Senin, 15 November 2010

PENDIDIKAN

Pendidikan dan Pergeseran Struktur Tenaga Kerja
Oleh : NELSON SIHALOHO

Pendahuluan
Efek pergeseran struktur tenaga kerja terhadap pendidikan terus berlanjut. Bahkan dunia kerja tetap saja harus menyediakan jutaan dollar untuk pelatihan, terutama untuk pelatihan dalam rangka meningkatkan high-level-cognitive dan technical skill yang diperlukan pada era industrialisasi dan teknologi informasi.
Implementasinya bagi dunia pendidikan harus berani mengevaluasi untuk menentukan seberapa besar materi yang ada sekarang ini yang perlu diberikan kepada peserta didik. Sekolah perlu mengurangi materi yang sekarang ini dan menambah materi-materi baru yang diperlukan oleh dunia industri di masa mendatang. Karena itu, membangun jembatan antara sekolah dan dunia kerja harus merupakan program dari sekolah.
Pada abad ke XX dunia kerja ditandai dengan produksi massal dan terstandarisasi untuk menurunkan ongkos produksi. Proses produksi semacam ini bersifat mekanistis yang memerlukan tenaga kerja khusus namun kontrol tenaga kerja terbatas, sistem quality control jelas serta proses produksi harus dijauhkan dari kemalasan tenaga kerja.
Namun proses produksi pada abad XXI berubah. Pasar dewasa ini bersifat fleksibel dan harus mampu dan tanggap terhadap perubahan dan bekerjasama dalam menyusun cost biaya merupakan kunci utama untuk dapat menang dalam persaingan. Organisasi dunia industri memerlukan integrasi dari semua bagian dari proses produksi seperti bagian perencanaan, mesin, pemasaran, proses produksi, herarkis struktur organisasi yang mendatar, desentralisasi tanggung jawab serta lebih banyak melibatkan karyawan dalam pengambilan keputusan di segala jenjang.
Pola system demikian akan lebih responsif terhadap tuntutan dan kebutuhan perubahan, fleksibel, dan lebih memungkinkan untuk melaksanakan pembaharuan yang berlangsung secara terus menerus. Kenyataan ini jelas memerlukan tenga kerja yang memiliki skiil yang berbeda-beda dan skiil yang lebih tinggi serta lebih terdidik. Persoalan yang muncul adalah, berapa besar konsekuensi dari perubahan tersebut, seberapa besar cakupan perubahan pada berbagai perusahaan pada dunia industri serta seberapa jauh perubahan tersebut akan terjadi secara permanent.
Pada masa awal perubahan, tetap saja lebih banyak pekerjaan yang memerlukan tenaga kerja dengan skill yang rendah, seperti dalam usaha rumah makan, warung kebutuhan sehari-hari dan kerja administrasi kantor dan tipe pekerjaan tersebut akan merupakan pilihan utama bagi pencari kerja untuk pertama kali. Namun dalam perkembangannya tahap demi tahap dunia kerja harus direstrukturisasi sehingga merupakan pekerjaan yang memerlukan kemampuan pekerja yang lebih tinggi.
Pendidikan tidak hanya dituntut mempersiapkan peserta didik untuk mampu bekerja pada satu jenis bidang yang relevan. Pendidikan harus dapat mempersiapkan peserta didik untuk mampu memasuki berbagai bidang kerja. SMA selain harus mampu mempersiapkan lulusan untuk memasuki dunia pendidikan tinggi juga harus mampu mempersiapkan lulusan untuk siap memasuki pelatihan dari dunia kerja di segala bidang.
Dalam research cognitive, antropologi dan otak, sebagaimana dilaporkan oleh Raizen (1989) dalam Reforming education at work: A Cognitive science perspective, menunjukkan bahwa seseorang belajar secara berbeda lewat pengalaman dalam kehidupan dibandingkan pengalaman dari sekolah formal. Meski hasil-hasil penelitian tersebut meyakinkan, apa yang terdapat dalam proses pendidikan formal tetap saja tidak pernah memperhitungkan atau mengabaikan pengalaman yang terjadi di luar sekolah. Hasilnya terdapat kesenjangan antara pengalaman di sekolah dan apa yang ada di masyarakat.
Kesenjangan itu antara lain, sekolah menekankan pada individual performance, sebaliknya apa yang terjadi di luar sekolah senantiasa menekankan socially shared performance.Sekolah menekankan pada pemikiran yang tidak memerlukan alat bantu, sebaliknya dunia kerja senantiasa memerlukan alat bantu. Sekolah senantiasa menekankan pada simbol-simbol yang terpisah dari objek, sebaliknya kehidupan dunia kerja menekankan pada upaya riil dalam menangani objek serta sekolah bertujuan untuk menyerap pengetahuan dan skill secara urnum, sebaliknya dunia kerja memfokuskan pada pengetahuan dan skill yang relevan dengan situasi tertentu.

Implikasi

Hasil Brain research dan pergeseran struktur tenaga kerja mengajarkan pada kita hal-hal antara lain pertama, pada diri siswa perlu dikembangkan kemampuan dasar, meliputi basic skills, thinking skill dan personal skill. Basic skill antara lain membaca dan menginterpretasikan informasi, menulis dan mengembangkan informasi, matematik dan berhitung, mendengarkan, dan berbicara. Thinking skill terdiri dari kreativitas, pengambilan keputusan, problem solving, visualizing, knowing hot to learn dan, reasoning. Personal skill meliputi kemampuan mengendalikan diri, tanggung jawab, self-esteem, sociability, self-management, dan integritas-kejujuran.
Kedua adalah kemampuan mengembangkan di tempat kerja mencakup kemampun untuk mengidentifikasi, mengorganisasi, merencanakan dan mengalokasi sumber-sumber, bekerjasama dengan orang lain (interpersonal skill), menguasai dan memanfaatkan informasi, memahami hubungan sosial, organisasi dan teknologi yang kompleks (sistem) dan dapat bekerja sesuai dengan sistem serta menyempurnakan sistem yang ada serta bekerja dengan berbagai teknologi, termasuk pemilihan, aplikasi, perawatan dan memecahkan problem.
Ketiga, sistem pengelolaan penyampaian bahan pelajaran bercirikan penyajian materi bersifat tematik yang merupakan kombinasi beberapa pokok bahasan yang bersifat lintas bidang, pengajar merupakan team teaching bukan lagi individual, model cooperatiye learning sebagai pengganti individual learning, dan outcome aspek afektif lebih jelas.
Secara lebih khusus, hasil-hasil penelitian sistem kerja otak dan pergeseran struktur tenaga kerja dalam jangka panjang memiliki implikasi terhadap proses belajar mengajar.
Penyajian materi model lama adalah tersusun dalam pokok bahasan dan sub pokok bahasan sedangkan model baru tersusun dalam problem, tema dan terintegrasi. Out come dalam model lama adalah aspek kognitif sangat menonjol dan aspekj efektif lemah. Guru pada model lama sstem kerja individual dalam model baru team teaching, prosedur relative rigid sedangkan model baru relative fleksibel. Sasaran pada pemahaman konsep dalam model baru pemahaman konsep, hubungan dan keterkaitan. Prinsip model learning adalah individual learning dalam model baru cooperative learning. Sasaran evaluasi adalah individu pada model baru individu dan kelompok. Pola belajar, potongan demi potongan menjadi gambar pada model baru kerangka untuk ditempel gambar.
Sedangkan implikasi dalam jangka pendek, berbagi kebijakan dan inovasi pendidikan dewasa ini, sadar atau tidak, lebih banyak ditujukan sebagai konsumsi para siswa yang memiliki IQ relatif tinggi. Sebagai contoh pembaharuan kurikulum dan diperkenalkannya matematika modern lebih menguntungkan mereka para siswa yang memiliki otak relatif encer. Ditambah dengan sistem pengajaran yang bersifat klasikal tanpa membedakan perbedaan individu menyebabkan anak yang berotak encer akan semakin pandai, sebaliknya anak yang berotak relatif bebal akan tetap ketinggalan. Sedangkan, fakta menunjukkan siswa yang memiliki otak relatif encer paling tinggi hanya sekitar 10%. Intinya kebijakan dan pembaharuan pendidikan yang dilaksanakan hanya menguntungkan bagi 10% siswa terpandai.
Temuan-temuan penelitian otak (brain research) mutakhir seperti yang diungkapkan oleh Goleman dalam buku ’Emotion Intelfigence’, memberikan kemungkinan dikembangkannya kebijakan yang dapat meningkatkan keberhasilan pendidikan 90% siswa yang memiliki intelegensi biasa-biasa atau malah relatif lemah. Artinya, sangat dimungkinkan kemampuan EQ dikembangkan, sehingga meski IQ tidak terlalu tinggi siswa akan berhasil dalam pendidikannya.
Emosi menurut Goleman, adalah "suatu perasaan dan pikiran-pikiran khasnya, suatu keadaan biologis dan psikologis, dan serangkaian kecenderungan untuk bertindak. Ada ratusan emosi, bersama dengan campuran, variasi, mutasi dan nuansanya." EQ, merupakan kemampuan untuk mengendalikan, mengorganisir dan mempergunakan emosi ke arah kegiatan yang mendatangkan hasil optimal. Dengan emosi yang dikendalikan akan merupakan dasar bagi otak untuk dapat berfungsi dengan baik.
Penjabaran emosi seringkali muncul dalam berbagai bentuk seperti marah, ketakutan, perasaan senang, cinta, kesedihan, kenikmatan, keterkejutan, kejengkelan, dan malu. Emosi tersebut tidak statis tetapi berkembang sejalan dengan perkembangan usia seseorang. Semakin dewasa emosi yang dimiliki akan semakin matang. Namun, kedewasaan emosi juga bisa berkembang sebagai hasil interaksi dengan lingkungan, baik interaksi tersebut disengaja oleh pihak lain. Keberhasilan guru mengembangkan kemampuan siswa mengendalikan emosi akan menghasilkan perilaku siswa yang baik. Terdapat dua keuntungan apabila sekolah berhasil mengembangkan kemampuan siswa dalam mengendalikan emosi. Pertama, emosi yang terkendali akan memberikan dasar bagi otak untuk dapat berfungsi secara optimal. Kedua, emosi yang terkendali akan menghasilkan perilaku yang baik.

Ketimpangan Pendidikan

Kesenjangan sosial merupakan fenomena masyarakat yang bersifat global, terjadi baik di negara maju ataupun terbelakang. Bahkan proses integrasi ekonomi global cenderung akan mempertajam perbedaan kelompok kaya dan kelompok miskin. Lembaga studi di Amerika Serikat, misalnya, Institute for Policy Study sebagaimana dimuat pada Herald Tribune(24/1) Tahun 1997, mengemukakan bahwa ekonomi global akan menciptakan kesenjangan antara kelompok kaya dan kelompok miskin yang luar biasa.
Diramalkan bahwa kekayaan dari 447 orang terkaya di dunia akan lebih besar daripada pendapatan penduduk miskin yang mencakup sekitar separo jumlah penduduk dunia, dan dua pertiga penduduk dunia akan mengalami proses pemiskinan.
Di bidang tenaga kerja, 200 industri terkemuka dunia akan menguasai sekitar 28 % kegiatan ekonomi dunia, tetapi hanya menyerap 1 % dari tenaga kerja global dengan gaji yang relatif rendah. Bagi negara sedang berkembang, seperti di Indonesia, kesenjangan sosial bisa merupakan ancaman keamanan nasional sebab ketimpangan sosial ini akan berakumulasi dan bersinergi dengan berbagai persoalan masyarakat yang kompleks.Buntut dari persoalan ketimpangan sosial ekonomi itu akan mengganggu proses pembangunan ekonomi. Karena itu, kesenjangan sosial tidak hanya perlu dijadikan topik pembahasan di berbagai seminar tetapi perlu untuk dicari pemecahannya secara jernih.
Pendidikan sendiri tidak bebas dari ketimpangan sosial. Malahan banyak paedagog atau sosiolog, seperti Randall Collins dalam The Credentiai Society: An Historical Sosiology of Education and Stratafication, mengemukakan bukti-bukti bahwa justru pendidikan formal merupakan awal dari proses stratafikasi sosial itu sendiri.
Sejalan dengan perlunya dikembangkan solidaritas sosial di kalangan siswa, pendekatan individu dalam dunia pendidikan perlu diimbangi dengan pendekatan yang berbasis kerjasama, kebersamaan dan kolaborasi untuk mengembangkan kemampuan siswa dalam kerjasama dan kemampuan bernegosiasi, berkomunikasi serta kemampuan untuk mengambil keputusan. Pendekatan itu Cooperative Learning.
Berbagai hasil penelitian menyimpulkan manfaat Cooperative teaming. Robert E. Slavin dan Nancy A. Madden, dalam hasil penelitian tentang "School Practices That improve Race Relations" yang dimuat pada American Educational Research Journal menyatakan, dibandingkan dengan model pembelajaran yang lain Cooperative learning dalam pembelajaran menghasilkan prestasi akademik yang lebih tinggi untuk seluruh siswa, kemampuan lebih baik untuk melakukan hubungan sosial, meningkatkan rasa percaya diri, serta mampu mengembangkan saling kepercayaan sesamanya, baik secara individual maupun kelompok. Secara lebih terperinci hasil penelitian tersebut mengemukakan bahwa bukannya pelatihan guru, buku-buku civics, sejarah dan diskusi-diskusi di kelas yang mempengaruhi sikap dan perilaku sosial siswa, melainkan tugas-tugas yang diberikan secara kelompok yang secara meyakinkan telah berhasil mengembangkan hubungan, sikap dan perilaku sosial siswa.
Apabila guru melaksanakan proses belajar mengajar dengan mempergunakan Cooperative Learning, berarti guru tersebut sudah berperan dalam mengurangi kesenjangan pendidikan khususnya dalam ujud output pada level individual. Selain itu berkembangnya kesetiakawanan dan solidaritas sosial di kalangan siswa pada gilirannya akan dapat mengurangi ketimpangan dalam ujud input pada level individual.
Intervensi untuk mengurangi ketimpangan sosial harus dimulai dari lembaga pendidikan. Cooperative Learning merupakan suatu kebijakan dalam proses belajar mengajar yang memiliki prospek yang cerah untuk menciptakan equity di dunia pendidikan. Cooperative Learning pada hakekatnya merupakan upaya untuk menempatkan proses pendidikan pada rel yang sebenarnya yaitu menghasilkan manusia yang ber-''otak" dan ber-''hati".
Perkembangan teori baru di bidang perkembangan kognitif, seperti dikemukakan oleh Baxter Magolda (dalam Knowing and Reasoning in College: Gender-Related Patterns in Students' Intellectual Development, 1995) menekankan bahwa ketiga aspek pendidikan yaitu intelektual, sosial dan emotional harus merupakan satu kesatuan yang terintegrasi. Untuk mencapai integrasi ini peranan konteks sosial dan hubungan antar pribadi sangat penting.

Peningkatan Mutu
Menurut Zamroni (2008) bahwa peningkatan mutu sekolah, dapat disebut sebagai suatu perpaduan antara knowledge-skill, art, dan entrepreneurship. Suatu perpaduan yang diperlukan untuk membangun keseimbangan antara berbagai tekanan, tuntutan, keinginan, gagasan-gagasan, pendekatan dan praktik. Perpaduan tersebut di atas berujung pada bagaimana proses pembelajaran dilaksanakan sehingga terwujud proses pembelajaran yang berkualitas. Semua upaya peningkatan mutu sekolah harus melewati variabel ini. Proses pembelajaran merupakan faktor yang langsung menentukan kualitas sekolah.
Peningkatan mutu atau kualitas pembelajaran merupakan inti dari reformasi pendidikan di negara manapun. Hal disebabkan oleh asumsi bahwa, peningkatan mutu sekolah yang memiliki peran penting dalam peningkatan mutu pendidikan nasional, tergantung pada kualitas pembelajaran. Namun, peningkatan kualitas pembelajaran sangat bersifat kontekstual, sangat dipengaruhi oleh kondisi sosial dan kultural sekolah dan lingkungannya.
Berbagai penelitian menunjukan bagaimana bagaimana pentingnya kondisi dan lingkungan sekolah mempengaruhi kualitas pembelajaran, seperti, dalam penelitian tentang sekolah efektif (Purkey & Smith, 1983), kerja guru dan pembelajaran (McLaughlin Talbert, 1993), retrukturisasi sekolah dan kinerja organisasi (Darling-Hammond, 1996), yang semuanya ini bermuara pada suatu pernyataan “apabila ingin meningkatkan kualitas pembelajaran, kualitas sekolah sebagai satu kesatuan dimana pembelajaran berlangsung harus ditingkatkan”.
Lebih lanjut Zamroni (2008) menyatakan kebijakan peningkatan mutu sekolah pada masa mendiknas Bambang Sudibyo sekarang ini menekankan pada peningkatan mutu secara simultan, mutu lulusan, mutu proses, mutu pengelolaan, mutu guru, mutu pendanaan, mutu fasilitas dan mutu faktor lain yang terkait dengan sekolah. Dalam masa ini, kebijakan yang penting untuk disebut dalam peningkatan mutu adalah penataan sistem manajemen termasuk manajemen keuangan. Rencana strategis disusun, visi dan misi serta program kerja telah dirumuskan disertai tolok ukur kinerja yang jelas. Dengan demikian Departemen Pendidikan memiliki ukuran yang jelas yang dengan mudah dapat mengevaluasi diri seberapa jauh jalan telah ditempuh dan seberapa besar tujuan dapat dicapai.
Mutu atau kualitas sekolah memiliki banyak makna. Definisi tunggal kualitas sekolah yang diterima banyak pihak sulit untuk dirumuskan. Apalagi, rumus definisi mutu sekolah amat terkait dengan tujuan dan strategi pendidikan yang ada. Selama ini pembicaraan mutu sekolah cenderung dititik beratkan pada pengetahuan dan ketrampilan yang dikuasai oleh siswa.
Kay (2008) sebagaimana dikutip Zamroni (2008) menganalisis perkembangan yang akan terjadi di abad 21 dan mengidentifikasi kompetensi apa yang diperlukan dan menjadi tugas pendidikan untuk mempersiapkan warga negara dengan kompetensi. Terdapat 5 kondisi atau konteks baru dalam kehidupan berbangsa, yang masing-masing memerlukan kompetensi tertentu seperti kondisi kompetisi global (perlu kesadaran global dan kemandirian), kondisi kerjasama global (perlu kesadaran global, kemampuan bekerjasama, penguasaan ITC), pertumbuhan informasi (perlu melek teknologi, critiacal thinking & pemecahan masalah), perkembangan kerja dan karier (perlu Critical Thinking & pemecahan masalah, innovasi & penyempurnaan, dan, fleksibel & adaptable) serta perkembangan ekonomi berbasis pelayanan jasa, knowledge economy (perlu Melek informasi, Critical Thinking dan pemecahan masalah).
Intinya menurut Kay sekolah harus mempersiapkan siswa dengan kemampuan, kesadaran global, watak kemandirian, kemampuan bekerjasama secara global, kemampuan menguasai ITC, kemampuan melek teknologi, kemampuan intelektual yang ditekankan pada critical thinking dan kemampuan memecahkan masalah, kemampuan untuk melakukan innovasi & menyempurnakan dan memiliki pengetahuan dan ketrampilan yang bersifat fleksibel & adaptabel.
Kay (2008) juga mengidentifikasi 5 kemampuan yang amat penting dalam kehidupan, yaitu etika kerja, kemampuan berkolaborasi, kemampuan berkomunikasi, tanggung jawab sosial dan berpikir kritis dan memecahkan masalah.
Sejalan dengan kajian Kay ini, Departemen Pendidikan New Zealand melakukan reformasi kurikulum dengan menekankan bahwa para siswa harus menguasai lima kemampuan dasar yaitu kemampuan berpikir kritis dan memecahkan masalah (critical thinking dan problem solving)), kemampuan mempergunakan bahasa, symbol-simbol dan teks, kemampuan mengendalikan diri sendiri (mampu memotivasi diri sendiri, memiliki sikap “bisa mengerjakan” “a can-do attitude”, mampu merencanakan masa depan), kemampuan berhubungan dan bekerjasama (kemampuan untuk mendengarkan, kemampuan mengenali perbedaan pendapat, kemampuan bernegosiasi, kemampuan berpikir bersama) dan kemampuan berpartisipasi dan berkontribusi bagi kesejahteraan masyarakatnya (kemampuan untuk berpartisipasi dalam berbagai kegiatan, kemampuan berkontribusi, kemampuan menciptakan peluang).
Kebijakan peningkatan mutu selama ini senantiasa cepat direspons sepenuhnya oleh sekolah yang masuk pada kualifikasi “menuju kualitas unggul”. Sekolah pada klasifikasi “memantapkan posisi” juga cepat merespons tetapi banyak mengalami kesulitan.
Pencapaian kompetensi yang dihasilkan berkaitan erat dengan bagaimana pembelajaran dilaksanakan. Pada intinya jenjang pendidikan saat ini banyak mempengaruhi struktur kerja. Meskipun seseorang itu memiliki title Doktor ataupun Professor sepanjang lapangan pekerjaan makin sempit gelar title Doktor dan Professor tidak akan banyak membawa manfaat pada dunia kerja.
Karena itu basis pendidikan dengan lebih banyak memberikan model praktek disekolah jauh lebih bermakna dari pada memberikan sanak didik dengan sejuta teori-teori mutakhir tapi tidak pernah dimanfaatkan. (dihimpun dari berbagai sumber).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar