Senin, 15 November 2010

PENDIDIKAN

Pentingnya Regularisasi Kompetisi Objektif
Dalam Pendidikan
Oleh : Nelson Sihaloho

Pemerintah saat ini khususnya Departemen Pendidikan Nasional bekerjasama dengan Badan Nasional Standar Pendidikan (BNSP) telah memberlakukan sertifikasi pada guru dan dosen termasuk pemberlakuan standar pelayanan minimal terhadap mutu dan produk pendidikan.
Guru dan Dosen yang telah lulus sertifikasi berhak mendapatkan tunjungan profesi satu kali dari gaji pokok. Selain itu akan membawa konsekuensi terhadap para guru dan dosen bahwa profesinya harus mampu menjawab image bahwa tanda sertifikasi yang disandangnya akan membawa perubahan yang positip bagi peningkatan mutu dan kualitas pendidikan di tanah air.
Kendati demikian diduga hasil out put pendidikan khususnya produk mutu guru dan dosen yang telah menyandang sertifikasi itu belum seluruhnya signifikan membawa perubahan dan peningkatan mutu dan kualitas pendidikan di tanah air.
Selain itu persoalan mendera para guru yang telah menyandang predikat sertifikasi itu diduga tidak mengajar pada kelas akhir, kelas VI (SD/MI), kelas IX (SMP/MTsn) maupun kelas XII (SMA/K) karena didasarkan pada ketakutan akan hasil dan penilaian akhir pada Ujian Nasional (UN).
Sebenarnya regularisasi kompetisi objektif berkaitan erat dengan sertifikasi maupun pelayanan standar minimal (SPM) produk mutu pendidikan termasuk indikator-indikator pendukung lainnya.
Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan (LPMP) sebagai institusi yang akan melakukan beberapa indikator penilaian akhir terhadap mutu pendidikan belum sepenuhnya mampu mengemban misi dan visi regularisasi di bidang pendidikan.
Kendala utama dilapangan soal regularisasi objektif itu mengacu pada belum siapnya sarana maupun sarana pendukung termasuk indikator-indikator penilaian akhir sebagai jaminan akan bermutunya suatu lembaga pendidikan. Mengacu pada fakta dilapangan dengan pemberlakuan sertifikasi guru dan dosen akan mengkotak-kotakkan para guru dan dosen. Ihwal inilah yang tidak dikaji secara lebih objektif oleh Depdiknas, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dikti), Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan dan Menengah (Dirjenmandikdasmen) maupun Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu dan Tenaga Kependidikan (Dirjen PMTK) termasuk BNSP sebagai institusi penilaian standar mutu pendidikan di tanah air.
Persoalannya sekarang bagaimana pelaksanaan regularisasi kompetisi objektif bisa dilakukan secara fair ditanah air melalui sistem alamiah. Sebab fakta dilapangan mengindikasikan masih banyaknya kendala dan kurang pemahaman institusi lembaga pendidikan akan pemberlakuan sertifikasi guru dan dosen termasuk standar pelayanan minimal (SPM). Sekelumit persolan sebagaimana dipaparkan diatas nampaknya membutuhkan suatu terobosan baru pada Tahun 2010 setelah Kabinet Presiden terpilih dilantik.

UN 2009 dan Produk Sertifikasi

Pemberlakuan sertifikasi yang telah dilakukan pada tahun 2006 silam nampaknya belum mampu memberikan kontribusi yang signifikan terhadap peningkatan mutu dan kualitas pendidikan di tanah air.
Fakta-fakta menunjukkan begitu banyaknya guru yang telah diberikan dana tunjangan profesi melalui sertifikasi yang disandangnya tidak bekerja secara maksimal dan hanya mengejar tunjangan profesi.
Untuk tahun 2008/2009 penilaian akhir bagi guru yang menyandang sertifikasi itu akan dapat dipetakan sejauh mana hasil kelulusan siswa dan kenaikan angka UN termasuk hasil perbandingan antara UN 2006/2007, UN2007/2008 dan 2008/2009.
Apabila selama tiga tahun pelajaran itu dilakukan perbandingan kelak pada UN 2009 nilai dan mutu tidak menunjukkan perubahan yang signifikan jelas sertifikasi yang telah disandang oleh para guru tidak relevan dengan peningkatan mutu pendidikan di tanah air. Pada akhirnya regularisasi tidak berjalan sebagaimana mestinya. Sebab inti dari regularisasi berkaitan erat dengan sertifikasi guru dan dosen yaitu kompetisi secara fair yang dilakukan oleh lembaga pemerintah termasuk stake holders.

Guru

Guru sebagai pelaksana dilapangan yang ditugasi menjalankan amanat pendidikan yaitu mengajar sesuai dengan bidang tugas pokok dan fungsinya. Kini, apabila dipetakan semakin banyak guru yang tidak sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya mengajar di sekolah. Ironisnya SK pengangkatan awal pertama kini sudah banyak menyimpang. Artinya tugas pokok dan fungsinya sudah tidak relevan. Persoalannya mengapa pemerintah membiarkan proses penyimpangan itu terjadi didalam dunia pendidikan kita?
Regularisasi objektif terhadap profesi guru saat ini semakin mengerucut karena ratusan ribu tenaga pendidikan ditanah air tidak bisa naik pangkat ke golongan IV/b karena tidak mampu membuat karya tulisa ilmiah, penelitian tindakan kelas (PTK) maupun karya ilmiah pengembangan profesi lainnya. Bagaimana kalau dikaji dengan program sertifikasi layakkah guru tersebut menyandang sertifikasi?
Banyaknya tenaga pendidik yang gagap teknologi akibat dari ketidakpedulian akan tugas dan perubahan zaman. Namun disatu sisi pemerintah khususnya Depdiknas patut dipersalahkan karena sejak awal tidak melakukan pembinaan secara tepat sasaran terhadap pengembangan kemampuan para guru ditanah air.
Itulah sebabnya regularisasi terhadap guru di negara-negara maju terarah dan difokuskan pada perkembangan zaman dan teknologi berbasis global. Negara-negara maju melakukan sistem pembinaan terhadap pendidik mengacu pada konteks global berbasis keunggulan penguasaan teknologi dengan membekali para guru/pendidik dengan perangkat-perangkat teknologi pembelajaran yang up to date.
Di Indonesia malah sebaliknya guru-guru di daerah terpencil diduga ada yang mendapatkan bantuan komputer namun jaringan listriknya tidak tersedia. Maka yang terjadi komputer yang seharusnya memberikan kemudahan bagi guru untuk mengembangkan metode pembelajaran justeru menjadi “barang mati”.
Karena itu guru sebagai agen pembaharuan harus mampu menjadi regularisasi bagi dirinya sendiri bukan selalu melihat keunggulan-keunggulan orang lain namun harus mengembangkan sendiri kemampuannya menjadi pribadi-pribadi yang unggul. Itulah regularisasi yang sesungguhnya sebagai kompetisi bagi guru untuk menilai sampai sejauhmana kemampuannya dalam menyikapi perkembangan IPTEK khususnya dalam pendidikan.

Siswa dan Kompetisi

Siswa sebagai insan yang membutuhkan dan haus akan ilmu pengetahuan memiliki latar belakang yang berbeda-beda. Itulah sebabnya pendidikan sistem reguler mendominasi sistem pendidikan di tanah air. Dalam bingkai ke Bhineka Tunggal Ika-an kita dituntut untuk menerapkan metode pembelajaran yang kaya akan inovasi.
Kompetisi bagi siswa sejak usia SD telah dilakukan namun kadangkala sistem yang melilit tidak memungkinkan dilakukannya regularisasi oleh lembaga karena berbenturan dengan kepentingan-kepentingan lain dimasyarakat.
Bahkan regularisasi yang diinginkan oleh pihak pemerintah tidak bisa berjalan karena filosofi sistem pendidikan ditanah air yang menganut sistem pendidikan formal, informal dan non formal bisa dicampuradukkan.
Namun apabila sistem regularisasi dilakukan secara fair kepada siswa diperkirakan hanya sedikit yang mampu berkiprah dan berbicara di ajang / level nasional maupun internasional.
Tim-tim Olympiade Fisika, Matematika, Biologi yang mampu merebut berbagai gelar para event-event tersebut merupakan regularisasi yang dilakukan oleh lembaga internasional yang benar-benar mengacu pada kompetisi yang fair.
Guru memiliki tugas dan tanggung jawab yang berat untuk mendidik siswa sehingga berhasil menjadi pribadi-pribadi yang luhur dan kompetitif.
Dalam konteks inilah kelak siswa-siswa yang telah berhasil dalam suatu lembaga pendidikan kelak diuji oleh lembaga lain hasilnya tidak kompeten atau tidak sesuai dengan fakta yang sesungguhnya akan diketahui.
Para lembaga yang menjunjung tinggi nilai integritas akan selalu melakukan sistem perekruitan terhadap produk suatu lembaga pendidikan secara berkelanjutan dan berkesinambungan. Apabila hasilnya kohesif dan relevan maka dapat dipastikan kerjasama dan mitra akan tetap berlanjut karena saling menjunjung tinggi etika kepercayaan dan kejujuran.
Itulah yang harus kita lakukan kepada siswa agar memberlakukan sistem regularisasi secara fair dan objektif. Siswa juga diminta untuk selalu jujur kepada dirinya bahwa nilai-nilai maupun pembelajaran, pendidikan yang diberikan oleh guru disekolah merupakan bekal dimasa depan. Semua mata pelajaran memiliki kans yang sama bila dilihat dari sisi perspektif regularisasi. Kompetisi harus dilakukan disekolah secara fair dengan memberikan nilai kepada siswa secara objektif.

Integritas dan Kelembagaan

Integritas menyangkut kejujuran, kepercayaan bahwa produk yang dihasilkan oleh lembaga pendidikan dinilai secara objektif, fair dan mengacu pada mutu dan kompetensi.
Apabila lembaga pendidikan tidak menjunjung integritas maka dapat dipastikan citra suatu lembaga pendidikan dimata publik akan menurun termasuk dimata pemerintah sebagai institusi yang melakukan penilaian dan pengawasan secara menyeluruh.
Dalam kaitan inilah sertifikasi guru dan dosen akan kembali dinilai oleh publik dan pemerintah apakah benar-benar sertifikasi yang disandang guru dan dosen itu membawa peningkatan yang signifikan terhadap mutu pendidikan di tanah air.
Di satu sisi untuk anggaran yang diberikan oleh negara donor sebagaimana program Better Education Manajemen Usually Through Up Grading (BERMUTU) terhadap peningkatan mutu guru di Indonesia akan kembali dinilai oleh lembaga-lembaga internasional. Program itu berkaitan dengan regularisasi pendidikan oleh lembaga internasional apakah benar-benar kita mengelola anggaran itu dengan baik sesuai dengan peruntukkannya.
Karena menyangkut kepercayan negara donor maka kita sebagai penerima dana harus memanfaatkan dana tersebut dengan sebaik-baiknya dengan menjunjung tinggi integritas dan kepercayaan negara-negara donor.
Peningkatan anggaran pendidikan sebagaimana dalam amanat Undang-Undang dimana pemerintah wajib mengalokasikan anggaran pendidikan sebesar 20 persen dari APBN tidak perlu dicemburui. Bahkan anggaran sebesar itu belum mampu atau mencukupi untuk membiayai seluruh anggaran biaya pendidikan di tanah air.
Banyaknya sekolah-sekolah yang tidak sesuai dengan fakta dilapangan apakah standar nasional (SSN) atau sekolah unggulan (sekolah plus) bahkan sekolah standar nasional bertaraf internasional (SSN-BI) mengindikasikan bahwa sistem regularisasi tidak dilakukan secara fair dan objektif.
Mencermati hal itu semoga pada tahun 2010 Menteri yang ditempatkan di Departemen Pendidikan Nasional adalah orang yang benar-benar kompeten dan mengerti tentang seluk beluk lembaga pendidikan sehingga hasil produk pendidikan kita dimata internasional semakin baik.
Kita harus menyadari tanggung jawab dunia pendidikan untuk menyediakan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman dan pembangunan membutuhkan kerja keras.
Selain anggaran yang memadai sektor pendidikan harus menjadi lembaga terdepan yang mampu menjunjung tinggi prinsip-prinsip integritas dan kejujuran. Sebab semua pemimpin, pejabat serta tenaga-tenaga kerja yang bekerja di sektor pemerintah maupun swasta adalah produk pendidikan.
Konon prinsip-prinsip integritas dan kejujuran itulah yang sering kita abaikan dalam mendidik siswa/anak didik disekolah sehingga perilaku kita ditiru oleh anak didik. Termasuk dilingkungan keluarga kita tidak menerapkan prinsip-prinsip kejujuran dan menjunjung tinggi integritas. Bahkan lembaga pendidikan luar sekolahpun banyak yang mengabaikannya sehingga berdampak pada semakin menurunnya citra bangsa di dunia internasional.
Tidak perlu kita menyebutkan satu persatu tentang ketidakjujuran kita kepada bangsa lain di dunia, faktanya kita lihat sendiri di negeri ini betapa banyaknya oknum pemimpin yang tidak jujur dan membohongi rakyatnya.
Karena itu dimasa mendatang sistem regularisasi kompetisi yang objektif dalam pendidikan harus benar-benar diterapkan sehingga bangsa ini mampu menjadi “macan” Asia.
Kita perlu berkaca dan mengkaji kembali apakah benar prinsip integritas kita junjung tinggi dalam memberlakukan sertifikasi itu kepada para guru dan dosen adalah untuk peningkatan mutu dan kualitas pendidikan di tanah air. Apabila memang benar mengapa pada akhirnya program sertifikasi itu tidak mengacu pada prinsip keadilan dan berujung pada uang.
Bagaimana dengan guru yang tidak memiliki kualifikasi sarjana seperti guru-guru yang ijazahnya hanya diploma (D1-D2 dan D3) apakah tidak layak disertifikasi?
Seharusnya para guru-guru malu apabila guru yang bersangkutan kualifikasinya sudah S2 (Magister-red) masih bertanya kepada guru yang kualifikasi pendidikannya Diploma II (D2) bahkan kepada yang kualifikasi pendidikannya S1 pun.
Memang sungguh ironis apabila dalam konteks regularisasi dalam pendidikan kita dilakukan kompetisi objektif banyak ketimpangan-ketimpangan yang ditemukan dilapangan. Percuma saja diberlakukan kriteria ketuntasan minimal (KKM) oleh guru namun kenyataannya tidak sesuai hasilnya dengan penilaian oleh lembaga-lembaga lain. Feed back dan solusinya bahwa yang diprogramkan dan direncanakan hasilnya harus berbanding lurus. Itulah standar yang benar-benar mengacu pada penilaian objektif yang sesungguhnya.

*. Penulis adalah Pemerhati Masalah Pendidikan tinggal di Kota Jambi, email: sihaloho11@yahoo.com.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar