Paradigma Pelayanan Konseling dan Tantangan Era Globalisasi
Oleh : Nelson Sihaloho
Pengantar
Era globalisasi saat ini berdampak sangat besar pada seluruh aspek kehidupan masyarakat baik itu aspek ekonomi, sosial kemasyarakatan maupun dunia pendidikanpun terkena efeknya.. Efek yang dialami oleh masyarakat dapat dilihat dari dua sisi yaitu sisi positif dan sisi negatif. Sisi positifnya bias kita amati secara langsung yaitu begitu mudahnya manusia melakukan komunikasi dengan orang lain, bahkan komunikasi ini tidak terbatas oleh ruang dan waktu, manusia semakin mudah dalam melakukan perjalanan baik domestik atau non domestik serta mudah memperoleh informasi dan mengakses informasi.
Disisi lain, era global membawa dampak negatif yang tidak dapat dihindari oleh manusia. Kemudahan manusia mendapatkan informasi dan mengakses informasi memiliki efek pada perilaku manusia itu sendiri. Sebagai perbandingan kontras, dulu manusia sulit untuk mendapatkan informasi dari kawasan lain (luar negeri). Andaikatapun bisa membutuh waktu relatif lama. Pada era sekarang ini manusia bisa menerima berita-berita yang terjadi diseputar kita dengan cepat melalui teknologi tinggi yang dapat diakses melalui jaringan internet seperti hand phone (HP).
Saat ini HP maupun mengakses jaringan internet tidak lagi menjadi barang canggih dan mahal. Bahkan pihak oprator jaringan telekomunikasi seluler berlomba-lomba untuk menawarkan kepada pihak pelanggan dengan segala keunggulan serta kemudahan dalam mengakses informasi melalui jaringan televisi, internet plus HP.
Bahkan setiap sekolah saat ini khususnya yang memiliki jaringan listrik jaringan internet bias diakses dengan mudahnya termasuk ilmu pengetahuan dan teknologi dibidang pendidikan. Guru-guru pun saat ini harus mampu memanfaatkan jaringan internet untuk lebih menggali lebih dalam lagi tentang SDM yang dimilikinya.
Bimbingan dan Konseling merupakan sebuah profesi. Sebagai sebuah profesi dalam melaksanakan program akan terikat dengan kode etik yang dimiliki. Bimbingan dan Konseling yang lahir pada tahun 1975 dengan berdirinya Ikatan Petugas Bimbingan Indonesia (IPBI), mengalami proses perjalanan panjang hingga pada akhirnya pada tahun 2008 muncul Naskah Akademik yang menjadi pedoman pelaksanaan Bimbingan dan Konseling.
Sebagai sebuah profesi yang mandiri, konseling merupakan suatu kegiatan yang hanya bisa dilaksanakan oleh konselor professional dengan memiliki syarat-syarat tertentu. Sosok konselor profesional di sekolah memiliki keunikan tersendiri dimana tugasnya berbeda dengan tugas guru bidang studi. Sosok guru menunjukkan keahlian profesionalnya dengan mempergunakan materi pembelajaran sebagai konteks tugas pelayananannya, sedangkan konselor dengan memberikan layanan bimbingan konseling yang memandirikan tidak mempergunakan materi pembelajaran sebagai konteks layanan.
Kiprah konselor disekolah menggunakan rujukan ”layanan bimbingan dan konseling yang memandirikan”, sesuai dengan tuntutan realisasi diri (self-realization) konseli melalui fasilitasi perkembangan kapasitasnya secara maksimal (capacity development).
Sedangkan seorang guru bidang studi menggunakan mata pelajaran sebagai konteks terapan pelayanannya, menggunakan rujukan normatif ”pembelajaran yang mendidik” dimana terfokus pada pelayanan pendidikan sesuai bakat, minat, dan kebutuhan peserta didik dalam proses pembudayaan sepanjang hayat dalam suasana pendidikan yang bermakna, menyenangkan, dialogis dan dinamis menuju pencapaian tujuan utuh pendidikan.
Tinjauan Empirik
Biro tenaga kerja di Amerika Serikat (2007) memberikan panduan tentang pekerjaan konselor disekolah, “Counselors assist people with personal, family, educational, mental health, and career problems. Their duties vary greatly depending on their occupational specialty, which is determined by the setting in which they work and the population they serve. Educational, vocational, and school counselors provide individuals and groups with career and educational counseling. School counselors assist students of all levels, from elementary school to postsecondary education. They advocate for students and work with other individuals and organizations to promote the academic, career, personal, and social development of children and youth.
School counselors help students evaluate their abilities, interests, talents, and personalities to develop realistic academic and career goals. Counselors use interviews, counseling sessions, interest and aptitude assessment tests, and other methods to evaluate and advise students. They also operate career information centers and career education programs”.
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP 2007) menyatakan bahwa Konseling merupakan pelayanan bantuan kepada peserta didik baik secara perorangan maupun kelompok sehingga mampu mandiri dan berkembang secara optimal dalam bidang pengembangan kehidupan pribadi, social, kegiatan belajar serta perencanaan karir melalui berbagai jenis layanan dan kegiatan pendukung berdasarkan norma-norma yang berlaku.
Adapun landasan pelaksanaan Bimbingan dan Konseling disekolah mengacu pada Undang-undang (UU) No.20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dimana pada pasal 1 butir 6 dikemukakan bahwa Konselor adalah pendidik dan pasal 3 bahwa pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik dan pasal 4 ayat (4) bahwa pendidikan diselenggarakan dengan memberi keteladanan, membangun kemauan, mengembangkan kreativitas peserta didik dalam proses pembelajaran.
Selanjutnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP) pasal 5 sampai dengan 18 tentang standar isi pendidikan dasar dan menenngah.
Menyusul selanjutnya PP Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi (SI) untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah yang memuat pengembangan diri peserta didik dalam struktur kurikulum setiap satuan pendidikan serta Dasar Standarisasi Profesi Konseling yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Tahun 2004 yang memberikan arah pengembangan profesi Konseling disekolah dan diluar sekolah.
Kompetensi profesional konselor dapat dilihat dari aspek pendidikannya. Beberapa pakar dan ahli seperti Rogers (dalam Geldard, 1993) menyatakan bahwa konselor yang baik memiliki tiga kualitas yaitu, congruence, empathy dan unconditional positive regard. Congruence merujuk pada penunjukan diri secara apa adanya (genuine), terintegrasi dan memandang orang secara keseluruhan (whole person). Empati (empathy) merujuk pada pemahaman terhadap apa yang dirasakan dan dipikirkan oleh konseli. Penerimaan tanpa syarat (unconditional positive regard) merujuk pada penerimaan konseli tanpa adanya penilaian (non-judgementally) terhadap nilai-nilai yang dimiliki oleh konseli dan mengakui kelebihan dan kelemahan yang dimiliki oleh konseli.
Ellis (dalam Yeo, 2003) menyatakan bahwa konselor profesional ditunjukkan dengan berbagai kualitas.
Kualitas itu adalah bahwa konselor sungguh-sungguh berminat untuk menolong klien mereka dan berusaha sekuat tenaga merealisasikan minat, tanpa syarat mereka harus memandang klien mereka sebagai pribadi, percaya pada kemampuan terapeutis mereka sendiri, memiliki pengetahuan luas tentang teori dan praktik-praktik konseling, luwes, tidak picik dan terbuka untuk mendapatkan keterampilan-keterampilan baru dan mencobanya.
Selanjutnya adalah mampu menghadapi dan menyelesaikan keruwetan-keruwetan mereka sendiri, tidak cemas, tidak tertekan, tidak bersikap bermusuhan, tidak membiarkan diri mereka sendiri merosot, tidak mengasihani diri atau tidak disiplin, sabar, tekun, dan berusaha keras dalam kegiatan-kegiatan terapeutis mereka, bersikap etis dan bertanggungjawab, menggunakan konseling hampir seutuhnya demi kebaikan klien dan bukan untuk kesenangan pribadi, bertindak secara profesional dan tepat dalam bidang terapeutis, tetapi masih sanggup mempertahankan sikap manusiawi, spontan dan gembira dalam bekerja.
Optimistik, mampu memberi semangat dan memperlihatkan pada klien bahwa apapun kesulitan yang dihadapi klien, mereka dapat berubah, berhasrat untuk menolong semua klien dan dengan besar hati bersedia merujuk orang-orang yang mereka anggap tidak bisa mereka tolong kepada rekan profesi lain. Simpson & Starkey, 2006 menyatakan bahwa ciri-ciri konselor efektif adalah memiliki kemampuan empatik, pemahaman terhadap konseli, memiliki kemampuan kebutuhan emosinya serta responsif terhadap konselinya.
Lebih lanjut Bowman dan Reeves (dalam Karen & Garet, 2006) menyatakan bahwa konselor yang baik, sebaiknya dapat mengembangkan moralitas dan kemampuan berempati sesuai dengan kebutuhan. Hal tersebut akan mengarahkan konselor untuk mampu memamahi dirinya, sehingga dapat terbuka untuk bekerja dengan individu atau masyarakat di sekitarnya.
Perkembangan Teori Konseling
Perkembangan teori konseling saat ini mengalami kemajuan yang cukup pesat terlihat dari hasil-hasil penelitian yang dipublikasikan pada jurnal-jurnal penelitian baik skala nasional maupun internasional. Penelitian yang dipublikasikan di jurnal-jurnal ilmiah seperti America Educational Research Journal (AERJ), American Educational Research Association (AERA), Journal of Counseling & Development American Counseling, ASCA, Profesional School Counseling, Journal of Educational Psychology, American School Counselor Association, American Journal of Educational Research adalah untuk menjawab permasalahan-permasalahan yang terjadi pada dunia bimbingan dan konseling. Fenomena yang terjadi di sekolah saat ini pelayanan bimbingan dan konseling memiliki prospek yang cerah serta merupakan suatu kesempatan emas bagi konselor untuk mengembangkan teori konseling.
Beberapa teori konseling yang popular diantaranya adalah Teori Behavioral, Teori Humanistikdan Teori Gestalt. Teori Behavivioral dikenal dengan nama teori klasik yang dipelopori oleh Bandura, Pavlov, Skinner dimana pendekatannya berasumsi bahwa perilaku manusia merupakan serasngkaian hasil belajar. Meskipun teori ini telah banyak mendapat tentangan dari aliran-aliran baru namun tetap eksis bahkan beberapa ahli melakukan modifikasi atas teori Behavioral tersebut.
Salah satu ahli yang melakukan modifikasi adalah Skinner yang menyatakan bahwa pandangan teori behavioristik terhadap manusia, perilaku organisme bukan merupakan suatu fenomena mental, lebih ditentukan dengan belajar, sikap, kebiasaan dan aspek perkembangan kepribadian, perkembangan kepribadian bersifat deterministik, perbedaan individu karena adanya perbedaan pengalaman. Dualisme seperti pikiran dan tubuh, tubuh dan jiwa bukan merupakan hal yang ilmiah, tidak dapat diperkirakan dan tidak dapat mengatur perilaku manusia serta meskipun perkembangan kepribadian dibatasi oleh sifat genetik, tetapi secara umum lingkungan dimana individu berada mempunyai pengaruh yang sangat besar.
Sedangkan Teori Humanistik dipelopori oleh Abraham Maslow, Rogres, Victor Frankl dimana pendekatan ini muncul karena ketidakcocokan dengan paradigma pendekatan Behavioristik. Ketiga ahli ini secara mendasar mengemukakan teori-teorinya berdasar pada pendekatan humanistic namun dalam pelaksanaan strategi konseling terdapat perbedaan. Menurut mereka kebutuhan manusia terdiri dari kebutuhan biologis dan phisik, kebutuhan rasa aman, kebutuhan untuk memiliki dan mencintai, kebutuhan harga diri serta kebutuhan aktualisasi diri.
Teori humanistik semakin berkembang setelah Rogers mengembangkan teori person centered Therapy, dimana palayanan konseling dipusatkan kepada individu. Pandangan teori Rogerian terhadap manusia adalah bahwa organisme, merupakan keseluruhan individu (the total individual), medan phenomenal, merupakan keseluruhan pengalaman individu (the totally of experience), serta self, merupakan bagian dari medan phenomenal yang terdiferensiasikan dan terdiri dari pola-pola pengamatan dan penillaian sadar dari “I” atau “Me”.
Rogers berpendapat bahwa pribadi yang sehat bukan merupakan keadaan dari ada, melainkan suatu proses, “suatu arah buka suatu tujuan”. Rogers juga menunjukkan bahwa individu yang sehat adalah mereka yang terbuka dengan pengalaman baru (opennes to experience), percaya pada diri sendiri (trust in themselves), mempergunakan sumber-sumber dalam diri untuk melakukan evaluasi (internal source of evaluation) serta keinginan untuk terus tumbuh (willingness to continue growing).
Dalam praktiknya pendekatan Rogerian tidak memiliki strategi khusus dalam menangani masalah konseli. Hal itu bias dibuktikan dengan mellaui praktik konseling, kualitas hubungan antara konselor dan konseli menjadi proritas utama untuk mengentaskan permasalahan konseli. Namun untuk mencapainya seorang konselor harus memiliki sikap genuineness, unconditional positive regard serta empathic understanding.
Teori Gestalt Teori Gestalt diperkenalkan oleh seorang ahli bernama Frederick Perls dimana kata Gestalt dalam bahasa Jeman mempunyai arti bentuk, wujud atau organisasi.
Perkembangan teori Gestalt tidak bisa dilepaskan dari sosok Laura (Lore) Posner (1905-1990) yang merupakan isteri Frederick Perls yang turut mengembangkan teori Gestalt. Sebagaimana diketahui Laura juga seorang pengikut aliran Psikoanalisa, yang kemudian pindah untuk mendalami teori-teori Gestalt. tahun 1926, Laura dan Perls aktif mengembangkan teori Gestalt. Pada tahun 1952, mereka mendirikan New York Institute for Gestalt Therapy.
Teori Gestalt memandang manusia dengan asumsi-asumsi bahwa manusia merupakan suatu komposisi yang menyeluruh (whole) yang diciptakan dari adanya interrelasi bagian-bagian, tidak ada satu bagian tubuh (tubuh, emosi, pemikiran, perhatian, sensasi dan persepsi) yang dapat dipahami tanpa melihat manusia itu secara keseluruhan, seseorang juga merupakan bagian dari lingkungannya dan tidak dapat dipahami dengan memisahkannya. Seseorang memilih bagaimana merespon stimuli eksternal, dia merupakan aktor dalam dunianya dan bukan reaktor, seseorang mempunyai potensi untuk secara penuh menyadari keseluruhan sensasi, pemikiran, emosi dan persepsinya. Seseorang mampu untuk membuat pilihan karena kesadarannya, seseorang mempunyai kemampuan untuk menentukan kehidupan secara efektif, seseorang tidak mengalami masa lalu dan masa yang akan datang; mereka hanya akan dapat mengalami dirinya pada saat ini serta seseorang itu pada dasarnya baik dan bukan buruk.
Menurut teori Gestalt, manusia sehat memiliki ciri-ciri antara lain percaya pada kemampuan sendiri, bertanggungjawab, memiliki kematangan serta memiliki keseimbangan diri.
Dalam praktiknya pendekatan Gestalt mengarahkan konseli untuk secara langsung mengalami masalahnya dari pada hanya sekdar berbicara situasi yang seringkali bersifat abstrak. Konselor berusaha untuk memahami secara langsung bagaimana konseli berpikir, merasakan sesuatu melakukan sesuatu.
Gambaran beberapa teori para ahli diatas menunjukkan bahwa seorang konselor dalam menjalankan tugasnya harus mampu mengubah paradigma bahwa konselor bukanlah polisi sekolah (school policy). Termasuk guru saat ini harus mampu menjadikan dirinya sebagai pelayan pembelajaran sesuai dengan bidang tugasnya. Guru yang telah memperoleh pengakuan Sertifikasi Guru Dalam Jabatan (Sertifikasi Pendidik) harus mengubah paradigma model pembelajarannya kepada siswa dengan konteks pelayanan kepada siswa.
Tugas utama guru adalah mengajar dengan fokus memberikan pelayanan kepada semua siswa. Sedapat mungkin guru harus membuang jauh-jauh model pembelajaran yang monoton dan tidak diperkenankan menekan-nekan siswa ataupun menghambat tugas-tugas perkembangan siswa. Tugas guru sebagai pendidik adalah memberikan pelayanan kepada siswa dimana kelak hasil output (produk) SDM yang dihasilkannya akan dinilai oleh publik. Era global sudah pasti akan berjalan secara alamiah dan paradigma pelayanan Bimbingan Konseling juga demikian. Guru BK harus memberikan pelayanan kepada siswa dalam konteks era global. Teori Konseling juga akan berkembang sesuai dengan perkembangan zaman dan teknologi. Di masa depan akan muncul teori-teori yang lebih revolusioner serta mtakhir termasuk teori revolusi-revolusi belajar baru.
Penulis adalah : Pemerhati bidang Pendidikan tinggal di Kota Jambi, E-mail: sihaloho11@yahoo.com.
Pelajaran Bimbingan Konseling disekolah harus setara dengan mata pelajaran lain, ruang BK bukan sebagai tempat pengaduan masalah oleh guru bidang study
BalasHapus