Pengembangan Profesi Guru Berkelanjutan
(Sebuah Tinjauan Terhadap Permendiknas No.28 Tahun 2010)
Oleh : Nelson Sihaloho
Berdasarkan KEPMENPAN Nomor 84
tahun 1993 tentang jabatan fungsional guru dan angka kreditnya, seorang guru
akan “lebih mudah ” naik pangkat dari
guru pertama hingga golongan
ruang sampai dengan IV/a karena guru tersebut tidak wajib menyertakan syarat
pengembangan profesi. Pengembangan
profesi itu diantaranya artikel, karya ilmiah ataupun penelitian
tindakan kelas dan yang sejenis. Akibatnya diindikasikan banyak guru yang
enggan membuat karya ilmiah yang dianggapnya “sulit” dan merepotkan. Akibat
lebih lanjut banyak guru yang pangkat dan golongannya terhenti pada golongan
dan ruang IV/a dan mendapatkan golongan ruang IV/b setelah pensiun sebagai
“penghargaan”. Itulah barangkali yang menjadi salah satu alasan, KEPMEN 84
tahun 1993 direvisi dan disempurnakan.
Alasan penyempurnaan KEPMENPAN 84
tahun 1993 tentang Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya dengan Peraturan
Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 16
tahun 2009 tentang Jabatan Fungsional
Guru dan Angka Kreditnya, adalah satu-satunya
jabatan fungsional yang belum menyesuaikan Keppres Nomor 87 Tahun 1999 adalah Jabatan Fungsional Guru.
Undang Undang Nomor 14 Tahun 2005
adalah dasar yang kuat untuk menjadikan Jabatan fungsional Guru sebagai Jabatan
Ahli. Guru sebagai tenaga
profesional wajib memiliki kualifikasi akademik minimal S-1/D-IV. Dasar hukumnya adalah Undang-undang Nomor
20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Undang Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, Peraturan Pemerintah Nomor 16
Tahun 1994 tentang Jabatan Fungsional Pegawai Negeri Sipil, Keputusan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005
tentang Standar Nasional Pendidikan, Peraturan Pemerintah Nomor 7 4 Tahun 2008
tentang Guru serta Keputusan
Presiden Nomor 87 Tahun 1999 tentang Rumpun Jabatan Fungsional Pegawai Negeri
Sipil.
Pengembangan
keprofesian berkelanjutan sebagaimana dalam Permen PAN RB No.16 Tahun 2009 , meliputi pengembangan diri yaitu diklat
fungsional, kegiatan kolektif Guru yang meningkatkan kompetensi
dan/atau keprofesian Guru. Publikasi Ilmiah yaitu publikasi ilmiah atas hasil penelitian atau
gagasan inovatif pada bidang pendidikan formal, publikasi buku teks pelajaran, buku pengayaan, dan pedoman Guru. Kemudian karya Inovatif yaitu menemukan
teknologi tepat guna, menemukan/menciptakan karya seni, membuat/memodifikasi alat
pelajaran/peraga/praktikum serta mengikuti
pengembangan penyusunan standar, pedoman, soal dan sejenisnya;
Apabila kita bandingkan dengan Pemendiknas Nomor 28 Tahun
2010 tentang kepangkatan Kepala Sekolah sangat bertolak belakang dengan
pengembangan profesi berkelanjutan meskipun jabatan Kepala Sekolah merupakan
tugas tambahan. Kita juga tidak bermaksud untuk menjelek-jelekkan peraturan
Pemerintah khususnya Permendiknas Nomor 28 Tahun 2010 tentang penugasan Guru
sebagai kepala sekolah. Namun didasarkan pada fakta-fakta objektif sudah
saatnya kepangkatan, usia guru dan pengalaman menjadi skala prioritas yang
menjadi penilaian dalam penugasan guru sebagai kepala sekolah.
Sebab fakta-fakta lain menunjukkan bahwa di era otonomi
daerah diduga ada oknum pejabat yang ditempatkan menjadi Kepala Dinas (Kadis)
dalam tiga tahun saja disinyalir ada
yang naik pangkat sampai dua kali. Intinya naik pangkatnya dipercepat alias
pangkat “naga bonar” meskipun dari segi kemampuan tidak memenuhi syarat juga
terkesan “dipaksakan”.
Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 162/U/2003
tentang Pedoman Penugasan Guru sebagai Kepala Sekolah memang telah dikeluarkan
dan ditetapkan di Jakarta pada tanggal 27 Oktober 2010 oleh Menteri Pendidikan
Nasional Mohammad Nuh dengan nomor 28 tahun 2010.
Dalam pendidikan khususnya guru syarat-syarat guru yang
diberikan tugas tambahan sebagai Kepala Sekolah/Madrasah diatur dalam Bab II.
Dalam pasal 2 dinyatakan : Guru dapat diberi tugas tambahan sebagai kepala
sekolah/madrasah apabila memenuhi persyaratan umum dan persyaratan khusus.
Persyaratan umum sebagaimana dimaksud dalam ayat meliputi, beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa, memiliki kualifikasi akademik paling rendah sarjana (S1) atau diploma
empat (D-IV) kependidikan atau nonkependidikan perguruan tinggi yang terakreditasi,
berusia setinggi-tingginya 56 (lima puluh enam) tahun pada waktu pengangkatan
pertama sebagai kepala sekolah/madrasah. sehat jasmani dan rohani berdasarkan
surat keterangan dari dokter Pemerintah, tidak pernah dikenakan hukuman
disiplin sedang dan/atau berat sesuai dengan ketentuan yang berlaku, memiliki
sertifikat pendidik, pengalaman mengajar sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun
menurut jenis dan jenjang sekolah/madrasah masing-masing, kecuali di taman
kanak-kanak/raudhatul athfal/taman kanak-kanak luar biasa (TK/RA/TKLB) memiliki
pengalaman mengajar sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun di TK/RA/TKLB.
Memiliki golongan ruang serendah-rendahnya III/c bagi guru
pegawai negeri sipil (PNS) dan bagi guru bukan PNS disetarakan dengan
kepangkatan yang dikeluarkan oleh yayasan atau lembaga yang berwenang
dibuktikan dengan SK inpasing, memperoleh nilai amat baik untuk unsur kesetiaan
dan nilai baik untuk unsur penilaian lainnya sebagai guru dalam daftar
penilaian prestasi pegawai (DP3) bagi PNS atau penilaian yang sejenis DP3 bagi
bukan PNS dalam 2 (dua) tahun terakhir,
dan memperoleh nilai baik untuk penilaian kinerja sebagai guru dalam 2
(dua) tahun terakhir.
Dalam BAB VI tentang Pengembangan Keprofesian
Berkelanjutan dalam pasal 11
dinayatakan, pengembangan keprofesian
berkelanjutan meliputi pengembangan pengetahuan, keterampilan, dan sikap pada
dimensi-dimensi kompetensi kepribadian, manajerial, kewirausahaan, supervisi,
dan sosial. Pengembangan keprofesian berkelanjutan dilaksanakan melalui
pengembangan diri, publikasi ilmiah, dan/atau karya inovatif. Pengembangan
keprofesian berkelanjutan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan
Direktur Jenderal.
Banyak kerancuan yang terdapat dalam Permendiknas Nomor 28
tahun 2010 itu sebab diberbagai sekolah di Indonesia kini diduga banyak guru
yang kepangkatannya lebih tinggi diatur oleh Kepala Sekolah yang kepangkatannya
lebih rendah bahkan diduga ada yang sampai dua level. Jika hal ini dibiarkan
tentu akan membawa preseden buruk terhadap dunia pendidikan khususnya
kepangkatan. Kepangkatan dibuat dan ditetapkan oleh pemerintah untuk menentukan
jenjang. Akibat adanya kepala sekolah yang kepangkatannya mengatur para guru
yang kepangkatannya lebih tinggi mengindikasikan “ pangkat dan golongan telah
mati”. Ironis memang itulah kenyataan yang terjadi di Indonesia entah mengapa
persoalan yang pangkat lebih rendah
mengatur pangkat lebih tinggi terus dibiarkan oleh pemerintah.
Kewibawaan kepangkatan akhirnya “mati” dan tidak memiliki arti apabila hal
tersebut masih tetap dibiarkan berlaku dalam lingkungan pendidikan.
Tingkatkan
Manajemen Pengembangan Profesi Guru
Menurut Rue & Byars (2000: 4) mengatakan ”Management is a
form of work that involves coordinating an organization’s resources-land,
labour, and capital to accomplish organizational objectives”. Hasibuan, M.
S (2003: 1-2) juga mendefinisikan manajemen sebagai ilmu dan seni mengatur
pemanfaatan sumber daya manusia dan sumber-sumber lainnya secara efektif dan
efisien untuk mencapai suatu tujuan tertentu.
Menurut Faustino Cardoso Gomes (2002: 1-2)
merupakan salah satu sumber daya yang terdapat dalam organisasi, meliputi semua
orang yang melakukan aktivitas. Secara umum, sumber daya yang terdapat dalam
suatu organisasi dapat dikelompokkan atas dua macam, yakni sumber daya manusia
(human resource) dan sumber daya
non-manusia (non-human resource). Kelompok yang termasuk dalam sumber
daya non-manusia antara lain modal, mesin, teknologi.
Sedangkan Noe (2003: 3) menyatakan bahwa, “Human resource management refers to the policies, practices,
and systems that influence employees’ behavior, attitudes, and performance.
Human resource practices play a key role in attracting, motivating, rewarding,
and retaining employees.
Menurut Decenzo & Robbins (1999:
234-236) Pengembangan SDM terdapat beberapa
metode yang merupakan gabungan dari metode-metode dalam: “on-the job
techniques (job rotation, assistant to positions, and committee assigments and
off the job methods (lecture courses and seminars, simulation exercises, and
outdoor training)”. Guru senantiasa dituntut untuk melakukan usaha pengembangan
profesi (professionalization) sesuai dengan substansi
dan tugas pokok fungsinya.
Menurut Ritzer (1972) syarat pertama profesi adalah adanya suatu pengetahuan
teoretik (theoretical knowledge). Menjadi guru bukan hanya
sekadar pekerjaan atau mata
pencaharian yang membutuhkan ketrampilan teknis, tetapi juga pengetahuan
teoretik. Profesi adalah
pemberlakuan pelatihan dan praktik yang diatur secara mandiri (self-regulated
training and practice).
Apabila kita berbicara mengenai peningkatan manajemen
pengembangan profesi guru hubungannya dengan pengembangan profesi berkelanjutan
akan lebih mempertegas bahwa Pemendiknas Nomor 28 Tahun 2010 tentang pengangkatan
Kepala Sekolah sudah saatnya ditinjau ulang. Pengembangan profesi berkelanjutan
merupakan peningkatan karir dan jenjang kepangkatan guru sesuai dengan tugas
pokok dan fungsinya.
Apabila guru memang profesional dibidangnya mengapa justeru
pada kenyataannya terjai guru atau kepala sekolah tidak naik pangkat sampai
puluhan tahun. Suatu pemandangan sangat ironis para guru yang diangkat menjadi
pengawas juga diduga banyak yang tidak mampu naik pangkat hingga diatas 10
tahun.
Karena itu penunjauan terhadap Permendiknas Nomor 28 Tahun
2010 tentang pengangkatan kepala sekolah dan kepangkatannya sudah saatnya
ditinjau ulang, diperbaiki untuk disempurnakan. Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan harus melakukan perbaikan dan mensosialisasikan peraturan
pengangkatan kepala sekolah kepada kepala daerah baik itu Gubernur, Bupati/Wali
Kota termasuk Badan Kepegawaian daerah (BKD) untuk menegakkan peraturan tentang
kepangakatan dan jabatan guru. Sekretaris Daerah sebagai Ketua Badan
Pertimbangan Jabatan dan Kepangkatan (Baperjakat) dituntut untuk memahami,
melaksanakan dan menegakkan peraturan bahwa tidak diperkenankan kepangkatan
lebih rendah mengatur kepangkatan yang lebih tinggi.
Perbaiki
Perekruitan Kepsek
Untuk menjaring calon Kepala Sekolah sebenarnya tidak susah.
Guru-guru yang profesional dan mampu mengembangkan karya profesi berkelanjutan
dan memiliki kepangkatan yang lebih tinggi itulah yang harus diseleksi atau
ditempatkan menjadi Kepala Sekolah. Seorang calon kepala sekolah meskipun
ditatar 300 jam bila tidak mampu naik pangkat dalam 4 tahun tidak perlu
dipertahankan. Begitu juga dengan guru calon Kepala Sekolah memiliki
gelar/Ijazah S2 atatupun S3 jika sudah tidak mampu naik pangkat dalam 4 tahun tidak perlu lagi dicalonkan menjadi
Kepala Sekolah.
Pemerintah harus berpikir realistis dengan banyaknya Guru
calon Kepala Sekolah yang ditatar selama 300 jam berapa banyak biaya dan
anggaran yang dikeluarkan untuk menseleksi dan masa orientasi calon Kepala
Sekolah. Lebih ironis ketika banyak para guru-guru mengambil S2 melalui
beasiswa yang dikucurkan oleh pemerintah justeru kredibilitas lulusan S2 itu
juga harus ada konsekuensi hukuman yang harus diberikan kepada penerima
beasiswa S2 hingga S3. Paling ironis tatkala guru diberikan tugas tambahan
menduduki jabatan Kepala Sekolah sudah banyak yang “enggan” mengajar. Padahal
sesuai dengan Undang-undang Guru dan Dosen tentang sertifikasi guru dalam
jabatan, para Kepala Sekolah wajib
menjalankan tugasnya mengajar minimal 6 jam. Pada akhirnya banyak dugaan
penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dalam dunia pendidikan kita. Kepala sekolah “enggan mengajar” mendapatkan
tunjangan sertifikasi dan tunjangan kepala sekolah. Begitu juga dengan kinerja
guru diduga banyak guru-guru yang telah mendapatkan tunjangan sertifikasi
“kinerjanya jelek”.
Karena itu pemerintah khususnya Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan untuk segera melakukan kajian, penelitian dan analis
terhadap Permendiknas Nomor 28 Tahun 2010 itu. Meskipun kelak keputusan pahit
sekalipun yang harus diterima para Kepala Sekolah bahwa diperlukan penyesuaian
kepangkatan untuk menduduki jabatan Kepala Sekolah pada suatu sekolah. Apabila pada
suatu sekolah ada guru yang kepangkatannya lebih tinggi dari calon Kepala
Sekolah yang akan ditempatkan minimal harus sama dengan golongan guru yang
tertinggi pada suatu sekolah tersebut bukan malah lebih rendah.
Dengan kondisi riil sebagaimana
diuraikan diatas dan didasari dengan maksud dan tujuan objektif hendaknya
praktik-praktik kepangkatan lebih rendah mengatur kepangkatan yang lebih tinggi
sudah saatnya ditiadakan. Guru susah mencapai kepangakatan yang lebih tinggi
tapi pada praktiknya diatur oleh guru atau kepala sekolah yang kepangkatan
lebih rendah. Suatu ironisme dengan praktik menjungkirbalikkan dan “mematikan
wibawa kepangkatan” . Kita harus mencontoh sistem kepangkatan di TNI/Polri
meskipun muda jika kepangkatannya lebih tinggi dari yang lebih tua usianya
“wajib hormat” kepada atasannya. Di lembaga sipil juga harus diberlakukan
demikian meskipun tidak 100 % diterapkan. Pada intinya seorang guru dan kepala
sekolah “harus malu” dengan teman sejawat yang memiliki kepangkatan yang lebih
tinggi. Seorang calon kepala sekolah harus berjiwa objektif dan realistis. Semoga dimasa mendatang “wibawa dan
kepangkatan” guru semakin menjadi perhatian pihak Kementrian Pendidikan dan
Kebudayaan dalam membuat peraturan tentang pengangkatan kepala sekolah dan
selalu berpijak pada fakta integritas. Semoga .(dihimpun dan disarikan dari berbagai sumber).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar