Psikologi dan Keberhasilan Manusia di Masa Depan
Oleh: Nelson Sihaloho
Abstrak:
Berdasarkan fakta dan catatan sejarah membuktikan bahwa sebelum tahun 1879, jiwa dipelajari oleh para filsuf dan para ahli ilm faal (fisiologi) sehingga psikologi dianggap sebagai sebagian dari kedua ilmu tersebut. Selain itu psikologi juga dipengaruhi oleh hipnotisme. Menurut Singgih Dirgagunarsa menyatakan bahwa hipnotisme timbul karena adanya kepercayaan bahwa dalam alam ini terdapat kekuatan yang misterius yaitu magnetisme. Vant Helmont mengemukakan doktrin animal magnetism, yaitu “cairan” yang bersifat magnetis dalam tubuh manusia dapat dipancarkan untuk mempengaruhi badanbahkan jiwa orang lain.
Ahli ilmu filsafat kuno seperti Plato (429-347 SM) dan Aristoteles (384-322 SM) telah memikirkan hakikat jiwa dan gejala-gejalanya. Pada zaman kuno, tidak ada spesialisasi dalam lapangan keilmuan, sehingga semua ilmu tergolong dalam filsafat. Bahkan ahli filsafat sebagian mengatakan bahwa filsafat adalah induk dari semua ilmu pengetahuan.
Dalam sejarah perkembangannya hingga era modern sekarang ini psikologi terus menunjukkan eksistensinya. Munculnya psikologi keberhasilan, psikologi kepemimpinan, psikologi industri, psikologi belajar modern dan mutakhir hingga psikologi integral karya Ken Wiber Tahun 1983 mengindikasikan bahwa bidang psikologi akan terus berkembang sesuai dengan tuntutan zaman. Ilmu Psikologi kelak akan merambah semua institusi termasuk psikologi sumber daya manusia.
Sejarah Pengukuhan Psikologi
Para filsuf abad pertengahan umumnya mempelajari dan mengkaji seputar kebutuhan dan kejiwaan. Beberapa pandangan mengenai kebutuhan dan kejiwaan dapat digolongkan kedalam dua bagian yaitu pandangan bahwa antara kebutuhan dan kejiwaan (antara aspek psikis dan fisik) tidak dapat dibedakan karena merupakan suatu kesatuan pandangan yang disebut monism serta pandangan bahwa ketubuhan dan kejiwaan pada hakikatnya dapat berdiri sendiri, meskipun disadari bahwa antara kejiwaan dan ketubuhan merupakan suatu kesatuan.ini disebut dualism.
Psikologi dikukuhkan menjadi ilmu yang mandiri oleh Wilhelm Wundt dengan mendirikan Laboratorium psikologi pertama di dunia bertempat di Leipzig 1879. Sejak psikologi berdiri sendiri dengan menggunakan metode-metodenya sendiri dalam pembuktian dan penelitiannya sehingga munculnya berbagai aliran psikologi yang bercorak khusus. Adapun ciri-ciri khusus sebelum abad ke 18 adalah bersifat elementer, berdasarkan hukum-hukum sebab akibat, mekanis, sensualitis-intelektualitis(mementingkan ilmu pengetahuan dan daya pikir), mementingkan kuantitas, hanya mencari hukum-hukum, .gejala-gejala jiwa dipisahkan dari subjeknya serta jiwa dipandang pasif
Psikologi sebagai bagian dari filsafat merupakan ilmu yang mencari hakikat sesuatu dengan menciptakan pertanyaan dan jawaban secara terus menerus sehingga mencapai pengertian yang hakiki. Pada abad pertengan zaman sebelum Masehi psikologi masih bagian dari filsafat dengan objek tetap hakikat jiwa dan menggunakan Argumentasi Logika. Plato (427-347 SM) menyatakan interaksi manusia dan lingkungan faktor penting dalam memahami aktivitas manusia. Dualisme pikiran-raga (mind-body dualism). Yang penting adalah pemikiran/ide dengan ajarannya yang terkenal disebut Ide. Plato menyatakan bahwa jiwa agen yang membentuk dan menyimpan pikiran/ide, jiwa berisi semua aktivitas yang membedakan manusia dari seluruh alam. Aristoteles 384 322 SM dikenal sebagai bapak Logika dengan teori De Anima. Pandangan Aristoteles tentang jiwa terfokus pada hubungan antara raga dan jiwa, emosi kemarahan, keberanian, hasrat, sensasi merupakan fungsi-fungsi jiwa dan hanya dapat bertindak melalui raga untuk menjustifikasi psikologi fisiologis.
Thomas Aquinas (1225-1274) berpandangan bahwa manusia adalah entitas dinamis, dimotivasi secara internal oleh jiwa. Lima bagian dari jiwa adalah vegetative, sensitive, apetitif, lokomotif dan intelektual. Berdasarkan pandangan Thomas Aquinass terdapat dua elemen utama pembelajaran manusia yaitu kebergantungan pada lingkungan, sensus communis/pusat akal sehat aktif mengorganisasi, memediasi, dan mengoordinasi input ragawi.
Sedangkan Francis Bacon (1561-1626) penganut teori Empirisme menyatakan bahwa segala pengetahuan diperoleh melalui persepsi dan pengalaman. Tokoh metode induktif Rene Descartes (1596-1650) terkenal dengan teorinya “Gogito Ergo Sum ( saya berpikir maka saya ada). Rene Descartes mengedepankan dua hal yang penting yaitu Res Cogitans (zat yang dapat berpikir) dan Res Eztenza (zat yang mempunyai luas). Rene Descartes menyatakan bahwa psikologi merupakan ilmu pengetahuan mengenai gejala pemikiran atau gejala kesadaran manusia, terlepas dari badannya. Raga manusia yang terdiri atas materi dipelajari oleh ilmu pengetahuan lain, terlepas dari jiwanya. Jiwa Unsur yang mengatakan “AKU” dan berdiri atas dirinya sendir. Aku Kesadaran menjadi “substansi berpikir” sedangkan Badan menjadi substansi luas. Descrates juga membagi tingkah laku manusia menjadi dua yaitu tingkah laku rasional dikuasai oleh jiwa, seseorang dapat merencanakan atau meninjau kembali suatu tingkah laku dan tingkah laku mekanis erat hubungannya dengan badan, terjadi gerakan otomatis seperti refleks.
Tokoh lainnya adalah John Locke (1632-1704) terkenal dengan teorinya “Tabula Rasa” bahwa semua pengetahuan, tanggapan, dan perasaan jiwa manusia diperoleh karena pengalaman melalui alat-alat indranya. Pada waktu manusia dilahirkan, jiwanya kosong bagaikan sehelai kertas putih yang tidak tertulisi. Kertas itu akan muali terisi melalui pengalaman-pengalaman sedari kecil melalui alat indranya. John Locke menekankan tentang sensasi dan refleksi
G. Wilhelm Leibniz (1646-1716) dengan dasar pemikiran “MONADE” (monas kesatuan, sesuatu yang satu). Teori Monadologi ( Monade) merupakan unsur dari segala hidup, hidup adalah aktivitas. Sifat monade adalah perkembangan kesadaran dengan cirri-ciri tidak dapat musnah, tidak dapat diciptakan dan tidak dapat diubah. Bahkan monade satu dengan monade lain tidak dapat saling mempengaruhi sebagaimana kritiknya terhadap pandangan Leibniz.
Tokoh lainnya adalah Immanuel Kant (1724-1804) yang menyatakan bahwa semua pengetahuan pengetahuan empiris, bergantung pengalaman indra dan pengetahuan transcendental, yaitu bebas dari pengalaman. Tidak menghapus dunia objektif eksistensinya ditegaskan oleh fungsi stimulasi dan inisiasi data sensorik dalam pembentukan ide. Kant menggabungkan empirisme dan rasionalisme
Charles Darwin (1809-1882) terkenal dengan teori evolusi yang menyatakan bahwa variasi spesies dihasilkan oleh peluang dan seleksi alam merupakan perjuangan alami bagi kebertahanan hidup spesies. Darwin berpendapat perbedaan esensial antara manusia dan primata tertinggi adalah perbedaan gradasi, bukan kualitas.
Tokoh–tokoh lainnya yang berjasa dalam psikologi dengan aliran Emprisme adalah Thomas Hobes, David Hume, James S. Mill dimana para tokoh ini lebih mementingkan lingkungan dan pengalaman. Aliran Nativisme – J. J. Rousseau menyatakan bahwa perkembangan manusia semata-mata dipengaruhi oleh faktor bawaan. Aliran Konvergensi dengan tokohnya William Stern menggabungkan pandangan empirisme dan nativisme.
Psikologi Ilmu yang Mandiri
Sejak Psikologi berdiri sendiri dengan menggunakan metode-metodenya dalam pembuktian maupun penyelidikannya maka muncullah aliran yang bercorak khusus. Aliran-aliran psikologi seperti Strukturalisme dengan tokohnya Wilhelm Wundt dan Edward Bradford Titchener. Strukturalisme merupakan aliran yang pertama dalam psikologi karena dikemukakan oleh Wundt setelah dirinya melakukan tentang eksperimennya di laboratotium.
Strukturalisme merupakan pengalaman mental yang kompleks sebenarnya adalah struktur yang terdiri atas keadaan-keadaan mental yang sederhana. Premisnya adalah menyelidiki struktur kesadaran dan mengembangkan hukum-hukum pembentukkannya.Strukturalisme menggunakan metode introspeksiterhadap orang yang menjalani percobaan diminta untuk menceritakan kembali pengalamannya atau perasaannya setelah orang yang bersangkutan melakukan suatu eksperimen. Sensasi seperti manis, pahit, dingin dapat diidentifikasi menggunakan introspeksi.
Ciri-ciri Psikologi Strukturalisme adalah penekanannya pada analisis atas proses kesadaran yang dipandang terdiri atas elemen-elemen dasar, serta usaha menemukan hukum-hukum yang membawahi hubungan antar elemen kesadaran tersebut.Segala sesuatu atau proses yang terjadi dalam diri manusia, selalu dianggap bersumber pada kesadaran. Intinya adalah mencoba menelaah struktur mental
Aliran Fungsionalisme dengan tokoh: William James, James Rowland Angell, John Dewey. Para ahli ini menyatakan bahwa pikiran, proses mental, persepsi indrawi, dan emosi adalah adaptasi organisme biologis. Fungsionalisme lebih menekankan pada fungsi-fungsi dan bukan hanya fakta-fakta dari fenomena mental, atau berusaha menafsirkan fenomena mental dalam kaitan dengan peranan yang dimainkannya dalam kehidupan.
Intinya adalah meneliti bagaimana pikiran bekerja sehingga organisme dapat beradaptasi terhadap lingkungannya. Proses atau keadaan sadar seperti kehendak bebas, berpikir, beremosi, persepsi, dan proses pengindraan adalah aktivitas dari sebuah organisme dalam hubungannya dengan lingkungan fisik.
Psikologi Gestalt, berasal dari gerakan intelektual Jerman sangat dipengaruhi oleh model akademi Wurzburg dan pendekatan fenomenologis terhadap ilmu pengetahuan. Kemunculannya berawal dari penelitian Wertheimer tentang gerakan yang tampak dengan prinsip Gestalt dikembangkan berdasarkan asumsi tentang keteraturan bawaan dalam interaksi manusia dan lingkungan. Kurt Kofka (1886 – 1941) dengan Persepsi dengan prinsip dasar bahwa fokus interaksi manusia dan lingkungan disebut lapangan perseptual. Karakter utama lapangan perseptual adalah organisasi, yang memiliki kecenderungan alami untuk distrukturkan sebagai figur dan latar. Isomorfisme adalah menghubungkan bidang perseptual dengan bidang otak, aktivitas otak yang mengantarai proses-proses perceptual.
Aliran Psikoanalisis, adalah terkait dengan tradisi Jerman yang menyatakan bahwa pikiran adalah entitas yang aktif, dinamis dan bergerak dengan sendirinya. Psikologi modern di Jerman abad 17,18, 19 khusunya Leibniz & Kant menekankan aktivitas mental. Freud konsisten dengan pandangan Leibniz dan Kant tentang aktivitas mental sadar dan tidak sadar. Freud mengembangkan prinsip motivasional yang bergantung pada kekuatan energi di luar tingkat kesadaran diri. Perkembangan kepribadian ditentukan oleh adaptasi individual dan tanpa sadar terhadap kekuatan-kekuatan tersebut. Tokoh Psikoanalisa adalah Sigmund Freud (1856 – 1940) dengan dengan Bapak Psikoanalisis dengan pengikut Alfred Adler, Carl Jung, Karen Horney.
Aliran Psikoanalisis Sosial tokohnya adalah Harry Stack Sullivan, Eric Fromm (Psikoanalisis Sosial). Freud menggambarkan kepribadian sebagai sistem energi yang mencari keseimbangan antara berbagai kekuatan . Freud sangat menekankan perkembangan anak karena dirinya yakin bahwa gangguan neurotik yang dialami pasien dewasa bersumber dari pengalaman masa anak. Freud bukan seorang metodolog bahkan pengumpulan datanya tidak sistematik dan tidak memiliki control. Freud hanya membrikan kesimpulan- kesimpulannya, bahkan idak pernah menyampaikan bagaimana kesimpulan tersebut diperoleh. Freud telah mencapai apa yang hanya dapat dicapai oleh sedikit teoris lain dan ia merevolusi sikap-sikap dan menciptakan posisi baru untuk mengkaji kepribadian.
Behaviorisme dengan tokoh John B. Watson (1878 – 1958), Ivan M. Sechenov, Vladimir M. Bekhterev, Ivan Pavlov (dari Rusia), Edwin B. Holt, Albert P Weiss, Water S. Hunter. Guthrie (teori kontiguitas), Hull (Teori Hipotetikodeduktif), Tolman (behaviorisme kognitif), Skinner (positivesme radikal). Sistem yang memaknai Psikologi sebagai studi tentang perilaku mendapatkan dukungan kuat dalam perkembangan di abad 20 khusunya di Amerika Serikat. Gerakan ini secara formal diawali oleh psikolog Amerika, John Watson (1878-1958). Watson mengusulkan peralihan radikal dari formulasi psikologi saat itu k arah perkembangan psikologi yang benar bukanlah studi tentang kesadaran “dalam diri”. Watson mendukung perilaku tampak yang dapat diamati sebagai satu-satunya subjek pembahasan yang masuk akal terhadap ilmu pengetahuan psikologi.
Menentang pandangan bahwa pengalaman tidak sadar merupakan bagian psikologi dan juga menentang introspeksi. Pendapatnyahampir semua perilaku merupakan hasil dari pengkondisian dan lingkungan membentuk perilaku kita dengan memperkuat kebiasaan tertentu. Pendahulu behaviorisme dengan refleksologi fisiologi Rusia & asosiasisme Thorndike. Pavlov dengan teori pengkondisian yang komprehensif . Di Amerika Serikat (1930-1940) seperti Guthrie, Tolman, Hull mengembangkan teori komprehensif tentang pembelajaran. Melalui teori Hull maka berkembang teori positivisme radikal oleh Skinner. Penggunaan utama behaviorisme adalah model modifikasi perilaku dalam penerapan klinis.
Behaviorisme kontemporer merupakan kekuatan dominan dlm psikologi, tetapi behaviorisme yg telah berkembang memiliki basis luas, dgn asumsi, metodologi, & penerapan yg sangat beragam.
Kemudian aliran Mashab Ketiga yang berasal dari model ilmu pengetahuan manusia tantang aktivitas mental. Psikoanalisis masuk kategori mashab pertama, Behaviorisme mashab kedua, Eksistensial mashab Ketiga. Psikologi Humanistik merupakan penerapan filsafat eksistensial. Psikologi Eksistensial merupakan penerapan filsafat eksistensial pada berbagai isu psikologis. Psikologi Fenomenologis adalah bagaimana menunjukkan cara-cara khas dalam mempelajari berbagai peristiwa psikologis tanpa terjebak dalam reduksionisme. Psikologi Humanistik adalah menggambarkan penekatan sekelompok psikolog, sebagaian besar adalah teori kepribadian Amerika, yang memiliki pandangan bahwa individu berusaha mencapai perkembangan penuh kapasitas atau potensinya dan menolak penjelasan mekanis serta materialistik atas proses-proses psikologi.
Mashab ketiga
Ada dua hal yang per;u dicermati dan ditelaah pada mazhab ketiga ini khususnya perkembangan psikologi. Pertama adalah memahami pentingnya kebebasan dan tanggung jawab pribadi dalam proses pengambilan keputusan yang berlangsung sepanjang rentang kehidupan untak mencapai potensi manusia. Kedua adalah psikolog gerakan ini tidak menerima reduksi proses-proses psikologis menjadi hukum-hukum mekanis peristiwa psikologis. Mereka lebih memandang manusia sabagai makhluk berbeda dari bentuk kehidupan lainnya.
Akar gerakan ini ditemukan dalam spekulasi filsafat, karya tulis dan observasi klinis. Sumber-sumbernya menyatu setelah Perang Dunia II dan menjadi wujud gerakan Mazhab ketiga di Eropa dan Amerika . Tokoh-tokoh yang terkenal adalah aliran Eksistensialisme, Soren Kierkegaard dan Wilhelm Dilthey. Aliran Eksistensialime modern adalah Jean Paul Sartre, Albert Camus, Karl Jasper dan Martin Buber. Sedangkan Fenomenologi adalah Edmund Husserl dan Martin Heidegger, Eksistensialisme-Fenomenologis dengan tokoh Maurice M. Ponty, Ludwig Binswanger serta Humanistik dengan tokoh Gordon Allport, Abraham Maslow dan Carl Rogers. Gerakan mazhab ketiga berkembang dari model aktif proses mental. Berbagai tulisan di abad 19 dari Kierkegaard, Nietzsche dan Dilthey menjadi latar belakang pandangan tentang manusia yang kesepian dan dehumanisasi. Karya abad 20 dari Sartre, Camus dan Jaspers dengan atas pandangannya tentang kondisi dasar kecemasan serta absurditas dalam eksistensi manusia. Husserl dan Heidegger menyatakan perkembangan fenomenologi sebagai alat untuk meneliti karakter holistik pengalaman manusia. Eksistensialime-fenomenologis merupakan penerapan orientasi baru dalam bidang klinis. Di Amerika sudut pandang humanistic seperti Allport, Buhler, Maslow dan Rogers memiliki kesamaan dengan psikologi eksistensialisme fungsionalisme. Gerakan mashab ketiga ini orientasi yang terpisah-pisah dalam psikologi kontemporer.
Psikologi Mutakhir
Ken Wilber merupakan seorang cendikiawan Buddhis dan menjadi tokoh dan pengagas generasi kelima psikologi yaitu psikologi integral atau psikologi integratif (integrative psychology).
Empat generasi psikologi sebelumnya (psikoanalisa, behavioristik, humanistik, dan transpersonal) dalam pandangan Wilber secara perlahan akan memudar. Tapi bukan berarti tidak memberikan sumbangan besar. Wilber berkeyakinan, apa yang telah dirintis oleh angkatan sebelumnya dengan satu sisi pendekatan terhadap eksistensi manusia akan digantikan oleh pendekatan yang multidimensi yang lebih integratif.
Kritik khusus diarahkan terhadap psikologi transpersonal. Wilber sendiri mengakui, bahwa awalnya dirinya seorang transpersonalist, kemudian tahun 1983, Ken Wilber mulai merasakan ada suatu yang kurang dalam psikologi generasi keempat itu. Mungkin satu sisi pedekatan saja, yaitu pendekatan spiritual, dalam kacamata ilmiah kurang begitu faktual. Para ahli psikologi transpersonal lebih menekankan sisi teori daripada menyodorkan bukti-bukti empiris. Kendati psikologi transpersonal mempunyai area pembahasan yang demikian luas, tapi ia tidak mencakup totalitas, ia tidak berhasil mengintegrasikan teori-teori psikologi sebelumnya.
Psikologi integral dikembangkan oleh Ken Wilber, setelah ia sendiri meneliti dan memelajari beragam teori tentang struktur kedirian manusia, mulai dari pra-modern, modern sampai post-modern. Lebih dari 100 tokoh yang teorinya berhasil ia rangkum dan diintisarikan serta disajikan dalam bentuk teori yang integratif.
Adapun ikhtisar pemikiran Ken Wilber adalah Empat Quadran dengan nama All Quadrant All Level (AQAL). Psikologi Integral mempunyai setidaknya lima komponen utama, yaitu level (kadang disebut struktur) kesadaran, arus atau deret garis kesadaran, status kesadaran normal dan perubahan status kesadaran, diri dan sistem-diri, serta empat kuadran. Kepribadian manusia, menurut Wilber, seperti halnya struktur alam semesta, adalah komponen yang berlapis-lapis, pluridimensional, tersusun atas tatanan yang terintegrasi yang padu dan menyeluruh.
Level kesadaran disebut juga dengan istilah struktur atau gelombang kesadaran, dan terkait dengan definisinya. Struktur mengindikasikan bahwa setiap tingkatan kesadaran mempunyai pola yang padu yang seluruh komponennya bersatu dalam satu struktur besar. Level, berarti pola-pola tersebut mempunyai relasi-relasi yang cenderung terbuka. Dalam perkembangan level kesadaran, ada aspek-aspek dalam struktur kepribadian yang juga bergerak mengikuti perkembangan dari level kesadaran, tapi dengan tingkat perkembangan yang bervariasi. Aspek-aspek tersebut misalnya intelegensi, kognisi, moral, afeksi, kebutuhan, seksualitas dan lain-lain. Arus kesadaran ini berkembang dengan derajat kebebasan tertentu, meskipun tidak sepenuhnya bebas. Beberapa status kesadaran manusia yang biasa dikenal misalnya, terjaga, mimpi, dan tidur pulas. Ini adalah status normal kesadaran yang biasa dialami sehari-hari, disamping ada juga status luar biasa atau perubahan status kesadaran dan merupakan kesadaran yang sifatnya lebih tinggi, yaitu berupa pengalaman puncak (pengalaman spiritual, atau peak experience menurut Maslow), keadaan meditasi dan kontemplasi. Konsep diri (self) yang dipakai oleh Wilber, relatif sama dengan konsep diri yang dipakai oleh Jung, yaitu sebagai suatu arketif yang menjadi titik pusat kepribadian. Ken Wilber, memandang diri sebagai kompenen utama dalam mengintegrasikan dan menyeimbangkan semua komponen di dalam psyche. Hal yang pertama, dilakukan diri ialah mengenali dan mengidentifikasi level tempat ia berada, lantas setelah itu ia mulai mendiferensiasi (mencoba memisahkan diri dari) level tersebut, dan naik ke level yang lebih tinggi (transendensi). Tahapan terakhir, kemudian ia mengintegrasikan level yang baru dicapainya dengan level-level sebelumnya.
Empat Quadrant dalam Psikologi Integral yang diajukan oleh Ken Wilber, berusaha melihat kesadaran manusia dalam berbagai sisi, dari beragam sudut penglihatan. Beragam perspektif dalam melihat kesadaran ini dapat diringkas menjadi empat perspektif. Ini dinamakan sebagai empat quadrant. Quadrant pertama, kesadaran dilihat dari perspektif ‘aku’ (‘I’). Yaitu melihat kesadaran manusia dari sisi dalam (individual interior).
Quadrant kedua, adalah perspektif yang melihat kesadaran sebagai pengaruh dari sisi luar diri (individual eksterior). Faktor luar diri ini misalnya, kesadaran dilihat sebagai produk dari mekanisme otak dan tubuh, sistem neurofisiologi (sistem syaraf), serta sistem organik.
Quadrant ketiga ialah melihat kesadaran dari perspektif kolektif interior. Artinya kesadaran personal sebagai produk interaksi dirinya dengan orang lain dalam sebuah struktur masyarakat, keluarga, korporasi, suku, organisasi, bangsa dan dunia.Terakhir, quadrant keempat, kesadaran dipan¬dang sebagai produk kolektif eksterior. Faktor yang mempengaruhi kesadaran misalnya berupa infrastruktur, teknologi, ekonomi, informasi, finansial, data-data objektif, dan lain-lain.
Merujuk pada kenyataan maupun fakta-fakta perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi ilmu psikologi dimasa mendatang akan semakin berkembang. Berkembangnya human resources atau bidang pengembangan sumber daya manusia menjadikan psikologi semakin memiliki andil dalam peningkatan kualitas khususnya bidang rekruitmen. Psikologi industry, psikologi sumber daya manusia, psikologi perusahaan, psikologi manajemen, psikologi kepemimpinan bahkan psikologi pendidikan modern dengan fokus kajian kunci sukses dalam belajar dengan pengembangan kemampuan otak kanan, tengah dan kiri terus dikembangkan oleh berbagai ahli. Dengan demikian ilmu psikologi kelak akan selalu memiliki andil dalam perkembangan keberhasilan manusia. Dalam lingkungan sekolah sebagai unit terkecil penyelenggara pendidikan psikologi juga memainkan peranan penting dalam mendorong dan memotivasi keberhasilan siswa/i disekolah Semoga sekelumit karya ini memberikan sumbangan pemikiran dalam kemajuan pendidikan di negeri ini. (***).
Daftar Rujukan
1. Atkinson, Rita. L., et all, Introduction to Psychology, 11th ed, Harcourt Brace & Company
2. Wilber, Ken, Integral Psychology, Shambala, Boston & London, 2000
3. Hall, Calvin S. dkk, Teori-teori Psikodinamik (Klinis), Kanisius, Cetakan kelima, 1995
4. Hall, Calvin S. dkk, Teori-teori Sifat dan Behavioristik, Kanisius, Cetakan kedua, 1995
5. Maslow, Abraham, Psikologi Sains, Teraju, Oktober 2004
6. Tart, Charles T. et. all, Transpersonal Psychologies, Harper & Row Publisher. 1975
8. Wilber, Ken, The Atman Project, The Theosophical Publishing House, 1980
Minggu, 26 Desember 2010
Senin, 13 Desember 2010
PENDIDIKAN
Model 8 K-Plus-BI Kunci Utama Profesionalisme Guru
Oleh : Nelson Sihaloho
Banyak nada-nada miring kini dialamatkan kepada guru khususnya guru yang telah lulus sertifikasi dalam jabatan dan telah mendapatkan tunjangan profesi satu kali dari gaji pokok namun kinerjanya tidak meningkat (stagnan). Satu sisi meskipun guru-guru ada yang mengajar lebih dari 24 jam tatap muka kinerjanya tidak dihargai berupa dana insentif kelebihan jam yang seharusnya menjadi hak para guru. Sorotan-sorotan tajam terus dialamatkan kepada guru tatkala kita melihat kondisi riil potret pendidikan di era “pendidikan gratis”, anggaran pendidikan yang mempersyaratkan 20 % dari APBN, APBD, dana BOS Buku dan biaya operasional sekolah yang kurang memadai dari biaya riil yang sesungguhnya. Tuntutan terhadap pendidikan yang mengedepankan pendidikan bermutu, mutu lulusan yang kompetitif dan mampu bersaing di era globalisasi pada akhirnya pemerintah menggulirkan berbagai label sekolah mulai dari sekolah standar nasional (SSN), rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI) hingga sekolah bertaraf internasional (SBI).
Polemik label sekolah sebagaimana diuaraikan diatas sering berseberangan dengan pola “pendidikan gratis” yang intinya melarang pungutan-pungutan dilakukan oleh pihak sekolah. Satu sisi adanya Komite disuatu sekolah dengan berbagai program-program yang bertujuan membantu program sekolah pada akhirnya menjadi “buah simalakama”. Pihak Komite bermusyawarah untuk melakukan perundingan dengan kalangan orangtua dengan berpijak pada pendidikan gratis itu maka Komite Sekolah akan memunculkan opini sebagai sumber permasalahan dan “biang kerok” dalam melegalitaskan pungutan. Keterbatasan anggaran pemerintah yang tidak mampu memenuhi sumber-sumber pembiayaan pendidikan pada akhirnya pendidikan bermutu tidak akan berjalan sebagaimana harapan semua pihak. Bukan itu saja buku-buku sekolah yang masuk lewat jalur Koperasi Sekolah namun diduga Koperasi Sekolah tidak memiliki Badan Hukum Koperasi yang pada intinya sulit meminta dasar hukum pertanggungjawaban dari pihak pengelola Koperasi Sekolah. Ironisnya kinertja guru terus dipertanyakan semua pihak dimana berkaitan erat dengan kualitas dan kuantitas guru. Agar guru tidak terus menerus menjadi sorotan berbagai kalangan sudah sepatutnya guru melakukan review dan mengoreksi kembali terhadap apa yang telah dilakukannya selama ini. Banyak tulisan yang sering dibahas oleh para pakar ahli-ahli pendidikan bagaimana supaya guru memiliki kinerja yang baik dalam menjalankan tugasnya. Menurut hemat penulis 8 komponen model 8K-Plus-BI diharapkan menjadi sumbangan pemikiran dan solusi dalam meningkatkan profesinalisme guru.
Alur/ Skema Kunci Sukses Guru
Sumber: Nelson, 2010
Analisis dan Kajian
Kinerja atau prestasi kerja berasal dari pengertian performance. Menurut Amstrong dan Baron (1998), kinerja merupakan hasil pekerjaan yang mempunyai hubungan kuat dengan tujuan strategis organisasi, kepuasan konsumen dan memberikan kontribusi ekonomi. Anwar Prabu Mangkunegara (2000) menyatakan kinerja adalah hasil kerja kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seseorang pegawai dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya. Hasibuan Malayu (2001) mengemukakan kinerja (prestasi kerja) adalah suatu hasil kerja yang dicapai seseorang dalam melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya yang didasarkan atas kecakapan, pengalaman dan kesungguhan serta waktu.
Ambar Teguh Sulistiyani (2003) mengemukakan bahwa kinerja seseorang merupakan kombinasi dari kemampuan, usaha dan kesempatan yang dapat dinilai dari hasil kerjanya. Menurut Veithzal Rivai (2004) kinerja adalah merupakan perilaku yang nyata yang ditampilkan setiap orang sebagai prestasi kerja yang dihasilkan oleh karyawan sesuai dengan perannya dalam perusahaan.
Kinerja merupakan tanggung jawab setiap individu terhadap pekerjaannya, membantu mendefinisikan harapan kinerja, mengusahakan kerangka kerja bagi supervisor dan pekerja saling berkomunikasi. Kreatif sendiri berasal dari kata create yang berarti mencipta. Sedangkan kreatif itu sendiri mempunyai pengertian yaitu memiliki daya cipta (kemampuan untuk menciptakan yang di dalamnya dibutuhkan kecerdasan dan imaginasi. Jadi pelayanan kreatif adalah pelayanan yang memiliki daya cipta atau kemampuan untuk menciptakan yang didalamnya dibutuhkan kecerdasan dan imaginasi.
Untuk guru kesenian banyak bidang yang bisa diciptakan untuk menjadi guru kreatif. Secara garis besar meliputi tari, drama, tamborin, dan sinematografi. Kehadiran para guru dalam pentas seni akan memberi suasana berbeda dalam memamerkan hasil karya-karya yang diciptakannya.
Kompetensi merupakan pengetahuan, keterampilan, nilai dan sikap dasar yang direfleksikan dalam kebiasaan berpikir d.an bertindak yang bersifat dinamis, berkembang, dan dapat diraih setiap waktu. Kebiasaan berpikir dan bertindak secara konsisten dan terus-menerus memungkinkan seseorang menjadi kompeten, dalam arti memiliki pengetahuan, keterampilan, nilai, dan sikap-sikap dasar dalam melakukan sesuatu. Gordon (1988) menjelaskan beberapa aspek atau ranah yang terkandung dalam konsep kompetensi yaitu pengetahuan (knowledge), pemahaman (understanding), kemampuan (skill), nilai (value), sikap (attitude) serta minat (interest).
MenurutAssociation for Educat ional Communications and Technology (AECT, 1977), sumber belajar adalah segala sesuatu atau daya yang dapat dimanfaat kan oleh guru, baik secara terpisah maupun dalam bentuk gabungan, untuk kepentingan belajar mengajar dengan tujuan meningkatkan efektivitas dan efisiensi tujuan pembelajaran. Sumber belajar akan menj adi bermakna bagi pesert a didik maupun guru apabila sumber belajar diorganisir melalui satu rancangan yang memungkinkan seseorang dapat memanfaatkannya sebagai sumber belajar. Introspeksi dalam hal langkah awal yang harus dilakukan, bagaimana rencana dan kesanggupan atau sumber-sumber yang kita miliki. Introspeksi diperlukan untuk mencegah agar tidak terlanjur lebih jauh lagi jika ternyata ada kekeliruan. Introspeksi diri berguna untuk tindakan perbaikan atau recovery jika terjadi kekeliruan. Kreatifitas adalalah kemampuan untuk mengembangkan ide-ide baru dan cara-cara baru dalam pemecahan masalah dan menemukan peluang (thingking new thing). Inovatif adalah kemampuan untuk menerapkan kreatifitas dalam rangka pemecahan masalah dan menemukan peluang (doing new thing). Rogers dan Shoemaker (1971) mengartikan inovasi sebagai ide-ide baru, praktek-praktek baru, atau obyek-obyek yang dapat dirasakan sebagai sesuatu yang baru oleh individu atau masyarakat sasaran penyuluhan. Lionberger dan Gwin (1982) mengartikan inovasi tidak sekadar sebagai sesuatu yang baru, tetapi lebih luas dari itu, yakni sesuatu yang dinilai baru atau dapat mendorong terjadinya pembaharuan dalam masyarakat atau pada lokalitas tertentu. Studi tentang adopsi inovasi, telah banyak dilakukan oleh berbagai pihak. Herman Soewardi (1976), misalnya, telah melakukan studi untuk melihat proses adopsi sebagai proses perkembangan kebudayaan, berdasarkan teori Erasmus dengan model A = f (M,C, L) di mana: A = adoption, M = motivation, C = cognition dan L = limitation. Dilihat dari sifat inovasinya, dapat dibedakan dalam sifat intrinsik (yang melekat pada inovasinya sendiri) maupun sifat ekstrinsik yang dipengaruhi oleh keadaan lingkungannya (Mardikanto, 1988). Sifat-sifat intrinsic inovasi itu mencakup informasi ilmiah yang melekat/dilekatkan pada inovasinya, nilai-nilai atau keunggulan-keunggulan (teknis, ekonomis, sosial budaya dan politis) yang melekat pada inovasinya. Tingkat kerumitan (kompleksitas) inovasi, mudah/tidaknya dikomunikasikan (kekomunikatifan) inovasi, mudah/tidaknya inovasi tersebut dicobakan (trialability) serta mudah/tidaknyaa inovasi tersebut diamati (observability).
Adapun sifat-sifat ekstrinsik inovasi meliputi, kesesuaian (compatibility) inovasi dengan lingkungan setempat (baik lingkungan fisik, sosial budaya, politik, dan kemampuan ekonomis masyarakatnya) serta tingkat keunggulan relatif dari inovasi yang ditawarkan, atau keunggulan lain yang dimiliki oleh inovasi dibanding dengan teknologi yang sudah ada yang akan diperbaharui/ digaantikannya baik itu keunggulan teknis (kecocokan dengan keadaan alam setempat, tingkat produktivitas-nya), ekonomis (besarnya biaya atau keuntungannya), manfaat non ekonomi, maupun efek sosial budaya dan politis yang ditimbulkannya. Seorang guru dalam menjalankan tugas profesinalismenya diwajibkan untuk menulis. Tulisan ilmiah misalnya merupakan suatu tulisan yang didasari oleh hasil pengamatan, peninjauan, penelitian dalam bidang tertentu, disusun menurut metode tertentu dengan sistematika penulisan bahasa yang santun bahasa dan isinya dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya/ keilmiahannya. (Eko Susilo, M. 1995). Karya tulis ilmiah adalah karya ilmiah yang bentuk, isi, dan bahasanya menggunakan kaidah-kaidah keilmuan, atau Karya tulis ilmiah merupakan karya ilmiah yang dibuat berdasarkan pada kegiatan- kegiatan ilmiah (penelitian lapangan, percobaan laboratorium, telaah buku/ library atau research. Tulisan disebut sebagai karya tulis ilmiah apabila disertai dengan fakta dan data yang bukan merupakan khayalan ataupun pendapat pribadi. Selain itu disajikan dengan bentuk ilmiah, obyektif atau apa adanya, menggunakan bahasa baku (ilmiah), lugas, dan jelas, serta mungkin dari makna yang sifatnya konotasi/ ambigu. (Syarifah, Ety: 2004). Karangan Ilmiah adalah salah satu jenis karangan yang berisi serangkaian hasil pemikiran yang diperoleh sesuai dengan sifat keilmuannya. Suatu karangan dari hasil penelitian, pengamatan, ataupun peninjauan dikatakan ilmiah jika memenuhi syarat penulisannya berdasarkan hasil penelitian, pembahasan masalahnya objektif sesuai dengan fakta, karangan itu mengandung masalah yang sedang dicarikan pemecahannya, dalam penyajian maupun dalam pemecahan masalah digunakan metode tertentu, bahasanya harus lengkap, terperinci, teratur dan cermat serta bahasa yang digunakan benar, jelas, ringkas dan tepat. Seorang guru dituntut untuk membuat karangan ilmiah dan memiliki ketrampilan/pengetahuan dalam bidang masalah yang diteliti, metode penelitian, teknik penulisan karangan ilmiah, penguasaan bahasa yang baik berupa. Hasil karangan guru dapat berbentuk laporan ilmiah, kertas kerja, artikel maupun laporan/jurnal pendidikan.
Pernyataan ilmiah yang harus kita gunakan dalam tulisan harus mencakup beberapa hal, harus dapat kita identifikasikan orang yang membuat pernyataan tersebut. harus dapat kita identifikasikan media komunikasi ilmiah dimana pernyataan disampaikan apakah dalam makalah, buku, seminar, lokakarya dan sebagainya serta harus dapat diindentifikasikan lembaga yang menerbitkan publikasi ilmiah tersebut beserta tempat domisili dan waktu penerbitan itu dilakukan.
Hal-hal yang harus ada dalam karya ilmiah antara lain karya tulis ilmiah memuat gagasan ilmiah lewat pikiran dan alur pikiran, keindahan karya tulis ilmiah terletak pada bangun pikir dengan unsur-unsur yang menyangganya,alur pikir dituangkan dalam sistematika dan notasi. Karya tulis ilmiah terdiri dari unsur-unsur kata, angka, tabel, dan gambar, yang tersusun mendukung alur pikir yang teratur, harus mampu mengekspresikan asas-asas yang terkandung dalam hakikat ilmu dengan mengindahkan kaidah-kaidah kebahasaan serta karya tulis ilmiah terdiri dari serangkaian narasi (penceritaan), eksposisi (paparan), deskripsi (lukisan) dan argumentasi (alasan).
Metode penelitian yang digunakan untuk mengungkapkan pemecahan masalah memiliki pengertian merupakan usaha yang sistematik dan terorganisasi untuk menyelidiki masalah spesifik yang memerlukan pemecahan, cara ilmiah yang digunakan untuk mendapatkan data dengan tujuan tertentu, dilandasi oleh metode rasional dan metode empiris serta metode kesisteman, meliputi proses pemeriksaan, penyelidikan, pengujian dan eksperimen yang harus diilakukan secara sistematik, tekun, kritis, objektif dan logis serta penelitian dapat didefinisikan sebagai pemeriksaan atau penyelidikan ilmiah sistematik, terorganisasi didasarkan data dan kritis mengenai masalah spesifik yang dilakukan secara objektif untuk mendapatkan pemecahan masalah atau jawaban dari masalah tersebut.
Kinerja guru dapat dinilai berdasarkan prestasi kerjanya. Penilaian prestasi kerja menurut Utomo, Tri Widodo W adalah proses untuk mengukur prestasi kerja pegawai berdasarkan peraturan yang telah ditetapkan, dengan cara membandingkan sasaran (hasil kerjanya) dengan persyaratan deskripsi pekerjaan yaitu standar pekerjaan yang telah ditetapkan selama periode tertentu. Standar kerja tersebut dapat dibuat baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Siagian (1995) menyatakan bahwa penilaian prestasi kerja adalah suatu pendekatan dalam melakukan penilaian prestasi kerja para pegawai yang didalamnya terdapat berbagai faktor. Penilaian kinerja menurut Mondy dan Noe (1993) merupakan suatu sistem formal yang secara berkala digunakan untuk mengevaluasi kinerja individu dalam menjalankan tugas-tugasnya. Mejia, dkk (2004) mengungkapkan bahwa penilaian kinerja merupakan suatu proses yang terdiri dari identifikasi, pengukuran dan manajemen. Penilaian kinerja menurut Werther dan Davis (1996) mempunyai beberapa tujuan dan manfaat bagi organisasi dan pegawai yang dinilai, yaitu performance improvement, yaitu memungkinkan pegawai dan manajer untuk mengambil tindakan yang berhubungan dengan peningkatan kinerja. Compensation adjustment, membantu para pengambil keputusan untuk menentukan siapa saja yang berhak menerima kenaikan gaji atau sebaliknya. Placement decision, menentukan promosi, transfer dan demotion. Training and development needs mengevaluasi kebutuhan pelatihan dan pengembangan bagi pegawai agar kinerja mereka lebih optimal. Carrer planning and development, memandu untuk menentukan jenis karir dan potensi karir yang dapat dicapai. Staffing process deficiencies, mempengaruhi prosedur perekrutan pegawai. Informational inaccuracies and job-design errors, membantu menjelaskan apa saja kesalahan yang telah terjadi dalam manajemen sumber daya manusia terutama di bidang informasi job-analysis, job-design, dan sistem informasi manajemen sumber daya manusia. Equal employment opportunity, menunjukkan bahwa placement decision tidak diskriminatif. External challenges, kadang-kadang kinerja pegawai dipengaruhi oleh faktor eksternal seperti keluarga, keuangan pribadi, kesehatan dan lain-lain serta feedback, memberikan umpan balik bagi urusan kepegawaian maupun bagi pegawai itu sendiri. Elemen-elemen utama dalam sistem penilaian kinerja Werther dan Davis (1996) performances standard yaitu validity, agreement, realism dan objectivity. Kriteria penilaian kinerja dapat dilihat melalui beberapa dimensi, yaitu kegunaan fungsional (functional utility), keabsahan (validity), empiris (empirical base), sensitivitas (sensitivity), pengembangan sistematis (systematic development), dan kelayakan hukum (legal appropriateness). Menuurt Wertner dan Davis (1996) menyatakan banyak metode dalam penilaian kinerja yang bisa dipergunakan, namun secara garis besar dibagi menjadi dua jenis, yaitu past oriented appraisal methods (penilaian kinerja yang berorientasi pada masa lalu) dan future oriented appraisal methods (penilaian kinerja) yang berorientasi ke masa depan.(dihimpun dari berbagai sumber relevan:email:sihaloho11@yahoo.com: nelson blog. Blogspot smpn 11 kota jambi)
Oleh : Nelson Sihaloho
Banyak nada-nada miring kini dialamatkan kepada guru khususnya guru yang telah lulus sertifikasi dalam jabatan dan telah mendapatkan tunjangan profesi satu kali dari gaji pokok namun kinerjanya tidak meningkat (stagnan). Satu sisi meskipun guru-guru ada yang mengajar lebih dari 24 jam tatap muka kinerjanya tidak dihargai berupa dana insentif kelebihan jam yang seharusnya menjadi hak para guru. Sorotan-sorotan tajam terus dialamatkan kepada guru tatkala kita melihat kondisi riil potret pendidikan di era “pendidikan gratis”, anggaran pendidikan yang mempersyaratkan 20 % dari APBN, APBD, dana BOS Buku dan biaya operasional sekolah yang kurang memadai dari biaya riil yang sesungguhnya. Tuntutan terhadap pendidikan yang mengedepankan pendidikan bermutu, mutu lulusan yang kompetitif dan mampu bersaing di era globalisasi pada akhirnya pemerintah menggulirkan berbagai label sekolah mulai dari sekolah standar nasional (SSN), rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI) hingga sekolah bertaraf internasional (SBI).
Polemik label sekolah sebagaimana diuaraikan diatas sering berseberangan dengan pola “pendidikan gratis” yang intinya melarang pungutan-pungutan dilakukan oleh pihak sekolah. Satu sisi adanya Komite disuatu sekolah dengan berbagai program-program yang bertujuan membantu program sekolah pada akhirnya menjadi “buah simalakama”. Pihak Komite bermusyawarah untuk melakukan perundingan dengan kalangan orangtua dengan berpijak pada pendidikan gratis itu maka Komite Sekolah akan memunculkan opini sebagai sumber permasalahan dan “biang kerok” dalam melegalitaskan pungutan. Keterbatasan anggaran pemerintah yang tidak mampu memenuhi sumber-sumber pembiayaan pendidikan pada akhirnya pendidikan bermutu tidak akan berjalan sebagaimana harapan semua pihak. Bukan itu saja buku-buku sekolah yang masuk lewat jalur Koperasi Sekolah namun diduga Koperasi Sekolah tidak memiliki Badan Hukum Koperasi yang pada intinya sulit meminta dasar hukum pertanggungjawaban dari pihak pengelola Koperasi Sekolah. Ironisnya kinertja guru terus dipertanyakan semua pihak dimana berkaitan erat dengan kualitas dan kuantitas guru. Agar guru tidak terus menerus menjadi sorotan berbagai kalangan sudah sepatutnya guru melakukan review dan mengoreksi kembali terhadap apa yang telah dilakukannya selama ini. Banyak tulisan yang sering dibahas oleh para pakar ahli-ahli pendidikan bagaimana supaya guru memiliki kinerja yang baik dalam menjalankan tugasnya. Menurut hemat penulis 8 komponen model 8K-Plus-BI diharapkan menjadi sumbangan pemikiran dan solusi dalam meningkatkan profesinalisme guru.
Alur/ Skema Kunci Sukses Guru
Sumber: Nelson, 2010
Analisis dan Kajian
Kinerja atau prestasi kerja berasal dari pengertian performance. Menurut Amstrong dan Baron (1998), kinerja merupakan hasil pekerjaan yang mempunyai hubungan kuat dengan tujuan strategis organisasi, kepuasan konsumen dan memberikan kontribusi ekonomi. Anwar Prabu Mangkunegara (2000) menyatakan kinerja adalah hasil kerja kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seseorang pegawai dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya. Hasibuan Malayu (2001) mengemukakan kinerja (prestasi kerja) adalah suatu hasil kerja yang dicapai seseorang dalam melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya yang didasarkan atas kecakapan, pengalaman dan kesungguhan serta waktu.
Ambar Teguh Sulistiyani (2003) mengemukakan bahwa kinerja seseorang merupakan kombinasi dari kemampuan, usaha dan kesempatan yang dapat dinilai dari hasil kerjanya. Menurut Veithzal Rivai (2004) kinerja adalah merupakan perilaku yang nyata yang ditampilkan setiap orang sebagai prestasi kerja yang dihasilkan oleh karyawan sesuai dengan perannya dalam perusahaan.
Kinerja merupakan tanggung jawab setiap individu terhadap pekerjaannya, membantu mendefinisikan harapan kinerja, mengusahakan kerangka kerja bagi supervisor dan pekerja saling berkomunikasi. Kreatif sendiri berasal dari kata create yang berarti mencipta. Sedangkan kreatif itu sendiri mempunyai pengertian yaitu memiliki daya cipta (kemampuan untuk menciptakan yang di dalamnya dibutuhkan kecerdasan dan imaginasi. Jadi pelayanan kreatif adalah pelayanan yang memiliki daya cipta atau kemampuan untuk menciptakan yang didalamnya dibutuhkan kecerdasan dan imaginasi.
Untuk guru kesenian banyak bidang yang bisa diciptakan untuk menjadi guru kreatif. Secara garis besar meliputi tari, drama, tamborin, dan sinematografi. Kehadiran para guru dalam pentas seni akan memberi suasana berbeda dalam memamerkan hasil karya-karya yang diciptakannya.
Kompetensi merupakan pengetahuan, keterampilan, nilai dan sikap dasar yang direfleksikan dalam kebiasaan berpikir d.an bertindak yang bersifat dinamis, berkembang, dan dapat diraih setiap waktu. Kebiasaan berpikir dan bertindak secara konsisten dan terus-menerus memungkinkan seseorang menjadi kompeten, dalam arti memiliki pengetahuan, keterampilan, nilai, dan sikap-sikap dasar dalam melakukan sesuatu. Gordon (1988) menjelaskan beberapa aspek atau ranah yang terkandung dalam konsep kompetensi yaitu pengetahuan (knowledge), pemahaman (understanding), kemampuan (skill), nilai (value), sikap (attitude) serta minat (interest).
MenurutAssociation for Educat ional Communications and Technology (AECT, 1977), sumber belajar adalah segala sesuatu atau daya yang dapat dimanfaat kan oleh guru, baik secara terpisah maupun dalam bentuk gabungan, untuk kepentingan belajar mengajar dengan tujuan meningkatkan efektivitas dan efisiensi tujuan pembelajaran. Sumber belajar akan menj adi bermakna bagi pesert a didik maupun guru apabila sumber belajar diorganisir melalui satu rancangan yang memungkinkan seseorang dapat memanfaatkannya sebagai sumber belajar. Introspeksi dalam hal langkah awal yang harus dilakukan, bagaimana rencana dan kesanggupan atau sumber-sumber yang kita miliki. Introspeksi diperlukan untuk mencegah agar tidak terlanjur lebih jauh lagi jika ternyata ada kekeliruan. Introspeksi diri berguna untuk tindakan perbaikan atau recovery jika terjadi kekeliruan. Kreatifitas adalalah kemampuan untuk mengembangkan ide-ide baru dan cara-cara baru dalam pemecahan masalah dan menemukan peluang (thingking new thing). Inovatif adalah kemampuan untuk menerapkan kreatifitas dalam rangka pemecahan masalah dan menemukan peluang (doing new thing). Rogers dan Shoemaker (1971) mengartikan inovasi sebagai ide-ide baru, praktek-praktek baru, atau obyek-obyek yang dapat dirasakan sebagai sesuatu yang baru oleh individu atau masyarakat sasaran penyuluhan. Lionberger dan Gwin (1982) mengartikan inovasi tidak sekadar sebagai sesuatu yang baru, tetapi lebih luas dari itu, yakni sesuatu yang dinilai baru atau dapat mendorong terjadinya pembaharuan dalam masyarakat atau pada lokalitas tertentu. Studi tentang adopsi inovasi, telah banyak dilakukan oleh berbagai pihak. Herman Soewardi (1976), misalnya, telah melakukan studi untuk melihat proses adopsi sebagai proses perkembangan kebudayaan, berdasarkan teori Erasmus dengan model A = f (M,C, L) di mana: A = adoption, M = motivation, C = cognition dan L = limitation. Dilihat dari sifat inovasinya, dapat dibedakan dalam sifat intrinsik (yang melekat pada inovasinya sendiri) maupun sifat ekstrinsik yang dipengaruhi oleh keadaan lingkungannya (Mardikanto, 1988). Sifat-sifat intrinsic inovasi itu mencakup informasi ilmiah yang melekat/dilekatkan pada inovasinya, nilai-nilai atau keunggulan-keunggulan (teknis, ekonomis, sosial budaya dan politis) yang melekat pada inovasinya. Tingkat kerumitan (kompleksitas) inovasi, mudah/tidaknya dikomunikasikan (kekomunikatifan) inovasi, mudah/tidaknya inovasi tersebut dicobakan (trialability) serta mudah/tidaknyaa inovasi tersebut diamati (observability).
