Sekolah dengan label “tugas tambahan” dan “guru profesional” karena telah “lulus sertifikasi” kinerja guru malah tidak meningkat bahkan banyak terjadi dugaan pengemplangan korupsi jam guru dan tidak memenuhi syarat 24 jam tatap muka. Diharapkan Ditjen GTK terlebih dahulu mengkaji ulang semua Peraturan-Peraturan yang berkaitan dengan GTK agar langkah-langkah pemberian pelayanan kepada GTK dalam mempersiapkan guru yang profesional benar-benar terwujud serta berjalan sesuai harapan semua pihak. Kata kunci: guru, tenaga kependidikan Pendahuluan Kebijakan pembinaan guru selama ini banyak dikeluhkan serta menimbulkan berbagai masalah. Program pelatihan atau peningkatan kompetensi guru sering dikeluhkan. Pasalnya banyak guru yang selalu mendapatkan langganan pelatihan di satu sisi ada guru yang meski kinerjanya telah puluhan tahun belum pernah mengikuti pelatihan. Pada akhirnya, kompetensi guru tidak merata dan tidak berkembang. Belum lagi masalah pencairan tunjangan profesi guru yang selama ini banyak dikeluhkan oleh kalangan guru yang semestinya menerima TPG tepat waktu malah bertambah kisruh dan pencairannya molor serta berbelit-belit. Aturan kenaikan pangkat yang sudah ditetapkan semestinya bisa memberikan motivasi kepada guru untuk meningkatkan kinerjanya. Kenyataan dan praktek dilapangan sangat kontras dengan aturan yang telah ditetapkan. Guru meskipun telah 15 tahun tidak naik pangkat tidak ada sanksi “secarik kertas” pun yang diberikan kepada guru oleh instansi yang terkait bahkan terus mendapatkan tunjangan sertifikasi. Ironisnya tidak ada “hukuman” yang diberikan kepada guru soal ketidakmampuan dan keterlambatannya dalam memenuhi kinerja sesuai dengan persyaratan ataupun peraturan yang berlaku. Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negera Reformasi dan Birokrasi (Permenpan RB) nomor 16 tahun 2009 yang mengatur tentang jabatan fungsional guru dan angka kreditnya tujuannya adalah baik. Salah satu persyaratan yang harus dipenuhi seorang guru untuk naik ke golongan IV/b harus membuat karya tulis. Dalam hal ini sangat penting dipersiapan adalah mekanisme dan sistem yang baik sehingga terhindar dari praktik-praktik yang tidak baik. Sebenarnya kenaikan pangkat bagi Guru (PNS) merupakan wujud penghargaan atas kinerja yang telah ditorehkan selama ini. Kenaikan pangkat guru dari III/b ke III/c sudah harus melakukan pengembangan keprofesian berkelanjutan. Kenaikan tersebut tidak mudah, hanya guru-guru yang berprestasilah bisa mendapatkan kenaikan pangkat tepat waktu. Dalam Permen PANRB 2009 itu disebutkan, agar menjadi profesional maka guru harus melakukan Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan (PKB), antara lain dengan mengembangkan diri, membuat publikasi ilmiah, dan karya inovatif. Para guru tidak akan bisa naik pangkat kalau tidak melakukan PKB. Secara umum guru tidak biasa mendokumentasikan semua kegiatan pembelajaran, padahal sebenarnya hal itu merupakan bagian dari pengembangan profesi. Ironisnya banyak guru yang malas menuliskan kegiatan pembelajaran, sehingga karya-karya ilmiah dan publikasi ilmiahnya tidak terdokumentasikan dengan baik. Banyak guru yang sudah melaksanakan pembelajaran kreatiff, inovatif, dan menyenangkan di kelas, namun banyak guru yang tidak bisa menuangkannyan melalui sebuah tulisan ilmiah. Berdasarkan pengalaman penulis banyak guru yang kualitasnya bagus bahkan ada yang telah bergelar S2 (magister) dan mendapatkan tugas tambahan sebagai Kepala Sekolah, namun “embel-embel” S2 nya dan telah mendapatkan sertifikat “guru profesional” tidak signifikan dengan kinerjanya khususnya dalam menulis karya imiah ataupun publikasi ilmiah. Masalah yang sangat urgensial terletak pada rendahnya minat dan kemampuan guru untuk melaksanakan penelitian tindakan kelas (PTK). Dugaan sementara akibat masih rendahnya kemampuan guru merencanakan dan melaksanakan pembelajaran yang kontekstual secara konsisten di kelas serta kurangnya kesempatan guru mendapatkan pendalaman materi pelatihan pembelajaran berbasis inovatif. Pengawas sebagai supervisor turut bertanggung jawab untuk melakukan upaya-upaya peningkatan kinerja guru namun kenyataan dilapangan ada pengawas yang kepangkatannya “lebih rendah” dari kepangkatan guru sehingga pengawas malah bukan memberikan contoh yang baik namun sebaliknya. Pengawas tidak hanya berperan sebagai resources person atau konsultan, bahkan secara kolaboratif dapat bersama-sama dengan guru melakukan tindakan kelas bagi peningkatan pembelajaran. Pengawas yang lebih rendah kepangkatannya dengan orang yang diawasinya mengindikasikan bahwa “pengawas gagal” dalam menjalankan tugas-tugas profesionalismenya. Intinya adalah prosedur baru kenaikan pangkat seorang guru mulai diperketat dengan wajib membuat dan melampirkan bukti karya ilmiah. Akan Muluskah Langkah Ditjen GTK? Kompleksnya permasalahan guru saat ini kelak akan “berbenturan” dengan Ditjen lain di Kemdikbud Dasmen mulai dari permasalahan peraturan tentang guru, kualifikasi akademik, masa kerja golongan, sistem rekruitmen guru, pelatihan guru, sistem kenaikan pangkat, pemberian tunjangan profesi hingga pengangkatan kepala sekolah dan pengawas. Intinya aturan-aturan yang berkaitan dengan guru dan tenaga kependidikan harus terlebih dahulu diselesaikan. Kelompok-kelompok guru yang tidak naik pangkat 10 tahun -15 tahun harus dikelompokkan dan ditabulasikan terlebih dahulu dalam data base kelompok “merah”. Selanjutnya kelompok tidak naik pangkat 6 tahun-8 tahun dikelompokkan dalam data base “kuning” serta kelompok 1 tahun – 5 tahun dimasukkan dalam data base “hjau”. Selama ini tugas tambahan sebagai “kepala sekolah” selalu dianggap lebih tinggi dari guru meskipun kepangkatan guru ada yang lebih tinggi dari kepala sekolah yang sebenarnya oknum kepala sekolah sudah tidak layak lagi mendapatkan tugas tambahan. Selama ini prosesnya selalu “dibiarkan” berlangsung tanpa ada tindakan tegas serta teguran kepada kepala sekolah. Seharusnya kepala sekolah instropeksi diri “ apakah masih layakkah tugas tambahan sebagai Kepala Sekolah disandang apabila bawahannya kepangkatannya lebih tinggi?. Apakah kepala sekolah masih layak mengatur bawahan yang kepangkatanya lebih tinggi dari kepala sekolah? Intinya Permendiknas nmor 28 tahun 2010 itu perlu ditinjau ulang dengan melakukan penyempurnaan. Termasuk pada jenjang Dinas Pendidikan Kota/Kabupaten di seluruh Indonesia pola pengangkatan tugas tambahan sebagai Kepala Sekolah kepangkatannya harus lebih tinggi dari bawahannya. Masalah lainya adalah Ditjen GTK dituntut untuk benar-benar mengetahui seluruh jumlah guru dan sekolah yang ada di negeri ini, mulai dari beban kerja guru, jumlah rombongan belajar hingga jejak rekam kepangkatannya termasuk karya-karya pengembangan profesi guru. Permen PAN RB sebenarnya bertujuan agar ke depan kualitas guru semakin baik, sehingga tingkat prestasi guru benar-benar dapat dipertahankan dan teruji. Direktorat Jenderal GTK yang khusus menangani guru dan tenaga kependidikan ini tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2015 tentang Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Anies Baswedan (2015) menyatakan fungsi direktorat tersebut adalah melaksanakan kebijakan di bidang penyusunan rencana kebutuhan dan pengendalian formasi, pengembangan karier, peningkatan kualifikasi dan kompetensi, pemindahan, serta peningkatan kesejahteraan guru dan pendidik lainnya. Et.al, juga mengatakan bahwa fungsi berikutnya, melaksanakan kebijakan di bidang penyusunan rencana kebutuhan, peningkatan kualifikasi dan kompetensi, pemindahan lintas daerah provinsi, dan peningkatan kesejahteraan tenaga kependidikan. Ditjen ini juga bertugas memberi bimbingan teknis dan supervisi di bidang pembinaan guru dan pendidik lainnya. Selain itu, melaksanakan evaluasi dan pelaporan di bidang pembinaan guru dan pendidik lainnya, serta tenaga kependidikan, pelaksanaan administrasi Ditjen GTK. Guru Profesional Glickman (1981) menegaskan bahwa seseorang akan bekerja secara profesional apabila memiliki kemampuan (ability) dan motivasi (motivation). Glickman,et.al mengungkapkan bahwa seseorang guru dapat dikatakan profesional apabila memiliki kemampuan tinggi (high level of abstract) dan motivasi kerja tinggi (high level of commitment). Guru sebagai pendidik profesional mempunyai citra yang baik di masyarakat apabila dapat menunjukkan kepada masyarakat bahwa ia layak menjadi panutan atau teladan masyarakat sekelilingnya (Soetjipto dan Kosasi, 2000: 42). Penerapan sikap keprofesionalisme guru dapat diketahui dari kinerjanya, bagaimana seorang guru tersebut mampu menerapkan metode pembelajaran yang merupakan cara untuk menyajikan, menguraikan, memberi contoh, dan memberi latihan kepada siswa untuk mencapai tujuan tertentu yaitu proses pembelajaran yang efektif dan efisien. Peningkatan profesionalisme guru berkaitan dengan motivasi serta dorongan yang kuat bagi seseorang meningkatkan secara terus menerus kompetensi profesionalismenya. Peningkatan motivasi kerja guru dalam melaksanakan tugas-tugas pendidikan dalam organisasi pendidikan sangat penting dilakukan oleh manajer pendidikan. Sweeney dan McFarlin,(2002:83, menyimpulkan bahwa motivasi merupakan “The Big Issue, … the most important issue in organizational behavior”. Dalam konteks manajemen personalia, Deesler (1993:19) menyebut motivasi sebagai “isu sentral dalam manajemen”. “Memotivasi pegawai dalam bekerja selalu menjadi perhatian utama para manajer dalam meningkatkan performasi kerja pegawai” (Luthans, 2002:259). “Para manajer menyadari bahwa motivasi kerja berhubungan erat dengan kinerja” (Sweeney dan McFarlin, 2002:84). Peningkatan kinerja juga penting dilakukan oleh guru itu sendiri atau atas pengaruh motivasi kepala sekolah. Namun, “kondisi kerja para guru, baik sifatnya fisik maupun non fisik masih belum memberikan derajat kepuasan kerja sehingga mempengaruhi kinerja guru” (Surya, 2005:5). Kinerja guru tidak hanya ditunjukkan berupa hasil kerja, akan tetapi termasuk perilaku kerja. Murphy dan Cleveland (1991:92) menyatakan bahwa: “Job Performance should be defined in term of behavior or in term of the results of behavior”. Sedangkan Stoner dan Wankel, 1993:159) menyatakan bahwa “kinerja ialah hasil kerja secara nyata yang ditunjukkan oleh individu”. Harley (Siagian, 1996:14) menyebut kinerja “sebagai upaya yang dilakukan dalam menyelesaikan pekerjaan untuk menghasilkan keluaran dalam periode tertentu”, dan sekait dengan itu Fattah (2004:19) mengartikan performansi sebagai “ungkapan kemampuan yang didasari oleh pengetahuan, sikap, keterampilan, dan motivasi dalam menghasilkan sesuatu”. Kinerja guru dipengaruhi oleh beberapa faktor dan merupakan permasalahan, yaitu faktor “kualifikasi standar guru dan relevansi antara bidang keahlian guru dengan tugas mengajar” (Taufik, 2002:244). Gibson et al. (1985:51-53) mengemukakan bahwa “ada tiga kelompok variabel yang mempengaruhi kinerja individu, yaitu pertama variabel individu, variabel, variabel organisasi, dan variabel psikologis individu”. Cascio (Sukmalana, 2003:21) menyatakan bahwa “abilitas dan motivasi merupakan faktor-faktor yang berinteraksi dengan kinerja, motivasi berprestasi berhubungan dengan kinerja, profesionalisme berhubungan dengan kinerja”, dan “motivasi berprestasi berhubungan dengan profesionalisme dan kinerja”. Pendapat lainnya, Abdullah, (2002:39) dan Cahyono (dalam Hasanah, 2003:102) menyimpulkan “faktor-faktor yang tidak langsung mempengaruhi kinerja ialah; manusia, modal, metode, produksi, lingkungan organisasi, lingkungan negara, lingkungan regional, dan umpan balik. Faktor –faktor lain yang perlu diperhatikan dan dikuasai oleh guru agar profesional dan berkinerja tinggi di era informasi, guru perlu menguasai sejumlah standar kompetensi dan penjabaran berbagai sub kompetensi dan pengalaman belajar yang terkandung dalam kompetensi pedagogik, profesionalisme, sosial, dan kepribadian sesuai rumusan yang dihasilkan oleh lembaga terkait. Berkaitan dengan terbentuknya Ditjen GTK diharapkan lingkungan lembaga pemerintah yang mengurusi guru dan tenaga kependidikan diharapkan dapat memberikan pencerahan baru demi peningkatan profesionalisme guru secara berkelanjutan. Simpulan Disetujuinya Ditjen GTK diharapkan akan lebih mampu memitovasi guru dalam meningkatkan kinerja profesionalismenya. Sinkronisasi peraturan yang berkaitan dengan guru dan tenaga kependidikan harus lebih disederhanakan sehingga memberikan ruang bagi GTK dalam meningkatkan kompetensi profesionalismenya. Penghargaan (reward) terhadap guru melalui pemberian tunjangan profesionalisme guru (TPG) sebaiknya dilakukan berjenjang sesuai dengan prestasi dan kinerjanya. Semoga. (tulisan ini disarikan dan dihimpun dari berbagai sumber-sumber relevan).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar