Kamis, 10 Januari 2013

Problematika Guru dan Persaingan Global

Problematika Guru dan Persaingan Global Oleh: Nelson Sihaloho Tantangan yang amat berat kini dihadapi oleh guru dalam menyiapkan kualitas sumber daya manusia (SDM) yang mampu bersaing di era global. Selain itu akibat terjadinya krisis dalam berbagai bidang kehidupan dan kenaikan harga-harga bahan kebutuhan pokok berimplikasi pada meningkatnya biaya pendidikan bahkan biaya kebutuhan guru tidak sepadan dengan gaji yang diterimanya setiap bulan dari Negara.Hasil penelitian tentang Human Development Index (HDI) yang dikeluarkan oleh UNDP 2005, Indonesia berada pada peringkat 110 dari 174 negara yang diteliti. Apabila dibandingkan dengan negara Malaysia, Filipina, Brunei apalagi dengan Singapura kita jauh tertinggal. Hal ini menunjukkan betapa rendahnya daya saing SDM Indonesia untuk memperoleh posisi kerja yang baik di tengah-tengah persaingan global yang kompetitif itu. Berbagai usaha dan inovasi telah dilakukan untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional, antara lain melalui penyempurnaan kurikulum, pengadaan buku dan alat pelajaran, perbaikan sarana dan prasarana pendidikan, pelatihan dan peningkatan kompetensi guru, manajemen mutu sekolah, sistem SKS, dan menyiapkan sekolah unggul.Dunia pendidikan kita sedang menghadapi masalah yang demikian kompleks. Begitu kompleksnya masalah tidak jarang guru merupakan pihak yang paling sering dituding sebagai orang yang paling bertanggung jawab terhadap kualitas pendidikan. Guru merupakan salah satu komponen mikrosistem pendidikan yang sangat strategis dan banyak mengambil peran di dalam proses pendidikan secara luas bahkan komponen determinan dalam penyelenggaraan pengembangan SDM menempati posisi kunci dalam Sisdiknas. Guru yang profesional tidak hanya menguasai bidang ilmu, bahan ajar, menguasai metode yang tepat, mampu memotivasi peserta didik, memiliki keterampilan yang tinggi dan wawasan yang luas terhadap dunia pendidikan. Guru yang profesional juga harus memiliki pemahaman yang mendalam tentang hakekat manusia, dan masyarakat. Hakikat-hakikat ini akan melandasi pola pikir dan pola kerja guru dan loyalitasnya kepada profesi pendidikan. Dalam mengimplementasikan proses belajar mengajar guru harus mampu mengembangkan budaya organisasi kelas, dan iklim organisasi pengajaran yang bermakna, kreatif dan dinamis bergairah, dialogis sehingga menyenangkan peserta didik sesuai dengan UU Sisdiknas No 20 / 2003 Pasal 40 ayat 2a. Menurut Supriadi (1988) untuk menjadi profesional seorang guru dituntut untuk memiliki lima hal yaitu guru mempunyai komitmen pada siswa dan proses belajarnya, menguasai secara mendalam bahan/mata pelajaran yang diajarkannya serta cara mengajarnya kepada siswa. Guru bertanggung jawab memantau hasil belajar siswa melalui berbagai cara evaluasi, mampu berfikir sistematis tentang apa yang dilakukannya dan belajar dari pengalamannya serta guru harus merupakan bagian dari masyarakat belajar dalam lingkungan profesinya. Persoalan lain yang tidak kalah pentingnya menyebabkan mutu pendidikan semakin memprihatinkan adalah kecenderungan kita mengambil konsep dari luar, tanpa mau memahami konteksnya yang lebih luas dan implikasinya yang lebih jauh. Guru-gurupun sibuk mengejar jenjang pendidikan Magister (S2) bahkan hingga S3 (Doktor) namun implementasi ilmu yang diperolehnya pada jenjang pendidikan magister dan doktor itu diduga sering sulit diimplementasikan dilapangan.Kini semakin menyeruak saja tuduhan kepada guru-guru akibatnya banyaknya dugaan penyimpangan-penyimpangan dalam dunia pendidikan kita. Thomas L. Friedman dalam bukunya yang berjudul World is Flat pun mengatakan bahwa saat ini seluruh dunia mengalami globalisasi tahap 3.0. Peringkat global competitiveness index 2009 Indonesia yang berada di urutan 54 (Asia dan Oceania) masih ada di bawah Malaysia, Singapura, bahkan Thailand. Sejarah pendidikan di berbagai negara telah memberikan bukti kuat bahwa kompetensi seorang guru begitu mempengaruhi terhadap output yang dihasilkan. Framework berfikir bahwa sentuhan psikologis yang dimiliki oleh seorang pendidik akan membawa efek positif yang mampu mempengaruhi seorang anak didik untuk mau belajar secara intensif dan memiliki rasa percaya diri dalam beadaptasi dengan teman-temannya. Kompetensi yang dimiliki oleh seorang guru adalah tidak lahir begitu saja, namun itu diperoleh dengan proses waktu yang lama dan penggemblengan yang intensif, seperti dari banyaknya referensi yang dibaca dan luasnya experience (pengalaman) yang dimiliki. Globalisasi Pendidikan memegang peran penting dalam era globalisasi. Anthony Giddens dalam bukunya yang berjudul “The Global Third Way Debate” mengatakan bahwa kemakmuran ekonomi jangka panjang suatu bangsa berkaitan erat dengan kemampuannya dalam kapasitas inovasi, pendidikan dan riset seperti yang ditunjukkan oleh Jepang, China, dan Korea Selatan. Pemikiran Giddens sangat relevan apabila kita melihat kondisi pendidikan Indonesia saat ini. Menurut hasil survei The Political and Economic Risk Consultantcy (PERC) Hongkong menempatkan mutu pendidikan Indonesia lebih rendah dibandingkan Vietnam dari 12 negara yang disurvei. Laporan studi Bank Dunia menyatakan bahwa hasil tes membaca murid kelas IV SD di Indonesia menempati peringkat terendah di Asia Timur. Hasil The Third International Mathematic and Science Study-Repeat menunjukkan prestasi belajar siswa kelas II SMP di Indonesia berada di urutan ke 32 untuk IPA dan ke 34 untuk Matematika dari 38 negara peserta studi (Rohmat, 2007). Penurunan kualitas pendidikan Indonesia juga di tegaskan oleh Laporan Bank Dunia (1999), bahwa salah satu penyebab makin menurunnya mutu pendidikan di Indonesia “kurang profesionalnya” para kepala sekolah sebagai manajer pendidikan di tingkat lapangan (Hujair, 2003). Selain itu SDM sebagai faktor kunci dalam mengarungi era global. Ekonomi abad ke-21, yang ditandai dengan globalisasi ekonomi, merupakan suatu proses kegiatan ekonomi dan perdagangan, di mana negara-negara di seluruh dunia menjadi satu kekuatan pasar yang semakin terintegrasi dengan tanpa rintangan batas teritorial negara. Indonesia dalam kancah persaingan global menurut World Competitiveness Report menempati urutan ke-45 atau terendah dari seluruh negara yang diteliti, di bawah Singapura (8), Malaysia (34), Cina (35), Filipina (38), dan Thailand (40). Kegiatan bisnis korporasi (bisnis corporate) di atas dapat dikatakan bahwa globalisasi mengarah pada meningkatnya ketergantungan ekonomi antarnegara melalui peningkatan volume dan keragaman transaksi antarnegara (cross-border transactions) dalam bentuk barang dan jasa, aliran dana internasional (international capital flows), pergerakan tenaga kerja (human movement) dan penyebaran teknologi informasi yang cepat. Jati diri bangsa sangat ditentukan oleh kualitas sumber daya manusia (SDM) yang ada. Untuk itu, diperlukan kader terbaik bangsa yang memiliki kecerdasan tinggi, sikap dan mental prima, daya juang dan daya saing tinggi, kemampuan handal, dan nasionalisme sejati. Sebagaimana diamanatkan Presiden RI dalam pembukaan Konferensi Nasional Revitalisasi Pendidikan, tanggal 7 Agustus 2006, bahwa bangsa Indonesia perlu mengadakan refleksi ulang sekaligus reposisi terhadap sistem pendidikan mengingat bahwa anak-anak bangsa yang terdidik merupakan aset yang paling berharga untuk menghasilkan human capital yang berdaya saing serta mampu mengubah Indonesia dari developing country menjadi developed country. Dunia pendidikan masih menghadapi tantangan-tantangan yang cukup mendasar yaitu masalah perluasan dan pemerataan, mutu, relevansi, daya saing pendidikan, masalah penguatan tata kelola, akuntabilitas dan pencitraan publik. Secara keseluruhan, belum membaiknya pembangunan manusia di tanah air akan melemahkan kekuatan daya saing bangsa. Ukuran daya saing ini kerap digunakan untuk mengetahui kemampuan suatu bangsa dalam bersaing dengan bangsa-bangsa lain secara global. Semakin lemah daya saing suatu bangsa akan semakin sulit untuk berkembang. Bahkan, ada indikasi bahwa daya saing yang rendah akan menyebabkan ketergantungan pada bangsa lain yang pada gilirannya akan menurunkan kapabilitas bangsa untuk mandiri dan berdaulat. Menurut World Economic Forum 2007, ada sembilan pilar yang digunakan untuk menentukan daya saing suatu bangsa yaitu, institusi publik baik dari pemerintah maupun swasta, infrastruktur, ekonomi makro, kondisi pendidikan dan kesehatan, pendidikan tinggi, efisiensi pasar, penguasaan teknologi, jaringan bisnis serta inovasi. Berdasarkan acuan sembilan pilar tersebut, telah disusun daya saing bangsa oleh Forum Ekonomi Dunia (World Economic Forum) tentang Indeks Daya Saing Global (Global Competitiveness Index atau GCI) tahun 2006-2007. Dalam laporan itu, posisi Indonesia berada pada peringkat ke-50 dari 125 negara. Ini menunjukkan bahwa daya saing Indonesia berada pada tingkat menengah. Di antara lima negara-negara ASEAN, peringkat Indonesia masih berada di bawah Singapura (peringkat ke-5), Malaysia (ke-26) dan Thailand (ke-35). Namun, peringkat Indonesia masih lebih baik dibanding dengan Filipina (ke-71). Dari kondisi tersebut, Indonesia harus segera melakukan strategi baru dalam memperbaiki dan meningkatkan kualitas bangsa melalui pendidikan yang berkualitas. Sehingga diharapkan mampu menghasilkan manusia-manusia yang unggul, cerdas dan kompetitif. Untuk itu diperlukan tiga pilar utama dalam pembangunan pendidikan nasional yaitu peningkatan pemerataan dan akses pendidikan, peningkatan mutu, relevansi dan daya saing serta manajemen bersih dan transparan sehingga masyarakat memiliki citra yang baik (good governance). SDM Berdaya Saing Global Indonesia dihadapkan pada persaingan yang semakin kompetitif dalam memperoleh peluang untuk menjadi bangsa yang mandiri. Keterlibatan Indonesia dalam forum Asean Free Trade Area (AFTA), Asia Pasific Economic Cooperation (APEC), General Agreement on Tariff and Trade (GATT), World Trade Organization (WTO) menunjukkan Indonesia harus mematuhi aturan yang disepakati dalam forum itu. Karena itu diperlukan manajemen pendidikan nasional yang fleksibel, dinamis, antisipatif, dan responsive terhadap perubahan internal maupun eksternal. Penelitian dan inovasi pendidikan diharapkan member masukan terhadap penetapan kebijakan seperti pendidikan inklusif, pendidikan untuk semua (Education for All) serta pendidikan untuk Pembangunan Berkelanjutan (Education for Sustainable Development, ESD) Pendidikan ikklusif adalah pendidikan yang berkualitas harus disediakan kepada semua anak, dengan keragaman kebutuhan belajar, gaya dan kecepatan belajar, serta berbagaikondisi anak lainnya. Termasuk di sini adalah anak berkebutuhan khusus fisik dan mental;pekerja anak dan anak jalanan;anak tinggal di daerah terpencil dan berpindah-pindah;anak dari kelompok minoritas etnis, budaya, dan bahasa;serta kelompok termarjinalkan lainnya. Pemastian kualitas pendidikan dilaksanakan melalui penyusunan kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan belajar dan kondisi anak, pengorganisasian dan strategi pembelajaran yang tepat, pemanfaatan sumberdaya belajar yang memadai dan kerjasama dengan masyarakat.(Unesco, Salamanca Framework for Action, 1994). Komponen pendidikan untuk semua dapat dilakukan dengan memperluas dan meningkatkan keseluruhan perawatan dan pendidikan anak usia dini terutama bagi anak-anak yang sangat rawan dan kurang beruntung, menjamin bahwa pada tahun 2015 semua anak, khususnya perempuan, anak miskin dan kurang beruntung, anak-anak suku minoritas memperoleh akses dan menyelesaikan pendidikan dasar yang bermutu serta menjamin bahwa kebutuhan belajar semua anak muda dan orang dewasa terpenuhi melalui akses yang adil pada program-program belajar dan kecakapan hidup yang sesuai. (The Dakar Framework for Action dan Penilaian Paruh Dekade Pendidikan untuk Semua, Indonesia, 2007). Selain itu (et.al) terrcapainya penurunan angka buta aksara sekitar 50 % pada tahun 2015 melalui perluasan akses dan perbaikan kinerja pendidikan keaksaraan bagi kelompok usia 15 tahun ke atas, mengurangi disparitas gender pada tingkat pendidikan dasar dan menengah pada tahun 2005 dan mencapai keadilan gender pada bidang pendidikan pada tahun 2015, dengan penekanan pad apenjaminan atas kesamaan pemenuhan akses dan prestasi anak perempuan pada pendidikan dasar yang bermutu serta meningkatkan semua aspek mutu pendidikan yang diberikan kepada semua peserta didik dan peningkatan itu tercermin pada ukuran-ukuran outcome yang dapat diandalkan, khususnya kemampuan membaca, menulis, dan berhitung,serta kecakapan untuk hidup. Hal itu diperlukan untuk pembangunan yang berkelanjutan yang merupakan kebutuhan pada masa kini tanpa menghilangkan kemampuan dari generasi mendatang untuk dapat memenuhi kebutuhan mereka sendiri. Keselamatan manusia tidak akan terjamin tanpa pembangunan yang berkelanjutan. Sebagaimana dipaparkan oleh Bappenas bahwa dekade pendidikan untuk pembangunan berkelanjutan 2005-2014 bertujuan untuk lebih mempromosikan pendidikan sebagai basis dari kehidupan masyarakat yang berkelanjutan dan memperkuat kerjasama internasional terhadap pengembangan inovasi kebijakan, program-progran dan pelaksanaan Education for Sustainable Development (ESD), mengintegrasikan Pembangunan Berkelanjutan kedalam Sistem Pendidikan pada semua tingkat pendidikan, menyediakan Bantuan dan dukungan Pendanaan bagi Pendidikan, Penelitian dan Program kepedulian public dan lembaga pengembangan dinegara-negara berkembang dan Negara dalam transisi ekonomi (Decade of Education for Sustainable Development (DESD), ditetapkan dalam Sidang Umum PBB tahun 2002). Karena itu SDM berdaya saing global hanya dapat diperoleh melalui pendidikan melalui terobosan baru dengan penciptaan pengetahuan baru, pengumpulan dan pendistribusian informasi dengan cepat, penenaman kemampuan untuk secara efektif memanfaatkannya, penanaman kemampuan untuk belajar lebih lanjut, keberhasilan penyelenggaraan pendidikan dalam jangka panjang amat tergantung dari keterlibatan aktif masyarakat, masyarakat merupakan salah satu pihak yang dapat memberikan kontribusi keberhasilan pembaharuan-pembaharuan pendidikan, khususnya masyarakat lokal yang mencakup pengertian orangtua, kepala sekolah, dan guru serta peran serta masyarakat dalam menilai kebutuhan yang dihadapi sekolah dan dialog dengan para penguasa publik dan kelompok-kelompok yang berkepentingan merupakan entry point yang hakiki untuk memperluas kesempatan pendidikan, melakukan pembaharuan pendidikan, serta memperbaiki kualitas hasil pendidikan. SDM yang kompetitif ditunjukkan dengan cirri-ciri berkepribadian unggul dan gandrung akan keunggulan, bersemangat juang tinggi, mandiri, pantang menyerah, pembangun dan pembina jejaring, bersahabat dengan perubahan, inovatif dan menjadi agen perubahan, produktif, sadar mutu, berorientasi global dan belajar sepanjang hayat. Hal demikian merupakan konsekuensi logis yang muncul dari berlangsungnya perubahan realitas kehidupan yang cepat dan berkesinambungan, dengan meninggalkan berbagai bentuk pengajaran dan pembelajaran sebagai sesuatu hal yang berdiri sendiri atau bahkan saling bersaing, sebaliknya mencoba mengembangkan tahap-tahap lingkungan modern yang bersifat saling melengkapi. Mengacu pada pentingnya melakukan pembaharuan pengetahuan yang terus-menerus, seluruh waktu hidup manusia serta di dalam kehidupan dunia dengan tingkat perubahan yang amat cepat dan situasi yang semakin mengglobal yang sedang mengubah hubungan perorangan dalam waktu dan ruang, belajar sepanjang hayat amat diperlukan untuk tetap mampu menentukan nasib sendiri dan hubungannya dengan manusia-manusia lain, lokal maupun global. (disarikan dari berbagai sumber relevan).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar