Kamis, 10 Januari 2013
Konseling Klinikal dan Mengasah Kecerdasan Siswa di Sekolah
Konseling Klinikal dan Mengasah Kecerdasan Siswa di Sekolah
Oleh: Nelson Sihaloho
Abstrak: Banyak teori konseling dan terapy saat ini berkembang luas. Bukan hanya pada lingkungan pendidikan namun sudah merambah pada lingkungan global. Pada bidang kesehatan misalnya konseling terapi banyak digunakan untuk memulihkan kesehatan para pasien pasca operasi dan trauma. Untuk konseling massal yang praktiknya digabungkan dengan kegiatan olah raga dapat dilakukan dengan teori social emotive freedoom teraphy (SEFT) dengan gerakan bebas dilapangan terbuka. Itulah sebabnya industri pada olah raga massal saat ini kita sering menemukan di area terbuka kegiatan senam berbasis penyembuhan. Dalam lingkungan sekolah konseling klinikal praktiknya dilakukan dalam klinik sekolah untuk membantu siswa mengatasi berbagai persoalan yang para anak didik (siswa) sehingga masalah siswa bisa diatasi serta siswa diharapkan dapat berkembang dengan optimal sesuai dengan potensi, bakat dan minat yang dimilikinya. Konseling klinikal disekolah selain berfungsi untuk memberikan bantuan kepada siswa juga menjadi tempat strategis untuk melakukan penelitian-penelitian empirik dibidang konseling. Konseling klinikal kini berkembang pada bidang kesehatan seperti klinik-klinik pasca trauma dilingkungan rumah sakit jiwa (RSJ) atau therapy kesehatan pasca penyembuhan pasien. Tidak menutup kemungkinan konseling klinikal juga akan merambah bidang ekonomi, hukum, politik dan jajaran kepolisian.
Kata kunci: Konseling klinikal, pemecahan masalah.
Pendahuluan
Merunut pada fakta sejarah konseling klinikal orang yang mempeloporinya adalah Donald G Paterson, 1920. Perhatian dan penelitiannya pada perbedaan individu dan pengembangan tes. Meski demikian konseling klinikal sering dikaitkan dengan nama Edmund Griffith Wiliamson yang popular dengan teori konseling direktifnya. Menurut Wiliamson, konseling direktif bertujuan membantu klien mengganti tingkah laku emosional dan impulsif dengan tingkah laku yang rasional. Lepasnya tegangan-tegangan/tension dan diperolehnya insight dipandang sebagai suatu hal yang vital dan urgensial. Konsep dasar konseling klinikal sebenarnya bertujuan untuk mengembangkan pendekatan empiris dalam konseling dengan cara menyajikan hubungan nyata antara karakteristik klien dengan jenis pekerjaan dan pendidikan sebagaimana dipelopori oleh Frank Parson di Amerika Serikat pada tahun 1909. Konseling klinikal digunakan alat ukur objektif, apakah itu berupa tes maupun non-tes sebagai alat utama untuk mengukur kemampuan seseorang. Konseling klinikal pada dasarnya bahwa manusia pada hakikatnya berusaha untuk menjadikan dirinya sendiri. Selain itu manusia secara potensial memiliki kecenderungan yang negatif, dalam arti tidak bisa mengendalikan diri, karena itu manusia tidak memiliki kemampuan untuk berkembang sesuai dengan potensi yang dimilikinya dengan optimal serta memerlukan orang lain. Hakikat dari kehidupan yang baik dan kesempurnaan pribadi adalah dengan cara mengembangkan diri yang dilandasi penuh rasa kasin saying, manusia harus berusaha untuk menemukan dirinya sendiri, harus berusaha untuk menciptakan hubungan yang baik antara sirinya sendiri dengan lingkungannya serta kepribadian seseorang merupakan suatu bentuk kesatuan dari berbagai potensi yang melahirkan tingkah laku yang teratur dan terarah.
Bukan hanya itu manusia juga memiliki kepribadian yang unik, artinya mempunyai kepribadian yang berbeda antara seseorang dengan orang lainnya serta manusia mencapai kesempurnaan diri yang bersumber pada perbedaan pola kecakapan dan potensi yang dimilikinya. Ada beberapa asumsi dasar tentang konseling klinikal. Beberapa asusmi itu antara lain meskipun konseling itu bertujuan untuk membantu individu/klien mencapai tingkat perkembangan yang optimal, tetapi kehidupan sosial individu dengan segala hambatan dan kekurangannya dalam memcapai tujuan tidak boleh diabaikan. Konseling tidak hanya menghargai keunikan atau kekhasan individu, tetapi juga mengakui akan adanya ketergantungan individu antara yang satu dengan individu lainnya. Konseling menganggap kesukarelaan dari individu untuk menerima konseling adalah penting. Konseling itu diperlukan oleh klien jika klien menghadapi suatu masalah yang tidak dapat diatasi atau tidak dipecahkan sendiri. Intinya, konseling klinikal bersifat remedial dan juga menangani klien yang mengalami keterlambatan dalam perkembangannya. Hubungan konseling adalah bersifat netral dengan tujuan utama adalah membantu individu untuk dapat memahami dirinya secara rasional.
Tujuan dan langkah-langkah
Pelayanan konseling klinikal disekolah bertujuan untuk membantu siswa siswa yang menghadapi masalah yang tidak bisa dipecahkan sendiri oleh siswa. Konseling klinikal merupakan suatu proses personalisasi dan individualisasi dengan tujuan membantu siswa mempelajari, memahami dan menghayati dirinya sendiri serta lingkungannya. Selain itu melancarkan terjadinya proses pengembangan diri, pemahaman diri, perwujudan ciata-cita dan menemukan identitas dirinya. Tujuan lainnya adalah agar siswa mampu belajar melihat dirinya sendiri apa adanya serta mampu mengembangkan potensi-potensi yang dimilikinya secara optimal. Untuk mencapai tujuan ini, pola hubungan yang penuh dengan akeakraban, bersahabat, perhatian, dan ikut merasakan apa yang dirasakan orang lain perlu ditanamkan dalam proses hubungan konseling. Adapun langkah-langkah konseling klinikal, pertama adalah analisis. Langkah analisis merupakan suatu langkah yang dilakukan untuk memahami kehidupan individu dengan mengumpulkan data individu dari berbagai sumber. Kegiatan pengumpulan data berkaitan dengan bakat, minat, motof-motif, kehidupan emosional serta karakteristik yang dapat menghambat atau mendukung penyesuaian diri dari individu.
Langkah kedua adalah sintesis. Sintesis merupakan suatu langkah untuk menghubungkan dan merangkum data. Ketiga adalah diagnosi, adalah langkah untuk menemukan masalahnya atau mengidentifikasi masalah. Langkah ini meliputi proses interpretasi data dalam kaitannya dengan gejala-gejala masalah, kekuatan termasuk kelemahan siswa. Keempat adalahp rognosis. Prognosis merupakan suatu langkah meramalkan akibat yang mungkin timbul dari masalah itu dan menunjukan perbuatan-perbuatan yang dapat dipilih. Prognosis sering juga disebut sebagai suatu langkah mengenai alternatif bantuan yang dapat atau mungkin diberikan kepada siswa sesui dengan masalah yang dihadapinya. Kelima adalah konseling atau treatment merupakan suatu langkah pemeliharaan yang berupa inti pelaksanaan konseling yang meliputi berbagai bentuk usaha. Adapun hal-hal yang bisa dilakukan oleh konselor dalam memberikan bantuan kepada siswa dalam memecahkan masalahnya melalui konseling klinikal, diantaranya, memperkuat komformitas, mengubah lingkungan, memilih lingkungan yang memadai, mempelajari keterampilan yang diperlukan serta mengubah sikap.
Pemberian bantuan melalui konseling klinikal menurut E.G. Williamson dapat dilakukan dengan menggunakan beberapa teknik konseling yakni pembentukan rapport, membantu klien meningkatkan pemahaman diri, menerima dan memperlakukan klien apa adanya sebagai seorang pribadi serta advice yaitu marencanakan program apa yang akan dilakukan. Melaksanakan rencana, mereferal ke ahli lain serta follow-up. Langkah follow-up atau tindak lanjut adalah merupakan suatu langkah penentuan efektif tidaknya suatu usaha konseling yang telah dilaksanakan. Ada tiga metode yang dapat dipergunakan konselor didalam memberikan nasihat kepada klien diantaranya secara langsung dan terbuka mengemukakan pendapatnya pada klien, secara tak langsung, konselor mengatakan pendapatnya secara tidak langsung sekaligus dapat mempengaruhi klien untuk melihat sendiri hasil dari berbagai kemungkinan tindakan yang mungkin dipilihnya.
Alat Pengumpul Data
Adapun alat pengumpul data konseling klinikal adalah observasi. Fungsi observasi dalam konseling adalah untuk memperoleh informasi melalui interviu dengan klien itu sendiri. Para ahli sering mengelompokan jenis-jenis observasi sesuai dengan tujuan.
Kemudian teknik komunikasi. Komunikasi adalah merupakan kegiatan manusia berhubungan satu sama lain yang demikian otomatis. Sehingga sering terlupakan bahwa keterampilan berkomunikasi adalah hasil belajar manusia. Alat-alat pengumpulan data yang dapat digunakan dalam teknik komunikasi yakni testing maupun non-testing. Alat pengumpulan data bersfat testing sering dilakukan melalui tes psikologis dan memerlukan tenaga professional dibidangnya. Jenis pengumpulan data non-testing yakni wawancara, daftar cek masalah, angket, dan sosiometri. Wawancara merupakan suatu teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan cara tanya jawab antara interviewer dengan interviewee (responden) Daftar cek masalah, seperangkat pertanyaan yang menggambarkan jenis-jenis masalah yang mungkin dihadapi klien. Angket atau kuesioner, seperangkat pertanyaan pada responden, yang digunakan untuk mengubah berbagai keterangan yang langsung diberikan oleh responden menjadi data, serta dapat digunakan untuk mengungkapkan pengalaman yang telah dialami saat ini.
Sosiometri, alat yang digunakan untuk mengungkap hubungan sosial siswa dalam kelompoknya, dapat meneliti kesukaran seseorang terhadap teman kelompoknya dalam kegiatan belajar, bermain, bekerja dan sebagainya. Jenis pengumpul data testing antara lain test hasil belajar (THB), tes potensi akademik (TPA), tes kemampuan khusus (TKK), tes minat (TM) dan tes perkembangan vokasional (TKV) serta tes kepribadian. Selanjutnya adalah teknik studi dokumentasi. Studi dokumentasi merupakan suatu cara pengumpulan data dengan menggunakan dokumen-dokumen sebagai sumber data. Cara pengumpulan data dengan menggunakan dokumen sebagai sumber data berkaitan dengan proses hubungan konseling klinikal dapat berupa buku prestasi (rapor), buku induk (legger), catatan kesehatan serta rekaman kegiatan.
Mengasah Kecerdasan
Mengasah kecerdasan sering diidentikkan dengan meningkatkan potensi inteligensi seseorang atau siswa. Para ahli telah menjabarkan dan mengelompokka tentang inteligensi atau kemampuan kecerdasan otak manusia seperti IQ (intelligency Quotient), EQ (Emotional Quotient), SQ (Spritual Quotient) serta AQ (Adversity Quotient). IQ (intelligency Quotient) merupakan kecerdasan, nalar, logika, daya ingat, hitungan, analisa. EQ (Emotional Quotient) atau N-Ach, penempatan diri, empati, kontrol emosi. SQ (Spritual Quotient) yaitu keseimbangan hidup, karakter diri, dunia-akhirat, jasmani rohani, rasional-spiritual, kejujuran, murah hati, penyayang serta AQ (Adversity Quotient) yaitu kegigihan, semangat tinggi, enduran/bertahan, pantang menyerah,
Quitters-Campers-Climbers. Dalam prakteknya konseling klinikal dapat juga dilakukan untuk mengasah kecerdasan seseorang atau siswa. Beberapa konseling klinikal itu adalah konseling Rational Emotive Therapy (RET) dan konseling behavioristik.
Pelopor RET adalah Albert Ellis, yang telah menerbitkan banyak karangan dan buku yang berjudul Reason and Emotion in Psychotherapy (1962), A new Guide to Rational Living (1975) dan The Rational-Emotive Approach to Counseling (Burks, Theories of Counseling, 1979). Corak konseling RET berpangkal pada beberapa keyakinan tentang martabat manusia dan tentang proses manusia dapat mengubah diri, yang sebagian bersifat filsafat dan sebagian lagi bersifat psikologis. Dalam teori RET ini kecerdasan manusia akan ditekankan pada akal rasional bahwa manusia adalah makhluk yang manusiawi, perilaku manusia sangat dipengaruhi oleh bekal keturunan atau pembawaan, tetapi sekaligus juga tergantung dari pilihan-pilihan yang dibuat sendiri. Hidup secara rasional berarti berpikir, berperasaan, dan berperilaku sedemikian rupa, sehingga kebahagiaan hidup dapat dicapai secara efisien dan efektif. Manusia memiliki kecenderungan yang kuat untuk hidup secara rasional dan sekaligus untuk hidup secara tidak rasional. Pikiran-pikiran manusia biasanya menggunakan berbagai lambang verbal dan dituangkan dalam bentuk bahasa. Apabila seseorang merasa tidak bahagia dan mengalami berbagai gejolak perasaan yang tidak menyenangkan serta membunuh semangat hidup, perasaan itu bukan berpangkal pada rentetan kejadian dan pengalaman kemalangan yang telah berlangsung.
Untuk membantu orang mencapai taraf kebahagiaan hidup yang lebih baik dengan hidup secara lebih rasional, RET memfokuskan perhatiannya pada perubahan pikiran irasional menjadi rasional. Mengubah diri dalam berpikir irasional bukan hal mudah karena orang memiliki kecenderungan untuk mempertahankan keyakinan-keyakinan yang sebenarnya tidak masuk akal. Konselor (guru pembimbing) harus berusaha membantu orang menaruh perhatian wajar pada kebahagiaan batinnya sendiri, menerima tanggung jawab atas pengaturan hidupnya sendiri tanpa menuntut secara mutlak dukungan dari orang lain.
Diskusi akan menghasilkan efek~efek (effects),yaitu pikiran-pikiran yang lebih rasional (cognitive effects), perasaan-perasaan yang lebih wajar (emotional effects), dan berperilaku yang lebih tepat dan lebih sesuai (behavioral effects). Dalam melayani konseli, konselor berpegang pada urutan A-B-C-D-E. Urutan A adalah kejadian atau pengalaman tertentu (Activating Event; Activating Experience), yang ditanggapi oleh subjek dalam bentuk suatu interpretasi terhadap A atau suatu keyakinan tentang A
B atau (Belief) yang dapat rasional atau tidak rasional. Reaksi emosional dan perilaku (Consequences) merupakan akibat dari interpretasi atau keyakinan kognitif, yang dapat berupa reaksi perasaan yang wajar atau tidak wajar dan perilaku yang sesuai atau jelas tidak sesuai dan D (Dispute) untuk menumbuhkan efek-efek yang diharapkan pada akhir proses konseling, yaitu E (Effects).
Bagaimana dengan konseling behavioristik? Istilah Konseling Behavioristik berasal dari bahasa Inggris Behavioral Counseling, dipelopori oleh John D. Krumboltz pada tahun 1964. Krumboltz adalah promotor utama dalam menerapkan pendekatan behavioristik terhadap konseling.. Tokoh-tokoh seperti Dollard dan Miller (950), Wolpe (1958), Lazarus (1958), dan Eysenck (1952) meletakkan dasar aliran baru ini, yang akhirnya dipromosikan sebagai pendekatan baru terhadap konseling dan kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh tokoh-tokoh seperti Thoresen (1966), Bandura (1969), Goldstein (1966), Lazarus (1966), Yates (1970) serta Dustin dan George (1977). Dalam buku Counseling Methods (1976) Krumboltz dan Thoresen sudah tidak menggunakan istilah Behavioral Counseling, karena mereka menganggap kesadaran akan perlunya perubahan dalam perilaku konseli sudah tertanam dalam kalangan para ahli psikoterapi dan konseling.
Teori belajar Behaviorisme mengandung banyak variasi dalam sudut pandangan. Konseling Behavioristikberpangkal pada beberapa keyakinan tentang martabat . manusia, yang sebagian bersifat falsafah dan sebagian lagi bercorak psikologis. Manusia pada dasarnya tidak berakhlak baik atau buruk, bagus atau jelek. Manusia mampu untuk berefleksi atas tingkah lakunya sendiri, menangkap apa yang dilakukannya, dan mengatur serta mengontrol perilakunya sendiri. Manusia mampu untuk memperoleh dan membentuk sendiri suatu pola tingkah laku yang baru melalui suatu proses belajar. Manusia dapat mempengaruhi perilaku orang lain dan dirinya pun dipengaruhi oleh perilaku orang lain. Di antara jajaran pelopor pendekatan Behavioristik ada yang menaruh perhatian besar pada reaksi emosional sebagai hasil belajar, khususnya rasa khawatir, cemas, gelisah, dan takut-takut (anxiety), yang sering melatar belakangi rasa tidak tenang serta rasa terancam dan mendasari tingkah laku manusia. Dollard dan Miller memusatkan perhatiannya pada cara perasaan itu diperoleh melalui proses belajar dan bagaimana perasaan itu melekat pada tingkah laku, bahkan pada pemakaian kata-kata tertentu dan pikiran tertentu. Dalam penanganan kasus seorang konselor dituntut untuk mengubah respons/reaksi terbuka (R) atau perilaku (B) seeara langsung, tanpa mengusahakan perubahan dalam respons/reaksi tertutup (r) atau cara berpikir lebih dahulu. Dalam hal ini diterapkan pola/cara belajar menurut konsepsi Pavlov, konsepsi Skinner atau menurut konsepsi Bandura, yang mungkin dikombinasikan satu sama lain untuk mencari cara yang paling efektif bagi konseli tertentu dengan kasus tertentu. Para ahli seperti Bandura (1977), Kamfer dan Philips (1970), Cautela dan Baron (1977), dan Ellis (1977) menekankan peranan dari persepsi, pikiran, dan keyakinan, yang semuanya bersifat kognitif, sebagai komponen yang sangat menentukan dalam rangkaian S r R. Manusia dapat mengatur baik perilakunya sendiri dengan mengubah tanggapan kognitifnya terhadap Antecedent dan mengatur sendiri Reinforcement yang diberikan kepada dirinya sendiri.(disarikan dan dihimpun dari berbagai sumber-sumber relevan).
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar