Senin, 15 November 2010

PSIKOLOGI

Jaques Lacan Generasi Baru Tokoh Psikoanalisa.
Oleh: Nelson Sihaloho

Abstrak:
Psikoanalisa merupakan salah satu aliran besar dalam sejarah ilmu pengetahuan manusia. Kelahiran psikoanalisa tidak lepas dari berbagai penolakan dan penerimaan.
Pernyataan testimonial Sigmund Freud yang menyatakan bahwa konsep ketidaksadaran mengetuk-ngetuk pintu psikologi untuk masuk. Sementara filsafat dan sastra tekah lama bergelut dengannya, namun ilmu pengetahuan tidak tahu kegunaannya.
Kata kunci: Generasi Baru, Psikoanalisa.


Pendahuluan

Psikoanalisa merupakan salah satu aliran besar dalam sejarah ilmu pengetahuan manusia. Contohnya adalah marxisme yang dikenal dengan penganut teori-teori Karl Marx. Begitu juga dengan psikoanalisa memiliki aliran-aliran atau penganut teori-teori fanatiknya seperti Sigmund Freud, Carl Gustav Jung, Ivan Pavlov, Alfred Binet, Alfred Alder dan lain-lain.
Kini, psikoanalisa telah merambah ke berbagai sektor keilmuan seperti sastra, sosiologi, filsafat dan kesenian.
Awalnya psikoanalisa identik dengan nama pendirinya bernama Sigmund Freud. Akibatnya penggunaan istilah psikoanalisa dan psikoanalisa Freud awalnya memiliki arti yang sama.
Bahkan beberapa murid Freud yang beralih dari ajaran gurunya memilih untuk meninggalkan istilah psikoanalisa, seperti Carl Gustav Jung yang mememilih menggunakan nama psikologi analitis (analytical psychology) dan Alfred Adler dengan istilah psikologi individual (individual psychology).
Seiring dengan semakin meluasnya penerimaan psikoanalisa dalam ruang keilmuan yang beragam itu, istilah psikoanalisa akhirnya tidak hanya identik dengan Freud sebagai pendiri psikoanalisa.
Kelahiran psikoanalisa sebenarnya tidak lepas dari berbagai penolakan dan penerimaan. Kalimat testimoni Freud sebagaimana diuraiakan diatas mengindikasikan adanya penolakan yang kuat terhadap psikoanalisa, bahkan oleh psikologi yang sebenarnya memiliki kesamaan kajian dengan psikoanalisa.
Bahkan Eysenck, seorang psikolog behavioris di London yang berasal dari Jerman, menganggap sangat tidak mungkin memberikan predikat ilmiah untuk psikoanalisa karena tidak bersifat behavioristik. Adanya penerimaan serta penolakan dapat dipahami sebagai perbedaan pendapat akibat peliknya pemahaman terhadap kompleksitas manusia.
Pemahaman tentang manusia memang tidak akan pernah berakhir. Baik itu sejak perkembangan filsafat pada zaman Yunani kuno hingga era modern canggihnya teknologi maupun informasi yang begitu mudah didapatkan pembicaraan tentang manusia akan selalu menyisakan ruang perdebatan. Manusia hanya bisa dipahami atas apa yang dihasilkannya berupa hasil karya-karya hingga prestasi-prestasinya.
Banyak pendapat yang menyatakan bahwa manusia dapat dianalogikan sebagai teka-teki silang yang terdiri dari beberapa kotak kosong yang menyusunnya. Setiap deret kotak dapat diisi oleh berbagai pertanyaan baik itu nama dan teori untuk menjawab pertanyaan seputar manusia. Namun teka-teki silang itu tidak pernah selesai dikerjakan, selalu menyisakan pertanyaan. Sebab adanya ketidaksadaran adalah yang paling kontroversial sebagaimana teori Freud.
Sejak awal diutarakan, penolakan untuk konsep yang asing di tengah kepercayaan kemandirian manusia sebagai mahluk yang sadar ini terus bergulir dan akan berlanjut.
Penolakan itu dapat kita maklumi, karena sangat terkait konstruksi epistimologis keilmuan modern yang bercokol kuat pada benak para saintis dan filsuf di era kelahiran psikoanalisa. Ketidaksadaran adalah kemustahilan di tengah keyakinan akan penuhnya kesadaran manusia sebagai mahluk yang berpikir.
Freud yang mencurigai bahwa kesadaran adalah sesuatu yang terus direpresi oleh hasrat libidinal yang berasal dari ruang ketidaksadaran, sempat menjadi bahan cemoohan. Hasrat memang sesuatu yang sering disingkirkan dalam pembicaraan filsafat maupun dalam pemikiran barat.
Sedangkan Plato menyebutnya sebagai sesuatu yang harus dikontrol ketat oleh akal karena tidak memiliki prinsip untuk mengatur dirinya sendiri.
Pernyataan “Adagium Descartes Cogito Ergo Sum” (aku berpikir maka aku ada) merupakan puncak pernyataan epistimologis pencerahan dan menolak kekuasaan hasrat dan ketidaksadaran atas manusia yang sadar.
Plato, dalam anggapannya “Descartes akal” merupakan substansi. Subjek cartesian meyakini manusia sebagai yang awas, sadar diri, rasional yang berangkat dari akal murni dan bukan hasrat atau bentuk-bentuk lain dari ketidaksadaran.
Konsep ketidaksadaran dalam psikoanalisa menjadi pukulan telak dari inti subjek cartesian. Subjek cartesian yang ditahbiskan sebagai yang rasional dan bersandar pada akal murni dicurigai menyimpan hasrat libidinal dari dalam ruang bawah sadar manusia.
Hasrat tersebut tidak lain muncul dalam proses psikodinamis manusia. Freud pada saat itu seperti menjanjikan sebuah cara pandang baru untuk melihat ketidaksadaran dan hasrat yang dalam pandangan sebelumnya terus dinyatakan terkontrol oleh akal-rasio manusia yang sadar.
Psikoanalisa hadir untuk menyatakan bahwa hasrat yang berdiam dalam ketidaksadaran merupakan kekuatan yang mengontrol manusia yang mentahbiskan diri sebagai yang sadar dengan kekuatan akalnya. Kehadiran psikoanalisa tidak sebatas memunculkan suatu pandangan baru diantara teori yang telah berkembang tentang psyche manusia pada ruang psikologi, namun lebih jauh melampaui rasionalisme yang telah sekian lama diakui oleh para ilmuwan dan filsuf.
Penolakan terhadap ide ketidaksadaran Freud tidak hanya muncul dari kelompok rasionalis melainkan juga muncul dari para penggiat eksperimentalis (empirisme).
Meski demikian sungguh sangat sulit membuktikan adanya id (ketidaksadaran) pada manusia secara empirik. Hal ini yang memungkinkan Eysenck dengan begitu tajamnya menyerang Freud. Penolakan Eysenck atas psikoanalisa sebagai sebuah ilmu dengan alasan karena sifatnya yang tidak behavioristik. Setidaknya dalam pandangan behavioris ekstrem yang cenderung hanya mengamati sesuatu yang nampak sebagai perilaku. Bahwa ketidaksadaran yang diusung oleh psikoanalisa merupakan sesuatu yang tidak tampak dan tidak teruji secara emprik. Sementara orientasi keilmuan umumnya merupakan orientasi pada dunia empirik.
Penilain lainnya atas Freud, banyak kalangan menunjukkan bahwa psikoanalisa Freudian telah ingkar pada janji sebelumnya untuk mengungkap kekuatan dan dorongan ketidaksadaran dalam diri manusia. Adagium Wo Es War, Soll Ich Werden (dimana ada id selalu ego berpatroli) menunjukkan bahwa Freud gagal mewujudkan janji psikoanalisa. Ego yang sadar dalam konsep Freud membuktikan bahwa ketidaksadaran (id) tetap terkontrol dalam pengawasan ego yang sadar.
Freud dituduh oleh beberapa pembacanya tengah ikut dalam pemujaan ego cartesian. Di sinilah ambiguitas Freud terungkap ke permukaan. Terlepas dari berbagai pro dan kontra tersebut, psikoanalisa telah memberikan sumbangan besar bagi berbagai bidang ilmu, termasuk psikologi sendiri yang akhirnya menerima psikoanalisa. Pemahaman atas psikoanalisa Freudian pun telah ikut melahirkan berbagai teori dan pendekatan baru pada berbagai bidang ilmu yang dengan tangan terbuka maupun setengah-setengah menerima kehadirannya. Psikoanalisa kini telah diterima sebagai sebuah cara pandang baru tentang manusia dalam berbagai ilmu, meskipun masih menyisakan kontroversi.
Pemahaman terhadap Freud pun terus berlanjut dan tidak pernah berhenti. Prinsip-prinsip psikoanalisa yang dibangun Freud terus menjadi perhatian tidak hanya dari kelompok psikolog atau psikoanalis sendiri. Kritik, pengungkapan dan pembaharuan pandangan terhadap karya-karya Freud terus dilakukan oleh para saintis dan filsuf.
Harus diakui bahwa Freud merupakan salah satu inspirator penting dalam perkembangan paradigma ilmu sekarang.
Salah satu tokoh dan pecinta karya-karya Freud adalah Jaques Lacan, seorang psikoanalis dari Perancis. Di tangan Lacan, psikoanalisa Freud berkembang menjadi aliran psikoanalisa baru yang sangat mengagumkan.
Lacan memasukkan enersi linguistik struturalisme, beberapa gagasan dari antropologi dan filsafat ke dalam psikoanalisa. Lacan sering dikenal sebagai sintesa Freud dan Saussure dengan sedikit sentuhan Lévi Strauss, Heidegger dan Jaques Derrida.
Persentuhan berbagai pemikiran dan aliran keilmuan inilah yang akhirnya membuat karya Lacan dikenal sebagai pemikiran yang tidak mudah untuk dipelajari. Selain itu, kegemaran Lacan menggunakan idiom-idiom asing dan baru untuk memperkuat psikoanalisa yang dikembangkannya lebih memperumit upaya untuk mendekati pemikirannya.
Sebagaimana penolakan terhadap psikoanalisa Freud pada awal kemunculannya, Lacan juga mengalami nasib yang tidak berbeda dengan pendahulunya. Penerimaan atas psikoanalisa lacanian di dunia psikologi terasa sangat terlambat. Sementara cultural studies cukup sulit untuk menemukan padanan kata ini dalam penterjemahan ke dalam bahasa Indonesia, sosiologi paskamodernisme dan filsafat telah banyak mengambil manfaat dari pemikiran Lacan, dunia psikologi sendiri masih sering bungkam, belum mengambil sikap terbuka terhadap aliran psikoanalisa Lacan.
Pandangan Lacan tentang ketidaksadaran dan sebuah contoh pembacaan ala lacanian tentang fenomena konsumerisme yang tengah aktual berkembang saat ini.
Munculnya psikoanalisa merupakan serangan terhadap kemapanan rasionalisme dan humanisme keilmuan barat yang berdiri di atas fondasi kesadaran subyek.
Setelah Nietzsche mencurigai adanya keinginan subyek yang rasional ala cartesian dipenuhi hasrat akan kekuasaan, psikoanalisa menyatakan ada hubungan antara kesadaran dengan ruang ketidaksadaran yang tidak tertundukkan. Psikoanalisa secara telak memukul inti kekuatan pemikiran Barat dan mempercepat terjadinya krisis ego cogitan.
Freud membangun konsep topografi kepribadian manusia yang terbelah menjadi dua ruang; kesadaran dan ketidaksadaran. Ruang kesadaran adalah ruang yang terapung-apung di atas ruang ketidaksadaran. Pengaruh ruang ketidaksadaran akan selalu mucul secara tidak dinyana dan disadari 'bahkan' oleh kesadaran subyek.
Ketidaksadaran terstruktur seperti bahasa merupakan sisi lain pemikiran Lacan. Lacan menekankan arti pentingnya bahasa dalam pelbagai hubungan kesadaran dan ketidaksadaran. Penekanan tersebut merupakan hasil dari pembacaan Lacan atas prinsip-prinsip psikoanalisa freudian dan tidak terlepas pula dari pengaruh aliran surealisme dalam dunia kesenian.
Analisa yang dilakukan oleh Freud selama praktik psikoanalisanya menunjukkan bahwa pasien tidak dapat menunjukkan secara langsung problem psikisnya, melainkan dengan memainkan simbol-simbol penuturan bahasa. .
Berangkat dari uraian diatas, Lacan meyakini bahwa psikoanalisa harus dapat menjadi semacam ilmu bahasa dan tanda karena sifatnya yang secara eksklusif mempergunakan
Hasrat pada dasarnya merupakan keinginan akan kepemilikan identitas.
Identitas hanyalah kesemuan yang disebabkan adanya efek penandaan; identitas adalah karya penandan. Keterjebakan dalam bahasa membuat manusia secara tidak sadar masuk dalam lingkaran penanda (circle of signifiers) ini secara logis konsekuensinya hasrat tidak dapat menunggangi bahasa dan bahasalah yang memanipulasi hasrat.
Ke depan mungkin akan muncul teori psikoanalisa baru pengikut Jaques Lacan dimana teori-teori psikoanalisa akan berkembang seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dalam teori-teori belajar kontribusi psikoanalisa sangat besar termasuk dalam teraphy dan pelayanan bimbingan konseling.
(*dihimpun dari berbagai sumber relevan)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar