Sabtu, 28 Februari 2015
Pendidikan Karakter Dalam Perspektif Global
Pendidikan Karakter dalam Perspektif Global
Oleh: Nelson Sihaloho
Abstrak:
Pendidikan karakter pada era globalisasi memiliki tantangan yang sangat besar terhadap kehidupan bangsa dan negara. Karakter suatu bangsa hanya bisa dibentuk apabila nilai-nilai etika dan budaya bangsa sejak dini diajarkan kepada anak didik. Meski kelak fakta dilapangan sulit ditemukan sosok yang memiliki karakter tangguh, kuat dan ulet, pendidikan karakter memberikan banyak manfaat.
Pendidikan karakter menjadikan individu yang maju, mandiri, dan kokoh dalam menggenggam prinsip. Salah satu dampak dari globalisasi ialah meningkatnya kriminalitas kerah putih (while collar crime) bahkan ada kecenderungan bahwa masyarakat modern telah menderita penyakit kleptokrasi. Bentuk-bentuk kleptokrasi ini seperti yang terlihat semakin meningkatnya gejala-gejala korupsi di banyak negara termasuk di Indonesia.
Pendahuluan
Indonesia sebagai sebuah negara besar nampakanya harus banyak belajar dari negara-negara maju seperti Jepang, Perancis, Inggris yang sukses menanamkan pendidikan karakter pada penduduknya. Negara Amerika Serikat misalnya telah melakukan antisipasi akan tergerusnya nilai-nilai karakter terhadap negaranya dengan memasukkan pendidikan karakter pada setiap jenjang lembaga pendidikan di negara tersebut. Ada beberapa alasan yang mendasar bahwa pendidikan berbasis karakter diperlukan seperti yang terjadi di USA pada saat memasuki abad 21.
Beberapa alasan itu diantaranya, there is a clear and urgent need, transmitting values is and always has been the work of civilisation. The school’s role as moral educator becomes more vital at a time when millions of children get little moral teaching from their parents and when value-centered influence such as church or temple are also absent from their lives, thereis a common ethical ground even in our values-conflicted society, democracies have a special need for moral education. There is no such thing as value-free education, Moral questions are among the great question facing both the individuals and human race and there is a broad-based, growing support for values education in the schools.
Saat ini Indonesia dihadapkan pada tantangan global yang serba kompleks bukan hanya akan mengancam semakin lunturnya nilai-nilai moral bangsa juga akan berimbas pada sektor pendidikan. Menuurt Gudmund Hernes (2003:7) beberapa tantangan itu diantarnya bagaimana mengurangi kesenjangan dalam pemerataan pendidikan, kemiskinan, marginalisasi dan eklusivitas pendidikan, mengukuhkan hubungan yang lebih baik antara pendidikan dan ekonomi setempat (lokal), dan antara pendidikan dengan dunia kerja yang mengglobal. Mencegah berkembangnya peran dari riset dan pendidikan yang dikendalikan oleh pasar dan melebarnya kesenjangan teknologi dan ilmu pengetahuan diantara negara industri dan negara berkembang.
Menyusul kemudian bagaimana menjamin bahwa persyaratan riset negara berkembang menerima perhatian dan ditujukan oleh ilmuwan dan sarjananya, bagaimana mengurangi dampak negatif dari “brain drain” dari negara miskin ke negara kaya, dari wilayah tertinggal ke wilayah maju, sebagai pasar untuk siswa yang juga mengglobal. Bagaimana mengarahkan dampak dari prinsip-prinsip pemasaran dan perubahan peran dari negara terhadap pendidikan dan membantu perencanaan dan manajemen pendidikan. Bagaimana menggunakan sistem pendidikan tidak hanya untuk memindahkan batang tubuh keilmuan secara umum, tetapi melestarikan berbagai warisan budaya dunia, bahasa seni, gaya hidup di dunia yang semakin menjadi homogen.
Gelombang globalisasi bukan hanya mengubah tatanan kehidupan global termasuk akan mengubah tatanan kehidupan pada tingkat mikro. Bentuk-bentuk budaya global telah memasuki kehidupan sosial pada tingkat mikro, sehingga dikhawatirkan nilai-nilai tradisi dan nilai-nilai moral yang hidup di dalam masyarakat semakin lama semakin menghilang. Salah satu dampak dari globalisasi ialah meningkatnya kriminalitas kerah putih (while collar crime) bahkan ada yang mengatakan bahwa masyarakat modern telah menderita penyakit kleptokrasi.
Bentuk-bentuk kleptokrasi ini seperti yang terlihat didalam suatu lingkungan negara dengan semakin meningkatnya gejala-gejala ataupun praktik-praktik korupsi. Lebih lanjut Gudmund Hernes:2003:5) menyatakan tantangan lain yang dihadapi oleh penddikan, yaitu tantangan peningkatan lebih banyak pendidikan di negara berkembang, tantangan peningkatan mutu pendidikan di tiap jenjang, tantangan memperluas kesempatan pendidikan lanjutan setelah pendidikan dasar. Selanjutnya tantangan pendidikan untuk daerah pedesaan, tantangan pendidikan multibudaya untuk multietnis dalam masyarakat serta tantangan pendidikan untuk para manusia lanjut (manula).
Permasalahan berat pendidikan yang dihadapi dewasa ini sebenarnya telah disinyalir oleh Coombs (1968), yang mengemukakan bahwa krisis yang melanda dunia pendidikan karena muncul ketidakseimbangan peran. Krisis pendidikan disebabkan oleh empat faktor, pertama, the increase in popular aspirations for education, yang ditandai oleh tumbuh kembangnya sekolah-sekolah dan universitas di mana-mana. Ke dua, the acute scarsity of the resources, yang ditandai oleh kurang responsifnya sistem pendidikan terhadap kebutuhan masyarakat secara menyeluruh.
Ketiga, the inherent inertia of educational system, yang ditandai oleh mengapa pendidikan selalu terlambat berantsipasi untuk menyesuaikan diri terhadap hal-hal di luar dunia pendidikan. Ke empat, the inertia of societies themselves, hal-hal seperti sikap tradisional, prestige and incentive pattern menghalangi meningkatkan tenaga kerja pembangunan. Sekelumit tantangan dalam pendidikan kita betapa pendidikan karakter selama ini telah dihadapkan pada tantangan era globalisasi.
Menuju era globalisasi, Indonesia harus melakukan reformasi dalam proses pendidikan, yaitu dengan tekanan menciptakan sistem pendidikan yang lebih komprehensif dan fleksibel, sehingga para lulusan dapat berfungsi secara efektif dalam kehidupan masyarakat global. Pendidikan harus mampu menghasilkan lulusan yang bisa memahami masyarakatnya dengan berbagai faktor yang dapat mendukung mencapai sukses ataupun mengatasi penghalang yang menyebabkan kegagalan di dalam kehidupan bermasyarakat.
“To Be More” Barang Langka
“To be more” atau lebih luhur dalam konteks pendidikan karakter bangsa saat ini sulit ditemukan ataupun dilakukan bahkan menjadi barang langka. Karakter sesungguhnya dapat diartikan sebagai ciri khas yang dimiliki oleh seseorang atau tentang tentang kepribadian sesorang. Pendidikan karakter mencakup tentang pendidikan perilaku, kebiasaan, kesukaan, kemampuan, bakat, potensi, nilai-nilai, bahasa, adat dan sejarah bangsa. Nilai-nilai karakter bangsa mencakup kejujuran, tanggung jawab, visioner, disiplin, kerjasama, adil dan peduli yang harus dilandasi dengan empat pilar bangsa yaitu Pancasila, NKRI, UUD 1945 dan Bhineka Tunggal Ika.
ESQ telah mencanangkan Indonesia Emas 2020 untuk menghasilkan generasi terbaik. Sedikitnya 17 nilai karakter bangsa yang diharapkan dapat dibangun oleh bangsa Indonesia melalui pendidikan karakter. Adapun nilai-nilai karakter itu adalah iman, taqwa, berakhlak mulia, berilmu/berkeahlian, jujur, disiplin, demokratis, adil, bertanggung jawab, cinta tanah air, orientasi pada keunggulan, gotong-royong, sehat, mandiri, kreatif, menghargai dan bertutur kata yang baik. Tidak dapat dipungkiri bahwa sepanjang sejarah peradaban di dunia, pendidikan selalu dibangun untuk meraih dua tujuan yaitu membantu peserta didik menjadi cerdas dan membantu mereka menjadi saleh, (Thomas Lickona & Matthew Davidson, Smart & Good High Schools).
Muara pendidikan karakter dewasa ini hanyalah sekadar menghidupkan kembali sejarah panjang pendidikan yang menekankan nilai-nilai luhur seperti hormat-menghormati, integritas, dan kerja keras untuk membantu peserta didik menjadi manusia yang mumpuni dan warga negara yang baik. Dulu banyak nilai-nilai kearifan lokal yang santun, ramah, saling menghormati, arif, dan religius saat ini banyak terkikis dan tereduksi oleh gaya hidup instan dan modern. Masyarakat sangat mudah tersulut emosinya, pemarah, brutal, kasar, dan vulgar tanpa mampu mengendalikan hawa nafsunya, seperti perilaku para pengunjuk rasa yang membakar kendaraan atau rumah, merusak gedung, serta berkata kasar sebagaimana sering ditayangkan dalam media televisi.
Sebagai bangsa yang beradab dan bermartabat, dengan situasi yang berkembang saat ini jelas akan menjadi beban berat dalam upaya menumbuhkembangkan generasi masa depan bangsa yang cerdas, bijak, terampil, berbudi pekerti luhur, dan senantiasa berbakti kepada Tuhan Yang Maha Esa. Robertson dalam Globalization: Social Theory and Global Culture (London, Sage:1992) mendefinisikan globalisasi sebagai “the compression of the world into a single space and the intensification of conciousness the world as a whole”. Globalisasi juga melahirkan global culture (which) is encompassing the world at the international level.
Dalam kaitannya dengan pendidikan karakter ini, William J. Bennett (Ed., 1997) dalam bukunya berjudul: ”The Book of Virtues: A Treasury of Great Moral Stories” mengemukakan bahwa dalam pendidikan moral, pendidik perlu mengajarkan tentang nilai-nilai moral seperti, rasa hormat kepada orang tua dan guru, jujur, terbuka, toleransi, adil, religius, bertanggung jawab terhadap masyarakat dan negara, serta memiliki rasa kasih sayang dan cinta terhadap Tuhan, masyarakat, dan lingkungan. Bennett, et.al juga mengungkapkan bahwa beberapa cara untuk mengembangkan karakter yang baik, antara lain dengan self-discipline (disiplin diri), compassion (rasa terharu), responsibility (tanggung jawab), friendship (persahabatan). Kemudian adalah work (pekerjaan), courage (keberanian dan keteguhan hati), perseverance (ketekunan), honesty (kejujuran). loyalty (loyalitas), faith (keyakinan/kepercayaan).
Menurut Sommers (1993) dalam artikelnya yang berjudul: ”Teaching the Virtue, a Blueprint for Moral Education”, bahwa salah satu metode penting dalam pendidikan moral adalah metode ”values clarification” (klarifikasi nilai). Alfie Kohn (1991) dalam artikelnya yang berjudul: ”The Role of School”, antara lain menyebutkan bahwa untuk membantu peserta didik supaya bisa tumbuh menjadi dewasa, kepada mereka harus ditanamkan nilai-nilai disiplin sejak dini melalui proses interaksi antar peserta didik, dengan guru-guru, dan orang tua. Gordon (1989), bahwa selama usaha kita untuk membantu peserta didik dalam mengembangkan nilai-nilai yang baik, maka penggunaan hukuman kekerasan tidak diperkenankan.