Adapun sifat-sifat ekstrinsik inovasi meliputi, kesesuaian (compatibility) inovasi dengan lingkungan setempat (baik lingkungan fisik, sosial budaya, politik, dan kemampuan ekonomis masyarakatnya) serta tingkat keunggulan relatif dari inovasi yang ditawarkan, atau keunggulan lain yang dimiliki oleh inovasi dibanding dengan teknologi yang sudah ada yang akan diperbaharui/ digaantikannya baik itu keunggulan teknis (kecocokan dengan keadaan alam setempat, tingkat produktivitas-nya), ekonomis (besarnya biaya atau keuntungannya), manfaat non ekonomi, maupun efek sosial budaya dan politis yang ditimbulkannya. Seorang guru dalam menjalankan tugas profesinalismenya diwajibkan untuk menulis. Tulisan ilmiah misalnya merupakan suatu tulisan yang didasari oleh hasil pengamatan, peninjauan, penelitian dalam bidang tertentu, disusun menurut metode tertentu dengan sistematika penulisan bahasa yang santun bahasa dan isinya dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya/ keilmiahannya. (Eko Susilo, M. 1995). Karya tulis ilmiah adalah karya ilmiah yang bentuk, isi, dan bahasanya menggunakan kaidah-kaidah keilmuan, atau Karya tulis ilmiah merupakan karya ilmiah yang dibuat berdasarkan pada kegiatan- kegiatan ilmiah (penelitian lapangan, percobaan laboratorium, telaah buku/ library atau research. Tulisan disebut sebagai karya tulis ilmiah apabila disertai dengan fakta dan data yang bukan merupakan khayalan ataupun pendapat pribadi. Selain itu disajikan dengan bentuk ilmiah, obyektif atau apa adanya, menggunakan bahasa baku (ilmiah), lugas, dan jelas, serta mungkin dari makna yang sifatnya konotasi/ ambigu. (Syarifah, Ety: 2004). Karangan Ilmiah adalah salah satu jenis karangan yang berisi serangkaian hasil pemikiran yang diperoleh sesuai dengan sifat keilmuannya. Suatu karangan dari hasil penelitian, pengamatan, ataupun peninjauan dikatakan ilmiah jika memenuhi syarat penulisannya berdasarkan hasil penelitian, pembahasan masalahnya objektif sesuai dengan fakta, karangan itu mengandung masalah yang sedang dicarikan pemecahannya, dalam penyajian maupun dalam pemecahan masalah digunakan metode tertentu, bahasanya harus lengkap, terperinci, teratur dan cermat serta bahasa yang digunakan benar, jelas, ringkas dan tepat. Seorang guru dituntut untuk membuat karangan ilmiah dan memiliki ketrampilan/pengetahuan dalam bidang masalah yang diteliti, metode penelitian, teknik penulisan karangan ilmiah, penguasaan bahasa yang baik berupa. Hasil karangan guru dapat berbentuk laporan ilmiah, kertas kerja, artikel maupun laporan/jurnal pendidikan.
Pernyataan ilmiah yang harus kita gunakan dalam tulisan harus mencakup beberapa hal, harus dapat kita identifikasikan orang yang membuat pernyataan tersebut. harus dapat kita identifikasikan media komunikasi ilmiah dimana pernyataan disampaikan apakah dalam makalah, buku, seminar, lokakarya dan sebagainya serta harus dapat diindentifikasikan lembaga yang menerbitkan publikasi ilmiah tersebut beserta tempat domisili dan waktu penerbitan itu dilakukan.
Hal-hal yang harus ada dalam karya ilmiah antara lain karya tulis ilmiah memuat gagasan ilmiah lewat pikiran dan alur pikiran, keindahan karya tulis ilmiah terletak pada bangun pikir dengan unsur-unsur yang menyangganya,alur pikir dituangkan dalam sistematika dan notasi. Karya tulis ilmiah terdiri dari unsur-unsur kata, angka, tabel, dan gambar, yang tersusun mendukung alur pikir yang teratur, harus mampu mengekspresikan asas-asas yang terkandung dalam hakikat ilmu dengan mengindahkan kaidah-kaidah kebahasaan serta karya tulis ilmiah terdiri dari serangkaian narasi (penceritaan), eksposisi (paparan), deskripsi (lukisan) dan argumentasi (alasan).
Metode penelitian yang digunakan untuk mengungkapkan pemecahan masalah memiliki pengertian merupakan usaha yang sistematik dan terorganisasi untuk menyelidiki masalah spesifik yang memerlukan pemecahan, cara ilmiah yang digunakan untuk mendapatkan data dengan tujuan tertentu, dilandasi oleh metode rasional dan metode empiris serta metode kesisteman, meliputi proses pemeriksaan, penyelidikan, pengujian dan eksperimen yang harus diilakukan secara sistematik, tekun, kritis, objektif dan logis serta penelitian dapat didefinisikan sebagai pemeriksaan atau penyelidikan ilmiah sistematik, terorganisasi didasarkan data dan kritis mengenai masalah spesifik yang dilakukan secara objektif untuk mendapatkan pemecahan masalah atau jawaban dari masalah tersebut.
Kinerja guru dapat dinilai berdasarkan prestasi kerjanya. Penilaian prestasi kerja menurut Utomo, Tri Widodo W adalah proses untuk mengukur prestasi kerja pegawai berdasarkan peraturan yang telah ditetapkan, dengan cara membandingkan sasaran (hasil kerjanya) dengan persyaratan deskripsi pekerjaan yaitu standar pekerjaan yang telah ditetapkan selama periode tertentu. Standar kerja tersebut dapat dibuat baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Siagian (1995) menyatakan bahwa penilaian prestasi kerja adalah suatu pendekatan dalam melakukan penilaian prestasi kerja para pegawai yang didalamnya terdapat berbagai faktor. Penilaian kinerja menurut Mondy dan Noe (1993) merupakan suatu sistem formal yang secara berkala digunakan untuk mengevaluasi kinerja individu dalam menjalankan tugas-tugasnya. Mejia, dkk (2004) mengungkapkan bahwa penilaian kinerja merupakan suatu proses yang terdiri dari identifikasi, pengukuran dan manajemen. Penilaian kinerja menurut Werther dan Davis (1996) mempunyai beberapa tujuan dan manfaat bagi organisasi dan pegawai yang dinilai, yaitu performance improvement, yaitu memungkinkan pegawai dan manajer untuk mengambil tindakan yang berhubungan dengan peningkatan kinerja. Compensation adjustment, membantu para pengambil keputusan untuk menentukan siapa saja yang berhak menerima kenaikan gaji atau sebaliknya. Placement decision, menentukan promosi, transfer dan demotion. Training and development needs mengevaluasi kebutuhan pelatihan dan pengembangan bagi pegawai agar kinerja mereka lebih optimal. Carrer planning and development, memandu untuk menentukan jenis karir dan potensi karir yang dapat dicapai. Staffing process deficiencies, mempengaruhi prosedur perekrutan pegawai. Informational inaccuracies and job-design errors, membantu menjelaskan apa saja kesalahan yang telah terjadi dalam manajemen sumber daya manusia terutama di bidang informasi job-analysis, job-design, dan sistem informasi manajemen sumber daya manusia. Equal employment opportunity, menunjukkan bahwa placement decision tidak diskriminatif. External challenges, kadang-kadang kinerja pegawai dipengaruhi oleh faktor eksternal seperti keluarga, keuangan pribadi, kesehatan dan lain-lain serta feedback, memberikan umpan balik bagi urusan kepegawaian maupun bagi pegawai itu sendiri. Elemen-elemen utama dalam sistem penilaian kinerja Werther dan Davis (1996) performances standard yaitu validity, agreement, realism dan objectivity. Kriteria penilaian kinerja dapat dilihat melalui beberapa dimensi, yaitu kegunaan fungsional (functional utility), keabsahan (validity), empiris (empirical base), sensitivitas (sensitivity), pengembangan sistematis (systematic development), dan kelayakan hukum (legal appropriateness). Menuurt Wertner dan Davis (1996) menyatakan banyak metode dalam penilaian kinerja yang bisa dipergunakan, namun secara garis besar dibagi menjadi dua jenis, yaitu past oriented appraisal methods (penilaian kinerja yang berorientasi pada masa lalu) dan future oriented appraisal methods (penilaian kinerja) yang berorientasi ke masa depan.(dihimpun dari berbagai sumber relevan:email:sihaloho11@yahoo.com: nelson blog. Blogspot smpn 11 kota jambi)
Selasa, 30 November 2010
PERTANIAN
Indonesia Menuju Sektor Pertanian Andal
Oleh: Nelson Sihaloho
Krisis moneter pada tahun 1990-an menguncang ekonomi Indonesia pada titik nadir. Suatu tantangan berat pembangunan ekonomi menghadapi dilemma yang sangat sulit dituntaskan bahkan hingga kini krisis ekonomi Indonesia belum pulih total. Rebooting pengatan ekonomi yang dilakukan oleh pemerintah saat ini difokuskan pada pembangunan ekonomi strategis yang diyakini mampu meningkatkan peran Indonesia di dunia internasional.
Pada saat terjadinya krisis ekonomi pada tahun 1990-an itu sektor industri manufaktur terpuruk bahkan Indonesia kembali mengandalkan ekspor komoditi primer yang dianggap memiliki nilai tambah yang rendah. Banyak kalangan yang mengkritisi keadaan itu karena dianggap sudah bukan zamannya lagi pada masa kini negara hanya menjual bahan baku.
Negara tetangga sesama ASEAN yang ekonominya meningkat pesat sangat mengandalkan ekspor industri manufaktur untuk mendukung pertumbuhan ekonominya sebagaimana yang dilakukan oleh Malaysia, Singapura dan Thailand.
Vietnam sebagai Negara yang paling terakhir bergabung dengan ASEAN justeru mampu tumbuh menjadi Negara raksasa ekonomi baru dikawasan Asia sepuluh tahun mendatang dengan segala pertumbuhan sektor industry manufaktor yang andal. Tidak ketinggalan Negara Vietnam mampu membangun sektor pertaniannya seacara andal.
Hal itu terbukti ketika Indonesia diterpa krisis ekonomi pernah melakukan sistem imbal balik beras ditukar dengan dengan produk-produk andalan Indonesia untuk menyelamtakan ekonomi Indonesia dari guncangan krisis ekonomi yang sempat membuat seluruh bangsa “panik dan demam”.
Malaysia, Singapura dan Thailand sangat export oreinted bukan hanya untuk produk manufaktur tapi juga untuk produk pertanian. Indonesia dianggap terbelakang karena belum sepenuhnya ekspor oreinted, bahkan untuk produk perkebunan seperti Crude Palm Oil (CPO) juga perdaganganya masih diatur dengan mendahulukan pasar dalam negeri melalui pengenaan pajak ekspor.
Kebijakan tersebut selama ini dianggap kurang mendukung perekonomian karena kurang mendorong pengusaha untuk mengembangkan ekspor. Namun ternyata ada sisi positif dari kondisi tersebut ketika krisis finansial global terjadi yang telah mendorong melambungnya harga komoditi primer, Indonesia turut menikmati keuntungan karena harga CPO, karet, kakao maupun barang tambang seperti batubara, timah, dan nikel yang meningkat tinggi serta meningkatnya devisa yang masuk.
Setelah puncaknya harga minyak tercapai pada pertengahan Juli 2008 berbagai harga komoditi primer kemudian menurun karena kelesuan ekonomi di negara maju sebagai pasar tujuan ekspor utama. Negara yang merasakan dampak negatif peristiwa itu terutama negara eksportir produk manufaktur, karena volume dan nilai pasarnya yang nyaris anjlok.
Singapura sangat bergantung pasar ekspor paling merasakan akibat negatif sehingga ekonominya mengalami kontraksi hingga 10 % awal tahun 2009 termasuk Negara Thailand yang mulai memasuki maswa resesi ekonomi setelah dalam dua triwulan berturut-turut mengalami pertumbuhan negatif. Malaysia juga menghadapi hal yang sama sehingga mulai mengurangi tenaga kerja asing yang selama ini mendukung kegiatan ekonomi Negara tersebut.
Sementara itu di Indonesia peranan ekspor produk manufaktur tidak sedominan negara tetangga. Masih cukup besar pasar dalam negeri yang menyerap produk manufaktur seperti tekstil, elektronik maupun industry manufaktur lainnya.
Demikian juga produk pertanian dan perkebunan turut mendukung ketahanan ekonomi Indonesia. Seperti padi, selama ini Indonesia merupakan importir terbesar dunia pada tahun 2008 ternyata mampu berswasembada.
Pada tahun 2007 Indonesia masih mengimpor beras sebesar 1,5 juta ton dan diprediksikan akan akan mengimpor beras sebanyak 1,1 juta ton pada tahun 2008. Namun pada tahun 2008 produksi padi Indonesia diprediksi mencapai 60,28 juta ton Gabah Kering Giling (GKG). Produksinya meningkat 3,12 juta ton (5,46 persen) dibandingkan produksi pada tahun 2007.
Dengan produksi sebesar itu berarti impor beras tidak dibutuhkan sehingga akibat harga beras dunia yang melambung hingga dua kali lipat pada tahun 2008 tidak banyak pengaruhnya kepada pasar dalam negeri, bahkan Indonesia bersiap-siap menjadi eksportir beras pada tahun 2009.
Selain beras, komoditi pertanian tanaman pangan lainnya seperti jagung dan kedelai kini mulai meningkat produksinya. Sebelumnya pengadaan komoditas ini selalu defisit sehingga impor kedua komoditas tersebut sangat besar setiap tahunnya. Bahkan jagung mulai tahun 2009 telah swasembada sehingga Pemerintah akan mulai menyetop impor jagung.
Sebelumnya pada tahun 2007 impor jagung Indonesia mencapai 400.000 ribu ton dan tahun 2006 masih di atas 600 ribu ton/tahun.
Pada tahun 2008 produksi jagung nasional mencapai 15,86 juta ton, berarti menmingkat dari 2007 yang hanya sekitar 13, 29 juta ton. Sementara itu kebutuhan dalam negeri hanya 13 juta ton. Dengan peningkatan produksi tersebut beberapa daerah penghasil jagung seperti Gorontalo dan NTB bahkan sudah mengekspor komoditas jagung ke negara tetangga seperti Malaysia dan Filipina. Tahun 2008 ekspor jagung telah Indonesia lebih dari 100 ribu ton
Pada tahun 2009, Deptan menargetkan produksi jagung nasional 18 juta ton pipilan kering yang diperoleh dari luas tanam 4,28 juta hektar serta luas panen 4,08 juta hektar serta produktivitas 44,12 kuintal/ha.
Sementara itu data dari Biro Pusat Statistik (BPS) tercata bahwa produksi kedelai tahun 2008 diperkirakan sekitar 761,21 ribu ton biji kering. Angka itu berarti naik 168,67 ribu ton (28,47 persen) dibandingkan produksi tahun 2007 lalu.
Kenaikan produksi diperkirakan terjadi karena peningkatan luas panen seluas 120,48 ribu hektar (26,24 persen) dan produktivitas sebesar 0,22 kuintal/hektar (1,70 persen). Kenaikan harga kedelai diperkirakan menjadi sebab kenaikan produksi ini karena para petani kemudian berlomba-lomba untuk mengkonversi lahannya untuk lahan kedelai. Dengan kenaikan ini diharapkan akan mengurangi ketergantungan Indonesia terhadap impor kedelai.
Termasuk dengan komoditi CPO, meskipun harganya sempat anjlok mengikuti turunnya harga minyak dunia, namun kini harga CPO dunia mulai meningkat karena permintaan CPO dari negara seperti Cina, India dan Pakistan telah tumbuh kembali. Negara tersebut terutama Cina dan India merupakan negara berkembang yang ekonominya masih tumbuh positif selain Indonesia.
Di dalam negeri konsumsi CPO juga tetap tinggi dengan demikian dampak turunnya harga komoditi tidak begitu terasa kepada pasar CPO Indonesia. Hanya beberapa waktu ketika harga CPO anjlok dari US$ 1200 per ton menjadi kurang dari US$ 600 per ton di kuartatal I - 2009. Namun kini harga CPO dunia telah mearap naik kembali diatas US$ 700 per ton. Kenaikan harga komoditas perkebunan juga terjadi pada komoditi kopi.
Pertanian Andal
Indonesia sebagai Negara agraris harus mampu membangun sektor pertanian secara andal. Sebab sektor pertanian sangat penting dalam menunjang ketahanan ekonomi telah terbukti ketika krisis finansial terjadi. Ketika negara lain seperti Singapura dan Thailand ekonominya menurun karena sangat tergantung ekonominya terhadap ekspor, Indonesia masih bisa terus mengalami pertumbuhan ekonomi.
Pada kwartal pertama 2009, pertumbuhan ekonomi Indonesia menurut Badan Pusat Statistik (BPS) secara Year on Year (YoY) mencapai 4, 4 persen dan berpeluang meningkat atau paling tidak bertahan hingga akhir tahun 2010. Masih tingginya tingkat konsumen rumah tangga dan belanja pemerintah memberikan prospek positif terhadap pertumbuhan ekonomi.
Salah satu peranan konsumsi masyarakat adalah konsumsi bahan makanan seperti beras, minyak goreng, dedelai dan produk pertanian lainnya. Demikian juga untuk ekspor produk pertanian masih memberikan andil terhadap melambatnya laju penurunan ekspor yang terjadi sejak akhir tahun 2009 karena harga komoditas pertanian yang beranjak naik ditengah masih lesunya pasar ekspor komoditas manufaktur.
Dengan semakin banyaknya komoditas pertanian yang telah mampu dipenuhi sendiri, maka telah terjadi pergeseran dalam bisnis disektor pertanian terutama pertanian tanaman pangan. Sebelumnya besarnya impor beras, jagung dan kedelai menjadi salah satu target bagi negara produsen produk pertanian untuk mengincar pasar Indonesia. Namun kini orientasi pasar telah bergeser.
Kenaikan produksi padi, jagung dan kedelai tidak lepas dari mulai digunakannya bibit unggul seperti benih jagung hibrida. Penggunaan benih jagung hibrida kini telah mencapai lebih dari 60 persen benih unggul konvensional. Sementara itu untuk padi penggunaan benih hibrida masih dalam tahap awal kurang dari 1, persen dari seluruh kebutuhan benih padi atau sekitar 4500 ton. Padahal setiap tahunnya Indonesia membutuhkan benih padi sekitar 300 ribu ton.
Peluang ivestasi untuk sektor perbenihan memiliki prospek yang snagat cerah dalam mendukung sektor pertanian yang andal. Melihat peluang pasar yang besar untuk pasar benih hibrida dimasa mendatang maka banyak investor yang tertarik untuk menanamkan modalnya di sektor ini. Bukan hanya perusahaan nasional namun pemain dunia dibidang benih tanaman hibrida juga telah menunjukkan minatnya seperti DuPont, Monsanto, Bayer, Syngenta dll sudah mulai merintis pembangunan industri benih hibrida untuk padi dan jagung.
Penggunaan benih jagung hibrida tidak begitu banyak hambatan dari kalangan petani maupun akademisi disektor pertanian karena telah terbukti mampu meningkatkan produksi dan memberikan keuntungan kepada petani, sedangkan pemanfaatan benih padi hibrida saat ini masih banyak menghadapi kendala.
Selain masalah teknis seperti adanya perbedaan pola budidaya seperti pemakaian pupuk, frekwensi pemupukkan dan harga benih yang lebih mahal, penggunaan benih padi hibrida ditanggapi dengan hati-hati baik oleh petani maupun oleh masyarakat luas.
Kekhawatiran sebagian kalangan adalah penggunaan benih padi hibrida bisa menimbulkan ketergantungan kepada pihak asing karena kebanyakan benih induk padi hibrida berada di luar negeri sehingga petani akan tergantung kepada pasokkan dari agen benih tersebut. Padahal padi sebagai bahan makanan pokok akan sangat riskan pengadaannya bila suatu ketika pasokan benihnya terhambat.
Untuk itu maka Pemerintah telah mengeluarkan kebijakan dengan mengharuskan investor dibidang benih hibrida untuk dalam waktu dua tahun sudah bisa mengembangkan benih hibridanya di dalam negeri dan menghentikan impor benih.
Selama ini muncul keengganan perusahaan benih multinasional untuk mengembangkan benihnya di Indonesia karena selain biayanya tinggi, akan lebih menguntungkan mereka menggunakan benih induk dari perusahaan yang dikembangkan dinegerinya sendiri. Namun jika melihat peluang pasar yang besar bagi industri benih hibrida di Indonesia maka wajar apabila Pemerintah Indonesia mengharuskan perusahaan dibidang perbenihan untuk membiakan benih induknya di Indonesia.
Dimasa depan diperkirakan berbagai komoditas primer seperti produk pertnian harganya akan semakin mahal dengan demikian upaya meningkatkan produksi hasil pertanian merupakan prospek bisnis yang menarik disamping meningkatkan ketahanan eknomi. Peluang untuk investasi di sektor ini terbuka bagi perusahaan lokal maupun asing, namun Pemerintah mengharapkan Indonesia tidak sekadar sebagai tempat tujuan pemasaran saja tapi untuk tempat produksi dan pengembangan, suatu harapan yang wajar mengingat pasar Indonesia yang besar.
Indonesia dengan kondisi daerah serta iklim yang mendukung diperkirakan mampu tampil sebagai Negara yang andal dalam membangun sektor pertanian. Diversifikasi produk pertanian mutlak dikembangkan sebab komoditi pertanian merupakan sektor yang bersentuhan langsung dengan kepentingan makanan pokok masyarakat dunia.
Bahkan tanaman palawija seperti ketela yang saat ini dijadikan sebagai bahan bakar biofull telah mampu memberikan nilai tambah dari sektor pertanian. Di masa mendatang bila kelak Indonesia mampu melakukan diversifikasi komoditi pertanian secara andal akan mampu tampil sebagai Negara yang berswasembada padi, jagung, kedelai, ketela meupun komoditi-komoditi pertanian lainnya.
Suatu hal yang patut digaris bawahi, keandalan mutu sektor pertanian selalu berkaitan erat dengantersedianya benih unggul. Ketersedian bibit benih yang unggul akan mendukung produk pertanian berbasis ramah lingkungan namum mutu produknya selalu andal. Dengan segenap kemampuan dan potensi yang ada diperkiran Indonesia selama 10 tahun ke depan akan mampu menjadi Negara yang memiliki hasil produk pertanian yang andal serta kompetitif.(dihimpun dari berbagai sumber)
Oleh: Nelson Sihaloho
Krisis moneter pada tahun 1990-an menguncang ekonomi Indonesia pada titik nadir. Suatu tantangan berat pembangunan ekonomi menghadapi dilemma yang sangat sulit dituntaskan bahkan hingga kini krisis ekonomi Indonesia belum pulih total. Rebooting pengatan ekonomi yang dilakukan oleh pemerintah saat ini difokuskan pada pembangunan ekonomi strategis yang diyakini mampu meningkatkan peran Indonesia di dunia internasional.
Pada saat terjadinya krisis ekonomi pada tahun 1990-an itu sektor industri manufaktur terpuruk bahkan Indonesia kembali mengandalkan ekspor komoditi primer yang dianggap memiliki nilai tambah yang rendah. Banyak kalangan yang mengkritisi keadaan itu karena dianggap sudah bukan zamannya lagi pada masa kini negara hanya menjual bahan baku.
Negara tetangga sesama ASEAN yang ekonominya meningkat pesat sangat mengandalkan ekspor industri manufaktur untuk mendukung pertumbuhan ekonominya sebagaimana yang dilakukan oleh Malaysia, Singapura dan Thailand.
Vietnam sebagai Negara yang paling terakhir bergabung dengan ASEAN justeru mampu tumbuh menjadi Negara raksasa ekonomi baru dikawasan Asia sepuluh tahun mendatang dengan segala pertumbuhan sektor industry manufaktor yang andal. Tidak ketinggalan Negara Vietnam mampu membangun sektor pertaniannya seacara andal.
Hal itu terbukti ketika Indonesia diterpa krisis ekonomi pernah melakukan sistem imbal balik beras ditukar dengan dengan produk-produk andalan Indonesia untuk menyelamtakan ekonomi Indonesia dari guncangan krisis ekonomi yang sempat membuat seluruh bangsa “panik dan demam”.
Malaysia, Singapura dan Thailand sangat export oreinted bukan hanya untuk produk manufaktur tapi juga untuk produk pertanian. Indonesia dianggap terbelakang karena belum sepenuhnya ekspor oreinted, bahkan untuk produk perkebunan seperti Crude Palm Oil (CPO) juga perdaganganya masih diatur dengan mendahulukan pasar dalam negeri melalui pengenaan pajak ekspor.
Kebijakan tersebut selama ini dianggap kurang mendukung perekonomian karena kurang mendorong pengusaha untuk mengembangkan ekspor. Namun ternyata ada sisi positif dari kondisi tersebut ketika krisis finansial global terjadi yang telah mendorong melambungnya harga komoditi primer, Indonesia turut menikmati keuntungan karena harga CPO, karet, kakao maupun barang tambang seperti batubara, timah, dan nikel yang meningkat tinggi serta meningkatnya devisa yang masuk.
Setelah puncaknya harga minyak tercapai pada pertengahan Juli 2008 berbagai harga komoditi primer kemudian menurun karena kelesuan ekonomi di negara maju sebagai pasar tujuan ekspor utama. Negara yang merasakan dampak negatif peristiwa itu terutama negara eksportir produk manufaktur, karena volume dan nilai pasarnya yang nyaris anjlok.
Singapura sangat bergantung pasar ekspor paling merasakan akibat negatif sehingga ekonominya mengalami kontraksi hingga 10 % awal tahun 2009 termasuk Negara Thailand yang mulai memasuki maswa resesi ekonomi setelah dalam dua triwulan berturut-turut mengalami pertumbuhan negatif. Malaysia juga menghadapi hal yang sama sehingga mulai mengurangi tenaga kerja asing yang selama ini mendukung kegiatan ekonomi Negara tersebut.
Sementara itu di Indonesia peranan ekspor produk manufaktur tidak sedominan negara tetangga. Masih cukup besar pasar dalam negeri yang menyerap produk manufaktur seperti tekstil, elektronik maupun industry manufaktur lainnya.
Demikian juga produk pertanian dan perkebunan turut mendukung ketahanan ekonomi Indonesia. Seperti padi, selama ini Indonesia merupakan importir terbesar dunia pada tahun 2008 ternyata mampu berswasembada.
Pada tahun 2007 Indonesia masih mengimpor beras sebesar 1,5 juta ton dan diprediksikan akan akan mengimpor beras sebanyak 1,1 juta ton pada tahun 2008. Namun pada tahun 2008 produksi padi Indonesia diprediksi mencapai 60,28 juta ton Gabah Kering Giling (GKG). Produksinya meningkat 3,12 juta ton (5,46 persen) dibandingkan produksi pada tahun 2007.
Dengan produksi sebesar itu berarti impor beras tidak dibutuhkan sehingga akibat harga beras dunia yang melambung hingga dua kali lipat pada tahun 2008 tidak banyak pengaruhnya kepada pasar dalam negeri, bahkan Indonesia bersiap-siap menjadi eksportir beras pada tahun 2009.
Selain beras, komoditi pertanian tanaman pangan lainnya seperti jagung dan kedelai kini mulai meningkat produksinya. Sebelumnya pengadaan komoditas ini selalu defisit sehingga impor kedua komoditas tersebut sangat besar setiap tahunnya. Bahkan jagung mulai tahun 2009 telah swasembada sehingga Pemerintah akan mulai menyetop impor jagung.
Sebelumnya pada tahun 2007 impor jagung Indonesia mencapai 400.000 ribu ton dan tahun 2006 masih di atas 600 ribu ton/tahun.
Pada tahun 2008 produksi jagung nasional mencapai 15,86 juta ton, berarti menmingkat dari 2007 yang hanya sekitar 13, 29 juta ton. Sementara itu kebutuhan dalam negeri hanya 13 juta ton. Dengan peningkatan produksi tersebut beberapa daerah penghasil jagung seperti Gorontalo dan NTB bahkan sudah mengekspor komoditas jagung ke negara tetangga seperti Malaysia dan Filipina. Tahun 2008 ekspor jagung telah Indonesia lebih dari 100 ribu ton
Pada tahun 2009, Deptan menargetkan produksi jagung nasional 18 juta ton pipilan kering yang diperoleh dari luas tanam 4,28 juta hektar serta luas panen 4,08 juta hektar serta produktivitas 44,12 kuintal/ha.
Sementara itu data dari Biro Pusat Statistik (BPS) tercata bahwa produksi kedelai tahun 2008 diperkirakan sekitar 761,21 ribu ton biji kering. Angka itu berarti naik 168,67 ribu ton (28,47 persen) dibandingkan produksi tahun 2007 lalu.
Kenaikan produksi diperkirakan terjadi karena peningkatan luas panen seluas 120,48 ribu hektar (26,24 persen) dan produktivitas sebesar 0,22 kuintal/hektar (1,70 persen). Kenaikan harga kedelai diperkirakan menjadi sebab kenaikan produksi ini karena para petani kemudian berlomba-lomba untuk mengkonversi lahannya untuk lahan kedelai. Dengan kenaikan ini diharapkan akan mengurangi ketergantungan Indonesia terhadap impor kedelai.
Termasuk dengan komoditi CPO, meskipun harganya sempat anjlok mengikuti turunnya harga minyak dunia, namun kini harga CPO dunia mulai meningkat karena permintaan CPO dari negara seperti Cina, India dan Pakistan telah tumbuh kembali. Negara tersebut terutama Cina dan India merupakan negara berkembang yang ekonominya masih tumbuh positif selain Indonesia.
Di dalam negeri konsumsi CPO juga tetap tinggi dengan demikian dampak turunnya harga komoditi tidak begitu terasa kepada pasar CPO Indonesia. Hanya beberapa waktu ketika harga CPO anjlok dari US$ 1200 per ton menjadi kurang dari US$ 600 per ton di kuartatal I - 2009. Namun kini harga CPO dunia telah mearap naik kembali diatas US$ 700 per ton. Kenaikan harga komoditas perkebunan juga terjadi pada komoditi kopi.
Pertanian Andal
Indonesia sebagai Negara agraris harus mampu membangun sektor pertanian secara andal. Sebab sektor pertanian sangat penting dalam menunjang ketahanan ekonomi telah terbukti ketika krisis finansial terjadi. Ketika negara lain seperti Singapura dan Thailand ekonominya menurun karena sangat tergantung ekonominya terhadap ekspor, Indonesia masih bisa terus mengalami pertumbuhan ekonomi.
Pada kwartal pertama 2009, pertumbuhan ekonomi Indonesia menurut Badan Pusat Statistik (BPS) secara Year on Year (YoY) mencapai 4, 4 persen dan berpeluang meningkat atau paling tidak bertahan hingga akhir tahun 2010. Masih tingginya tingkat konsumen rumah tangga dan belanja pemerintah memberikan prospek positif terhadap pertumbuhan ekonomi.
Salah satu peranan konsumsi masyarakat adalah konsumsi bahan makanan seperti beras, minyak goreng, dedelai dan produk pertanian lainnya. Demikian juga untuk ekspor produk pertanian masih memberikan andil terhadap melambatnya laju penurunan ekspor yang terjadi sejak akhir tahun 2009 karena harga komoditas pertanian yang beranjak naik ditengah masih lesunya pasar ekspor komoditas manufaktur.
Dengan semakin banyaknya komoditas pertanian yang telah mampu dipenuhi sendiri, maka telah terjadi pergeseran dalam bisnis disektor pertanian terutama pertanian tanaman pangan. Sebelumnya besarnya impor beras, jagung dan kedelai menjadi salah satu target bagi negara produsen produk pertanian untuk mengincar pasar Indonesia. Namun kini orientasi pasar telah bergeser.
Kenaikan produksi padi, jagung dan kedelai tidak lepas dari mulai digunakannya bibit unggul seperti benih jagung hibrida. Penggunaan benih jagung hibrida kini telah mencapai lebih dari 60 persen benih unggul konvensional. Sementara itu untuk padi penggunaan benih hibrida masih dalam tahap awal kurang dari 1, persen dari seluruh kebutuhan benih padi atau sekitar 4500 ton. Padahal setiap tahunnya Indonesia membutuhkan benih padi sekitar 300 ribu ton.
Peluang ivestasi untuk sektor perbenihan memiliki prospek yang snagat cerah dalam mendukung sektor pertanian yang andal. Melihat peluang pasar yang besar untuk pasar benih hibrida dimasa mendatang maka banyak investor yang tertarik untuk menanamkan modalnya di sektor ini. Bukan hanya perusahaan nasional namun pemain dunia dibidang benih tanaman hibrida juga telah menunjukkan minatnya seperti DuPont, Monsanto, Bayer, Syngenta dll sudah mulai merintis pembangunan industri benih hibrida untuk padi dan jagung.
Penggunaan benih jagung hibrida tidak begitu banyak hambatan dari kalangan petani maupun akademisi disektor pertanian karena telah terbukti mampu meningkatkan produksi dan memberikan keuntungan kepada petani, sedangkan pemanfaatan benih padi hibrida saat ini masih banyak menghadapi kendala.
Selain masalah teknis seperti adanya perbedaan pola budidaya seperti pemakaian pupuk, frekwensi pemupukkan dan harga benih yang lebih mahal, penggunaan benih padi hibrida ditanggapi dengan hati-hati baik oleh petani maupun oleh masyarakat luas.
Kekhawatiran sebagian kalangan adalah penggunaan benih padi hibrida bisa menimbulkan ketergantungan kepada pihak asing karena kebanyakan benih induk padi hibrida berada di luar negeri sehingga petani akan tergantung kepada pasokkan dari agen benih tersebut. Padahal padi sebagai bahan makanan pokok akan sangat riskan pengadaannya bila suatu ketika pasokan benihnya terhambat.
Untuk itu maka Pemerintah telah mengeluarkan kebijakan dengan mengharuskan investor dibidang benih hibrida untuk dalam waktu dua tahun sudah bisa mengembangkan benih hibridanya di dalam negeri dan menghentikan impor benih.
Selama ini muncul keengganan perusahaan benih multinasional untuk mengembangkan benihnya di Indonesia karena selain biayanya tinggi, akan lebih menguntungkan mereka menggunakan benih induk dari perusahaan yang dikembangkan dinegerinya sendiri. Namun jika melihat peluang pasar yang besar bagi industri benih hibrida di Indonesia maka wajar apabila Pemerintah Indonesia mengharuskan perusahaan dibidang perbenihan untuk membiakan benih induknya di Indonesia.
Dimasa depan diperkirakan berbagai komoditas primer seperti produk pertnian harganya akan semakin mahal dengan demikian upaya meningkatkan produksi hasil pertanian merupakan prospek bisnis yang menarik disamping meningkatkan ketahanan eknomi. Peluang untuk investasi di sektor ini terbuka bagi perusahaan lokal maupun asing, namun Pemerintah mengharapkan Indonesia tidak sekadar sebagai tempat tujuan pemasaran saja tapi untuk tempat produksi dan pengembangan, suatu harapan yang wajar mengingat pasar Indonesia yang besar.
Indonesia dengan kondisi daerah serta iklim yang mendukung diperkirakan mampu tampil sebagai Negara yang andal dalam membangun sektor pertanian. Diversifikasi produk pertanian mutlak dikembangkan sebab komoditi pertanian merupakan sektor yang bersentuhan langsung dengan kepentingan makanan pokok masyarakat dunia.
Bahkan tanaman palawija seperti ketela yang saat ini dijadikan sebagai bahan bakar biofull telah mampu memberikan nilai tambah dari sektor pertanian. Di masa mendatang bila kelak Indonesia mampu melakukan diversifikasi komoditi pertanian secara andal akan mampu tampil sebagai Negara yang berswasembada padi, jagung, kedelai, ketela meupun komoditi-komoditi pertanian lainnya.
Suatu hal yang patut digaris bawahi, keandalan mutu sektor pertanian selalu berkaitan erat dengantersedianya benih unggul. Ketersedian bibit benih yang unggul akan mendukung produk pertanian berbasis ramah lingkungan namum mutu produknya selalu andal. Dengan segenap kemampuan dan potensi yang ada diperkiran Indonesia selama 10 tahun ke depan akan mampu menjadi Negara yang memiliki hasil produk pertanian yang andal serta kompetitif.(dihimpun dari berbagai sumber)
PENDIDIKAN
Menilai Kinerja dan Prestasi Guru Sertifikasi Dalam Jabatan
Oleh: Nelson Sihaloho
Kinerja dapat diartikan sebagai sesuatu yang dicapai, prestasi yang diperlihatkan maupun kemampuan kerja seseorang guru atau pendidik. Dalam bahasa Inggris kinerja identik dengan performance. Moenir (1998) mendefinisikan kinerja sebagai hasil kerja seseorang pada kesatuan waktu atau ukuran tertentu.
Prawirosentoso (1999) menyatakan bahwa performance merupakan hasil kerja yang dapat dicapai oleh seseorang atau sekelompok orang dalam suatu organisasi sesuai dengan wewenang dan tanggung jawab masing-masing dalam rangka mencapai tujuan organisasi bersangkutan secara legal, tidak melanggar hukum dan sesuai dengan moral maupun etika.
Kebijakan pemerintah khususnya Kementerian Pendidikan Nasional (Kemdiknas) dalam meningkatkan dan menerapkan suatu management profesional bagi para guru di Indonesia adalah dengan mengharuskan para guru memiliki dan mengikuti sertifikasi guru. Ditegaskan pada pasal 1 butir (11) UUGD (Undang-undang Guru dan Dosen) disebutkan bahwa sertifikasi adalah proses pemberian sertifikat pendidik kepada guru dan dosen. Intinya bagi seorang guru yang menginginkan terjadinya peningkatan kompetensi akdemik akan mempersiapkan diri secara utuh untuk memperoleh sertifikasi tersebut.
Melalui penilaian kinerja, organisasi dapat memilih dan menempatkan orang yang tepat untuk menduduki suatu jabatan tertentu secara obyektif. Untuk mengetahui tinggi-rendahnya kinerja seseorang, perlu dilakukan penilaian kinerja. Penilaian prestasi kerja para karyawan merupakan bagian penting dari seluruh proses kekaryaan pegawai yang bersangkutan. Pentingnya penilaian prestasi kerja yang rasional yang diterapkan secara objektif terlihat pada paling sedikit dua kepentingan,yaitu kepentingan pegawai yang bersangkutan sendiri dan kepentingan organisasi. Menurut Handoko (2001) penilaian berperan sebagai umpan balik tentang berbagai hal seperti kemampuan, keletihan, kekurangan dan potensinya yang pada gilirannya bermanfaat untuk menentukan tujuan, jalur, rencana dan pengembangan kariernya.
Sistem-sistem penilaian pada kebanyakan organisasi direncanakan untuk mencapai sasaran-sasaran yakni mengendalikan perilaku karyawan dengan menggunakan sebagai sebuah instrumen untuk memberikan ganjaran, hukuman dan ancaman, mengambil keputusan mengenai kenaikan gaji dan promosi, menempatkan orang supaya dapat melaksanakan pekerjaan yang tepat, mengenali kebutuhan para karyawan akan pelatihan dan pengawasan.
Dalam penilaian prestasi kerja guru terdapat beberapa hal yang dapat merusak teknik penilaian, seperti tidak jelasnya standar, efek halo, kecondongan memusat serta masalah bias.
Prestasi kerja yang baik dapat bermanfaat untuk mendorong peningkatan prestasi kerja, sebagai pengambilan keputusan dalam pemberian imbalan, untuk kepentingan mutasi karyawan, misalnya seperti promosi, alih tugas, alih wilayah maupun demosi, untuk menyusun program pendidikan dan pelatihan, baik yang dimaksudkan untuk mengatasi berbagai kekurangan dari kelemahan maupun untuk mengembangkan potensi serta membantu para karyawan menentukan rencana kariernya. Menurut Lower dan Porter (1968) dalam Indra Wijaya (1989) menyatakanbahwa faktor faktor yang mempengaruhi kinerja adalah faktor motivasi, kepuasan kerja, kondisi fisik pekerjaan serta kemampuan kerja karyawan.
Dari berbagai uraian diatas maka beberapaindikator penting dalam menilai kinerja dan prestasi guru secara umum dapat digambarkan melalui prestasi kerjanya dan hasil-hasil inovasi pembelajaran yang telah dilakukan oleh seorang guru. Meski demikian banyak faktor yang menakibatkan kinerja dan prestasi guru ditempat tugasnya bekerja tidak dinilai dengan objektif sehingga meperburuk citra guru sebagai pendidik yang professional. Diperlukan suatu penelitian empirik untuk menilai kinerja dan prestasi guru yang lebih objektif.
Kinerja Profesinalisme Guru
Guru memiliki pengaruh besar dalam menghasilkan sumber daya manusia (SDM) berkualitas yang mampu berkompetisi secara andaldi era globalisasi. Kebijakan yang mengharuskan para guru memperoleh sertifikasi dan memberikan kompensasi yang memadai merupakan bentuk upaya konkrit untuk menjadikan guru benar-benar memiliki profesi yang andal dan teruji.
Menurut Mc Cully (dalam A.Tabrani Rusyan 1992:4) mengatakan bahwa “Profesi adalah a vocation an wich profesional knowledge of some departement a learning science is used in its application to the of other or in the practice of an art found it”. Sedangkan pengertian profesionalime, Freidson (dalam Syaiful Sagala, 2000:199) berpendapat bahwa, “profesionalisme adalah sebagai komitmen untuk ide-ide profesional dan karir”.
Pekerjaan profesional didukung oleh suatu ilmu tertentu secara mendalam yang hanya mungkin didapatkan dari lembaga pendidikan yang sesuai, sehingga kinerjanya didasarkan kepada keilmuan yang dimilikinya yang dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah. Selain itu suatu profesi menekankan kepada suatu keahlian dalm bidang tertentu yang spesifik sesuai dengan jenis profesinya, sehingga antara profesi yang satu dengan yang lainnya dapat dipisahkan secara tegas. Tingkat kemampuan dan keahlian suatu profesi didasarkan kepada latar belakang pendidikan yang dialaminya yang diakui oleh masyarakat, sehingga semakin tinggi latar belakang pendidikan akademik sesuai dengan profesinya akan semakin tinggi tingkat keahliannya dan semakin tinggi tingkat penghargaan yang diterimanya. Suatu profesi selain dibutuhkan oleh masyarakat juga memiliki efek terhadap sosial kemasyarakatan, sehingga masyarakat memiliki kepekaan yang sangat tinggi terhadap efek yang ditimbulkan dari pekerjaan profesinya. Sebagai suatu profesi, kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang guru adalah kompetensi pribadi, professional, padagogik, sosial kemasyarakatan serta iman dan taqwa.
Sesuai dengan Undang-undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, jabatan guru sebagai pendidik merupakan jabatan profesional. Untuk itu profesionalisme guru dituntut agar terus berkembang sesuai dengan perkembangan zaman, ilmu pengetahuan dan teknologi, serta kebutuhan masyarakat termasuk kebutuhan terhadap sumber daya manusia yang berkualitas dan memiliki kapabilitas untuk mampu bersaing baik di forum regional, nasional maupun internasional.
Makin kuatnya tuntutan akan profesionalisme guru bukan hanya di Indonesia, melainkan di negara-negara maju. Dalam jurnal pendidikan, Educational Leadership (1993) seorang guru dituntut untuk memiliki lima hal yakni guru mempunyai komitmen kepada siswa dan proses belajarnya, guru menguasai secara mendalam bahan/mata pelajaran yang diajarkannya serta cara mengajarkannya kepada para siswa, guru bertanggung jawab memantau hasil belajar siswa melalui berbagai teknik evaluasi, mulai cara pengamatan dalam perilaku siswa sampai tes hasil belajar serta guru mampu berpikir sistematis tentang apa apa yang akan dilakukakannya dan belajar dari pengalamannya.
Untuk mewujudkan seorang guru yang professional harus memiliki kompetensi. Kompetensi menuurt Lefrancois (1995) merupakan kapasitas untuk melakukan sesuatu yang dihasilkan dari proses belajar. Richard N. Cowell (1988) menyatakan bahwa kompetensi dilihat sebagai suatu keterampilan/kemahiran yang bersifat aktif. Sedangkan Cowell (1988) mengatakan bahwa kompetensi dikategorikan mulai dari tingkat sederhana atau dasar hingga lebih sulit atau kompleks dan berhubungan dengan proses penyusunan bahan atau pengalaman belajar.
Pengalaman belajar yang lazim itu adalah penguasan minimal kompetensi dasar, praktik kompetensi dasar dan penambahan penyempurnaan atau pengembangan terhadap kompetensi serta keterampilan.
Mengacu pada Peraturan Pemerintah RI Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, Pasal 28 dijelaskan bahwa, pendidik harus memiliki kualifikasi akademik dan kompetensi sebagai agen pembelajaran, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Kompetensi seorang guru dibagi dalam tiga bagian yaitu, kompetensi kognitif, afektif dan kompetensi perilaku
Nanang Fatah (2004) menyatakan seorang guru dinyatakan professional apabila mampu menguasai substansi mata pelajaran secara sistematis, khususnya materi pelajaran yang secara khusus diajarkannya, memahami dan dapat menerapkan psikologi perkembangan sehingga seorang guru dapat memilih materi pelajaran berdasarkan tingkat kesukaran sesuai dengan masa perkembangan peserta didik yang diajarkan serta memiliki kemampuan mengembangkan program-program pendidikan yang secara khusus disusun sesuai dengan tingkat perkembangan peserta didik yang akan diajarannya.
Pendidikan memiliki peran yang sangat penting dalam era globalisasi. Menurut Anthony Giddens dalam bukunya yang berjudul “The Global Third Way Debate” mengatakan bahwa kemakmuran ekonomi jangka panjang suatu bangsa berkaitan dengan kemampuannya dalam kapasitas inovasi, pendidikan dan riset.
Penyimpangan Beban Kerja Guru
Saat ini penyimpangan beban kerja guru disekolah-sekolah semakin merebak dan menimbulkan permasalahan baru dalam dunia pendidikan kita. Apabila mengacu pada kinerja dan prestasi guru sesuai dengan UU No. 14 Tahun 2005 tentang UUGD guru dan dosen wajib mengajar minimal 24 jam tatap muka dan sebanyak-banyaknya 40 jam tatap muka per minggu. Permendiknas No. 18 tahun 2007 tentang Sertifikasi Guru Dalam Jabatan mengamanatkan bahwa guru yang telah memperoleh sertifikat pendidik, nomor registrasi dan telah memenuhi beban kerja mengajar minimal 24 jam tatap muka per minggu memperoleh tunjangan profesi sebesar satukali gaji pokok.
Kenyataan dilapangan banyak terjadi penyimpangan jam tatap muka dalam suatu sekolah mulai dari rekayasa surat keputusan (SK) pembagian tugas disuatu sekolah tidak sesuai dengan SK aslinya. Bahkan semakin banyak ditemukan SK-SK asli tapi palsu. SK asli tapi palsu tersebut semakin “beranak pinak” sehingga guru semakin banyak menjadi penipu. Selain menipu diri sendiri khususnya predikat lulus sertifikasi dalam jabatan juga menipu masyarakat bangsa dan Negara. Oknum kepala sekolah yang semestinya mengajar minimal 6 jam diduga ada yang tidak melaksanakan tugas pokok mengajarnya dengan memberikan tugas atau menyuruh bawahannya mengajar yang menjadi tugas pokoknya. Diduga ada kerjasama terkordinir antara oknum Kepala Sekolah dengan bawahan maupun petugas laboratorium komputer untuk menggandakan SK-SK palsu yang “beranak pinak” itu.
Penyimpangan-penyimpangan yang tidak mendapatkan tindakan tegas dari instansi terkait itu semakin memperburuk kinerja dan prestasi guru. Bahkan tidak menutup kemungkinan dimasa mendatang apabila penyimpangan beban kerja guru tersebut tidak mendapat tindakan tegas akan mengakibatkan semakin merajalelanya oknum guru melakukan penipuan terhadap tugas-tugas profesionalismenya. Kita berharap semoga ada tindakan konkrit dan upaya nyata dari pihak-pihak terkait untuk mengusut dugaan penyimpangan beban kerja guru disetiap sekolah-sekolah. Surat-surat keterangan dari oknum Kepala Sekolah yang menyatakan bahwa guru benar mengajar 24 jam tatap muka perlu diklarifikasi secara ketat ke sekolah-sekolah. Apabila benar ada guru dan Kepala Sekolah terbukti melakukan pelanggaran terhadap beban kerka guru pihak terkait sudah semestinya memeberikan ganjaran/hukuman dengan memecat guru dan kepala sekolah yang diduga telah melakukan penyimpangan-penyimpangan beban kerja guru tersebut. Integritas dan kejujuran para pendidik apabila mengacu pada pemenuhan beban kerja guru seharusnya lebih mengedepankan prinsip-prinsip profesionalisme. Sebagaimana dikatakan Dirjen PMPTK Kemendiknas RI, Baedhowi (2008) bahwa berhasilnya implementasi pemenuhan beban kerja guru sangat tergantung pada pemahaman, kesadaran, keterlibatan dan upaya sungguh-sungguh dan segenap unsur yang terkait serta dukungan pemerintah dan masyarakat.
Keberhasilan pemenuhan beban kerja guru juga menjadi harapan nyata terhadap pembangunan pendidikan, pembangunan guru professional yang mampu menghasilkan insane Indonesia yang cerdas dan kompetitif secara adil, bermutu dan relevan untuk kebutuhan masyarakat Indonesia dan global.(* Dihimpun dari berbagai sumber relevan: email/face book: sihaloho11@yahoo.com, www.blogger.com-nelson.blog.)
Oleh: Nelson Sihaloho
Kinerja dapat diartikan sebagai sesuatu yang dicapai, prestasi yang diperlihatkan maupun kemampuan kerja seseorang guru atau pendidik. Dalam bahasa Inggris kinerja identik dengan performance. Moenir (1998) mendefinisikan kinerja sebagai hasil kerja seseorang pada kesatuan waktu atau ukuran tertentu.
Prawirosentoso (1999) menyatakan bahwa performance merupakan hasil kerja yang dapat dicapai oleh seseorang atau sekelompok orang dalam suatu organisasi sesuai dengan wewenang dan tanggung jawab masing-masing dalam rangka mencapai tujuan organisasi bersangkutan secara legal, tidak melanggar hukum dan sesuai dengan moral maupun etika.
Kebijakan pemerintah khususnya Kementerian Pendidikan Nasional (Kemdiknas) dalam meningkatkan dan menerapkan suatu management profesional bagi para guru di Indonesia adalah dengan mengharuskan para guru memiliki dan mengikuti sertifikasi guru. Ditegaskan pada pasal 1 butir (11) UUGD (Undang-undang Guru dan Dosen) disebutkan bahwa sertifikasi adalah proses pemberian sertifikat pendidik kepada guru dan dosen. Intinya bagi seorang guru yang menginginkan terjadinya peningkatan kompetensi akdemik akan mempersiapkan diri secara utuh untuk memperoleh sertifikasi tersebut.
Melalui penilaian kinerja, organisasi dapat memilih dan menempatkan orang yang tepat untuk menduduki suatu jabatan tertentu secara obyektif. Untuk mengetahui tinggi-rendahnya kinerja seseorang, perlu dilakukan penilaian kinerja. Penilaian prestasi kerja para karyawan merupakan bagian penting dari seluruh proses kekaryaan pegawai yang bersangkutan. Pentingnya penilaian prestasi kerja yang rasional yang diterapkan secara objektif terlihat pada paling sedikit dua kepentingan,yaitu kepentingan pegawai yang bersangkutan sendiri dan kepentingan organisasi. Menurut Handoko (2001) penilaian berperan sebagai umpan balik tentang berbagai hal seperti kemampuan, keletihan, kekurangan dan potensinya yang pada gilirannya bermanfaat untuk menentukan tujuan, jalur, rencana dan pengembangan kariernya.
Sistem-sistem penilaian pada kebanyakan organisasi direncanakan untuk mencapai sasaran-sasaran yakni mengendalikan perilaku karyawan dengan menggunakan sebagai sebuah instrumen untuk memberikan ganjaran, hukuman dan ancaman, mengambil keputusan mengenai kenaikan gaji dan promosi, menempatkan orang supaya dapat melaksanakan pekerjaan yang tepat, mengenali kebutuhan para karyawan akan pelatihan dan pengawasan.
Dalam penilaian prestasi kerja guru terdapat beberapa hal yang dapat merusak teknik penilaian, seperti tidak jelasnya standar, efek halo, kecondongan memusat serta masalah bias.
Prestasi kerja yang baik dapat bermanfaat untuk mendorong peningkatan prestasi kerja, sebagai pengambilan keputusan dalam pemberian imbalan, untuk kepentingan mutasi karyawan, misalnya seperti promosi, alih tugas, alih wilayah maupun demosi, untuk menyusun program pendidikan dan pelatihan, baik yang dimaksudkan untuk mengatasi berbagai kekurangan dari kelemahan maupun untuk mengembangkan potensi serta membantu para karyawan menentukan rencana kariernya. Menurut Lower dan Porter (1968) dalam Indra Wijaya (1989) menyatakanbahwa faktor faktor yang mempengaruhi kinerja adalah faktor motivasi, kepuasan kerja, kondisi fisik pekerjaan serta kemampuan kerja karyawan.
Dari berbagai uraian diatas maka beberapaindikator penting dalam menilai kinerja dan prestasi guru secara umum dapat digambarkan melalui prestasi kerjanya dan hasil-hasil inovasi pembelajaran yang telah dilakukan oleh seorang guru. Meski demikian banyak faktor yang menakibatkan kinerja dan prestasi guru ditempat tugasnya bekerja tidak dinilai dengan objektif sehingga meperburuk citra guru sebagai pendidik yang professional. Diperlukan suatu penelitian empirik untuk menilai kinerja dan prestasi guru yang lebih objektif.
Kinerja Profesinalisme Guru
Guru memiliki pengaruh besar dalam menghasilkan sumber daya manusia (SDM) berkualitas yang mampu berkompetisi secara andaldi era globalisasi. Kebijakan yang mengharuskan para guru memperoleh sertifikasi dan memberikan kompensasi yang memadai merupakan bentuk upaya konkrit untuk menjadikan guru benar-benar memiliki profesi yang andal dan teruji.
Menurut Mc Cully (dalam A.Tabrani Rusyan 1992:4) mengatakan bahwa “Profesi adalah a vocation an wich profesional knowledge of some departement a learning science is used in its application to the of other or in the practice of an art found it”. Sedangkan pengertian profesionalime, Freidson (dalam Syaiful Sagala, 2000:199) berpendapat bahwa, “profesionalisme adalah sebagai komitmen untuk ide-ide profesional dan karir”.
Pekerjaan profesional didukung oleh suatu ilmu tertentu secara mendalam yang hanya mungkin didapatkan dari lembaga pendidikan yang sesuai, sehingga kinerjanya didasarkan kepada keilmuan yang dimilikinya yang dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah. Selain itu suatu profesi menekankan kepada suatu keahlian dalm bidang tertentu yang spesifik sesuai dengan jenis profesinya, sehingga antara profesi yang satu dengan yang lainnya dapat dipisahkan secara tegas. Tingkat kemampuan dan keahlian suatu profesi didasarkan kepada latar belakang pendidikan yang dialaminya yang diakui oleh masyarakat, sehingga semakin tinggi latar belakang pendidikan akademik sesuai dengan profesinya akan semakin tinggi tingkat keahliannya dan semakin tinggi tingkat penghargaan yang diterimanya. Suatu profesi selain dibutuhkan oleh masyarakat juga memiliki efek terhadap sosial kemasyarakatan, sehingga masyarakat memiliki kepekaan yang sangat tinggi terhadap efek yang ditimbulkan dari pekerjaan profesinya. Sebagai suatu profesi, kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang guru adalah kompetensi pribadi, professional, padagogik, sosial kemasyarakatan serta iman dan taqwa.
Sesuai dengan Undang-undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, jabatan guru sebagai pendidik merupakan jabatan profesional. Untuk itu profesionalisme guru dituntut agar terus berkembang sesuai dengan perkembangan zaman, ilmu pengetahuan dan teknologi, serta kebutuhan masyarakat termasuk kebutuhan terhadap sumber daya manusia yang berkualitas dan memiliki kapabilitas untuk mampu bersaing baik di forum regional, nasional maupun internasional.
Makin kuatnya tuntutan akan profesionalisme guru bukan hanya di Indonesia, melainkan di negara-negara maju. Dalam jurnal pendidikan, Educational Leadership (1993) seorang guru dituntut untuk memiliki lima hal yakni guru mempunyai komitmen kepada siswa dan proses belajarnya, guru menguasai secara mendalam bahan/mata pelajaran yang diajarkannya serta cara mengajarkannya kepada para siswa, guru bertanggung jawab memantau hasil belajar siswa melalui berbagai teknik evaluasi, mulai cara pengamatan dalam perilaku siswa sampai tes hasil belajar serta guru mampu berpikir sistematis tentang apa apa yang akan dilakukakannya dan belajar dari pengalamannya.
Untuk mewujudkan seorang guru yang professional harus memiliki kompetensi. Kompetensi menuurt Lefrancois (1995) merupakan kapasitas untuk melakukan sesuatu yang dihasilkan dari proses belajar. Richard N. Cowell (1988) menyatakan bahwa kompetensi dilihat sebagai suatu keterampilan/kemahiran yang bersifat aktif. Sedangkan Cowell (1988) mengatakan bahwa kompetensi dikategorikan mulai dari tingkat sederhana atau dasar hingga lebih sulit atau kompleks dan berhubungan dengan proses penyusunan bahan atau pengalaman belajar.
Pengalaman belajar yang lazim itu adalah penguasan minimal kompetensi dasar, praktik kompetensi dasar dan penambahan penyempurnaan atau pengembangan terhadap kompetensi serta keterampilan.
Mengacu pada Peraturan Pemerintah RI Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, Pasal 28 dijelaskan bahwa, pendidik harus memiliki kualifikasi akademik dan kompetensi sebagai agen pembelajaran, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Kompetensi seorang guru dibagi dalam tiga bagian yaitu, kompetensi kognitif, afektif dan kompetensi perilaku
Nanang Fatah (2004) menyatakan seorang guru dinyatakan professional apabila mampu menguasai substansi mata pelajaran secara sistematis, khususnya materi pelajaran yang secara khusus diajarkannya, memahami dan dapat menerapkan psikologi perkembangan sehingga seorang guru dapat memilih materi pelajaran berdasarkan tingkat kesukaran sesuai dengan masa perkembangan peserta didik yang diajarkan serta memiliki kemampuan mengembangkan program-program pendidikan yang secara khusus disusun sesuai dengan tingkat perkembangan peserta didik yang akan diajarannya.
Pendidikan memiliki peran yang sangat penting dalam era globalisasi. Menurut Anthony Giddens dalam bukunya yang berjudul “The Global Third Way Debate” mengatakan bahwa kemakmuran ekonomi jangka panjang suatu bangsa berkaitan dengan kemampuannya dalam kapasitas inovasi, pendidikan dan riset.
Penyimpangan Beban Kerja Guru
Saat ini penyimpangan beban kerja guru disekolah-sekolah semakin merebak dan menimbulkan permasalahan baru dalam dunia pendidikan kita. Apabila mengacu pada kinerja dan prestasi guru sesuai dengan UU No. 14 Tahun 2005 tentang UUGD guru dan dosen wajib mengajar minimal 24 jam tatap muka dan sebanyak-banyaknya 40 jam tatap muka per minggu. Permendiknas No. 18 tahun 2007 tentang Sertifikasi Guru Dalam Jabatan mengamanatkan bahwa guru yang telah memperoleh sertifikat pendidik, nomor registrasi dan telah memenuhi beban kerja mengajar minimal 24 jam tatap muka per minggu memperoleh tunjangan profesi sebesar satukali gaji pokok.
Kenyataan dilapangan banyak terjadi penyimpangan jam tatap muka dalam suatu sekolah mulai dari rekayasa surat keputusan (SK) pembagian tugas disuatu sekolah tidak sesuai dengan SK aslinya. Bahkan semakin banyak ditemukan SK-SK asli tapi palsu. SK asli tapi palsu tersebut semakin “beranak pinak” sehingga guru semakin banyak menjadi penipu. Selain menipu diri sendiri khususnya predikat lulus sertifikasi dalam jabatan juga menipu masyarakat bangsa dan Negara. Oknum kepala sekolah yang semestinya mengajar minimal 6 jam diduga ada yang tidak melaksanakan tugas pokok mengajarnya dengan memberikan tugas atau menyuruh bawahannya mengajar yang menjadi tugas pokoknya. Diduga ada kerjasama terkordinir antara oknum Kepala Sekolah dengan bawahan maupun petugas laboratorium komputer untuk menggandakan SK-SK palsu yang “beranak pinak” itu.
Penyimpangan-penyimpangan yang tidak mendapatkan tindakan tegas dari instansi terkait itu semakin memperburuk kinerja dan prestasi guru. Bahkan tidak menutup kemungkinan dimasa mendatang apabila penyimpangan beban kerja guru tersebut tidak mendapat tindakan tegas akan mengakibatkan semakin merajalelanya oknum guru melakukan penipuan terhadap tugas-tugas profesionalismenya. Kita berharap semoga ada tindakan konkrit dan upaya nyata dari pihak-pihak terkait untuk mengusut dugaan penyimpangan beban kerja guru disetiap sekolah-sekolah. Surat-surat keterangan dari oknum Kepala Sekolah yang menyatakan bahwa guru benar mengajar 24 jam tatap muka perlu diklarifikasi secara ketat ke sekolah-sekolah. Apabila benar ada guru dan Kepala Sekolah terbukti melakukan pelanggaran terhadap beban kerka guru pihak terkait sudah semestinya memeberikan ganjaran/hukuman dengan memecat guru dan kepala sekolah yang diduga telah melakukan penyimpangan-penyimpangan beban kerja guru tersebut. Integritas dan kejujuran para pendidik apabila mengacu pada pemenuhan beban kerja guru seharusnya lebih mengedepankan prinsip-prinsip profesionalisme. Sebagaimana dikatakan Dirjen PMPTK Kemendiknas RI, Baedhowi (2008) bahwa berhasilnya implementasi pemenuhan beban kerja guru sangat tergantung pada pemahaman, kesadaran, keterlibatan dan upaya sungguh-sungguh dan segenap unsur yang terkait serta dukungan pemerintah dan masyarakat.
Keberhasilan pemenuhan beban kerja guru juga menjadi harapan nyata terhadap pembangunan pendidikan, pembangunan guru professional yang mampu menghasilkan insane Indonesia yang cerdas dan kompetitif secara adil, bermutu dan relevan untuk kebutuhan masyarakat Indonesia dan global.(* Dihimpun dari berbagai sumber relevan: email/face book: sihaloho11@yahoo.com, www.blogger.com-nelson.blog.)
Rabu, 17 November 2010
PENDIDIKAN
Teknologi Pendidikan dan Profesionalisme Guru
Oleh : Nelson Sihaloho
Sejarah Perkembangannya
Sebagaimana berdasarkan hasil penelitian para pakar ahli era 1960-an teknologi pendidikan menjadi salah satu kajian yang banyak mendapat perhatian. Awalnya, teknologi pendidikan merupakan kelanjutan perkembangan dari kajian-kajian tentang penggunaan audiovisual, dan program belajar dalam penyelenggaraan pendidikan. Berdasarkan sejarah perkembangannya, istilah teknologi pendidikan mulai digunakan sejak tahun 1963 yang resmi diikrarkan oleh Association of Educational and Communication Technology (AECT) tahun 1977, meskipun kadangkala terjadi pemahaman lain dengan istilah teknologi pembelajaran. Menurut Finn (1965) mengungkapkan bahwa di Inggris dan Kanada lebih lazim digunakan istilah teknologi pendidikan, sedangkan di Amerika Serikat banyak digunakan istilah teknologi pembelajaran. Kedua istilah itu digunakan secara serentak dalam aktivitas yang sama. Berbagai istilah semakin berkembang seperti perkembangan kerangka konsep. Istilah teknologi berasal dari kata “textere” (bahasa Latin) artinya “to weave or construct”, menenun atau membangun. Menurut Saettler (1968) bahwa teknologi tidak selamanya harus menggunakan mesin, akan tetapi merujuk pada setiap kegiatan praktis yang menggunakan ilmu atau pengetahuan tertentu. Artinya teknologi itu merupakan usaha untuk memecahkan masalah manusia (Salisbury, 2002). Romiszowski (1981) menyatakan bahwa teknologi itu berkaitan dengan produk dan proses. Sedangkan Rogers (1986) mempunyai pandangan bahwa teknologi biasanya menyangkut aspek perangkat keras (terdiri dari material atau objek fisik), dan aspek perangkat lunak (terdiri dari informasi yang yang terkandung dalam perangkat keras).
Salisbury (2002) mengungkapkan bahwa teknologi adalah penerapan ilmu atau pengetahuan yang terorganisir secara sistimatis untuk penyelesaian tugas-tugas secara praktis.
Kajian Finn (1960) pada seminar tentang peran teknologi dalam masyarakat berjudul “Technology and the Instructional Process” semakin menunjukkan bahwa penggunaan teknologi pendidikan dengan pendidikan sangat tepat dan wajar. Lumsdaine (1964) dalam Romiszoswki (1981) mengatakan penggunaan istilah teknologi pada pendidikan memiliki keterkaitan dengan konsep produk dan proses. Konsep produk berkaitan dengan perangkat keras atau hasil-hasil produksi yang dimanfaatkan dalam proses pengajaran. Selanjutnya konsep dan prinsip teknologi pembelajaran kemudian diperkaya oleh ahli-ahli bidang Psikologi, seperti Bruner (1966), Gagne (1974), ahli Cybernetic seperti Landa (1976), dan Pask (1976), serta praktisi seperti Gilbert (1969), Horn (1969), serta lembaga-lembaga pendidikan yang memiliki ketertarikan atas pengembangan program pembelajaran. Malcolm Warren (1978) mengungkapkan bahwa diperlukan teknologi untuk mengelola secara efektif pengorganisasian berbagai sumber manusiawi yang disebut oleh Romizowski (1986) dengan “Human resources management technology”.
Terbentuknya Konsep Teknologi Pendidikan
Secara historik, Januszewski (2001) mengungkapkan bahwa tahap awal sebagai pengantar ke arah pengembangan konsep dan istilah teknologi pendidikan dilandasi dan dipertajam oleh tiga faktor. Pertama, engineering (Bern, 1961; Szabo, 1968), kedua science (Finn, 1953; Ely, 1970; Jorgenson, 1981; Saettler, 1990; Shorck, 1990) dan Ketiga, the development of the Audio Visual education movement (Ely, 1963; Ely, 1970; Jorgerson, 1981; Saettler, 1990; Shrock, 1990). Dalam kaitannya dengan engineering, pengkajian diawali dari makna engineering yang menggambarkan kegiatan riset dan pengembangan serta usaha menghasilkan teknologi untuk digunakan secara praktis, yang kebanyakan terdapat di bidang industri. Saettler (1990) menyatakan bahwa Franklin Bobbitt dan W.W. Charters menjadi perintis penggunaan istilah “educational engineering” pada tahun 1920-an, khususnya pada pendekatan yang digunakan untuk pengembangan kurikulum. Istilah yang sama digunakan oleh Munroe (1912) dalam mengikat konsep ilmu managemen dalam setting pendidikan dan educational engineering. Charters (1941) menyatakan bahwa ilmu merupakan dasar dalam pendidikan, dan setiap usaha dalam pendidikan perlu dilandasi oleh kejelasan ilmu yang digunakan.
Menuurt Lange (1969) umumnya penggunaan peralatan pendidikan di kelas digunakan setelah. Perang Dunia ke II. Hoban yang menyelesaikan doktor sebelum Dale di Ohio State University telah menulis buku tentang Visualizing the Curriculum tahun 1937 bersama ayahnya dan Samual Zisman, secara sistematis mereka mengungkapkan hubungan antara bahan ajar secara konkrit dengan proses belajar. Selanjutnya Dale mencoba mendiversifikasi pengalaman belajar di dalam kelas. Buku yang pertama ditulisnya adalah Audio Visual Methods in Teaching (1946), yang menjelaskan ”Cone of Experience” atau kerucut pengalaman sebagaimana populer sampai saat ini. Dalam perkembangan selanjutnya muncul teori komunikasi yang dikembangan Harold Lasswell merupakan awal pijakan dalam mempelajari konsep komunikasi dalam pendidikan. Konsep komunikasi sebagaimana diungkapkan Shannon dan Weaver’s sebagai hasil kajiannya terhadap komunikasi telepon dan teknologi radio menjadi model yang khas yang disebut Mathematical Theory of Communication, dengan komponen-komponennya yang terdiri dari: Information Source, Massage, Transmitter, Signal, Noise Source, Signal Receiver, Reciever, Massage, dan Destination, konsep teori komunikasinya tergolong pada komunikasi linier. David Berlo (1960) yang banyak diilhami model Shannon dan Weaver menghasilkan temuannya Model Komunikasi Sender, Massage, Channel, Receiver (SMCR). Konsepnya banyak memberikan perhatian terhadap adanya Massage (pesan) dan Channel (saluran). Model ini menjadi dasar pengembangan dalam komunikasi audiovisual pada pendidikan. Kajian ahli-ahli psikologi dan sosial psikologi dalam pendidikan berlangsung selama masa dan pasca perang dunia ke II, terutama menjadi fokus kajian di lingkungan pengajaran militer (Lange, 1969). Studi masa itu kebanyakan diwarnai oleh aliran psikologi behavior, sebagai contoh operant behavioral conditioning yang ditemukan BF Skinner (1953). Kemudian berkembang ke arah psikologi kognitif sebagaimana dikembangkan oleh Robert M Gagne (The Conditions of Learning and theory of instruction, 1916). Kajian teaching machine and programmed instruction dilakukan melalui studi science in education (Skinner, 1954; Saettler, 1990), gerakan efisiensi pendidikan (Stolurow, 1961; Dale, 1967), dan kajian kurikulum untuk pengajaran individual (Stolurow, 1961; Dale, 1967; Saettler, 1990). Walaupun teaching machine ini sangat populer dan diawali kajiannya oleh Skinner, akan tetapi E L Thorndike (1912) yang mulai mengembangkan konsep ke arah pemanfaatan teaching machine dan programmed instruction (Dale, 1967; Ely, 1970; Saettler,1990. Empat model program individualized instruction yang sangat populer yang menjadi kajian bidang teknologi pendidikan, yaitu Mastery Learning yang dikembangkan Bloom (1968); Individually Prescribed Instruction (IPI) yang dikembangkan di University of Pittsburg tahun 1964; Personalized System of Instruction (PSI) yang dikembangkan Keller Plan (1968) serta Individually Guided Education (IGE) yang dikembangkan oleh Wisconsin Research and Development tahun 1976. Association of Educational and Communication Technology (AECT) pada tahun 1977 menerbitkan buku The Definition of Educational Technology. Kontribusi terhadap perumusan kembali definisi teknologi pendidikan versi 1972 menjadi versi 1977 sejalan dengan perubahan klasifikasi learning resources. Managemen menjadi pendukung kedua dalam membangun definisi teknologi pendidikan versi 1977. Konsep definisi versi 2004 menyatakan bahwa teknologi pendidikan adalah studi dan praktek yang etis dalam memberi kemudahan belajar dan perbaikan kinerja melalui kreasi, penggunaan, dan pengelolaan proses dan sumber teknologi yang tepat.
Profesionalisme Guru
“Professional” mempunyai makna yang mengacu kepada sebutan tentang orang yang menyandang suatu profesi dan sebutan tentang penampilan seseorang dalam mewujudkan unjuk kerja sesuai dengan profesinya. Dalam RUU Guru (pasal 1 ayat 4) dinyatakan bahwa, “professional adalah kemampuan melakukan pekerjaan sesuai dangan keahlian dan pengabdian diri kepada pihak lain”. “Profesionalisme” adalah sebutan yang mengacu kepada sikap mental dalam bentuk komitmen dari para anggota suatu profesi untuk senantiasa mewujudkan dan meningkatkan kualitas profesionalnya. Lebih konkritnya adalah tentang “profesionalitas” yang identik dengan kualitas sikap para anggota suatu profesi terhadap profesinya serta derajat pengetahuan dan keahlian yang mereka miliki didalam menjalankan tugas-tugasnya. “Profesionalisasi” adalah sutu proses menuju kepada perwujudan dan peningkatan profesi dalam mencapai suatu kriteria yang sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. Kualitas profesi seorang guru harus didukung oleh lima kompetensi.
Menurut Moh. Surya (2007) kualitas profesionalisme didukung oleh lima kompetensi. Kelima kompetensi itu adalah keinginan untuk selalu menampilkan perilaku yang mendekati standar ideal, meningkatkan dan memelihara citra profesi. Keinginan untuk senantiasa mengejar kesempatan pengembangan professional yang dapat meningkatkan dan memperbaiki kualitas penegtahuan dan ketrampilannya. Mengejar kualitas dan cita-cita dalam profesi serta menjalankan secara professional kompetensi guru yaitu kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi professional yang diperoleh melalui pendidikan profesi, pelatihan dan pengalaman professional.
Guru juga harus meningkatkan mutu layanannya kepada siswa sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya. Usaha peningkatan mutu layanan pendidikan dalam era globalisasi memiliki tantangan yang cukup berat. Usaha menghasilkan mutu pendidikan dalam konteks mewujudkan good governance, secara umum kita kenal ada tiga pilar pokok yang mendukung kemampuan suatu bangsa dalam melaksanakan good governance adalah pemerintah (the state), masyarakat (civil society) dan pasar atau dunia usaha. Interaksi dan kemitraan biasanya baru dapat berkembang subur bila ada kepercayaan (trust), transparansi, partisipasi serta tata aturan yang jelas dan pasti.
Menurut Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara ( 2006 ), ada sembilan karakteristik yang dimiliki kepengelolaan dan kepengurusan yang baik (termasuk dalam bidang pendidikan). Karakteristik itu adalah setiap warga negara mempunyai suara dalam formulasi keputusan, baik secara langsung maupun tidak langsung. Kerangka hukum harus adil dan dilaksanakan tanpa pandang bulu. Transparansi dibangun atas dasar kebebasan arus informasi. Lembaga dan proses-proses harus dapat melayani stakeholders. Good governance menjadi pranata kepentingan yang berbeda untuk memperoleh pilihan terbaik bagi kepentingan yang lebih luas, baik dalam hal kebijakan-kebijakan maupun prosedur. Laki-laki mapun perempuan berkesempatan untuk meningkatkan atau menjaga kesejahteraan mereka. Proses dan lembaga menghasilkan sesuai dengan apa yang telah digariskan dengan menggunakan sumber-sumber yang tersedia sebaik mungkin. Pembuat keputusan dalam pemerintahan, sektor swasta dan masyarakat bertanggungjawab kepada publik dan lembaga-lembaga stakeholders serta para pemimpin dan publik harus mempunyai perspektif good governance dan pengembangan manusia yang luas dan jauh ke depan sejalan dengan apa yang diperlukan untuk pembangunan. Dari kesembilan karakteristik tersebut, ada empat ukuran pokok yaitu akuntabilitas, transparansi, fairness (keadilan) dan responsivitas (ketanggapan). Salah satu esensi dari proses pendidikan adalah penyajian informasi. Dalam menyajikan informasi, harus komunikatif dan memiliki makna secara ekonomis menguntungkan, secara teknis memungkinkan dapat dilaksanakan, secara sosial-psikologis dapat diterima sesuai dengan norma dan nilai-nilai yang ada serta sesuai atau sejalan dengan kebijaksanaan /tuntutan perkembangan yang ada. Fakta sejara telah membuktikan dengan berkembangnya komputer dan sistim informasi modern, telah menawarkan pencerahan baru. Revolusi informasi global telah berhasil menyatukan kemampuan komputasi, televisi, radio dan telepon menjadi terintegrasi. Hal ini merupakan hasil dari suatu kombinasi revolusi di bidang komputer personal, transmisi data, lebar pita (bandwitdh), teknologi penyimpanan data (data storage) dan penyampaian data (data access), integrasi multimedia dan jaringan komputer. Konvergensi dari revolusi teknologi tersebut telah menyatukan berbagai media, yaitu suara (voice, audio), video, citra (image), grafik dan teks. Intinya dengan perkembangan teknologi pendidikan guru harus senantiasa meningkatkan profesionalismenya. (* Dihimpun dari berbagai sumber-sumber relevan).
Oleh : Nelson Sihaloho
Sejarah Perkembangannya
Sebagaimana berdasarkan hasil penelitian para pakar ahli era 1960-an teknologi pendidikan menjadi salah satu kajian yang banyak mendapat perhatian. Awalnya, teknologi pendidikan merupakan kelanjutan perkembangan dari kajian-kajian tentang penggunaan audiovisual, dan program belajar dalam penyelenggaraan pendidikan. Berdasarkan sejarah perkembangannya, istilah teknologi pendidikan mulai digunakan sejak tahun 1963 yang resmi diikrarkan oleh Association of Educational and Communication Technology (AECT) tahun 1977, meskipun kadangkala terjadi pemahaman lain dengan istilah teknologi pembelajaran. Menurut Finn (1965) mengungkapkan bahwa di Inggris dan Kanada lebih lazim digunakan istilah teknologi pendidikan, sedangkan di Amerika Serikat banyak digunakan istilah teknologi pembelajaran. Kedua istilah itu digunakan secara serentak dalam aktivitas yang sama. Berbagai istilah semakin berkembang seperti perkembangan kerangka konsep. Istilah teknologi berasal dari kata “textere” (bahasa Latin) artinya “to weave or construct”, menenun atau membangun. Menurut Saettler (1968) bahwa teknologi tidak selamanya harus menggunakan mesin, akan tetapi merujuk pada setiap kegiatan praktis yang menggunakan ilmu atau pengetahuan tertentu. Artinya teknologi itu merupakan usaha untuk memecahkan masalah manusia (Salisbury, 2002). Romiszowski (1981) menyatakan bahwa teknologi itu berkaitan dengan produk dan proses. Sedangkan Rogers (1986) mempunyai pandangan bahwa teknologi biasanya menyangkut aspek perangkat keras (terdiri dari material atau objek fisik), dan aspek perangkat lunak (terdiri dari informasi yang yang terkandung dalam perangkat keras).
Salisbury (2002) mengungkapkan bahwa teknologi adalah penerapan ilmu atau pengetahuan yang terorganisir secara sistimatis untuk penyelesaian tugas-tugas secara praktis.
Kajian Finn (1960) pada seminar tentang peran teknologi dalam masyarakat berjudul “Technology and the Instructional Process” semakin menunjukkan bahwa penggunaan teknologi pendidikan dengan pendidikan sangat tepat dan wajar. Lumsdaine (1964) dalam Romiszoswki (1981) mengatakan penggunaan istilah teknologi pada pendidikan memiliki keterkaitan dengan konsep produk dan proses. Konsep produk berkaitan dengan perangkat keras atau hasil-hasil produksi yang dimanfaatkan dalam proses pengajaran. Selanjutnya konsep dan prinsip teknologi pembelajaran kemudian diperkaya oleh ahli-ahli bidang Psikologi, seperti Bruner (1966), Gagne (1974), ahli Cybernetic seperti Landa (1976), dan Pask (1976), serta praktisi seperti Gilbert (1969), Horn (1969), serta lembaga-lembaga pendidikan yang memiliki ketertarikan atas pengembangan program pembelajaran. Malcolm Warren (1978) mengungkapkan bahwa diperlukan teknologi untuk mengelola secara efektif pengorganisasian berbagai sumber manusiawi yang disebut oleh Romizowski (1986) dengan “Human resources management technology”.
Terbentuknya Konsep Teknologi Pendidikan
Secara historik, Januszewski (2001) mengungkapkan bahwa tahap awal sebagai pengantar ke arah pengembangan konsep dan istilah teknologi pendidikan dilandasi dan dipertajam oleh tiga faktor. Pertama, engineering (Bern, 1961; Szabo, 1968), kedua science (Finn, 1953; Ely, 1970; Jorgenson, 1981; Saettler, 1990; Shorck, 1990) dan Ketiga, the development of the Audio Visual education movement (Ely, 1963; Ely, 1970; Jorgerson, 1981; Saettler, 1990; Shrock, 1990). Dalam kaitannya dengan engineering, pengkajian diawali dari makna engineering yang menggambarkan kegiatan riset dan pengembangan serta usaha menghasilkan teknologi untuk digunakan secara praktis, yang kebanyakan terdapat di bidang industri. Saettler (1990) menyatakan bahwa Franklin Bobbitt dan W.W. Charters menjadi perintis penggunaan istilah “educational engineering” pada tahun 1920-an, khususnya pada pendekatan yang digunakan untuk pengembangan kurikulum. Istilah yang sama digunakan oleh Munroe (1912) dalam mengikat konsep ilmu managemen dalam setting pendidikan dan educational engineering. Charters (1941) menyatakan bahwa ilmu merupakan dasar dalam pendidikan, dan setiap usaha dalam pendidikan perlu dilandasi oleh kejelasan ilmu yang digunakan.
Menuurt Lange (1969) umumnya penggunaan peralatan pendidikan di kelas digunakan setelah. Perang Dunia ke II. Hoban yang menyelesaikan doktor sebelum Dale di Ohio State University telah menulis buku tentang Visualizing the Curriculum tahun 1937 bersama ayahnya dan Samual Zisman, secara sistematis mereka mengungkapkan hubungan antara bahan ajar secara konkrit dengan proses belajar. Selanjutnya Dale mencoba mendiversifikasi pengalaman belajar di dalam kelas. Buku yang pertama ditulisnya adalah Audio Visual Methods in Teaching (1946), yang menjelaskan ”Cone of Experience” atau kerucut pengalaman sebagaimana populer sampai saat ini. Dalam perkembangan selanjutnya muncul teori komunikasi yang dikembangan Harold Lasswell merupakan awal pijakan dalam mempelajari konsep komunikasi dalam pendidikan. Konsep komunikasi sebagaimana diungkapkan Shannon dan Weaver’s sebagai hasil kajiannya terhadap komunikasi telepon dan teknologi radio menjadi model yang khas yang disebut Mathematical Theory of Communication, dengan komponen-komponennya yang terdiri dari: Information Source, Massage, Transmitter, Signal, Noise Source, Signal Receiver, Reciever, Massage, dan Destination, konsep teori komunikasinya tergolong pada komunikasi linier. David Berlo (1960) yang banyak diilhami model Shannon dan Weaver menghasilkan temuannya Model Komunikasi Sender, Massage, Channel, Receiver (SMCR). Konsepnya banyak memberikan perhatian terhadap adanya Massage (pesan) dan Channel (saluran). Model ini menjadi dasar pengembangan dalam komunikasi audiovisual pada pendidikan. Kajian ahli-ahli psikologi dan sosial psikologi dalam pendidikan berlangsung selama masa dan pasca perang dunia ke II, terutama menjadi fokus kajian di lingkungan pengajaran militer (Lange, 1969). Studi masa itu kebanyakan diwarnai oleh aliran psikologi behavior, sebagai contoh operant behavioral conditioning yang ditemukan BF Skinner (1953). Kemudian berkembang ke arah psikologi kognitif sebagaimana dikembangkan oleh Robert M Gagne (The Conditions of Learning and theory of instruction, 1916). Kajian teaching machine and programmed instruction dilakukan melalui studi science in education (Skinner, 1954; Saettler, 1990), gerakan efisiensi pendidikan (Stolurow, 1961; Dale, 1967), dan kajian kurikulum untuk pengajaran individual (Stolurow, 1961; Dale, 1967; Saettler, 1990). Walaupun teaching machine ini sangat populer dan diawali kajiannya oleh Skinner, akan tetapi E L Thorndike (1912) yang mulai mengembangkan konsep ke arah pemanfaatan teaching machine dan programmed instruction (Dale, 1967; Ely, 1970; Saettler,1990. Empat model program individualized instruction yang sangat populer yang menjadi kajian bidang teknologi pendidikan, yaitu Mastery Learning yang dikembangkan Bloom (1968); Individually Prescribed Instruction (IPI) yang dikembangkan di University of Pittsburg tahun 1964; Personalized System of Instruction (PSI) yang dikembangkan Keller Plan (1968) serta Individually Guided Education (IGE) yang dikembangkan oleh Wisconsin Research and Development tahun 1976. Association of Educational and Communication Technology (AECT) pada tahun 1977 menerbitkan buku The Definition of Educational Technology. Kontribusi terhadap perumusan kembali definisi teknologi pendidikan versi 1972 menjadi versi 1977 sejalan dengan perubahan klasifikasi learning resources. Managemen menjadi pendukung kedua dalam membangun definisi teknologi pendidikan versi 1977. Konsep definisi versi 2004 menyatakan bahwa teknologi pendidikan adalah studi dan praktek yang etis dalam memberi kemudahan belajar dan perbaikan kinerja melalui kreasi, penggunaan, dan pengelolaan proses dan sumber teknologi yang tepat.
Profesionalisme Guru
“Professional” mempunyai makna yang mengacu kepada sebutan tentang orang yang menyandang suatu profesi dan sebutan tentang penampilan seseorang dalam mewujudkan unjuk kerja sesuai dengan profesinya. Dalam RUU Guru (pasal 1 ayat 4) dinyatakan bahwa, “professional adalah kemampuan melakukan pekerjaan sesuai dangan keahlian dan pengabdian diri kepada pihak lain”. “Profesionalisme” adalah sebutan yang mengacu kepada sikap mental dalam bentuk komitmen dari para anggota suatu profesi untuk senantiasa mewujudkan dan meningkatkan kualitas profesionalnya. Lebih konkritnya adalah tentang “profesionalitas” yang identik dengan kualitas sikap para anggota suatu profesi terhadap profesinya serta derajat pengetahuan dan keahlian yang mereka miliki didalam menjalankan tugas-tugasnya. “Profesionalisasi” adalah sutu proses menuju kepada perwujudan dan peningkatan profesi dalam mencapai suatu kriteria yang sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. Kualitas profesi seorang guru harus didukung oleh lima kompetensi.
Menurut Moh. Surya (2007) kualitas profesionalisme didukung oleh lima kompetensi. Kelima kompetensi itu adalah keinginan untuk selalu menampilkan perilaku yang mendekati standar ideal, meningkatkan dan memelihara citra profesi. Keinginan untuk senantiasa mengejar kesempatan pengembangan professional yang dapat meningkatkan dan memperbaiki kualitas penegtahuan dan ketrampilannya. Mengejar kualitas dan cita-cita dalam profesi serta menjalankan secara professional kompetensi guru yaitu kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi professional yang diperoleh melalui pendidikan profesi, pelatihan dan pengalaman professional.
Guru juga harus meningkatkan mutu layanannya kepada siswa sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya. Usaha peningkatan mutu layanan pendidikan dalam era globalisasi memiliki tantangan yang cukup berat. Usaha menghasilkan mutu pendidikan dalam konteks mewujudkan good governance, secara umum kita kenal ada tiga pilar pokok yang mendukung kemampuan suatu bangsa dalam melaksanakan good governance adalah pemerintah (the state), masyarakat (civil society) dan pasar atau dunia usaha. Interaksi dan kemitraan biasanya baru dapat berkembang subur bila ada kepercayaan (trust), transparansi, partisipasi serta tata aturan yang jelas dan pasti.
Menurut Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara ( 2006 ), ada sembilan karakteristik yang dimiliki kepengelolaan dan kepengurusan yang baik (termasuk dalam bidang pendidikan). Karakteristik itu adalah setiap warga negara mempunyai suara dalam formulasi keputusan, baik secara langsung maupun tidak langsung. Kerangka hukum harus adil dan dilaksanakan tanpa pandang bulu. Transparansi dibangun atas dasar kebebasan arus informasi. Lembaga dan proses-proses harus dapat melayani stakeholders. Good governance menjadi pranata kepentingan yang berbeda untuk memperoleh pilihan terbaik bagi kepentingan yang lebih luas, baik dalam hal kebijakan-kebijakan maupun prosedur. Laki-laki mapun perempuan berkesempatan untuk meningkatkan atau menjaga kesejahteraan mereka. Proses dan lembaga menghasilkan sesuai dengan apa yang telah digariskan dengan menggunakan sumber-sumber yang tersedia sebaik mungkin. Pembuat keputusan dalam pemerintahan, sektor swasta dan masyarakat bertanggungjawab kepada publik dan lembaga-lembaga stakeholders serta para pemimpin dan publik harus mempunyai perspektif good governance dan pengembangan manusia yang luas dan jauh ke depan sejalan dengan apa yang diperlukan untuk pembangunan. Dari kesembilan karakteristik tersebut, ada empat ukuran pokok yaitu akuntabilitas, transparansi, fairness (keadilan) dan responsivitas (ketanggapan). Salah satu esensi dari proses pendidikan adalah penyajian informasi. Dalam menyajikan informasi, harus komunikatif dan memiliki makna secara ekonomis menguntungkan, secara teknis memungkinkan dapat dilaksanakan, secara sosial-psikologis dapat diterima sesuai dengan norma dan nilai-nilai yang ada serta sesuai atau sejalan dengan kebijaksanaan /tuntutan perkembangan yang ada. Fakta sejara telah membuktikan dengan berkembangnya komputer dan sistim informasi modern, telah menawarkan pencerahan baru. Revolusi informasi global telah berhasil menyatukan kemampuan komputasi, televisi, radio dan telepon menjadi terintegrasi. Hal ini merupakan hasil dari suatu kombinasi revolusi di bidang komputer personal, transmisi data, lebar pita (bandwitdh), teknologi penyimpanan data (data storage) dan penyampaian data (data access), integrasi multimedia dan jaringan komputer. Konvergensi dari revolusi teknologi tersebut telah menyatukan berbagai media, yaitu suara (voice, audio), video, citra (image), grafik dan teks. Intinya dengan perkembangan teknologi pendidikan guru harus senantiasa meningkatkan profesionalismenya. (* Dihimpun dari berbagai sumber-sumber relevan).
Senin, 15 November 2010
BIMBINGAN KONSELING
Paradigma Pelayanan Konseling dan Tantangan Era Globalisasi
Oleh : Nelson Sihaloho
Pengantar
Era globalisasi saat ini berdampak sangat besar pada seluruh aspek kehidupan masyarakat baik itu aspek ekonomi, sosial kemasyarakatan maupun dunia pendidikanpun terkena efeknya.. Efek yang dialami oleh masyarakat dapat dilihat dari dua sisi yaitu sisi positif dan sisi negatif. Sisi positifnya bias kita amati secara langsung yaitu begitu mudahnya manusia melakukan komunikasi dengan orang lain, bahkan komunikasi ini tidak terbatas oleh ruang dan waktu, manusia semakin mudah dalam melakukan perjalanan baik domestik atau non domestik serta mudah memperoleh informasi dan mengakses informasi.
Disisi lain, era global membawa dampak negatif yang tidak dapat dihindari oleh manusia. Kemudahan manusia mendapatkan informasi dan mengakses informasi memiliki efek pada perilaku manusia itu sendiri. Sebagai perbandingan kontras, dulu manusia sulit untuk mendapatkan informasi dari kawasan lain (luar negeri). Andaikatapun bisa membutuh waktu relatif lama. Pada era sekarang ini manusia bisa menerima berita-berita yang terjadi diseputar kita dengan cepat melalui teknologi tinggi yang dapat diakses melalui jaringan internet seperti hand phone (HP).
Saat ini HP maupun mengakses jaringan internet tidak lagi menjadi barang canggih dan mahal. Bahkan pihak oprator jaringan telekomunikasi seluler berlomba-lomba untuk menawarkan kepada pihak pelanggan dengan segala keunggulan serta kemudahan dalam mengakses informasi melalui jaringan televisi, internet plus HP.
Bahkan setiap sekolah saat ini khususnya yang memiliki jaringan listrik jaringan internet bias diakses dengan mudahnya termasuk ilmu pengetahuan dan teknologi dibidang pendidikan. Guru-guru pun saat ini harus mampu memanfaatkan jaringan internet untuk lebih menggali lebih dalam lagi tentang SDM yang dimilikinya.
Bimbingan dan Konseling merupakan sebuah profesi. Sebagai sebuah profesi dalam melaksanakan program akan terikat dengan kode etik yang dimiliki. Bimbingan dan Konseling yang lahir pada tahun 1975 dengan berdirinya Ikatan Petugas Bimbingan Indonesia (IPBI), mengalami proses perjalanan panjang hingga pada akhirnya pada tahun 2008 muncul Naskah Akademik yang menjadi pedoman pelaksanaan Bimbingan dan Konseling.
Sebagai sebuah profesi yang mandiri, konseling merupakan suatu kegiatan yang hanya bisa dilaksanakan oleh konselor professional dengan memiliki syarat-syarat tertentu. Sosok konselor profesional di sekolah memiliki keunikan tersendiri dimana tugasnya berbeda dengan tugas guru bidang studi. Sosok guru menunjukkan keahlian profesionalnya dengan mempergunakan materi pembelajaran sebagai konteks tugas pelayananannya, sedangkan konselor dengan memberikan layanan bimbingan konseling yang memandirikan tidak mempergunakan materi pembelajaran sebagai konteks layanan.
Kiprah konselor disekolah menggunakan rujukan ”layanan bimbingan dan konseling yang memandirikan”, sesuai dengan tuntutan realisasi diri (self-realization) konseli melalui fasilitasi perkembangan kapasitasnya secara maksimal (capacity development).
Sedangkan seorang guru bidang studi menggunakan mata pelajaran sebagai konteks terapan pelayanannya, menggunakan rujukan normatif ”pembelajaran yang mendidik” dimana terfokus pada pelayanan pendidikan sesuai bakat, minat, dan kebutuhan peserta didik dalam proses pembudayaan sepanjang hayat dalam suasana pendidikan yang bermakna, menyenangkan, dialogis dan dinamis menuju pencapaian tujuan utuh pendidikan.
Tinjauan Empirik
Biro tenaga kerja di Amerika Serikat (2007) memberikan panduan tentang pekerjaan konselor disekolah, “Counselors assist people with personal, family, educational, mental health, and career problems. Their duties vary greatly depending on their occupational specialty, which is determined by the setting in which they work and the population they serve. Educational, vocational, and school counselors provide individuals and groups with career and educational counseling. School counselors assist students of all levels, from elementary school to postsecondary education. They advocate for students and work with other individuals and organizations to promote the academic, career, personal, and social development of children and youth.
School counselors help students evaluate their abilities, interests, talents, and personalities to develop realistic academic and career goals. Counselors use interviews, counseling sessions, interest and aptitude assessment tests, and other methods to evaluate and advise students. They also operate career information centers and career education programs”.
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP 2007) menyatakan bahwa Konseling merupakan pelayanan bantuan kepada peserta didik baik secara perorangan maupun kelompok sehingga mampu mandiri dan berkembang secara optimal dalam bidang pengembangan kehidupan pribadi, social, kegiatan belajar serta perencanaan karir melalui berbagai jenis layanan dan kegiatan pendukung berdasarkan norma-norma yang berlaku.
Adapun landasan pelaksanaan Bimbingan dan Konseling disekolah mengacu pada Undang-undang (UU) No.20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dimana pada pasal 1 butir 6 dikemukakan bahwa Konselor adalah pendidik dan pasal 3 bahwa pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik dan pasal 4 ayat (4) bahwa pendidikan diselenggarakan dengan memberi keteladanan, membangun kemauan, mengembangkan kreativitas peserta didik dalam proses pembelajaran.
Selanjutnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP) pasal 5 sampai dengan 18 tentang standar isi pendidikan dasar dan menenngah.
Menyusul selanjutnya PP Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi (SI) untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah yang memuat pengembangan diri peserta didik dalam struktur kurikulum setiap satuan pendidikan serta Dasar Standarisasi Profesi Konseling yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Tahun 2004 yang memberikan arah pengembangan profesi Konseling disekolah dan diluar sekolah.
Kompetensi profesional konselor dapat dilihat dari aspek pendidikannya. Beberapa pakar dan ahli seperti Rogers (dalam Geldard, 1993) menyatakan bahwa konselor yang baik memiliki tiga kualitas yaitu, congruence, empathy dan unconditional positive regard. Congruence merujuk pada penunjukan diri secara apa adanya (genuine), terintegrasi dan memandang orang secara keseluruhan (whole person). Empati (empathy) merujuk pada pemahaman terhadap apa yang dirasakan dan dipikirkan oleh konseli. Penerimaan tanpa syarat (unconditional positive regard) merujuk pada penerimaan konseli tanpa adanya penilaian (non-judgementally) terhadap nilai-nilai yang dimiliki oleh konseli dan mengakui kelebihan dan kelemahan yang dimiliki oleh konseli.
Ellis (dalam Yeo, 2003) menyatakan bahwa konselor profesional ditunjukkan dengan berbagai kualitas.
Kualitas itu adalah bahwa konselor sungguh-sungguh berminat untuk menolong klien mereka dan berusaha sekuat tenaga merealisasikan minat, tanpa syarat mereka harus memandang klien mereka sebagai pribadi, percaya pada kemampuan terapeutis mereka sendiri, memiliki pengetahuan luas tentang teori dan praktik-praktik konseling, luwes, tidak picik dan terbuka untuk mendapatkan keterampilan-keterampilan baru dan mencobanya.
Selanjutnya adalah mampu menghadapi dan menyelesaikan keruwetan-keruwetan mereka sendiri, tidak cemas, tidak tertekan, tidak bersikap bermusuhan, tidak membiarkan diri mereka sendiri merosot, tidak mengasihani diri atau tidak disiplin, sabar, tekun, dan berusaha keras dalam kegiatan-kegiatan terapeutis mereka, bersikap etis dan bertanggungjawab, menggunakan konseling hampir seutuhnya demi kebaikan klien dan bukan untuk kesenangan pribadi, bertindak secara profesional dan tepat dalam bidang terapeutis, tetapi masih sanggup mempertahankan sikap manusiawi, spontan dan gembira dalam bekerja.
Optimistik, mampu memberi semangat dan memperlihatkan pada klien bahwa apapun kesulitan yang dihadapi klien, mereka dapat berubah, berhasrat untuk menolong semua klien dan dengan besar hati bersedia merujuk orang-orang yang mereka anggap tidak bisa mereka tolong kepada rekan profesi lain. Simpson & Starkey, 2006 menyatakan bahwa ciri-ciri konselor efektif adalah memiliki kemampuan empatik, pemahaman terhadap konseli, memiliki kemampuan kebutuhan emosinya serta responsif terhadap konselinya.
Lebih lanjut Bowman dan Reeves (dalam Karen & Garet, 2006) menyatakan bahwa konselor yang baik, sebaiknya dapat mengembangkan moralitas dan kemampuan berempati sesuai dengan kebutuhan. Hal tersebut akan mengarahkan konselor untuk mampu memamahi dirinya, sehingga dapat terbuka untuk bekerja dengan individu atau masyarakat di sekitarnya.
Perkembangan Teori Konseling
Perkembangan teori konseling saat ini mengalami kemajuan yang cukup pesat terlihat dari hasil-hasil penelitian yang dipublikasikan pada jurnal-jurnal penelitian baik skala nasional maupun internasional. Penelitian yang dipublikasikan di jurnal-jurnal ilmiah seperti America Educational Research Journal (AERJ), American Educational Research Association (AERA), Journal of Counseling & Development American Counseling, ASCA, Profesional School Counseling, Journal of Educational Psychology, American School Counselor Association, American Journal of Educational Research adalah untuk menjawab permasalahan-permasalahan yang terjadi pada dunia bimbingan dan konseling. Fenomena yang terjadi di sekolah saat ini pelayanan bimbingan dan konseling memiliki prospek yang cerah serta merupakan suatu kesempatan emas bagi konselor untuk mengembangkan teori konseling.
Beberapa teori konseling yang popular diantaranya adalah Teori Behavioral, Teori Humanistikdan Teori Gestalt. Teori Behavivioral dikenal dengan nama teori klasik yang dipelopori oleh Bandura, Pavlov, Skinner dimana pendekatannya berasumsi bahwa perilaku manusia merupakan serasngkaian hasil belajar. Meskipun teori ini telah banyak mendapat tentangan dari aliran-aliran baru namun tetap eksis bahkan beberapa ahli melakukan modifikasi atas teori Behavioral tersebut.
Salah satu ahli yang melakukan modifikasi adalah Skinner yang menyatakan bahwa pandangan teori behavioristik terhadap manusia, perilaku organisme bukan merupakan suatu fenomena mental, lebih ditentukan dengan belajar, sikap, kebiasaan dan aspek perkembangan kepribadian, perkembangan kepribadian bersifat deterministik, perbedaan individu karena adanya perbedaan pengalaman. Dualisme seperti pikiran dan tubuh, tubuh dan jiwa bukan merupakan hal yang ilmiah, tidak dapat diperkirakan dan tidak dapat mengatur perilaku manusia serta meskipun perkembangan kepribadian dibatasi oleh sifat genetik, tetapi secara umum lingkungan dimana individu berada mempunyai pengaruh yang sangat besar.
Sedangkan Teori Humanistik dipelopori oleh Abraham Maslow, Rogres, Victor Frankl dimana pendekatan ini muncul karena ketidakcocokan dengan paradigma pendekatan Behavioristik. Ketiga ahli ini secara mendasar mengemukakan teori-teorinya berdasar pada pendekatan humanistic namun dalam pelaksanaan strategi konseling terdapat perbedaan. Menurut mereka kebutuhan manusia terdiri dari kebutuhan biologis dan phisik, kebutuhan rasa aman, kebutuhan untuk memiliki dan mencintai, kebutuhan harga diri serta kebutuhan aktualisasi diri.
Teori humanistik semakin berkembang setelah Rogers mengembangkan teori person centered Therapy, dimana palayanan konseling dipusatkan kepada individu. Pandangan teori Rogerian terhadap manusia adalah bahwa organisme, merupakan keseluruhan individu (the total individual), medan phenomenal, merupakan keseluruhan pengalaman individu (the totally of experience), serta self, merupakan bagian dari medan phenomenal yang terdiferensiasikan dan terdiri dari pola-pola pengamatan dan penillaian sadar dari “I” atau “Me”.
Rogers berpendapat bahwa pribadi yang sehat bukan merupakan keadaan dari ada, melainkan suatu proses, “suatu arah buka suatu tujuan”. Rogers juga menunjukkan bahwa individu yang sehat adalah mereka yang terbuka dengan pengalaman baru (opennes to experience), percaya pada diri sendiri (trust in themselves), mempergunakan sumber-sumber dalam diri untuk melakukan evaluasi (internal source of evaluation) serta keinginan untuk terus tumbuh (willingness to continue growing).
Dalam praktiknya pendekatan Rogerian tidak memiliki strategi khusus dalam menangani masalah konseli. Hal itu bias dibuktikan dengan mellaui praktik konseling, kualitas hubungan antara konselor dan konseli menjadi proritas utama untuk mengentaskan permasalahan konseli. Namun untuk mencapainya seorang konselor harus memiliki sikap genuineness, unconditional positive regard serta empathic understanding.
Teori Gestalt Teori Gestalt diperkenalkan oleh seorang ahli bernama Frederick Perls dimana kata Gestalt dalam bahasa Jeman mempunyai arti bentuk, wujud atau organisasi.
Perkembangan teori Gestalt tidak bisa dilepaskan dari sosok Laura (Lore) Posner (1905-1990) yang merupakan isteri Frederick Perls yang turut mengembangkan teori Gestalt. Sebagaimana diketahui Laura juga seorang pengikut aliran Psikoanalisa, yang kemudian pindah untuk mendalami teori-teori Gestalt. tahun 1926, Laura dan Perls aktif mengembangkan teori Gestalt. Pada tahun 1952, mereka mendirikan New York Institute for Gestalt Therapy.
Teori Gestalt memandang manusia dengan asumsi-asumsi bahwa manusia merupakan suatu komposisi yang menyeluruh (whole) yang diciptakan dari adanya interrelasi bagian-bagian, tidak ada satu bagian tubuh (tubuh, emosi, pemikiran, perhatian, sensasi dan persepsi) yang dapat dipahami tanpa melihat manusia itu secara keseluruhan, seseorang juga merupakan bagian dari lingkungannya dan tidak dapat dipahami dengan memisahkannya. Seseorang memilih bagaimana merespon stimuli eksternal, dia merupakan aktor dalam dunianya dan bukan reaktor, seseorang mempunyai potensi untuk secara penuh menyadari keseluruhan sensasi, pemikiran, emosi dan persepsinya. Seseorang mampu untuk membuat pilihan karena kesadarannya, seseorang mempunyai kemampuan untuk menentukan kehidupan secara efektif, seseorang tidak mengalami masa lalu dan masa yang akan datang; mereka hanya akan dapat mengalami dirinya pada saat ini serta seseorang itu pada dasarnya baik dan bukan buruk.
Menurut teori Gestalt, manusia sehat memiliki ciri-ciri antara lain percaya pada kemampuan sendiri, bertanggungjawab, memiliki kematangan serta memiliki keseimbangan diri.
Dalam praktiknya pendekatan Gestalt mengarahkan konseli untuk secara langsung mengalami masalahnya dari pada hanya sekdar berbicara situasi yang seringkali bersifat abstrak. Konselor berusaha untuk memahami secara langsung bagaimana konseli berpikir, merasakan sesuatu melakukan sesuatu.
Gambaran beberapa teori para ahli diatas menunjukkan bahwa seorang konselor dalam menjalankan tugasnya harus mampu mengubah paradigma bahwa konselor bukanlah polisi sekolah (school policy). Termasuk guru saat ini harus mampu menjadikan dirinya sebagai pelayan pembelajaran sesuai dengan bidang tugasnya. Guru yang telah memperoleh pengakuan Sertifikasi Guru Dalam Jabatan (Sertifikasi Pendidik) harus mengubah paradigma model pembelajarannya kepada siswa dengan konteks pelayanan kepada siswa.
Tugas utama guru adalah mengajar dengan fokus memberikan pelayanan kepada semua siswa. Sedapat mungkin guru harus membuang jauh-jauh model pembelajaran yang monoton dan tidak diperkenankan menekan-nekan siswa ataupun menghambat tugas-tugas perkembangan siswa. Tugas guru sebagai pendidik adalah memberikan pelayanan kepada siswa dimana kelak hasil output (produk) SDM yang dihasilkannya akan dinilai oleh publik. Era global sudah pasti akan berjalan secara alamiah dan paradigma pelayanan Bimbingan Konseling juga demikian. Guru BK harus memberikan pelayanan kepada siswa dalam konteks era global. Teori Konseling juga akan berkembang sesuai dengan perkembangan zaman dan teknologi. Di masa depan akan muncul teori-teori yang lebih revolusioner serta mtakhir termasuk teori revolusi-revolusi belajar baru.
Penulis adalah : Pemerhati bidang Pendidikan tinggal di Kota Jambi, E-mail: sihaloho11@yahoo.com.
Oleh : Nelson Sihaloho
Pengantar
Era globalisasi saat ini berdampak sangat besar pada seluruh aspek kehidupan masyarakat baik itu aspek ekonomi, sosial kemasyarakatan maupun dunia pendidikanpun terkena efeknya.. Efek yang dialami oleh masyarakat dapat dilihat dari dua sisi yaitu sisi positif dan sisi negatif. Sisi positifnya bias kita amati secara langsung yaitu begitu mudahnya manusia melakukan komunikasi dengan orang lain, bahkan komunikasi ini tidak terbatas oleh ruang dan waktu, manusia semakin mudah dalam melakukan perjalanan baik domestik atau non domestik serta mudah memperoleh informasi dan mengakses informasi.
Disisi lain, era global membawa dampak negatif yang tidak dapat dihindari oleh manusia. Kemudahan manusia mendapatkan informasi dan mengakses informasi memiliki efek pada perilaku manusia itu sendiri. Sebagai perbandingan kontras, dulu manusia sulit untuk mendapatkan informasi dari kawasan lain (luar negeri). Andaikatapun bisa membutuh waktu relatif lama. Pada era sekarang ini manusia bisa menerima berita-berita yang terjadi diseputar kita dengan cepat melalui teknologi tinggi yang dapat diakses melalui jaringan internet seperti hand phone (HP).
Saat ini HP maupun mengakses jaringan internet tidak lagi menjadi barang canggih dan mahal. Bahkan pihak oprator jaringan telekomunikasi seluler berlomba-lomba untuk menawarkan kepada pihak pelanggan dengan segala keunggulan serta kemudahan dalam mengakses informasi melalui jaringan televisi, internet plus HP.
Bahkan setiap sekolah saat ini khususnya yang memiliki jaringan listrik jaringan internet bias diakses dengan mudahnya termasuk ilmu pengetahuan dan teknologi dibidang pendidikan. Guru-guru pun saat ini harus mampu memanfaatkan jaringan internet untuk lebih menggali lebih dalam lagi tentang SDM yang dimilikinya.
Bimbingan dan Konseling merupakan sebuah profesi. Sebagai sebuah profesi dalam melaksanakan program akan terikat dengan kode etik yang dimiliki. Bimbingan dan Konseling yang lahir pada tahun 1975 dengan berdirinya Ikatan Petugas Bimbingan Indonesia (IPBI), mengalami proses perjalanan panjang hingga pada akhirnya pada tahun 2008 muncul Naskah Akademik yang menjadi pedoman pelaksanaan Bimbingan dan Konseling.
Sebagai sebuah profesi yang mandiri, konseling merupakan suatu kegiatan yang hanya bisa dilaksanakan oleh konselor professional dengan memiliki syarat-syarat tertentu. Sosok konselor profesional di sekolah memiliki keunikan tersendiri dimana tugasnya berbeda dengan tugas guru bidang studi. Sosok guru menunjukkan keahlian profesionalnya dengan mempergunakan materi pembelajaran sebagai konteks tugas pelayananannya, sedangkan konselor dengan memberikan layanan bimbingan konseling yang memandirikan tidak mempergunakan materi pembelajaran sebagai konteks layanan.
Kiprah konselor disekolah menggunakan rujukan ”layanan bimbingan dan konseling yang memandirikan”, sesuai dengan tuntutan realisasi diri (self-realization) konseli melalui fasilitasi perkembangan kapasitasnya secara maksimal (capacity development).
Sedangkan seorang guru bidang studi menggunakan mata pelajaran sebagai konteks terapan pelayanannya, menggunakan rujukan normatif ”pembelajaran yang mendidik” dimana terfokus pada pelayanan pendidikan sesuai bakat, minat, dan kebutuhan peserta didik dalam proses pembudayaan sepanjang hayat dalam suasana pendidikan yang bermakna, menyenangkan, dialogis dan dinamis menuju pencapaian tujuan utuh pendidikan.
Tinjauan Empirik
Biro tenaga kerja di Amerika Serikat (2007) memberikan panduan tentang pekerjaan konselor disekolah, “Counselors assist people with personal, family, educational, mental health, and career problems. Their duties vary greatly depending on their occupational specialty, which is determined by the setting in which they work and the population they serve. Educational, vocational, and school counselors provide individuals and groups with career and educational counseling. School counselors assist students of all levels, from elementary school to postsecondary education. They advocate for students and work with other individuals and organizations to promote the academic, career, personal, and social development of children and youth.
School counselors help students evaluate their abilities, interests, talents, and personalities to develop realistic academic and career goals. Counselors use interviews, counseling sessions, interest and aptitude assessment tests, and other methods to evaluate and advise students. They also operate career information centers and career education programs”.
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP 2007) menyatakan bahwa Konseling merupakan pelayanan bantuan kepada peserta didik baik secara perorangan maupun kelompok sehingga mampu mandiri dan berkembang secara optimal dalam bidang pengembangan kehidupan pribadi, social, kegiatan belajar serta perencanaan karir melalui berbagai jenis layanan dan kegiatan pendukung berdasarkan norma-norma yang berlaku.
Adapun landasan pelaksanaan Bimbingan dan Konseling disekolah mengacu pada Undang-undang (UU) No.20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dimana pada pasal 1 butir 6 dikemukakan bahwa Konselor adalah pendidik dan pasal 3 bahwa pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik dan pasal 4 ayat (4) bahwa pendidikan diselenggarakan dengan memberi keteladanan, membangun kemauan, mengembangkan kreativitas peserta didik dalam proses pembelajaran.
Selanjutnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP) pasal 5 sampai dengan 18 tentang standar isi pendidikan dasar dan menenngah.
Menyusul selanjutnya PP Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi (SI) untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah yang memuat pengembangan diri peserta didik dalam struktur kurikulum setiap satuan pendidikan serta Dasar Standarisasi Profesi Konseling yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Tahun 2004 yang memberikan arah pengembangan profesi Konseling disekolah dan diluar sekolah.
Kompetensi profesional konselor dapat dilihat dari aspek pendidikannya. Beberapa pakar dan ahli seperti Rogers (dalam Geldard, 1993) menyatakan bahwa konselor yang baik memiliki tiga kualitas yaitu, congruence, empathy dan unconditional positive regard. Congruence merujuk pada penunjukan diri secara apa adanya (genuine), terintegrasi dan memandang orang secara keseluruhan (whole person). Empati (empathy) merujuk pada pemahaman terhadap apa yang dirasakan dan dipikirkan oleh konseli. Penerimaan tanpa syarat (unconditional positive regard) merujuk pada penerimaan konseli tanpa adanya penilaian (non-judgementally) terhadap nilai-nilai yang dimiliki oleh konseli dan mengakui kelebihan dan kelemahan yang dimiliki oleh konseli.
Ellis (dalam Yeo, 2003) menyatakan bahwa konselor profesional ditunjukkan dengan berbagai kualitas.
Kualitas itu adalah bahwa konselor sungguh-sungguh berminat untuk menolong klien mereka dan berusaha sekuat tenaga merealisasikan minat, tanpa syarat mereka harus memandang klien mereka sebagai pribadi, percaya pada kemampuan terapeutis mereka sendiri, memiliki pengetahuan luas tentang teori dan praktik-praktik konseling, luwes, tidak picik dan terbuka untuk mendapatkan keterampilan-keterampilan baru dan mencobanya.
Selanjutnya adalah mampu menghadapi dan menyelesaikan keruwetan-keruwetan mereka sendiri, tidak cemas, tidak tertekan, tidak bersikap bermusuhan, tidak membiarkan diri mereka sendiri merosot, tidak mengasihani diri atau tidak disiplin, sabar, tekun, dan berusaha keras dalam kegiatan-kegiatan terapeutis mereka, bersikap etis dan bertanggungjawab, menggunakan konseling hampir seutuhnya demi kebaikan klien dan bukan untuk kesenangan pribadi, bertindak secara profesional dan tepat dalam bidang terapeutis, tetapi masih sanggup mempertahankan sikap manusiawi, spontan dan gembira dalam bekerja.
Optimistik, mampu memberi semangat dan memperlihatkan pada klien bahwa apapun kesulitan yang dihadapi klien, mereka dapat berubah, berhasrat untuk menolong semua klien dan dengan besar hati bersedia merujuk orang-orang yang mereka anggap tidak bisa mereka tolong kepada rekan profesi lain. Simpson & Starkey, 2006 menyatakan bahwa ciri-ciri konselor efektif adalah memiliki kemampuan empatik, pemahaman terhadap konseli, memiliki kemampuan kebutuhan emosinya serta responsif terhadap konselinya.
Lebih lanjut Bowman dan Reeves (dalam Karen & Garet, 2006) menyatakan bahwa konselor yang baik, sebaiknya dapat mengembangkan moralitas dan kemampuan berempati sesuai dengan kebutuhan. Hal tersebut akan mengarahkan konselor untuk mampu memamahi dirinya, sehingga dapat terbuka untuk bekerja dengan individu atau masyarakat di sekitarnya.
Perkembangan Teori Konseling
Perkembangan teori konseling saat ini mengalami kemajuan yang cukup pesat terlihat dari hasil-hasil penelitian yang dipublikasikan pada jurnal-jurnal penelitian baik skala nasional maupun internasional. Penelitian yang dipublikasikan di jurnal-jurnal ilmiah seperti America Educational Research Journal (AERJ), American Educational Research Association (AERA), Journal of Counseling & Development American Counseling, ASCA, Profesional School Counseling, Journal of Educational Psychology, American School Counselor Association, American Journal of Educational Research adalah untuk menjawab permasalahan-permasalahan yang terjadi pada dunia bimbingan dan konseling. Fenomena yang terjadi di sekolah saat ini pelayanan bimbingan dan konseling memiliki prospek yang cerah serta merupakan suatu kesempatan emas bagi konselor untuk mengembangkan teori konseling.
Beberapa teori konseling yang popular diantaranya adalah Teori Behavioral, Teori Humanistikdan Teori Gestalt. Teori Behavivioral dikenal dengan nama teori klasik yang dipelopori oleh Bandura, Pavlov, Skinner dimana pendekatannya berasumsi bahwa perilaku manusia merupakan serasngkaian hasil belajar. Meskipun teori ini telah banyak mendapat tentangan dari aliran-aliran baru namun tetap eksis bahkan beberapa ahli melakukan modifikasi atas teori Behavioral tersebut.
Salah satu ahli yang melakukan modifikasi adalah Skinner yang menyatakan bahwa pandangan teori behavioristik terhadap manusia, perilaku organisme bukan merupakan suatu fenomena mental, lebih ditentukan dengan belajar, sikap, kebiasaan dan aspek perkembangan kepribadian, perkembangan kepribadian bersifat deterministik, perbedaan individu karena adanya perbedaan pengalaman. Dualisme seperti pikiran dan tubuh, tubuh dan jiwa bukan merupakan hal yang ilmiah, tidak dapat diperkirakan dan tidak dapat mengatur perilaku manusia serta meskipun perkembangan kepribadian dibatasi oleh sifat genetik, tetapi secara umum lingkungan dimana individu berada mempunyai pengaruh yang sangat besar.
Sedangkan Teori Humanistik dipelopori oleh Abraham Maslow, Rogres, Victor Frankl dimana pendekatan ini muncul karena ketidakcocokan dengan paradigma pendekatan Behavioristik. Ketiga ahli ini secara mendasar mengemukakan teori-teorinya berdasar pada pendekatan humanistic namun dalam pelaksanaan strategi konseling terdapat perbedaan. Menurut mereka kebutuhan manusia terdiri dari kebutuhan biologis dan phisik, kebutuhan rasa aman, kebutuhan untuk memiliki dan mencintai, kebutuhan harga diri serta kebutuhan aktualisasi diri.
Teori humanistik semakin berkembang setelah Rogers mengembangkan teori person centered Therapy, dimana palayanan konseling dipusatkan kepada individu. Pandangan teori Rogerian terhadap manusia adalah bahwa organisme, merupakan keseluruhan individu (the total individual), medan phenomenal, merupakan keseluruhan pengalaman individu (the totally of experience), serta self, merupakan bagian dari medan phenomenal yang terdiferensiasikan dan terdiri dari pola-pola pengamatan dan penillaian sadar dari “I” atau “Me”.
Rogers berpendapat bahwa pribadi yang sehat bukan merupakan keadaan dari ada, melainkan suatu proses, “suatu arah buka suatu tujuan”. Rogers juga menunjukkan bahwa individu yang sehat adalah mereka yang terbuka dengan pengalaman baru (opennes to experience), percaya pada diri sendiri (trust in themselves), mempergunakan sumber-sumber dalam diri untuk melakukan evaluasi (internal source of evaluation) serta keinginan untuk terus tumbuh (willingness to continue growing).
Dalam praktiknya pendekatan Rogerian tidak memiliki strategi khusus dalam menangani masalah konseli. Hal itu bias dibuktikan dengan mellaui praktik konseling, kualitas hubungan antara konselor dan konseli menjadi proritas utama untuk mengentaskan permasalahan konseli. Namun untuk mencapainya seorang konselor harus memiliki sikap genuineness, unconditional positive regard serta empathic understanding.
Teori Gestalt Teori Gestalt diperkenalkan oleh seorang ahli bernama Frederick Perls dimana kata Gestalt dalam bahasa Jeman mempunyai arti bentuk, wujud atau organisasi.
Perkembangan teori Gestalt tidak bisa dilepaskan dari sosok Laura (Lore) Posner (1905-1990) yang merupakan isteri Frederick Perls yang turut mengembangkan teori Gestalt. Sebagaimana diketahui Laura juga seorang pengikut aliran Psikoanalisa, yang kemudian pindah untuk mendalami teori-teori Gestalt. tahun 1926, Laura dan Perls aktif mengembangkan teori Gestalt. Pada tahun 1952, mereka mendirikan New York Institute for Gestalt Therapy.
Teori Gestalt memandang manusia dengan asumsi-asumsi bahwa manusia merupakan suatu komposisi yang menyeluruh (whole) yang diciptakan dari adanya interrelasi bagian-bagian, tidak ada satu bagian tubuh (tubuh, emosi, pemikiran, perhatian, sensasi dan persepsi) yang dapat dipahami tanpa melihat manusia itu secara keseluruhan, seseorang juga merupakan bagian dari lingkungannya dan tidak dapat dipahami dengan memisahkannya. Seseorang memilih bagaimana merespon stimuli eksternal, dia merupakan aktor dalam dunianya dan bukan reaktor, seseorang mempunyai potensi untuk secara penuh menyadari keseluruhan sensasi, pemikiran, emosi dan persepsinya. Seseorang mampu untuk membuat pilihan karena kesadarannya, seseorang mempunyai kemampuan untuk menentukan kehidupan secara efektif, seseorang tidak mengalami masa lalu dan masa yang akan datang; mereka hanya akan dapat mengalami dirinya pada saat ini serta seseorang itu pada dasarnya baik dan bukan buruk.
Menurut teori Gestalt, manusia sehat memiliki ciri-ciri antara lain percaya pada kemampuan sendiri, bertanggungjawab, memiliki kematangan serta memiliki keseimbangan diri.
Dalam praktiknya pendekatan Gestalt mengarahkan konseli untuk secara langsung mengalami masalahnya dari pada hanya sekdar berbicara situasi yang seringkali bersifat abstrak. Konselor berusaha untuk memahami secara langsung bagaimana konseli berpikir, merasakan sesuatu melakukan sesuatu.
Gambaran beberapa teori para ahli diatas menunjukkan bahwa seorang konselor dalam menjalankan tugasnya harus mampu mengubah paradigma bahwa konselor bukanlah polisi sekolah (school policy). Termasuk guru saat ini harus mampu menjadikan dirinya sebagai pelayan pembelajaran sesuai dengan bidang tugasnya. Guru yang telah memperoleh pengakuan Sertifikasi Guru Dalam Jabatan (Sertifikasi Pendidik) harus mengubah paradigma model pembelajarannya kepada siswa dengan konteks pelayanan kepada siswa.
Tugas utama guru adalah mengajar dengan fokus memberikan pelayanan kepada semua siswa. Sedapat mungkin guru harus membuang jauh-jauh model pembelajaran yang monoton dan tidak diperkenankan menekan-nekan siswa ataupun menghambat tugas-tugas perkembangan siswa. Tugas guru sebagai pendidik adalah memberikan pelayanan kepada siswa dimana kelak hasil output (produk) SDM yang dihasilkannya akan dinilai oleh publik. Era global sudah pasti akan berjalan secara alamiah dan paradigma pelayanan Bimbingan Konseling juga demikian. Guru BK harus memberikan pelayanan kepada siswa dalam konteks era global. Teori Konseling juga akan berkembang sesuai dengan perkembangan zaman dan teknologi. Di masa depan akan muncul teori-teori yang lebih revolusioner serta mtakhir termasuk teori revolusi-revolusi belajar baru.
Penulis adalah : Pemerhati bidang Pendidikan tinggal di Kota Jambi, E-mail: sihaloho11@yahoo.com.
PENDIDIKAN
Pentingnya Regularisasi Kompetisi Objektif
Dalam Pendidikan
Oleh : Nelson Sihaloho
Pemerintah saat ini khususnya Departemen Pendidikan Nasional bekerjasama dengan Badan Nasional Standar Pendidikan (BNSP) telah memberlakukan sertifikasi pada guru dan dosen termasuk pemberlakuan standar pelayanan minimal terhadap mutu dan produk pendidikan.
Guru dan Dosen yang telah lulus sertifikasi berhak mendapatkan tunjungan profesi satu kali dari gaji pokok. Selain itu akan membawa konsekuensi terhadap para guru dan dosen bahwa profesinya harus mampu menjawab image bahwa tanda sertifikasi yang disandangnya akan membawa perubahan yang positip bagi peningkatan mutu dan kualitas pendidikan di tanah air.
Kendati demikian diduga hasil out put pendidikan khususnya produk mutu guru dan dosen yang telah menyandang sertifikasi itu belum seluruhnya signifikan membawa perubahan dan peningkatan mutu dan kualitas pendidikan di tanah air.
Selain itu persoalan mendera para guru yang telah menyandang predikat sertifikasi itu diduga tidak mengajar pada kelas akhir, kelas VI (SD/MI), kelas IX (SMP/MTsn) maupun kelas XII (SMA/K) karena didasarkan pada ketakutan akan hasil dan penilaian akhir pada Ujian Nasional (UN).
Sebenarnya regularisasi kompetisi objektif berkaitan erat dengan sertifikasi maupun pelayanan standar minimal (SPM) produk mutu pendidikan termasuk indikator-indikator pendukung lainnya.
Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan (LPMP) sebagai institusi yang akan melakukan beberapa indikator penilaian akhir terhadap mutu pendidikan belum sepenuhnya mampu mengemban misi dan visi regularisasi di bidang pendidikan.
Kendala utama dilapangan soal regularisasi objektif itu mengacu pada belum siapnya sarana maupun sarana pendukung termasuk indikator-indikator penilaian akhir sebagai jaminan akan bermutunya suatu lembaga pendidikan. Mengacu pada fakta dilapangan dengan pemberlakuan sertifikasi guru dan dosen akan mengkotak-kotakkan para guru dan dosen. Ihwal inilah yang tidak dikaji secara lebih objektif oleh Depdiknas, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dikti), Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan dan Menengah (Dirjenmandikdasmen) maupun Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu dan Tenaga Kependidikan (Dirjen PMTK) termasuk BNSP sebagai institusi penilaian standar mutu pendidikan di tanah air.
Persoalannya sekarang bagaimana pelaksanaan regularisasi kompetisi objektif bisa dilakukan secara fair ditanah air melalui sistem alamiah. Sebab fakta dilapangan mengindikasikan masih banyaknya kendala dan kurang pemahaman institusi lembaga pendidikan akan pemberlakuan sertifikasi guru dan dosen termasuk standar pelayanan minimal (SPM). Sekelumit persolan sebagaimana dipaparkan diatas nampaknya membutuhkan suatu terobosan baru pada Tahun 2010 setelah Kabinet Presiden terpilih dilantik.
UN 2009 dan Produk Sertifikasi
Pemberlakuan sertifikasi yang telah dilakukan pada tahun 2006 silam nampaknya belum mampu memberikan kontribusi yang signifikan terhadap peningkatan mutu dan kualitas pendidikan di tanah air.
Fakta-fakta menunjukkan begitu banyaknya guru yang telah diberikan dana tunjangan profesi melalui sertifikasi yang disandangnya tidak bekerja secara maksimal dan hanya mengejar tunjangan profesi.
Untuk tahun 2008/2009 penilaian akhir bagi guru yang menyandang sertifikasi itu akan dapat dipetakan sejauh mana hasil kelulusan siswa dan kenaikan angka UN termasuk hasil perbandingan antara UN 2006/2007, UN2007/2008 dan 2008/2009.
Apabila selama tiga tahun pelajaran itu dilakukan perbandingan kelak pada UN 2009 nilai dan mutu tidak menunjukkan perubahan yang signifikan jelas sertifikasi yang telah disandang oleh para guru tidak relevan dengan peningkatan mutu pendidikan di tanah air. Pada akhirnya regularisasi tidak berjalan sebagaimana mestinya. Sebab inti dari regularisasi berkaitan erat dengan sertifikasi guru dan dosen yaitu kompetisi secara fair yang dilakukan oleh lembaga pemerintah termasuk stake holders.
Guru
Guru sebagai pelaksana dilapangan yang ditugasi menjalankan amanat pendidikan yaitu mengajar sesuai dengan bidang tugas pokok dan fungsinya. Kini, apabila dipetakan semakin banyak guru yang tidak sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya mengajar di sekolah. Ironisnya SK pengangkatan awal pertama kini sudah banyak menyimpang. Artinya tugas pokok dan fungsinya sudah tidak relevan. Persoalannya mengapa pemerintah membiarkan proses penyimpangan itu terjadi didalam dunia pendidikan kita?
Regularisasi objektif terhadap profesi guru saat ini semakin mengerucut karena ratusan ribu tenaga pendidikan ditanah air tidak bisa naik pangkat ke golongan IV/b karena tidak mampu membuat karya tulisa ilmiah, penelitian tindakan kelas (PTK) maupun karya ilmiah pengembangan profesi lainnya. Bagaimana kalau dikaji dengan program sertifikasi layakkah guru tersebut menyandang sertifikasi?
Banyaknya tenaga pendidik yang gagap teknologi akibat dari ketidakpedulian akan tugas dan perubahan zaman. Namun disatu sisi pemerintah khususnya Depdiknas patut dipersalahkan karena sejak awal tidak melakukan pembinaan secara tepat sasaran terhadap pengembangan kemampuan para guru ditanah air.
Itulah sebabnya regularisasi terhadap guru di negara-negara maju terarah dan difokuskan pada perkembangan zaman dan teknologi berbasis global. Negara-negara maju melakukan sistem pembinaan terhadap pendidik mengacu pada konteks global berbasis keunggulan penguasaan teknologi dengan membekali para guru/pendidik dengan perangkat-perangkat teknologi pembelajaran yang up to date.
Di Indonesia malah sebaliknya guru-guru di daerah terpencil diduga ada yang mendapatkan bantuan komputer namun jaringan listriknya tidak tersedia. Maka yang terjadi komputer yang seharusnya memberikan kemudahan bagi guru untuk mengembangkan metode pembelajaran justeru menjadi “barang mati”.
Karena itu guru sebagai agen pembaharuan harus mampu menjadi regularisasi bagi dirinya sendiri bukan selalu melihat keunggulan-keunggulan orang lain namun harus mengembangkan sendiri kemampuannya menjadi pribadi-pribadi yang unggul. Itulah regularisasi yang sesungguhnya sebagai kompetisi bagi guru untuk menilai sampai sejauhmana kemampuannya dalam menyikapi perkembangan IPTEK khususnya dalam pendidikan.
Siswa dan Kompetisi
Siswa sebagai insan yang membutuhkan dan haus akan ilmu pengetahuan memiliki latar belakang yang berbeda-beda. Itulah sebabnya pendidikan sistem reguler mendominasi sistem pendidikan di tanah air. Dalam bingkai ke Bhineka Tunggal Ika-an kita dituntut untuk menerapkan metode pembelajaran yang kaya akan inovasi.
Kompetisi bagi siswa sejak usia SD telah dilakukan namun kadangkala sistem yang melilit tidak memungkinkan dilakukannya regularisasi oleh lembaga karena berbenturan dengan kepentingan-kepentingan lain dimasyarakat.
Bahkan regularisasi yang diinginkan oleh pihak pemerintah tidak bisa berjalan karena filosofi sistem pendidikan ditanah air yang menganut sistem pendidikan formal, informal dan non formal bisa dicampuradukkan.
Namun apabila sistem regularisasi dilakukan secara fair kepada siswa diperkirakan hanya sedikit yang mampu berkiprah dan berbicara di ajang / level nasional maupun internasional.
Tim-tim Olympiade Fisika, Matematika, Biologi yang mampu merebut berbagai gelar para event-event tersebut merupakan regularisasi yang dilakukan oleh lembaga internasional yang benar-benar mengacu pada kompetisi yang fair.
Guru memiliki tugas dan tanggung jawab yang berat untuk mendidik siswa sehingga berhasil menjadi pribadi-pribadi yang luhur dan kompetitif.
Dalam konteks inilah kelak siswa-siswa yang telah berhasil dalam suatu lembaga pendidikan kelak diuji oleh lembaga lain hasilnya tidak kompeten atau tidak sesuai dengan fakta yang sesungguhnya akan diketahui.
Para lembaga yang menjunjung tinggi nilai integritas akan selalu melakukan sistem perekruitan terhadap produk suatu lembaga pendidikan secara berkelanjutan dan berkesinambungan. Apabila hasilnya kohesif dan relevan maka dapat dipastikan kerjasama dan mitra akan tetap berlanjut karena saling menjunjung tinggi etika kepercayaan dan kejujuran.
Itulah yang harus kita lakukan kepada siswa agar memberlakukan sistem regularisasi secara fair dan objektif. Siswa juga diminta untuk selalu jujur kepada dirinya bahwa nilai-nilai maupun pembelajaran, pendidikan yang diberikan oleh guru disekolah merupakan bekal dimasa depan. Semua mata pelajaran memiliki kans yang sama bila dilihat dari sisi perspektif regularisasi. Kompetisi harus dilakukan disekolah secara fair dengan memberikan nilai kepada siswa secara objektif.
Integritas dan Kelembagaan
Integritas menyangkut kejujuran, kepercayaan bahwa produk yang dihasilkan oleh lembaga pendidikan dinilai secara objektif, fair dan mengacu pada mutu dan kompetensi.
Apabila lembaga pendidikan tidak menjunjung integritas maka dapat dipastikan citra suatu lembaga pendidikan dimata publik akan menurun termasuk dimata pemerintah sebagai institusi yang melakukan penilaian dan pengawasan secara menyeluruh.
Dalam kaitan inilah sertifikasi guru dan dosen akan kembali dinilai oleh publik dan pemerintah apakah benar-benar sertifikasi yang disandang guru dan dosen itu membawa peningkatan yang signifikan terhadap mutu pendidikan di tanah air.
Di satu sisi untuk anggaran yang diberikan oleh negara donor sebagaimana program Better Education Manajemen Usually Through Up Grading (BERMUTU) terhadap peningkatan mutu guru di Indonesia akan kembali dinilai oleh lembaga-lembaga internasional. Program itu berkaitan dengan regularisasi pendidikan oleh lembaga internasional apakah benar-benar kita mengelola anggaran itu dengan baik sesuai dengan peruntukkannya.
Karena menyangkut kepercayan negara donor maka kita sebagai penerima dana harus memanfaatkan dana tersebut dengan sebaik-baiknya dengan menjunjung tinggi integritas dan kepercayaan negara-negara donor.
Peningkatan anggaran pendidikan sebagaimana dalam amanat Undang-Undang dimana pemerintah wajib mengalokasikan anggaran pendidikan sebesar 20 persen dari APBN tidak perlu dicemburui. Bahkan anggaran sebesar itu belum mampu atau mencukupi untuk membiayai seluruh anggaran biaya pendidikan di tanah air.
Banyaknya sekolah-sekolah yang tidak sesuai dengan fakta dilapangan apakah standar nasional (SSN) atau sekolah unggulan (sekolah plus) bahkan sekolah standar nasional bertaraf internasional (SSN-BI) mengindikasikan bahwa sistem regularisasi tidak dilakukan secara fair dan objektif.
Mencermati hal itu semoga pada tahun 2010 Menteri yang ditempatkan di Departemen Pendidikan Nasional adalah orang yang benar-benar kompeten dan mengerti tentang seluk beluk lembaga pendidikan sehingga hasil produk pendidikan kita dimata internasional semakin baik.
Kita harus menyadari tanggung jawab dunia pendidikan untuk menyediakan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman dan pembangunan membutuhkan kerja keras.
Selain anggaran yang memadai sektor pendidikan harus menjadi lembaga terdepan yang mampu menjunjung tinggi prinsip-prinsip integritas dan kejujuran. Sebab semua pemimpin, pejabat serta tenaga-tenaga kerja yang bekerja di sektor pemerintah maupun swasta adalah produk pendidikan.
Konon prinsip-prinsip integritas dan kejujuran itulah yang sering kita abaikan dalam mendidik siswa/anak didik disekolah sehingga perilaku kita ditiru oleh anak didik. Termasuk dilingkungan keluarga kita tidak menerapkan prinsip-prinsip kejujuran dan menjunjung tinggi integritas. Bahkan lembaga pendidikan luar sekolahpun banyak yang mengabaikannya sehingga berdampak pada semakin menurunnya citra bangsa di dunia internasional.
Tidak perlu kita menyebutkan satu persatu tentang ketidakjujuran kita kepada bangsa lain di dunia, faktanya kita lihat sendiri di negeri ini betapa banyaknya oknum pemimpin yang tidak jujur dan membohongi rakyatnya.
Karena itu dimasa mendatang sistem regularisasi kompetisi yang objektif dalam pendidikan harus benar-benar diterapkan sehingga bangsa ini mampu menjadi “macan” Asia.
Kita perlu berkaca dan mengkaji kembali apakah benar prinsip integritas kita junjung tinggi dalam memberlakukan sertifikasi itu kepada para guru dan dosen adalah untuk peningkatan mutu dan kualitas pendidikan di tanah air. Apabila memang benar mengapa pada akhirnya program sertifikasi itu tidak mengacu pada prinsip keadilan dan berujung pada uang.
Bagaimana dengan guru yang tidak memiliki kualifikasi sarjana seperti guru-guru yang ijazahnya hanya diploma (D1-D2 dan D3) apakah tidak layak disertifikasi?
Seharusnya para guru-guru malu apabila guru yang bersangkutan kualifikasinya sudah S2 (Magister-red) masih bertanya kepada guru yang kualifikasi pendidikannya Diploma II (D2) bahkan kepada yang kualifikasi pendidikannya S1 pun.
Memang sungguh ironis apabila dalam konteks regularisasi dalam pendidikan kita dilakukan kompetisi objektif banyak ketimpangan-ketimpangan yang ditemukan dilapangan. Percuma saja diberlakukan kriteria ketuntasan minimal (KKM) oleh guru namun kenyataannya tidak sesuai hasilnya dengan penilaian oleh lembaga-lembaga lain. Feed back dan solusinya bahwa yang diprogramkan dan direncanakan hasilnya harus berbanding lurus. Itulah standar yang benar-benar mengacu pada penilaian objektif yang sesungguhnya.
*. Penulis adalah Pemerhati Masalah Pendidikan tinggal di Kota Jambi, email: sihaloho11@yahoo.com.
Dalam Pendidikan
Oleh : Nelson Sihaloho
Pemerintah saat ini khususnya Departemen Pendidikan Nasional bekerjasama dengan Badan Nasional Standar Pendidikan (BNSP) telah memberlakukan sertifikasi pada guru dan dosen termasuk pemberlakuan standar pelayanan minimal terhadap mutu dan produk pendidikan.
Guru dan Dosen yang telah lulus sertifikasi berhak mendapatkan tunjungan profesi satu kali dari gaji pokok. Selain itu akan membawa konsekuensi terhadap para guru dan dosen bahwa profesinya harus mampu menjawab image bahwa tanda sertifikasi yang disandangnya akan membawa perubahan yang positip bagi peningkatan mutu dan kualitas pendidikan di tanah air.
Kendati demikian diduga hasil out put pendidikan khususnya produk mutu guru dan dosen yang telah menyandang sertifikasi itu belum seluruhnya signifikan membawa perubahan dan peningkatan mutu dan kualitas pendidikan di tanah air.
Selain itu persoalan mendera para guru yang telah menyandang predikat sertifikasi itu diduga tidak mengajar pada kelas akhir, kelas VI (SD/MI), kelas IX (SMP/MTsn) maupun kelas XII (SMA/K) karena didasarkan pada ketakutan akan hasil dan penilaian akhir pada Ujian Nasional (UN).
Sebenarnya regularisasi kompetisi objektif berkaitan erat dengan sertifikasi maupun pelayanan standar minimal (SPM) produk mutu pendidikan termasuk indikator-indikator pendukung lainnya.
Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan (LPMP) sebagai institusi yang akan melakukan beberapa indikator penilaian akhir terhadap mutu pendidikan belum sepenuhnya mampu mengemban misi dan visi regularisasi di bidang pendidikan.
Kendala utama dilapangan soal regularisasi objektif itu mengacu pada belum siapnya sarana maupun sarana pendukung termasuk indikator-indikator penilaian akhir sebagai jaminan akan bermutunya suatu lembaga pendidikan. Mengacu pada fakta dilapangan dengan pemberlakuan sertifikasi guru dan dosen akan mengkotak-kotakkan para guru dan dosen. Ihwal inilah yang tidak dikaji secara lebih objektif oleh Depdiknas, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dikti), Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan dan Menengah (Dirjenmandikdasmen) maupun Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu dan Tenaga Kependidikan (Dirjen PMTK) termasuk BNSP sebagai institusi penilaian standar mutu pendidikan di tanah air.
Persoalannya sekarang bagaimana pelaksanaan regularisasi kompetisi objektif bisa dilakukan secara fair ditanah air melalui sistem alamiah. Sebab fakta dilapangan mengindikasikan masih banyaknya kendala dan kurang pemahaman institusi lembaga pendidikan akan pemberlakuan sertifikasi guru dan dosen termasuk standar pelayanan minimal (SPM). Sekelumit persolan sebagaimana dipaparkan diatas nampaknya membutuhkan suatu terobosan baru pada Tahun 2010 setelah Kabinet Presiden terpilih dilantik.
UN 2009 dan Produk Sertifikasi
Pemberlakuan sertifikasi yang telah dilakukan pada tahun 2006 silam nampaknya belum mampu memberikan kontribusi yang signifikan terhadap peningkatan mutu dan kualitas pendidikan di tanah air.
Fakta-fakta menunjukkan begitu banyaknya guru yang telah diberikan dana tunjangan profesi melalui sertifikasi yang disandangnya tidak bekerja secara maksimal dan hanya mengejar tunjangan profesi.
Untuk tahun 2008/2009 penilaian akhir bagi guru yang menyandang sertifikasi itu akan dapat dipetakan sejauh mana hasil kelulusan siswa dan kenaikan angka UN termasuk hasil perbandingan antara UN 2006/2007, UN2007/2008 dan 2008/2009.
Apabila selama tiga tahun pelajaran itu dilakukan perbandingan kelak pada UN 2009 nilai dan mutu tidak menunjukkan perubahan yang signifikan jelas sertifikasi yang telah disandang oleh para guru tidak relevan dengan peningkatan mutu pendidikan di tanah air. Pada akhirnya regularisasi tidak berjalan sebagaimana mestinya. Sebab inti dari regularisasi berkaitan erat dengan sertifikasi guru dan dosen yaitu kompetisi secara fair yang dilakukan oleh lembaga pemerintah termasuk stake holders.
Guru
Guru sebagai pelaksana dilapangan yang ditugasi menjalankan amanat pendidikan yaitu mengajar sesuai dengan bidang tugas pokok dan fungsinya. Kini, apabila dipetakan semakin banyak guru yang tidak sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya mengajar di sekolah. Ironisnya SK pengangkatan awal pertama kini sudah banyak menyimpang. Artinya tugas pokok dan fungsinya sudah tidak relevan. Persoalannya mengapa pemerintah membiarkan proses penyimpangan itu terjadi didalam dunia pendidikan kita?
Regularisasi objektif terhadap profesi guru saat ini semakin mengerucut karena ratusan ribu tenaga pendidikan ditanah air tidak bisa naik pangkat ke golongan IV/b karena tidak mampu membuat karya tulisa ilmiah, penelitian tindakan kelas (PTK) maupun karya ilmiah pengembangan profesi lainnya. Bagaimana kalau dikaji dengan program sertifikasi layakkah guru tersebut menyandang sertifikasi?
Banyaknya tenaga pendidik yang gagap teknologi akibat dari ketidakpedulian akan tugas dan perubahan zaman. Namun disatu sisi pemerintah khususnya Depdiknas patut dipersalahkan karena sejak awal tidak melakukan pembinaan secara tepat sasaran terhadap pengembangan kemampuan para guru ditanah air.
Itulah sebabnya regularisasi terhadap guru di negara-negara maju terarah dan difokuskan pada perkembangan zaman dan teknologi berbasis global. Negara-negara maju melakukan sistem pembinaan terhadap pendidik mengacu pada konteks global berbasis keunggulan penguasaan teknologi dengan membekali para guru/pendidik dengan perangkat-perangkat teknologi pembelajaran yang up to date.
Di Indonesia malah sebaliknya guru-guru di daerah terpencil diduga ada yang mendapatkan bantuan komputer namun jaringan listriknya tidak tersedia. Maka yang terjadi komputer yang seharusnya memberikan kemudahan bagi guru untuk mengembangkan metode pembelajaran justeru menjadi “barang mati”.
Karena itu guru sebagai agen pembaharuan harus mampu menjadi regularisasi bagi dirinya sendiri bukan selalu melihat keunggulan-keunggulan orang lain namun harus mengembangkan sendiri kemampuannya menjadi pribadi-pribadi yang unggul. Itulah regularisasi yang sesungguhnya sebagai kompetisi bagi guru untuk menilai sampai sejauhmana kemampuannya dalam menyikapi perkembangan IPTEK khususnya dalam pendidikan.
Siswa dan Kompetisi
Siswa sebagai insan yang membutuhkan dan haus akan ilmu pengetahuan memiliki latar belakang yang berbeda-beda. Itulah sebabnya pendidikan sistem reguler mendominasi sistem pendidikan di tanah air. Dalam bingkai ke Bhineka Tunggal Ika-an kita dituntut untuk menerapkan metode pembelajaran yang kaya akan inovasi.
Kompetisi bagi siswa sejak usia SD telah dilakukan namun kadangkala sistem yang melilit tidak memungkinkan dilakukannya regularisasi oleh lembaga karena berbenturan dengan kepentingan-kepentingan lain dimasyarakat.
Bahkan regularisasi yang diinginkan oleh pihak pemerintah tidak bisa berjalan karena filosofi sistem pendidikan ditanah air yang menganut sistem pendidikan formal, informal dan non formal bisa dicampuradukkan.
Namun apabila sistem regularisasi dilakukan secara fair kepada siswa diperkirakan hanya sedikit yang mampu berkiprah dan berbicara di ajang / level nasional maupun internasional.
Tim-tim Olympiade Fisika, Matematika, Biologi yang mampu merebut berbagai gelar para event-event tersebut merupakan regularisasi yang dilakukan oleh lembaga internasional yang benar-benar mengacu pada kompetisi yang fair.
Guru memiliki tugas dan tanggung jawab yang berat untuk mendidik siswa sehingga berhasil menjadi pribadi-pribadi yang luhur dan kompetitif.
Dalam konteks inilah kelak siswa-siswa yang telah berhasil dalam suatu lembaga pendidikan kelak diuji oleh lembaga lain hasilnya tidak kompeten atau tidak sesuai dengan fakta yang sesungguhnya akan diketahui.
Para lembaga yang menjunjung tinggi nilai integritas akan selalu melakukan sistem perekruitan terhadap produk suatu lembaga pendidikan secara berkelanjutan dan berkesinambungan. Apabila hasilnya kohesif dan relevan maka dapat dipastikan kerjasama dan mitra akan tetap berlanjut karena saling menjunjung tinggi etika kepercayaan dan kejujuran.
Itulah yang harus kita lakukan kepada siswa agar memberlakukan sistem regularisasi secara fair dan objektif. Siswa juga diminta untuk selalu jujur kepada dirinya bahwa nilai-nilai maupun pembelajaran, pendidikan yang diberikan oleh guru disekolah merupakan bekal dimasa depan. Semua mata pelajaran memiliki kans yang sama bila dilihat dari sisi perspektif regularisasi. Kompetisi harus dilakukan disekolah secara fair dengan memberikan nilai kepada siswa secara objektif.
Integritas dan Kelembagaan
Integritas menyangkut kejujuran, kepercayaan bahwa produk yang dihasilkan oleh lembaga pendidikan dinilai secara objektif, fair dan mengacu pada mutu dan kompetensi.
Apabila lembaga pendidikan tidak menjunjung integritas maka dapat dipastikan citra suatu lembaga pendidikan dimata publik akan menurun termasuk dimata pemerintah sebagai institusi yang melakukan penilaian dan pengawasan secara menyeluruh.
Dalam kaitan inilah sertifikasi guru dan dosen akan kembali dinilai oleh publik dan pemerintah apakah benar-benar sertifikasi yang disandang guru dan dosen itu membawa peningkatan yang signifikan terhadap mutu pendidikan di tanah air.
Di satu sisi untuk anggaran yang diberikan oleh negara donor sebagaimana program Better Education Manajemen Usually Through Up Grading (BERMUTU) terhadap peningkatan mutu guru di Indonesia akan kembali dinilai oleh lembaga-lembaga internasional. Program itu berkaitan dengan regularisasi pendidikan oleh lembaga internasional apakah benar-benar kita mengelola anggaran itu dengan baik sesuai dengan peruntukkannya.
Karena menyangkut kepercayan negara donor maka kita sebagai penerima dana harus memanfaatkan dana tersebut dengan sebaik-baiknya dengan menjunjung tinggi integritas dan kepercayaan negara-negara donor.
Peningkatan anggaran pendidikan sebagaimana dalam amanat Undang-Undang dimana pemerintah wajib mengalokasikan anggaran pendidikan sebesar 20 persen dari APBN tidak perlu dicemburui. Bahkan anggaran sebesar itu belum mampu atau mencukupi untuk membiayai seluruh anggaran biaya pendidikan di tanah air.
Banyaknya sekolah-sekolah yang tidak sesuai dengan fakta dilapangan apakah standar nasional (SSN) atau sekolah unggulan (sekolah plus) bahkan sekolah standar nasional bertaraf internasional (SSN-BI) mengindikasikan bahwa sistem regularisasi tidak dilakukan secara fair dan objektif.
Mencermati hal itu semoga pada tahun 2010 Menteri yang ditempatkan di Departemen Pendidikan Nasional adalah orang yang benar-benar kompeten dan mengerti tentang seluk beluk lembaga pendidikan sehingga hasil produk pendidikan kita dimata internasional semakin baik.
Kita harus menyadari tanggung jawab dunia pendidikan untuk menyediakan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman dan pembangunan membutuhkan kerja keras.
Selain anggaran yang memadai sektor pendidikan harus menjadi lembaga terdepan yang mampu menjunjung tinggi prinsip-prinsip integritas dan kejujuran. Sebab semua pemimpin, pejabat serta tenaga-tenaga kerja yang bekerja di sektor pemerintah maupun swasta adalah produk pendidikan.
Konon prinsip-prinsip integritas dan kejujuran itulah yang sering kita abaikan dalam mendidik siswa/anak didik disekolah sehingga perilaku kita ditiru oleh anak didik. Termasuk dilingkungan keluarga kita tidak menerapkan prinsip-prinsip kejujuran dan menjunjung tinggi integritas. Bahkan lembaga pendidikan luar sekolahpun banyak yang mengabaikannya sehingga berdampak pada semakin menurunnya citra bangsa di dunia internasional.
Tidak perlu kita menyebutkan satu persatu tentang ketidakjujuran kita kepada bangsa lain di dunia, faktanya kita lihat sendiri di negeri ini betapa banyaknya oknum pemimpin yang tidak jujur dan membohongi rakyatnya.
Karena itu dimasa mendatang sistem regularisasi kompetisi yang objektif dalam pendidikan harus benar-benar diterapkan sehingga bangsa ini mampu menjadi “macan” Asia.
Kita perlu berkaca dan mengkaji kembali apakah benar prinsip integritas kita junjung tinggi dalam memberlakukan sertifikasi itu kepada para guru dan dosen adalah untuk peningkatan mutu dan kualitas pendidikan di tanah air. Apabila memang benar mengapa pada akhirnya program sertifikasi itu tidak mengacu pada prinsip keadilan dan berujung pada uang.
Bagaimana dengan guru yang tidak memiliki kualifikasi sarjana seperti guru-guru yang ijazahnya hanya diploma (D1-D2 dan D3) apakah tidak layak disertifikasi?
Seharusnya para guru-guru malu apabila guru yang bersangkutan kualifikasinya sudah S2 (Magister-red) masih bertanya kepada guru yang kualifikasi pendidikannya Diploma II (D2) bahkan kepada yang kualifikasi pendidikannya S1 pun.
Memang sungguh ironis apabila dalam konteks regularisasi dalam pendidikan kita dilakukan kompetisi objektif banyak ketimpangan-ketimpangan yang ditemukan dilapangan. Percuma saja diberlakukan kriteria ketuntasan minimal (KKM) oleh guru namun kenyataannya tidak sesuai hasilnya dengan penilaian oleh lembaga-lembaga lain. Feed back dan solusinya bahwa yang diprogramkan dan direncanakan hasilnya harus berbanding lurus. Itulah standar yang benar-benar mengacu pada penilaian objektif yang sesungguhnya.
*. Penulis adalah Pemerhati Masalah Pendidikan tinggal di Kota Jambi, email: sihaloho11@yahoo.com.
Langganan:
Postingan (Atom)