Kamis, 11 November 2010

PERTANIAN


Oke....................
Revolusi Hijau dan Masa Depan Sektor Pertanian
Oleh: Nelson Sihaloho
Revolusi hijau pada masa Orde Baru dikenal dengan nama Bimbingan Massal (Bimas) dimana motivasi ini ditumbuhkembangkan dilatarbelakangi dengan kompleksitas masalah jumlah penduduk, kemiskinan dan penyediaan pangan. Program ini dikatakan berhasil sehingga Indonesia mampu berswasembada beras. 
Jumlah penduduk Indonesia pada waktu itu berjumlah 120 juta jiwa dengan rata-rata pertumbuhan 2,3 persen per tahun dan hingga saat ini pulau Jawa tetap menjadi pusat produksi beras nasional. Suatu gambaran menunjukkan bahwa pada waktu pelita I produksi beras nasional rata-rata 1,27 juta ton per hektar dengan luas tanam sekitar 8,02 hektar.
Sumbangan output pertanian terhadap pembentukan produk domestik bruto (PDB) tercatat sebesar 50 persen  merupakan sektor terbesar dalam pemberian lapangan kerja atau sekitar 70 persen dari jumlah penduduk. Sementara itu sektor industri manufaktur masih sangat lemah.
Pelopor Revolusi Hijau  adalah Norman Borlaug. Usai menyelesaikan disertasi Ph.D-nya, Norman membantu mengembangkan pertanian di Meksiko. Norman menemukan bibit gandum batang yang lebih pendek dari yang dikenal pada saat itu, yang merupakan penyilangan yang berhasil antara bibit Meksiko dengan bibit Jepang  (jenis Norin-10).
Varietas baru ini tidak hanya menghasilkan butir gandum lebih banyak dari normalnya dan lebih tahan terhadap terpaan angin dan lebih responsif terhadap aplikasi pupuk. Dengan varietas baru ini Norman Borlaug dikenal sebagai pelopor Revolusi Hijau bahkan pada akhir tahun 1950-an Meksiko lolos dari ancaman kelaparan dan swasembada pangan.
Norman juga membantu pemerintah India dan Pakistan. Di India, ia menebarkan ribuan ton bibit baru ini yang dibawa dari Meksiko dan berhasil membujuk pemerintah India untuk merubah strategi pengembangan pertaniannya dengan langkah-langkah antara lain menyesuaikan harga gandum petani, menyebarkan pupuk dengan lebih agresif serta membuka akses lebih luas bagi petani ke kredit perbankan.
Tahun 1970 India berhasil melepaskan diri dari bencana kelaparan. Setelah India dan Pakistan, revolusi hijau juga dilakukan di banyak negara termasuk Indonesia. Keberhasilan Norman menciptakan bibit gandum baru itu, The Rockefeller Foundation dan The Ford Foundation mendirikan International Rice Research Institute (IRRI) di Filipina. Lembaga riset ini kemudian menghasilkan varietas-varietas padi baru yang juga lebih pendek, lebih tahan hama, dan dengan produktivitas lebih tinggi dari varietas sebelumnya.
Lembaga inilah yang menjadi ujung tombak swasembada pangan, khususnya padi/beras  di Asia, termasuk di Indonesia pada dekade 80-an.
Menurut hasil penelitian Anwar (2006) menemukan bahwa penggunaan pupuk organik membuat hasil lebih baik apabila dibandingkan dengan pemakaian pupuk modern.  Hasil uji coba di desa Jerowaru, Kecamatan Jerowaru, Lombok Timur, dengan menggunakan pupuk organik dan bibit hibrida menunjukkan kenaikan produksi padi  (jenis hibrida IR 64).
Keberhasilan pembangunan pertanian pada era Orde Baru ketika pada tahun 1985 mantan presiden (alm. Soeharto)  menerima penghargaan dari Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO), terutama dalam keberhasilannya menjadikan Indonesia dari negara pengimpor terbesar di dunia menjadi swasembada beras tahun 1984. Bahkan Indonesia mengalahkan China dan India sebagai calon penerima penghargaan itu. Menurut Pambudy (2008), petani-petani Indonesia menyumbang gabah mereka untuk membantu kelaparan di Ethopia dan Indonesia mendirikan pusat pelatihan pertanian di Tanzania dan Gambia. Namun, sayangnya, keberhasilan itu tidak berlangsung lama, karena sejak tahun 1990-an, Indonesia harus kembali mengimpor beras (Arif, 2008).
Keseriusan Soeharto membangun pertanian juga dapat dilihat dari pembangunan jangka panjang (PJP) I (1969-1994) yang menekankan pada pembangunan sektor itu dengan menjaga harga pangan  dan dibentuknya badan logistik nasional (Bulog) untuk menjamin ketahanan pangan.
Menurut data terakhir dari berbagai sumber mengungkapkan bahwa  luas lahan irigasi pada tahun 2007 mencapai 6,7 juta hektar. Jumlah tersebut akan ditingkatkan menjadi 7,2 juta hektar pada tahun 2009. Namun dari 6,7 juta hektar tersebut, seluas 1,2 juta hektar  dalam kondisi rusak, meliputi rusak berat seluas 240.000 hektar,  rusak sedang dan ringan seluas  960.000 hektar. Penyebab utama kerusakannya terutama akibat kurangnya perawatan dan adanya bencana banjir maupun  tanah longsor.
Database FAO mengenai penggunaan lahan pertanian di Indonesia menunjukkan hasil sangat berbeda dengan estimasi BPS. Estimasi BPS menunjukkan bahwa lahan pertanian meningkat dari 17 juta hektar sebelum revolusi hijau dilaksanakan menjadi 37 juta hektar pada tahun 1990. Seemnetara data FAO menunjukkan sebaliknya bahwa luas lahan yang digunakan untuk pertanian naik dari 38,4 juta hektar pada tahun 1970 an ke 44,88 juta ha tahun 2002, atau lahan siap/sudah ditanami bertambah dari sekitar 18 juta hektar pada tahun 1970-an menjadi 20,5 juta hektar pada tahun 2002.
Data Kementerian Pekerjaan Umum (PU) menunjukkan bahwa selama periode 1999-2005, peningkatan lahan sawah beririgasi di Indonesia dengan jumlah penduduk 220 juta jiwa hanya 0,47 juta hektar  dari 6,23 juta hektar menjadi 6,7 juta hektar.  Data tersebut lebih rendah dibandingkan India dengan 1,1 miliar orang dimana luas lahan irigasinya tumbuh 16 juta hektar dari 59 juta hektar menjadi 75 juta hektar jauh lebih kecil bila dibandingkan dengan Cina dengan penduduk 1,3 miliar orang  penambahannya mencapai 40 juta hektar  menjadi 54 juta atau total 94 juta hektar.
Karena lahan irigasi banyak terpusat di Pulau Jawa, maka dengan sendirinya Jawa memiliki paling banyak jumlah sentra produksi padi/beras. Kabupaten Indramayu di Jawa Barat merupakan sentra terbesar, menggeser posisi Kabupaten Karawang yang sempat sangat terkenal sebagai pusat produksi padi/beras di India dan Thailand.
Prosepktus Cerah
Sektor pertanian di Indonesia masih memiliki peluang yang besar sepanjang dikelola dengan menggunakan prinsip-prinsi pengelolaan yang berkelanjutan, tersedianya bibit unggul, harga pupuk murah serta nilai jual produk petani memiliki daya saing tinggi. Banyak hal yang harus diubah dalam pengelolaan sektor pertanian di Indonesia mulai dari tata niaga pupuk dimana selama ini diduga lebih banyak pupuk didistribusikam ke sektor perkebunan besar. Selain sektor perkebunan memiliki alokasi dana anggaran yang besar untuk memenuhi kebutuhan pupuk para petani sering mengalami keluhan soal langkanya pupuk dipasaran. Hal itu mengindikasikan adanya permainan dan spekulasi bahwa pupuk sengaja “dilangkakan”.
Belajar dari pengalaman zaman alm. Soeharto mengapa pupuk bisa dibeli dengan murah oleh para petani tidak terkecuali BBM pun tidak perlu rakyat susah-susah untuk mendapatkannya. Petani yang terus berjuang memenuhi kebutuhan beras  para penduduk  di Indonesia justeru terus disengsarakan akibat tingginya harga pupuk dan obat-obatan pertanian dipasaran.
Meskipun pemerintah terus berjuang melalui program-program pembangunan sektor pertanian yang andal, memiliki daya saing tinggi, produk-produk bermutu tinggi tidak akan berhasil sepanjang hambatan-hambatan dalam tata niaga pupuk, tata niaga pertanian. Dari sisi kacamata pengelolaan Negara, pemerintah sangat menyadari bahwa salah satu cara yang efektif untuk meningkatkan produktivitas pertanian adalah lewat peningkatan mekanisasi dalam proses produksi melalui mesin-mesin pertanian modern (hand tractor).  
Kelangkaan pupuk misalnya juga diakibatkan oleh berbagai hal diduga seringkali ada oknum-oknum atau pihak-pihak tertentu yang sengaja menahan atau menumpuk stok dengan tujuan untuk mencari keuntungan finansial karena kelangkaan itu dengan sendirinya akan menimbulkan kenaikan harga di pasar dan berkemungkinan juga bisa diakibatkan oleh pasokan dari pabrik-pabrik tersendat karena masalah dalam proses produksi.
Maka tidak salah jika kondisi demikian terus dibiarkan dan berlanjut tanpa adanya solusi tindakan tegas terhadap para spekulan maka petani kaya akan terus bertambah kaya, sedangkan petani marjinal, petani gurem, petani miskin akan bertambah miskin.
Sarana irigasi yang terbentang luas akan menjadi lahan tidur bahkan petani akan terus membiarkan bangunan-bangunan irigasi itu menjadi “saksi bisu” bahwa yang diinginkan petani adalah murahnya harga pupuk, tersedianya bibit unggul dan hasil produk petani dihargai sesuai dengan hasil kinerjanya. Tidak ada satu petanipun yang menginginkan usaha pertanian yang dikelolanya  mengalami kerugian.Percuma saja petani diberikan traktor jika pupuk dan bibit/benih padi tidak tersedia dipasaran apalagi terhadap irigasi tekhnis.
Biaya produksi pertanian yang terus meningkat terutama karena harga pupuk dan bibit yang terus naik membuat banyak petani terjerumus ke dalam krisis utang. Program pemerintah ingin mensejahterakan rakyat malah berubah menjadi menjerumuskan rakyat “berhutang seumur hidup”.
Dari hasil penelitian para pakar dan ahli menujukkan bahwa biaya pupuk merupakan salah satu komponen terbesar dari jumlah biaya bertani. Pengeluaran petani masih ditambah dengan sejumlah komponen jasa, seperti ongkos pengolahan lahan (traktor), membayar tenaga buruh tanam dan biaya jasa lain.
Manajemen baru dalam sektor pertanian nampaknya perlu dilakukan melalui suatu program penguatan antara ketersedian pupuk, benih/bibit berkualitas tinggi dan menghargai hasil produk petani dengan nilai wajar dan layak. Pada areal irigasi teknis dikawasan rawa perlu dikembangkan multi budidaya tanaman palawija. Pihak lembaga perguruan tinggi, balai penelitian dan pengembangan pertanian dikawasan rawa, rawa pasang surut, rawa lebak  perlu melakukan penelitian secara intensif tanaman palawija yang bagaimana paling cocok dikembangkan pada areal tersebut.
Hasil-hasil penelitian para peneliti itu perlu ditransformasikan dan dipublikasikan kepada publik sehingga membawa kesejahteraan terhadap rakyat banyak. Petani makmur semua hasil-hasil produk pertanian dapat dengan mudah kita peroleh. Sebaliknya jika petani miskin semakin susah masyarakat banyak dalam memenuhi kebutuhan palawija yang diperuntukkan untuk memenuhi kebutuhan pokok dasar manusia.
Manajemen Pertanian Baru
Manajemen sering diidentikkan dengan kinerja  dalam suatu organisasi. Sehingga tidak jarang pelaksanaan manajemen selalu bertolak belakang dengan pelaksanaannya dilapangan bahkan cenderung menyimpang dan sulit diterapkan.
Penerapan manajemen pertanian baru adalah pendirian laboratorium-laboratorium mini, balai-balai penelitian berbasis wilayah perlu diterapkan. Selama ini banyak laboratorium-laboratorium penelitian berada ibu kota provinsi dan tempatnya sangat jauh dari lokasi pertanian. Laboratorium dasar harus didirikan dekat dengan kawasan-kawasan/wilayah-wilayah pertanian rakyat. Jika para peneliti hanya mengambil sampel-sampel tanah, air atau media material lainnya baru turun ketempat petani berada dan membawanya ke laboratorium pusat hasilnya pasti tidak akan valid. Berbeda halnya apabila penelitian dilakukan pada lokasi tempat pertanian rakyat pada laboratorium mini kecenderungan keberhasilannyapun jauh lebih tinggi karena bisa diamati sesuai dengan kebutuhan/keperluan. Dengan model demikian manajemen pertanian baru bisa diterapkan secara benar kepada petani. Bagaimana meningkatkan produksi pertanian jika para pakar-pakar peneliti bidang pertanian justeru untuk mendapatkan hasil penelitian para ahli dibutuhkan waktu yang agak lama untuk mendapatkan informasi yang sahih dan valid. Memang banyak para kalangan mengakui sistem manajemen dalam pertanian kita banyak yang salah dan menyimpang. Bibit unggul tersedia justeru dilapangan pupuk semakin langka. Harga pupuk murah dipasaran benih/bibit semakin sulit diperoleh. Manajemen pertanian di Indonessia boleh dikatakan  belum sinkron untuk memenuhi kebutuhan “perut sejengkal”. Padahal dari sektor pertanianlah bangsa ini menggantungkan kelangsungan hidupnya. Meski uang tersedia 100 gedung, perut manusia sampai kapanpun tidak akan mampu  mencerna uang apalagi uang logam.
Karena itu bangsa ini khususnya pemerintah harus konsisten menjadikan sektor pertanian sebagai sektor andalan dimasa mendatang. Menurunnya produktivitas sektor pertanian akan membawa akibat yang kurang baik terhadap  bangsa. Swasembada pangan  harus menjadi program prioritas pemerintah sinkron dengan pembangunan jaringan irigasi, jalan, tata niaga pertanian yang handal dan sektor perbankan harus mendukung sistem pertanian yang andal digeri ini dengan mengalokasikan kredit usaha terhadap para petani. (***).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar