Teknologi Pendidikan dan Profesionalisme Guru
Oleh : Nelson Sihaloho
Sejarah Perkembangannya
Sebagaimana berdasarkan hasil penelitian para pakar ahli era 1960-an teknologi pendidikan menjadi salah satu kajian yang banyak mendapat perhatian. Awalnya, teknologi pendidikan merupakan kelanjutan perkembangan dari kajian-kajian tentang penggunaan audiovisual, dan program belajar dalam penyelenggaraan pendidikan. Berdasarkan sejarah perkembangannya, istilah teknologi pendidikan mulai digunakan sejak tahun 1963 yang resmi diikrarkan oleh Association of Educational and Communication Technology (AECT) tahun 1977, meskipun kadangkala terjadi pemahaman lain dengan istilah teknologi pembelajaran. Menurut Finn (1965) mengungkapkan bahwa di Inggris dan Kanada lebih lazim digunakan istilah teknologi pendidikan, sedangkan di Amerika Serikat banyak digunakan istilah teknologi pembelajaran. Kedua istilah itu digunakan secara serentak dalam aktivitas yang sama. Berbagai istilah semakin berkembang seperti perkembangan kerangka konsep. Istilah teknologi berasal dari kata “textere” (bahasa Latin) artinya “to weave or construct”, menenun atau membangun. Menurut Saettler (1968) bahwa teknologi tidak selamanya harus menggunakan mesin, akan tetapi merujuk pada setiap kegiatan praktis yang menggunakan ilmu atau pengetahuan tertentu. Artinya teknologi itu merupakan usaha untuk memecahkan masalah manusia (Salisbury, 2002). Romiszowski (1981) menyatakan bahwa teknologi itu berkaitan dengan produk dan proses. Sedangkan Rogers (1986) mempunyai pandangan bahwa teknologi biasanya menyangkut aspek perangkat keras (terdiri dari material atau objek fisik), dan aspek perangkat lunak (terdiri dari informasi yang yang terkandung dalam perangkat keras).
Salisbury (2002) mengungkapkan bahwa teknologi adalah penerapan ilmu atau pengetahuan yang terorganisir secara sistimatis untuk penyelesaian tugas-tugas secara praktis.
Kajian Finn (1960) pada seminar tentang peran teknologi dalam masyarakat berjudul “Technology and the Instructional Process” semakin menunjukkan bahwa penggunaan teknologi pendidikan dengan pendidikan sangat tepat dan wajar. Lumsdaine (1964) dalam Romiszoswki (1981) mengatakan penggunaan istilah teknologi pada pendidikan memiliki keterkaitan dengan konsep produk dan proses. Konsep produk berkaitan dengan perangkat keras atau hasil-hasil produksi yang dimanfaatkan dalam proses pengajaran. Selanjutnya konsep dan prinsip teknologi pembelajaran kemudian diperkaya oleh ahli-ahli bidang Psikologi, seperti Bruner (1966), Gagne (1974), ahli Cybernetic seperti Landa (1976), dan Pask (1976), serta praktisi seperti Gilbert (1969), Horn (1969), serta lembaga-lembaga pendidikan yang memiliki ketertarikan atas pengembangan program pembelajaran. Malcolm Warren (1978) mengungkapkan bahwa diperlukan teknologi untuk mengelola secara efektif pengorganisasian berbagai sumber manusiawi yang disebut oleh Romizowski (1986) dengan “Human resources management technology”.
Terbentuknya Konsep Teknologi Pendidikan
Secara historik, Januszewski (2001) mengungkapkan bahwa tahap awal sebagai pengantar ke arah pengembangan konsep dan istilah teknologi pendidikan dilandasi dan dipertajam oleh tiga faktor. Pertama, engineering (Bern, 1961; Szabo, 1968), kedua science (Finn, 1953; Ely, 1970; Jorgenson, 1981; Saettler, 1990; Shorck, 1990) dan Ketiga, the development of the Audio Visual education movement (Ely, 1963; Ely, 1970; Jorgerson, 1981; Saettler, 1990; Shrock, 1990). Dalam kaitannya dengan engineering, pengkajian diawali dari makna engineering yang menggambarkan kegiatan riset dan pengembangan serta usaha menghasilkan teknologi untuk digunakan secara praktis, yang kebanyakan terdapat di bidang industri. Saettler (1990) menyatakan bahwa Franklin Bobbitt dan W.W. Charters menjadi perintis penggunaan istilah “educational engineering” pada tahun 1920-an, khususnya pada pendekatan yang digunakan untuk pengembangan kurikulum. Istilah yang sama digunakan oleh Munroe (1912) dalam mengikat konsep ilmu managemen dalam setting pendidikan dan educational engineering. Charters (1941) menyatakan bahwa ilmu merupakan dasar dalam pendidikan, dan setiap usaha dalam pendidikan perlu dilandasi oleh kejelasan ilmu yang digunakan.
Menuurt Lange (1969) umumnya penggunaan peralatan pendidikan di kelas digunakan setelah. Perang Dunia ke II. Hoban yang menyelesaikan doktor sebelum Dale di Ohio State University telah menulis buku tentang Visualizing the Curriculum tahun 1937 bersama ayahnya dan Samual Zisman, secara sistematis mereka mengungkapkan hubungan antara bahan ajar secara konkrit dengan proses belajar. Selanjutnya Dale mencoba mendiversifikasi pengalaman belajar di dalam kelas. Buku yang pertama ditulisnya adalah Audio Visual Methods in Teaching (1946), yang menjelaskan ”Cone of Experience” atau kerucut pengalaman sebagaimana populer sampai saat ini. Dalam perkembangan selanjutnya muncul teori komunikasi yang dikembangan Harold Lasswell merupakan awal pijakan dalam mempelajari konsep komunikasi dalam pendidikan. Konsep komunikasi sebagaimana diungkapkan Shannon dan Weaver’s sebagai hasil kajiannya terhadap komunikasi telepon dan teknologi radio menjadi model yang khas yang disebut Mathematical Theory of Communication, dengan komponen-komponennya yang terdiri dari: Information Source, Massage, Transmitter, Signal, Noise Source, Signal Receiver, Reciever, Massage, dan Destination, konsep teori komunikasinya tergolong pada komunikasi linier. David Berlo (1960) yang banyak diilhami model Shannon dan Weaver menghasilkan temuannya Model Komunikasi Sender, Massage, Channel, Receiver (SMCR). Konsepnya banyak memberikan perhatian terhadap adanya Massage (pesan) dan Channel (saluran). Model ini menjadi dasar pengembangan dalam komunikasi audiovisual pada pendidikan. Kajian ahli-ahli psikologi dan sosial psikologi dalam pendidikan berlangsung selama masa dan pasca perang dunia ke II, terutama menjadi fokus kajian di lingkungan pengajaran militer (Lange, 1969). Studi masa itu kebanyakan diwarnai oleh aliran psikologi behavior, sebagai contoh operant behavioral conditioning yang ditemukan BF Skinner (1953). Kemudian berkembang ke arah psikologi kognitif sebagaimana dikembangkan oleh Robert M Gagne (The Conditions of Learning and theory of instruction, 1916). Kajian teaching machine and programmed instruction dilakukan melalui studi science in education (Skinner, 1954; Saettler, 1990), gerakan efisiensi pendidikan (Stolurow, 1961; Dale, 1967), dan kajian kurikulum untuk pengajaran individual (Stolurow, 1961; Dale, 1967; Saettler, 1990). Walaupun teaching machine ini sangat populer dan diawali kajiannya oleh Skinner, akan tetapi E L Thorndike (1912) yang mulai mengembangkan konsep ke arah pemanfaatan teaching machine dan programmed instruction (Dale, 1967; Ely, 1970; Saettler,1990. Empat model program individualized instruction yang sangat populer yang menjadi kajian bidang teknologi pendidikan, yaitu Mastery Learning yang dikembangkan Bloom (1968); Individually Prescribed Instruction (IPI) yang dikembangkan di University of Pittsburg tahun 1964; Personalized System of Instruction (PSI) yang dikembangkan Keller Plan (1968) serta Individually Guided Education (IGE) yang dikembangkan oleh Wisconsin Research and Development tahun 1976. Association of Educational and Communication Technology (AECT) pada tahun 1977 menerbitkan buku The Definition of Educational Technology. Kontribusi terhadap perumusan kembali definisi teknologi pendidikan versi 1972 menjadi versi 1977 sejalan dengan perubahan klasifikasi learning resources. Managemen menjadi pendukung kedua dalam membangun definisi teknologi pendidikan versi 1977. Konsep definisi versi 2004 menyatakan bahwa teknologi pendidikan adalah studi dan praktek yang etis dalam memberi kemudahan belajar dan perbaikan kinerja melalui kreasi, penggunaan, dan pengelolaan proses dan sumber teknologi yang tepat.
Profesionalisme Guru
“Professional” mempunyai makna yang mengacu kepada sebutan tentang orang yang menyandang suatu profesi dan sebutan tentang penampilan seseorang dalam mewujudkan unjuk kerja sesuai dengan profesinya. Dalam RUU Guru (pasal 1 ayat 4) dinyatakan bahwa, “professional adalah kemampuan melakukan pekerjaan sesuai dangan keahlian dan pengabdian diri kepada pihak lain”. “Profesionalisme” adalah sebutan yang mengacu kepada sikap mental dalam bentuk komitmen dari para anggota suatu profesi untuk senantiasa mewujudkan dan meningkatkan kualitas profesionalnya. Lebih konkritnya adalah tentang “profesionalitas” yang identik dengan kualitas sikap para anggota suatu profesi terhadap profesinya serta derajat pengetahuan dan keahlian yang mereka miliki didalam menjalankan tugas-tugasnya. “Profesionalisasi” adalah sutu proses menuju kepada perwujudan dan peningkatan profesi dalam mencapai suatu kriteria yang sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. Kualitas profesi seorang guru harus didukung oleh lima kompetensi.
Menurut Moh. Surya (2007) kualitas profesionalisme didukung oleh lima kompetensi. Kelima kompetensi itu adalah keinginan untuk selalu menampilkan perilaku yang mendekati standar ideal, meningkatkan dan memelihara citra profesi. Keinginan untuk senantiasa mengejar kesempatan pengembangan professional yang dapat meningkatkan dan memperbaiki kualitas penegtahuan dan ketrampilannya. Mengejar kualitas dan cita-cita dalam profesi serta menjalankan secara professional kompetensi guru yaitu kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi professional yang diperoleh melalui pendidikan profesi, pelatihan dan pengalaman professional.
Guru juga harus meningkatkan mutu layanannya kepada siswa sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya. Usaha peningkatan mutu layanan pendidikan dalam era globalisasi memiliki tantangan yang cukup berat. Usaha menghasilkan mutu pendidikan dalam konteks mewujudkan good governance, secara umum kita kenal ada tiga pilar pokok yang mendukung kemampuan suatu bangsa dalam melaksanakan good governance adalah pemerintah (the state), masyarakat (civil society) dan pasar atau dunia usaha. Interaksi dan kemitraan biasanya baru dapat berkembang subur bila ada kepercayaan (trust), transparansi, partisipasi serta tata aturan yang jelas dan pasti.
Menurut Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara ( 2006 ), ada sembilan karakteristik yang dimiliki kepengelolaan dan kepengurusan yang baik (termasuk dalam bidang pendidikan). Karakteristik itu adalah setiap warga negara mempunyai suara dalam formulasi keputusan, baik secara langsung maupun tidak langsung. Kerangka hukum harus adil dan dilaksanakan tanpa pandang bulu. Transparansi dibangun atas dasar kebebasan arus informasi. Lembaga dan proses-proses harus dapat melayani stakeholders. Good governance menjadi pranata kepentingan yang berbeda untuk memperoleh pilihan terbaik bagi kepentingan yang lebih luas, baik dalam hal kebijakan-kebijakan maupun prosedur. Laki-laki mapun perempuan berkesempatan untuk meningkatkan atau menjaga kesejahteraan mereka. Proses dan lembaga menghasilkan sesuai dengan apa yang telah digariskan dengan menggunakan sumber-sumber yang tersedia sebaik mungkin. Pembuat keputusan dalam pemerintahan, sektor swasta dan masyarakat bertanggungjawab kepada publik dan lembaga-lembaga stakeholders serta para pemimpin dan publik harus mempunyai perspektif good governance dan pengembangan manusia yang luas dan jauh ke depan sejalan dengan apa yang diperlukan untuk pembangunan. Dari kesembilan karakteristik tersebut, ada empat ukuran pokok yaitu akuntabilitas, transparansi, fairness (keadilan) dan responsivitas (ketanggapan). Salah satu esensi dari proses pendidikan adalah penyajian informasi. Dalam menyajikan informasi, harus komunikatif dan memiliki makna secara ekonomis menguntungkan, secara teknis memungkinkan dapat dilaksanakan, secara sosial-psikologis dapat diterima sesuai dengan norma dan nilai-nilai yang ada serta sesuai atau sejalan dengan kebijaksanaan /tuntutan perkembangan yang ada. Fakta sejara telah membuktikan dengan berkembangnya komputer dan sistim informasi modern, telah menawarkan pencerahan baru. Revolusi informasi global telah berhasil menyatukan kemampuan komputasi, televisi, radio dan telepon menjadi terintegrasi. Hal ini merupakan hasil dari suatu kombinasi revolusi di bidang komputer personal, transmisi data, lebar pita (bandwitdh), teknologi penyimpanan data (data storage) dan penyampaian data (data access), integrasi multimedia dan jaringan komputer. Konvergensi dari revolusi teknologi tersebut telah menyatukan berbagai media, yaitu suara (voice, audio), video, citra (image), grafik dan teks. Intinya dengan perkembangan teknologi pendidikan guru harus senantiasa meningkatkan profesionalismenya. (* Dihimpun dari berbagai sumber-sumber relevan).
Teknologi pendidikan harus lebih baik dan terus ditingkatkan kualitas dan mutunya
BalasHapus