Persoalan budaya dan karakter bangsa kini menjadi sorotan tajam masyarakat. Kepedulian masyarakat mengenai pendidikan budaya dan karakter bangsa telah pula menjadi kepedulian pemerintah. Budaya diartikan sebagai keseluruhan sistem berpikir, nilai, moral, norma, dan keyakinan (belief) manusia yang dihasilkan masyarakat. Sistem berpikir, nilai, moral, norma, dan keyakinan itu adalah hasil dari interaksi manusia dengan sesamanya dan lingkungan alamnya.
Karakter adalah watak, tabiat, akhlak, atau kepribadian seseorang yang terbentuk dari hasil internalisasi berbagai kebajikan (virtues) yang diyakini dan digunakan sebagai landasan untuk cara pandang, berpikir, bersikap, dan bertindak. Proses pengembangan nilai-nilai yang menjadi landasan dari karakter itu menghendaki suatu proses yang berkelanjutan, dilakukan melalui berbagai mata pelajaran yang ada dalam kurikulum. Berkaitan dengan kondisi yang terjadi dilapangan saat ini “berbudi pekerti luhur” telah menjadi barang langka.
Karena itu pendidikan karakter dalam perspektif global membutuhkan suatu komitmen yang tinggi dari pemerintah dan masyarakat dalam mewujudkan nilai-nilai karakter sebagai bagian dari budaya bangsa yang kuat, andal dan tangguh. Semangat juang para pendahulu yang diwujudkan dan rela berkorban hingga “titik darah penghabisan” hendaknya menjadi refleksi bangsa ini dalam menatap masa depan yang lebih baik. Budaya-budaya yang berlandaskan pada kearifan lokal hendaknya menjadi semangat dan pemacu bangsa ini dalam menghadapi era globalisasi.
Sekuat apapun derasnya globalisasi, sepanjang bangsa ini memiliki nilai-nilai karakter yang mengakar, tangguh dan teruji sebagai filterisasi dalam menyaring nilai-nilai budaya negara luar akan tetap kokoh sepanjang masa. Perspektif global sebagai bagian dari perkembangan dunia harus dicermati sebagai peluang untuk meraih keberhasilan. Tantangan berat dunia pendidikan dengan berbagai kompleksitas yang terjadi dilapangan ataupun kondisi yang berkembang di masyarakat menjadi suatu dinamika yang tidak bisa dipisahkan dalam perkembangan pembangunan yang berkelanjutan.
Simpulan
Pendidikan karakter dalam perspektif global memiliki makna yang tidak terpisahkan dari perkembangan zaman, ilmu pengetahuan dan teknologi termasuk pertumbuhan dan perkembangan pembangunan. Tatanan global yang akan melanda berbagai dunia akan menjadi tantangann dan sekaligus peluang bahwa kita dituntut untuk selalu meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM) secara berkelanjutan. Menyikapi semua itu dibutuhkan sinerginitas dan sinkronisasi dalam mengantisipasi berbagai kemungkinan yang muncul dengan penerapan pendidikan karakter di berbagai lingkungan, mulai dari keluarga, sekolah, masyarakat hingga pada level pemerintahan negara agar bangsa ini kembali menguatkan nilai-nilai karakter sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari sejarah dan perjuangan bangsa.
Selain itu dibutuhkan “action plan” dalam memberdayakan pelaksanaan pendidikan karakter dalam berbagai kegiatan secara berkelanjutan. Pendidikan karakter harus menjadi bagian dari perjalanan bangsa ini menuju suatu bangsa yang tangguh dengan tetap melestarikan nilai-nilai karakter yang telah ada dan mengembangkan nilai-nilai karakter baru yang bersumber dari budaya dan kearifan budaya lokal di berbagai daerah. Budaya-budaya di berbagai daerah yang kaya dengan nilai-nilai karakter harus terus digali sehingga menjadi bagian yang terintegrasi dalam mengarungi era globalisasi. (tulisan ini dihimpun dari berbagai sumber-sumber relevan).
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar