Kamis, 10 Januari 2013

Globalisasi dan Tuntutan SDM Efektif

Globalisasi dan Tuntutan SDM Efektif Oleh: Nelson Sihaloho Globalisasi merupakan suatu proses tatanan masyarakat yang mendunia dan tidak mengenal batas wilayah. Globalisasi pada hakikatnya merupakan suatu proses dari gagasan yang dimunculkan, kemudian ditawarkan untuk diikuti oleh bangsa lain dan akhirnya sampai pada titik kesepakatan bersama dan menjadi pedoman bersama seluruh nbangsa-bangsa di dunia. Edison A. Jamli dkk menyatakan (2005) menyatakan globalisasi ditandai oleh ambivalensi dimana satu sisi menjadi berkah dan sisi lain menjadi “kutukan”. Globalisasi membawa konsekuensi terhadap pendidikan di Indonesia yang ditandai dengan ambivalensi. Pendidikan berada pada tataran kebingungan dan ingin mengejar ketertinggalan kualitas sumber daya manusia (SDM) dengan dunia internasional. Meski demikian Indonesia belum mampu mencapai kualitas sesuai dengan tuntutan era globalisasi itu. Mengutip Kompas.com tanggal 19 Juni 2009, Hafilia R. Ismanto, Direktur Bidang Akademik LBPP LIA, menyebutkan bahwa sampai saat ini masih banyak guru belum berhasil untuk dijadikan role model sebagai pengguna Bahasa Inggris yang baik. Penyebabnya karena selama ini pihak sekolah dan guru belum melakukan pendekatan integrasi antara content atau mata pelajaran dan Bahasa Inggris. Tidak semua guru mata pelajaran bisa diberdayakan untuk memberikan materi berbahasa Inggris, kecuali para guru itu memang benar-benar siap. Selain itu banyak penyelewengan-penyelewengan anggaran pendidikan yang dilakukan oleh dilakukan aparat dinas pendidikan di daerah dan sekolah. Peluang penyelewengan dana pendidikan itu terutama dalam alokasi dana rehabilitasi dan pengadaan sarana prasarana sekolah serta dana operasional sekolah. Temuan tersebut dipaparkan oleh Febri Hendri, Peneliti Senior Indonesia Corruption Watch (ICW) saat menyoal Evaluasi Kinerja Departemen Pendidikan Nasional Periode 2004 – 2009 di Jakarta, Rabu (9/9). Menurut Febri, selama kurun waktu 2004-2009, sedikitnya terungkap 142 kasus korupsi di sektor pendidikan. Kerugian negara mencapai Rp 243,3 miliar. (Kompas.com tanggal 9 September 2009). Menurut Ade (dalam Kompas.com 9 September 2009 kebocoran anggaran ataupun dalam bentuk paling parah seperti korupsi pendidikan, ini menyebabkan berkurangnya anggaran dan dana pendidikan, merusak mental birokrasi pendidikan, meningkatkan beban biaya yang harus ditanggung masyarakat, dan turunnya kualitas layanan pendidikan. Bahkan, dalam beberapa kasus, korupsi pendidikan telah membahayakan nyawa peserta didik dalam bentuk ambruknya gedung sekolah. Persoalannya sekarang ini, di tengah era global yang sedang berjalan saat ini dua nilai keilmuan yaitu kualitas ilmu-ilmu umum dan kualitas ilmu-ilmu agama harus dipadukan menjadi entitas yang utuh akan terealisasi implementasinya. Krisis pendidikan kita saat ini banyak disorot oleh masyarakat. Di Amerika Serikat misalnya untuk menunjukkan sekolah yang bermutu, tidak digunakan istilah unggulan (excellent) melainkan effective, develop, accelerate dan essential. Ironisnya apabila kita mengkaji dari sisi ukuran unggulan, sekolah unggulan di Indonesia banyak disinyalir tidak memenuhi persyaratan. Sebab sekolah unggulan hanya diukur dari kemampuan akademis para anak didik. Kkonsep yang benar, sekolah unggulan dapat dimaknai sebagai sekolah yang secara terus menerus meningkatkan kualitas kepandaian dan kreativitas anak didik sekaligus menggunakan sumber daya yang dimiliki untuk mendorong prestasi anak didik secara optimal. Intinya bukan hanya prestasi akademis saja yang ditonjolkan, melainkan sekaligus potensi psikis, etik, moral, religi, emosi, spirit, kreativitas dan intelegensianya. Istilah globalisasi/liberalisasi pendidikan bermula dari WTO yang menganggap pendidikan tinggi sebagai jasa yang bisa diperdagangkan atau diperjualbelikan. Tiga negara yang paling mendapatkan keuntungan besar dari liberalisasi jasa pendidikan itu adalah Amerika Serikat (AS), Inggris, dan Australia (Enders dan Fulton, Eds., 2002, hlm 104-105). Perkembangan dunia pendidikan di Indonesia bisa dilihat dari tiga hal yaitu masalah peningkatan mutu manusia dan masyarakat Indonesia, masalah globalisasi serta perkembangan dan kemajuan teknologi. Ketiga aspek tersebut sangat berpengaruh dalam perkembangan dunia pendidikan. Kareba peningkatan SDM menjadi tugas dan tanggung jawab utama pendidikan, sangat dipengaruhi faktor globalisasi dan teknologi. Pengaruh globalisasi, kemajuan teknologi dan informasi serta perubahan nilai-nilai sosial harus diperhitungkan dalam penyelenggaran pendidikan termasuk tanggung jawab dunia pendidikan untuk mencapai tujuan pokok melncerdaskan manusia yang berkualitas Pendidikan sebagai tonggak utama dalam pertumbuhan dan pembangunan dalam konsepsi knowledge economy dihadapkan pada pergeseran besar dari orientasi kerja otot (muscles work) ke kerja mental (mental works). Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang disertai dengan semakin kencangnya arus globalisasi dunia membawa akibat terhadap dunia pendidikan. Teknologi berkembang begitu pesat, pemerintah kerepotan dan akhirnya mengubah kurikulum pendidikan dan disesuaikan dengan tuntutan era globalisasi. Berbagai upaya dilakukan oleh lembaga pendidikan seperti berbahasa Inggris, ada pelajaran bahasa Perancis, Jepang hingga bahasa Korea. Globalisasi pendidikan dilakukan untuk menjawab kebutuhan pasar tenaga kerja berkualitas dan kompetitif. Sekolah-sekolah saat ini dituntut untuk saling berkompetisi meningkatkan kualitas pendidikannya terhadap peserta didik. Sekolah Efektif Menuurt Susan Albers Mohrman, et.al., School Based Management: Organizing for High Performance, San Francisco, 1994, h. 81 menyatakan bahwa di negara-negara maju, untuk menunjukkan sekolah yang baik tidak menggunakan kata unggul (excellent) melainkan effective, develop, accelerate, dan essential. Hasil penelitian C.E. Beeby (1981) menyatakan bahwa ada dua pemandangan yang kontras pada kondisi pendidikan kita saat ini. Satu sisi masyarakat ingin berlomba mencari pendidikan bermutu pada sisi lain mereka frustrasi karena mahalnya biaya yang harus dikeluarkan. Namun perlu digaris bawahi bahwa mempersiapkan generasi-generasi mamiliki daya saing yang kompetitif adalah tanggung jawab kita bersama. Pemerintah sebagai pemegang otoritas kebijakan dalam pendidikan semestinya harus lebih memberikan penguatan kepada lembaga-lembaga swasta khususnya pada perusahaan-perusahaan yang telah mampu “go international” untuk menyumbangkan “dana profit” atas SDM yang dihasilkan oleh lembaga pendidikan itu. Para pionir-pionir dan kampiun-kampiun manajer perusahaan kelas dunia merupakan hasil produk pendidikan. Namun mengapa terjadi “kekurang pedulian” pihak lembaga-lembaga swasta yang telah mampu meraup laba dari hasil investasi dan usahanya terhadap dunia pendidikan?. Semestinya pihak swasta membantu dunia pendidikan di Indonesia sehingga kita tidak kehilangan generasi-generasi yang berkualitas. Sekolah sebagai tempat pendidikan bagi peserta didik harus mampu menciptakan sekolah efektif. Supaya terjadi pemerataan dan tidak menimbulkan pro kontra dalam dunia pendidikan sebaiknya meniadakan predikat sekolah unggulan. Sekolah harus mampu mentransformasikan pengetahuan (tranfer of knowledge) dengan mengembangkan learning how to learn (Murphi,1992) atau belajar bagaimana belajar. Intinya belajar itu tidak hanya berupa transformasi pengetahuan tetapi jauh lebih penting adalah mempersiapkan siswa belajar lebih jauh dari sumber-sumber yang mereka temukan dari pengalaman sendiri, pengalaman orang lain maupun dari lingkungan dimana peserta didik tumbuh guna mengembangkan potensi dan perkembangan dirinya. Untuk mengembangkan sekolah sekolah bermutu perlu dilakukan perubahan-perubahan baik itu sarana dan prasarana, manajemen persekolahan, visi dan misi sekolah termasuk profesionalsme guru. Type sekolah bermutu secara umum adalah menerima dan menyeleksi secara ketat siswa yang masuk dengan kriteria memiliki prestasi akademik yang tinggi. Adanya penekanan iklim belajar yang positif di lingkungan sekolah. Menerima dan mampu memproses siswa yang masuk sekolah tersebut (input ) dengan prestasi rendah menjadi lulusan (output) bermutu tinggi. “Effective School”adalah An Effective School is a school that can, in measured student achievement terms, demonstrate the joint presence of quality and equity. Said another way, an Effective School is a school that can, in measured student achievement terms and reflective of its “learning for all” mission, demonstrate high overall levels of achievement and no gaps in the distribution of that achievement across major subsets of the student population. Beberapa faktor yang harus dicapai supaya mampu menjadi sekolah efektif yaitu kepemimpinan kepala sekolah yang profesional, guru-guru yang tangguh dan profesional, memiliki tujuan pencapaian filosofis yang jelas, lLingkungan yang kondusif untuk pembelajaran, jaringan organisasi yang baik, kurikulum yang jelas. Kemudian Evaluasi belajar yang baik berdasarkan acuan patokan untuk mengetahui apakah tujuan pembelajaran dari kurikulum sudah tercapai, partisipasi orang tua murid yang aktif dalam kegiatan sekolah. Sekolah Reguler Berlabel RSBI Menurut Richard Crawford ( 2001), abad ke 21 merupakan suatu Era of Human Capital, yaitu era, dimana perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya teknologi telekomunikasi berkembang sangat pesat dan Human Capital merupakan pusat perubahan dari masyarakat agraris menuju masyarakat industri (industrial society) dan kemudian menuju masyarakat ilmu (knowledge society). Perkembangannya yang pesat itu menyebabkan semakin derasnya arus informasi dan terbukanya pasar internasional yang berakibat pada persaingan bebas yang begitu ketat dalam segala aspek kehidupan manusia. Daya saing suatu bangsa akan menjadi pilar utama menuju era globalisasi. Ada tiga faktor utama faktor daya saing yaitu manajemen, teknologi, dan sumber daya manusia. Pendidikan merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM). Upaya pemerintah mempersiapkan SDM yang unggul, melalui Undang-Undang Sisdiknas Pasal 50 Ayat 3 menyebutkan bahwa Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional. Sejak tahun 2004, Direktorat PSMP telah merintis Sekolah Standar Nasional (SSN), yang sampai saat ini berjumlah 1314 sekolah di seluruh Indonesia. Sejak itu pula, Direktorat PSMP juga telah merintis Sekolah Koalisi setiap propinsi atau sekolah, yang sampai saat ini berjumlah 34 sekolah di seluruh Indonesia (Hadijah, 2009). Hingga tahun 2009, Direktorat PSMP Depdiknas telah membina 302 Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) dan 1.858 Sekolah Standar Nasional (SSN) yang tersebar di seluruh provinsi di Indonesia. SMP lain di luar SMP RSBI yangdibina oleh Direktorat pembinaan SMP, terdapat 50 sekolah yang secara mandiri berkategori SBI. Sebagai Sekolah Bertaraf Internasional tentu siswanya bukan hanya berasal dari Warga Negara Indonesia saja tetapi boleh juga berasal dari Warga Negara Asing. Untuk melaksanakan pembelajaran pada SMP Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional, diperlukan perangkat yang sesuai. Pembelajaran matematika yang menggunakan pengantar Bahasa Inggris masih relatif baru di Indonesia sehingga perangkat pembelajaran yang mendukung pelaksanaannya di kelas masih sangat terbatas. Karena itu, pengembangan perangkat pembelajaran matematika pada RSBI sejalan dengan salah satu program didalam Rencana Kerja dan Anggaran tahun 2009 Direktorat PSMP Depdiknas itu telah dilaksanakan. Namun adanya sekolah berlabel SSN, RSBI, SBI sekolah reguler pun harus melakukan pembaharuan agar mutunya tidak kalah bersaing dengan sekolah-sekolah yang berpredikat SSN, RSBI dan SBI itu. Ada dua faktor yang dapat menjelaskan mengapa upaya perbaikan mutu pendidikan selama ini kurang berhasil. Pertama strategi pembangunan pendidikan selama ini lebih bersifat input oriented. Strategi yang demikian lebih bersandar kepada asumsi bahwa apabila semua input pendidikan telah dipenuhi, seperti penyediaan buku-buku (materi ajar) dan alat belajar lainnya, penyediaan sarana pendidikan, pelatihan guru dan tenaga kependidikan lainnya, maka secara otomatis lembaga pendidikan ( sekolah) akan dapat menghasilkan output (keluaran) yang bermutu sebagai mana yang diharapkan. Ternyata strategi input-output yang diperkenalkan oleh teori education production function (Hanushek, 1979,1981) tidak berfungsi sepenuhnya di lembaga pendidikan (sekolah), melainkan hanya terjadi dalam institusi ekonomi dan industri. Kedua, pengelolaan pendidikan selama ini lebih bersifat macro-oriented, diatur oleh jajaran birokrasi di tingkat pusat. Akibatnya, banyak faktor yang diproyeksikan di tingkat makro (pusat) tidak terjadi atau tidak berjalan sebagaimana mestinya di tingkat mikro (sekolah). Atau dengan singkat dapat dikatakan bahwa komleksitasnya cakupan permasalahan pendidikan, seringkali tidak dapat terpikirkan secara utuh dan akurat oleh birokrasi pusat. Input pendidikan merupakan hal yang mutlak harus ada dalam batas - batas tertentu tetapi tidak menjadi jaminan dapat secara otomatis meningkatkan mutu pendidikan (school resources are necessary but not sufficient condition to improve student achievement). Agar mutu tetap terjaga dan agar proses peningkatan mutu tetap terkontrol, maka harus ada standar yang diatur dan disepakati secara secara nasional untuk dijadikan indikator evaluasi keberhasilan peningkatan mutu tersebut (adanya benchmarking). Pemikiran ini telah mendorong munculnya pendekatan baru, yakni pengelolaan peningkatan mutu pendidikan di masa mendatang harus berbasis sekolah sebagai institusi paling depan dalam kegiatan pendidikan. Pendekatan ini, kemudian dikenal dengan manajemen peningkatan mutu pendidikan berbasis sekolah (School Based Quality Management) atau dalam nuansa yang lebih bersifat pembangunan (developmental) disebut School Based Quality Improvement. Manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah merupakan alternatif baru dalam pengelolaan pendidikan yang lebih menekankan kepada kemandirian dan kreatifitas sekolah. Konsep ini diperkenalkan oleh teori effective school yang lebih memfokuskan diri pada perbaikan proses pendidikan (Edmond, 1979). Meskipun sekolah berpredikat reguler harus mampu memfokuskan pengelolaan manajemen sekolah berbasis mutu, terukur dan mampu bersaing sejajar dengan sekolah-sekolah lainnya. Dalam konteks ini secara alamiah sekolah reguler akan terus melakukan perbaikan-perbaikan peningkatan mutu sehingga secara signifikan akan menjadi sekolah efektif. (dihimpun dan disarikan dari berbagai sumber).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar