Kamis, 01 Desember 2011

PENGEMBANGAN PROFESI GURU


Pengembangan Profesi Guru Berkelanjutan

(Sebuah Tinjauan Terhadap Permendiknas No.28 Tahun 2010)

Oleh : Nelson Sihaloho

Berdasarkan KEPMENPAN Nomor 84 tahun 1993 tentang jabatan fungsional guru dan angka kreditnya, seorang guru akan “lebih mudah ” naik pangkat dari guru pertama  hingga golongan ruang sampai dengan IV/a karena guru tersebut tidak wajib menyertakan syarat pengembangan profesi. Pengembangan profesi itu diantaranya artikel, karya ilmiah ataupun penelitian tindakan kelas dan yang sejenis. Akibatnya diindikasikan banyak guru yang enggan membuat karya ilmiah yang dianggapnya “sulit” dan merepotkan.  Akibat lebih lanjut banyak guru yang pangkat dan golongannya terhenti pada golongan dan ruang IV/a dan mendapatkan golongan ruang IV/b setelah pensiun sebagai “penghargaan”. Itulah barangkali yang menjadi salah satu alasan, KEPMEN 84 tahun 1993 direvisi dan disempurnakan.
Alasan penyempurnaan KEPMENPAN 84 tahun 1993 tentang Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya dengan Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 16 tahun 2009 tentang Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya, adalah satu-satunya jabatan fungsional yang belum menyesuaikan Keppres Nomor 87 Tahun 1999 adalah Jabatan Fungsional Guru.
Undang Undang Nomor 14 Tahun 2005 adalah dasar yang kuat untuk menjadikan Jabatan fungsional Guru sebagai Jabatan Ahli. Guru sebagai tenaga profesional wajib memiliki kualifikasi akademik minimal S-1/D-IV. Dasar hukumnya adalah Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Undang Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 1994 tentang Jabatan Fungsional Pegawai Negeri Sipil, Keputusan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, Peraturan Pemerintah Nomor 7 4 Tahun 2008 tentang Guru serta Keputusan Presiden Nomor 87 Tahun 1999 tentang Rumpun Jabatan Fungsional Pegawai Negeri Sipil.
Pengembangan keprofesian berkelanjutan sebagaimana dalam Permen PAN RB No.16 Tahun 2009 , meliputi  pengembangan diri yaitu  diklat fungsional, kegiatan kolektif Guru yang meningkatkan kompetensi dan/atau keprofesian Guru. Publikasi  Ilmiah yaitu  publikasi ilmiah atas hasil penelitian atau gagasan inovatif pada bidang pendidikan formal, publikasi buku teks pelajaran, buku pengayaan, dan pedoman Guru. Kemudian  karya Inovatif yaitu  menemukan teknologi tepat guna, menemukan/menciptakan karya seni,  membuat/memodifikasi alat pelajaran/peraga/praktikum serta mengikuti pengembangan penyusunan standar, pedoman, soal dan sejenisnya;
Apabila kita bandingkan dengan Pemendiknas Nomor 28 Tahun 2010 tentang kepangkatan Kepala Sekolah sangat bertolak belakang dengan pengembangan profesi berkelanjutan meskipun jabatan Kepala Sekolah merupakan tugas tambahan. Kita juga tidak bermaksud untuk menjelek-jelekkan peraturan Pemerintah khususnya Permendiknas Nomor 28 Tahun 2010 tentang penugasan Guru sebagai kepala sekolah. Namun didasarkan pada fakta-fakta objektif sudah saatnya kepangkatan, usia guru dan pengalaman menjadi skala prioritas yang menjadi penilaian dalam penugasan guru sebagai kepala sekolah.
Sebab fakta-fakta lain menunjukkan bahwa di era otonomi daerah diduga ada oknum pejabat yang ditempatkan menjadi Kepala Dinas (Kadis) dalam tiga tahun saja disinyalir  ada yang naik pangkat sampai dua kali. Intinya naik pangkatnya dipercepat alias pangkat “naga bonar” meskipun dari segi kemampuan tidak memenuhi syarat juga terkesan “dipaksakan”.
Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 162/U/2003 tentang Pedoman Penugasan Guru sebagai Kepala Sekolah memang telah dikeluarkan dan ditetapkan di Jakarta pada tanggal 27 Oktober 2010 oleh Menteri Pendidikan Nasional Mohammad Nuh dengan nomor 28 tahun 2010.
Dalam pendidikan khususnya guru syarat-syarat guru yang diberikan tugas tambahan sebagai Kepala Sekolah/Madrasah diatur dalam Bab II. Dalam pasal 2 dinyatakan : Guru dapat diberi tugas tambahan sebagai kepala sekolah/madrasah apabila memenuhi persyaratan umum dan persyaratan khusus. Persyaratan umum sebagaimana dimaksud dalam ayat meliputi,  beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, memiliki kualifikasi akademik paling rendah sarjana (S1) atau diploma empat (D-IV) kependidikan atau nonkependidikan perguruan tinggi yang terakreditasi, berusia setinggi-tingginya 56 (lima puluh enam) tahun pada waktu pengangkatan pertama sebagai kepala sekolah/madrasah. sehat jasmani dan rohani berdasarkan surat keterangan dari dokter Pemerintah, tidak pernah dikenakan hukuman disiplin sedang dan/atau berat sesuai dengan ketentuan yang berlaku, memiliki sertifikat pendidik, pengalaman mengajar sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun menurut jenis dan jenjang sekolah/madrasah masing-masing, kecuali di taman kanak-kanak/raudhatul athfal/taman kanak-kanak luar biasa (TK/RA/TKLB) memiliki pengalaman mengajar sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun di TK/RA/TKLB.
Memiliki golongan ruang serendah-rendahnya III/c bagi guru pegawai negeri sipil (PNS) dan bagi guru bukan PNS disetarakan dengan kepangkatan yang dikeluarkan oleh yayasan atau lembaga yang berwenang dibuktikan dengan SK inpasing, memperoleh nilai amat baik untuk unsur kesetiaan dan nilai baik untuk unsur penilaian lainnya sebagai guru dalam daftar penilaian prestasi pegawai (DP3) bagi PNS atau penilaian yang sejenis DP3 bagi bukan PNS dalam 2 (dua) tahun terakhir,  dan memperoleh nilai baik untuk penilaian kinerja sebagai guru dalam 2 (dua) tahun terakhir.
Dalam BAB VI tentang Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan  dalam pasal 11 dinayatakan,  pengembangan keprofesian berkelanjutan meliputi pengembangan pengetahuan, keterampilan, dan sikap pada dimensi-dimensi kompetensi kepribadian, manajerial, kewirausahaan, supervisi, dan sosial. Pengembangan keprofesian berkelanjutan dilaksanakan melalui pengembangan diri, publikasi ilmiah, dan/atau karya inovatif. Pengembangan keprofesian berkelanjutan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan Direktur Jenderal.
Banyak kerancuan yang terdapat dalam Permendiknas Nomor 28 tahun 2010 itu sebab diberbagai sekolah di Indonesia kini diduga banyak guru yang kepangkatannya lebih tinggi diatur oleh Kepala Sekolah yang kepangkatannya lebih rendah bahkan diduga ada yang sampai dua level. Jika hal ini dibiarkan tentu akan membawa preseden buruk terhadap dunia pendidikan khususnya kepangkatan. Kepangkatan dibuat dan ditetapkan oleh pemerintah untuk menentukan jenjang. Akibat adanya kepala sekolah yang kepangkatannya mengatur para guru yang kepangkatannya  lebih tinggi  mengindikasikan “ pangkat dan golongan telah mati”. Ironis memang itulah kenyataan yang terjadi di Indonesia entah mengapa persoalan yang pangkat lebih rendah  mengatur pangkat lebih tinggi terus dibiarkan oleh pemerintah. Kewibawaan kepangkatan akhirnya “mati” dan tidak memiliki arti apabila hal tersebut masih tetap dibiarkan berlaku dalam lingkungan pendidikan.
Tingkatkan Manajemen Pengembangan Profesi Guru
Menurut Rue & Byars (2000: 4) mengatakan Management is a form of work that involves coordinating an organization’s resources-land, labour, and capital to accomplish organizational objectives”. Hasibuan, M. S (2003: 1-2) juga mendefinisikan manajemen sebagai ilmu dan seni mengatur pemanfaatan sumber daya manusia dan sumber-sumber lainnya secara efektif dan efisien untuk mencapai suatu tujuan tertentu.
Menurut Faustino Cardoso Gomes (2002: 1-2) merupakan salah satu sumber daya yang terdapat dalam organisasi, meliputi semua orang yang melakukan aktivitas. Secara umum, sumber daya yang terdapat dalam suatu organisasi dapat dikelompokkan atas dua macam, yakni sumber daya manusia (human resource) dan  sumber daya non-manusia (non-human resource). Kelompok yang termasuk dalam sumber daya non-manusia antara lain modal, mesin, teknologi.
Sedangkan Noe (2003: 3) menyatakan  bahwa, “Human resource management refers to the policies, practices, and systems that influence employees’ behavior, attitudes, and performance. Human resource practices play a key role in attracting, motivating, rewarding, and retaining employees.
Menurut Decenzo & Robbins (1999: 234-236)  Pengembangan SDM terdapat beberapa metode yang merupakan gabungan dari metode-metode dalam: “on-the job techniques (job rotation, assistant to positions, and committee assigments and off the job methods (lecture courses and seminars, simulation exercises, and outdoor training)”. Guru senantiasa dituntut untuk melakukan usaha pengembangan profesi (professionalization) sesuai dengan substansi dan tugas pokok fungsinya.
Menurut Ritzer (1972) syarat pertama profesi adalah adanya suatu pengetahuan teoretik (theoretical knowledge). Menjadi guru bukan hanya sekadar pekerjaan atau mata pencaharian yang membutuhkan ketrampilan teknis, tetapi juga pengetahuan teoretik. Profesi adalah pemberlakuan pelatihan dan praktik yang diatur secara mandiri (self-regulated training and practice).
Apabila kita berbicara mengenai peningkatan manajemen pengembangan profesi guru hubungannya dengan pengembangan profesi berkelanjutan akan lebih mempertegas bahwa Pemendiknas Nomor 28 Tahun 2010 tentang pengangkatan Kepala Sekolah sudah saatnya ditinjau ulang. Pengembangan profesi berkelanjutan merupakan peningkatan karir dan jenjang kepangkatan guru sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya.
Apabila guru memang profesional dibidangnya mengapa justeru pada kenyataannya terjai guru atau kepala sekolah tidak naik pangkat sampai puluhan tahun. Suatu pemandangan sangat ironis para guru yang diangkat menjadi pengawas juga diduga banyak yang tidak mampu naik pangkat hingga diatas 10 tahun.
Karena itu penunjauan terhadap Permendiknas Nomor 28 Tahun 2010 tentang pengangkatan kepala sekolah dan kepangkatannya sudah saatnya ditinjau ulang, diperbaiki untuk disempurnakan. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan harus melakukan perbaikan dan mensosialisasikan peraturan pengangkatan kepala sekolah kepada kepala daerah baik itu Gubernur, Bupati/Wali Kota termasuk Badan Kepegawaian daerah (BKD) untuk menegakkan peraturan tentang kepangakatan dan jabatan guru. Sekretaris Daerah sebagai Ketua Badan Pertimbangan Jabatan dan Kepangkatan (Baperjakat) dituntut untuk memahami, melaksanakan dan menegakkan peraturan bahwa tidak diperkenankan kepangkatan lebih rendah mengatur kepangkatan yang lebih tinggi.
Perbaiki Perekruitan Kepsek
Untuk menjaring calon Kepala Sekolah sebenarnya tidak susah. Guru-guru yang profesional dan mampu mengembangkan karya profesi berkelanjutan dan memiliki kepangkatan yang lebih tinggi itulah yang harus diseleksi atau ditempatkan menjadi Kepala Sekolah. Seorang calon kepala sekolah meskipun ditatar 300 jam bila tidak mampu naik pangkat dalam 4 tahun tidak perlu dipertahankan. Begitu juga dengan guru calon Kepala Sekolah memiliki gelar/Ijazah S2 atatupun S3 jika sudah tidak mampu naik pangkat dalam  4 tahun tidak perlu lagi dicalonkan menjadi Kepala Sekolah.
Pemerintah harus berpikir realistis dengan banyaknya Guru calon Kepala Sekolah yang ditatar selama 300 jam berapa banyak biaya dan anggaran yang dikeluarkan untuk menseleksi dan masa orientasi calon Kepala Sekolah. Lebih ironis ketika banyak para guru-guru mengambil S2 melalui beasiswa yang dikucurkan oleh pemerintah justeru kredibilitas lulusan S2 itu juga harus ada konsekuensi hukuman yang harus diberikan kepada penerima beasiswa S2 hingga S3. Paling ironis tatkala guru diberikan tugas tambahan menduduki jabatan Kepala Sekolah sudah banyak yang “enggan” mengajar. Padahal sesuai dengan Undang-undang Guru dan Dosen tentang sertifikasi guru dalam jabatan,  para Kepala Sekolah wajib menjalankan tugasnya mengajar minimal 6 jam. Pada akhirnya banyak dugaan penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dalam dunia pendidikan kita.  Kepala sekolah “enggan mengajar” mendapatkan tunjangan sertifikasi dan tunjangan kepala sekolah. Begitu juga dengan kinerja guru diduga banyak guru-guru yang telah mendapatkan tunjangan sertifikasi “kinerjanya jelek”.
Karena  itu pemerintah khususnya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk segera melakukan kajian, penelitian dan analis terhadap Permendiknas Nomor 28 Tahun 2010 itu. Meskipun kelak keputusan pahit sekalipun yang harus diterima para Kepala Sekolah bahwa diperlukan penyesuaian kepangkatan untuk menduduki jabatan Kepala Sekolah pada suatu sekolah. Apabila pada suatu sekolah ada guru yang kepangkatannya lebih tinggi dari calon Kepala Sekolah yang akan ditempatkan minimal harus sama dengan golongan guru yang tertinggi pada suatu sekolah tersebut bukan malah lebih rendah.
Dengan kondisi riil sebagaimana diuraikan diatas dan didasari dengan maksud dan tujuan objektif hendaknya praktik-praktik kepangkatan lebih rendah mengatur kepangkatan yang lebih tinggi sudah saatnya ditiadakan. Guru susah mencapai kepangakatan yang lebih tinggi tapi pada praktiknya diatur oleh guru atau kepala sekolah yang kepangkatan lebih rendah. Suatu ironisme dengan praktik menjungkirbalikkan dan “mematikan wibawa kepangkatan” . Kita harus mencontoh sistem kepangkatan di TNI/Polri meskipun muda jika kepangkatannya lebih tinggi dari yang lebih tua usianya “wajib hormat” kepada atasannya. Di lembaga sipil juga harus diberlakukan demikian meskipun tidak 100 % diterapkan. Pada intinya seorang guru dan kepala sekolah “harus malu” dengan teman sejawat yang memiliki kepangkatan yang lebih tinggi. Seorang calon kepala sekolah harus berjiwa objektif dan  realistis. Semoga dimasa mendatang “wibawa dan kepangkatan” guru semakin menjadi perhatian pihak Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan dalam membuat peraturan tentang pengangkatan kepala sekolah dan selalu berpijak pada fakta integritas. Semoga .(dihimpun dan disarikan dari berbagai sumber).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar