Globalisasi dan Tuntutan SDM Efektif
Oleh: Nelson Sihaloho
Globalisasi merupakan suatu proses tatanan masyarakat yang mendunia dan
tidak mengenal batas wilayah. Globalisasi pada
hakikatnya merupakan suatu proses dari gagasan
yang dimunculkan, kemudian ditawarkan untuk diikuti oleh bangsa lain dan akhirnya sampai pada titik kesepakatan bersama dan menjadi pedoman
bersama seluruh nbangsa-bangsa di dunia.
Edison A. Jamli dkk menyatakan (2005)
menyatakan globalisasi ditandai oleh ambivalensi dimana satu sisi menjadi
berkah dan sisi lain menjadi “kutukan”. Globalisasi membawa konsekuensi terhadap pendidikan di Indonesia yang ditandai dengan ambivalensi. Pendidikan berada pada tataran kebingungan dan ingin mengejar ketertinggalan kualitas sumber daya manusia (SDM) dengan dunia internasional. Meski
demikian Indonesia belum mampu mencapai kualitas sesuai dengan tuntutan era
globalisasi itu.
Mengutip Kompas.com tanggal 19 Juni 2009, Hafilia R. Ismanto, Direktur Bidang Akademik LBPP LIA, menyebutkan bahwa
sampai saat ini masih banyak guru belum berhasil untuk dijadikan role model
sebagai pengguna Bahasa Inggris yang baik.
Penyebabnya karena selama ini pihak sekolah dan guru belum melakukan pendekatan
integrasi antara content atau mata pelajaran dan Bahasa Inggris. Tidak semua
guru mata pelajaran bisa diberdayakan untuk memberikan materi berbahasa
Inggris, kecuali para guru itu memang benar-benar siap.
Selain itu banyak
penyelewengan-penyelewengan anggaran pendidikan yang dilakukan oleh dilakukan
aparat dinas pendidikan di daerah dan sekolah. Peluang penyelewengan dana
pendidikan itu terutama dalam alokasi dana rehabilitasi dan pengadaan sarana
prasarana sekolah serta dana operasional sekolah. Temuan tersebut dipaparkan
oleh Febri Hendri, Peneliti Senior Indonesia Corruption Watch (ICW) saat
menyoal Evaluasi Kinerja Departemen Pendidikan Nasional Periode 2004 – 2009 di Jakarta, Rabu (9/9).
Menurut Febri, selama kurun waktu 2004-2009, sedikitnya terungkap 142 kasus
korupsi di sektor pendidikan. Kerugian negara mencapai Rp 243,3 miliar.
(Kompas.com tanggal 9 September 2009).
Menurut Ade (dalam
Kompas.com 9 September 2009 kebocoran anggaran ataupun dalam bentuk paling
parah seperti korupsi pendidikan, ini menyebabkan berkurangnya anggaran dan
dana pendidikan, merusak mental birokrasi pendidikan, meningkatkan beban biaya
yang harus ditanggung masyarakat, dan turunnya kualitas layanan pendidikan.
Bahkan, dalam beberapa kasus, korupsi pendidikan telah membahayakan nyawa
peserta didik dalam bentuk ambruknya gedung sekolah.
Persoalannya sekarang ini, di tengah era
global yang sedang berjalan saat ini
dua nilai keilmuan yaitu kualitas ilmu-ilmu umum dan kualitas
ilmu-ilmu agama harus dipadukan
menjadi entitas yang utuh akan
terealisasi implementasinya.
Krisis pendidikan kita saat ini banyak disorot oleh masyarakat. Di Amerika Serikat misalnya untuk menunjukkan sekolah yang bermutu,
tidak digunakan istilah unggulan (excellent) melainkan effective,
develop, accelerate dan essential.
Ironisnya apabila kita mengkaji dari sisi ukuran
unggulan, sekolah unggulan di Indonesia banyak disinyalir tidak memenuhi persyaratan. Sebab sekolah unggulan hanya diukur dari
kemampuan akademis para anak didik. Kkonsep yang benar, sekolah unggulan dapat dimaknai sebagai
sekolah yang secara terus menerus meningkatkan kualitas kepandaian dan
kreativitas anak didik sekaligus menggunakan sumber daya yang dimiliki untuk
mendorong prestasi anak didik secara optimal. Intinya bukan hanya prestasi akademis saja yang ditonjolkan, melainkan sekaligus
potensi psikis, etik, moral, religi, emosi, spirit, kreativitas dan
intelegensianya.
Istilah globalisasi/liberalisasi pendidikan bermula dari WTO yang
menganggap pendidikan tinggi sebagai jasa yang bisa diperdagangkan atau
diperjualbelikan. Tiga negara yang paling mendapatkan keuntungan besar dari
liberalisasi jasa pendidikan itu adalah Amerika Serikat
(AS), Inggris, dan Australia (Enders dan Fulton, Eds., 2002, hlm 104-105).
Perkembangan dunia
pendidikan di Indonesia bisa dilihat dari tiga hal yaitu masalah peningkatan mutu manusia dan masyarakat
Indonesia, masalah globalisasi serta perkembangan dan kemajuan
teknologi. Ketiga aspek tersebut sangat berpengaruh dalam
perkembangan dunia pendidikan. Kareba
peningkatan SDM menjadi tugas dan tanggung
jawab utama pendidikan, sangat dipengaruhi faktor globalisasi dan teknologi.
Pengaruh globalisasi,
kemajuan teknologi dan informasi serta perubahan nilai-nilai sosial harus
diperhitungkan dalam penyelenggaran pendidikan termasuk tanggung jawab dunia pendidikan untuk mencapai tujuan
pokok melncerdaskan manusia yang berkualitas
Pendidikan sebagai tonggak utama
dalam pertumbuhan dan pembangunan dalam konsepsi knowledge economy dihadapkan pada pergeseran besar dari orientasi kerja otot (muscles
work) ke kerja mental (mental works).
Kemajuan ilmu pengetahuan
dan teknologi yang disertai dengan semakin kencangnya arus globalisasi dunia
membawa akibat terhadap dunia pendidikan.
Teknologi berkembang begitu pesat, pemerintah
kerepotan dan akhirnya mengubah kurikulum pendidikan dan disesuaikan dengan tuntutan era globalisasi.
Berbagai upaya dilakukan oleh lembaga pendidikan seperti berbahasa
Inggris, ada pelajaran bahasa Perancis, Jepang hingga bahasa Korea. Globalisasi pendidikan
dilakukan untuk menjawab kebutuhan pasar tenaga kerja berkualitas dan kompetitif. Sekolah-sekolah saat ini dituntut untuk saling berkompetisi meningkatkan kualitas
pendidikannya terhadap peserta didik.
Sekolah Efektif
Menuurt Susan Albers Mohrman, et.al., School
Based Management: Organizing for High Performance, San Francisco, 1994, h.
81 menyatakan bahwa di negara-negara maju, untuk
menunjukkan sekolah yang baik tidak menggunakan kata unggul (excellent)
melainkan effective, develop, accelerate, dan essential.
Hasil penelitian
C.E. Beeby (1981) menyatakan bahwa ada
dua pemandangan yang kontras pada kondisi pendidikan kita saat ini. Satu sisi masyarakat ingin
berlomba mencari pendidikan bermutu
pada sisi lain mereka frustrasi karena mahalnya biaya yang harus dikeluarkan.
Namun perlu digaris bawahi bahwa mempersiapkan
generasi-generasi mamiliki daya saing yang kompetitif adalah tanggung jawab
kita bersama. Pemerintah sebagai pemegang otoritas kebijakan dalam pendidikan
semestinya harus lebih memberikan penguatan kepada lembaga-lembaga swasta
khususnya pada perusahaan-perusahaan yang telah mampu “go international” untuk
menyumbangkan “dana profit” atas SDM
yang dihasilkan oleh lembaga pendidikan itu.
Para pionir-pionir dan kampiun-kampiun manajer
perusahaan kelas dunia merupakan hasil produk pendidikan. Namun mengapa terjadi
“kekurang pedulian” pihak lembaga-lembaga swasta yang telah mampu meraup laba
dari hasil investasi dan usahanya
terhadap dunia pendidikan?.
Semestinya pihak swasta membantu dunia pendidikan
di Indonesia sehingga kita tidak kehilangan generasi-generasi yang berkualitas.
Sekolah sebagai tempat pendidikan bagi peserta didik harus mampu menciptakan
sekolah efektif. Supaya terjadi pemerataan dan tidak menimbulkan pro kontra
dalam dunia pendidikan sebaiknya meniadakan predikat sekolah unggulan.
Sekolah harus mampu mentransformasikan pengetahuan (tranfer of knowledge) dengan
mengembangkan learning
how to learn (Murphi,1992) atau
belajar bagaimana belajar. Intinya belajar
itu tidak hanya berupa transformasi pengetahuan tetapi jauh lebih penting
adalah mempersiapkan siswa belajar lebih jauh dari sumber-sumber yang mereka
temukan dari pengalaman sendiri, pengalaman orang lain maupun dari lingkungan
dimana peserta didik tumbuh
guna mengembangkan potensi dan perkembangan dirinya.
Untuk mengembangkan sekolah sekolah bermutu perlu dilakukan perubahan-perubahan baik itu sarana dan prasarana, manajemen persekolahan, visi dan misi sekolah termasuk profesionalsme guru.
Type sekolah bermutu secara umum adalah menerima dan menyeleksi secara
ketat siswa yang masuk dengan kriteria memiliki prestasi akademik yang tinggi.
Adanya penekanan iklim
belajar yang positif di lingkungan sekolah. Menerima dan mampu memproses siswa
yang masuk sekolah tersebut (input ) dengan prestasi rendah menjadi lulusan
(output) bermutu tinggi. “Effective
School”adalah An
Effective School is a school that can, in measured student achievement terms,
demonstrate the joint presence of quality and equity. Said another way, an
Effective School is a school that can, in measured student achievement terms
and reflective of its “learning for all” mission, demonstrate high overall
levels of achievement and no gaps in the distribution of that achievement
across major subsets of the student population.
Beberapa faktor yang harus dicapai supaya mampu menjadi sekolah efektif yaitu
kepemimpinan kepala sekolah
yang profesional, guru-guru
yang tangguh dan profesional, memiliki
tujuan pencapaian filosofis yang jelas, lLingkungan
yang kondusif untuk pembelajaran, jaringan
organisasi yang baik, kurikulum
yang jelas. Kemudian Evaluasi
belajar yang baik berdasarkan acuan patokan untuk mengetahui apakah tujuan
pembelajaran dari kurikulum sudah tercapai, partisipasi orang tua murid yang aktif dalam
kegiatan sekolah.
Sekolah Reguler Berlabel RSBI
Menurut Richard Crawford ( 2001), abad ke 21 merupakan suatu Era of Human Capital,
yaitu era, dimana perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya
teknologi telekomunikasi berkembang sangat pesat dan Human Capital
merupakan pusat perubahan dari masyarakat agraris menuju masyarakat industri (industrial
society) dan kemudian menuju masyarakat ilmu (knowledge society).
Perkembangannya yang pesat itu menyebabkan
semakin derasnya arus informasi dan terbukanya pasar internasional yang berakibat pada persaingan bebas yang begitu ketat dalam segala
aspek kehidupan manusia.
Daya saing suatu bangsa akan menjadi pilar utama
menuju era globalisasi. Ada tiga faktor utama faktor daya saing yaitu manajemen, teknologi, dan
sumber daya manusia. Pendidikan
merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia
(SDM). Upaya pemerintah
mempersiapkan SDM yang unggul, melalui Undang-Undang Sisdiknas Pasal 50 Ayat 3
menyebutkan bahwa Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah menyelenggarakan
sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk
dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional.
Sejak tahun
2004, Direktorat PSMP telah merintis Sekolah Standar Nasional (SSN), yang
sampai saat ini berjumlah 1314 sekolah di seluruh Indonesia. Sejak itu pula,
Direktorat PSMP juga telah merintis Sekolah Koalisi setiap propinsi atau
sekolah, yang sampai saat ini berjumlah 34 sekolah di seluruh Indonesia
(Hadijah, 2009).
Hingga tahun
2009, Direktorat PSMP Depdiknas telah membina 302 Rintisan Sekolah Bertaraf
Internasional (RSBI) dan 1.858 Sekolah Standar Nasional (SSN) yang tersebar di
seluruh provinsi di Indonesia. SMP lain di luar SMP RSBI yangdibina oleh
Direktorat pembinaan SMP, terdapat 50 sekolah yang secara mandiri berkategori
SBI. Sebagai Sekolah Bertaraf Internasional tentu siswanya bukan hanya berasal
dari Warga Negara Indonesia
saja tetapi boleh juga berasal dari Warga Negara Asing.
Untuk
melaksanakan pembelajaran pada SMP Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional,
diperlukan perangkat yang sesuai. Pembelajaran matematika yang menggunakan
pengantar Bahasa Inggris masih relatif baru di Indonesia sehingga perangkat
pembelajaran yang mendukung pelaksanaannya di kelas masih sangat terbatas. Karena
itu, pengembangan perangkat pembelajaran matematika pada RSBI sejalan dengan salah satu program didalam
Rencana Kerja dan Anggaran tahun 2009 Direktorat PSMP Depdiknas itu telah dilaksanakan.
Namun adanya sekolah berlabel SSN, RSBI, SBI
sekolah reguler pun harus melakukan pembaharuan agar mutunya tidak kalah
bersaing dengan sekolah-sekolah yang berpredikat SSN, RSBI dan SBI itu. Ada dua faktor yang dapat menjelaskan
mengapa upaya perbaikan mutu pendidikan selama ini kurang berhasil. Pertama
strategi pembangunan pendidikan selama ini lebih bersifat input oriented.
Strategi yang demikian lebih bersandar kepada asumsi bahwa apabila semua input
pendidikan telah dipenuhi, seperti penyediaan buku-buku (materi ajar) dan alat
belajar lainnya, penyediaan sarana pendidikan, pelatihan guru dan tenaga
kependidikan lainnya, maka secara otomatis lembaga pendidikan ( sekolah) akan
dapat menghasilkan output (keluaran) yang bermutu sebagai mana yang diharapkan.
Ternyata strategi input-output yang diperkenalkan oleh
teori education production function (Hanushek, 1979,1981) tidak
berfungsi sepenuhnya di lembaga pendidikan (sekolah), melainkan hanya terjadi
dalam institusi ekonomi dan industri. Kedua, pengelolaan pendidikan selama ini lebih bersifat macro-oriented,
diatur oleh jajaran birokrasi di tingkat pusat. Akibatnya, banyak faktor
yang diproyeksikan di tingkat makro (pusat) tidak terjadi atau tidak berjalan
sebagaimana mestinya di tingkat mikro (sekolah). Atau dengan singkat dapat
dikatakan bahwa komleksitasnya cakupan permasalahan pendidikan, seringkali
tidak dapat terpikirkan secara utuh dan akurat oleh birokrasi pusat.
Input
pendidikan merupakan hal yang mutlak harus ada dalam batas - batas tertentu
tetapi tidak menjadi jaminan dapat secara otomatis meningkatkan mutu pendidikan
(school resources are necessary but not sufficient
condition to improve student achievement). Agar mutu tetap
terjaga dan agar proses peningkatan mutu tetap terkontrol, maka harus ada
standar yang diatur dan disepakati secara secara nasional untuk dijadikan
indikator evaluasi keberhasilan peningkatan mutu tersebut (adanya benchmarking).
Pemikiran
ini telah mendorong munculnya pendekatan baru, yakni pengelolaan peningkatan
mutu pendidikan di masa mendatang harus berbasis sekolah sebagai institusi
paling depan dalam kegiatan pendidikan. Pendekatan ini, kemudian dikenal dengan
manajemen peningkatan mutu pendidikan
berbasis sekolah (School Based Quality Management) atau dalam nuansa
yang lebih bersifat pembangunan (developmental) disebut School Based Quality Improvement. Manajemen peningkatan mutu
berbasis sekolah merupakan alternatif baru dalam pengelolaan pendidikan yang
lebih menekankan kepada kemandirian dan kreatifitas sekolah. Konsep ini
diperkenalkan oleh teori effective school yang lebih memfokuskan diri
pada perbaikan proses pendidikan (Edmond, 1979).
Meskipun sekolah berpredikat reguler harus mampu
memfokuskan pengelolaan manajemen sekolah berbasis mutu, terukur dan mampu
bersaing sejajar dengan sekolah-sekolah lainnya. Dalam konteks ini secara
alamiah sekolah reguler akan terus melakukan perbaikan-perbaikan peningkatan
mutu sehingga secara signifikan akan menjadi sekolah efektif. (dihimpun dan
disarikan dari berbagai sumber).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar