Selasa, 19 Oktober 2010

BEHAVIORISME

Implementasi Behaviorisme Dalam Belajar
Oleh: Nelson Sihaloho
Abstrak:
Behaviorisme muncul sebagai kritik lebih lanjut dari strukturalisme Wundt. Meskipun didasari pandangan dan studi ilmiah dari Rusia, aliran ini berkembang di AS, merupakan lanjutan dari fungsionalisme.
Behaviorisme secara keras menolak unsur-unsur kesadaran yang tidak nyata sebagai obyek studi dari psikologi, dan membatasi diri pada studi tentang perilaku yang nyata. Dengan demikian, Behaviorisme tidak setuju dengan penguraian jiwa ke dalam elemen sebagaimana yang dipercayai oleh strukturalism.
Intinya behaviorisme sudah melangkah lebih jauh dari fungsionalisme yang masih mengakui adanya jiwa dan masih memfokuskan diri pada proses-proses mental.
Meskipun pandangan Behaviorisme sekilas radikal dan mengubah pemahaman tentang psikologi secara drastis, Brennan (1991) memandang munculnya Behaviorisme sebagai perubahan evolusioner. Dasar-dasar pemikiran Behaviorisme telah ditemukan berabad-abad sebelumnya.

Pandangan para ahli
Pemikiran para filsuf Yunani kuno khususnya kelompok orientasi biologis dan  berupaya menjelaskan aktivitas manusia dalam bentuk reaksi mekanistis dari proses-proses biologis seperti  Hippocrates. Sementara John Locke menekankan pada lingkungan sebagai penentu perilaku manusia, jiwa dianggap pasif. Pandangan empirisme dan asosiasionisme sangat mewarnai behaviorisme. Adaptasi manusia terhadap lingkungan dilakukan melalui proses belajar yang secara empirik dengan menggunakan proses asosiasi.
Behavirisme ini merupakan cikal bakal munculnya reflexologi khususnya dalam penegmbangan psikologi. Tokoh-tokoh penting yang mengembangkan reflexologi adalah Ivan Petrovich Pavlov.
Berdasarkan hasil riset-riset di bidang reflexologi di Rusia memberikan pengaruh yang relatif dekat pada behaviorisme dibandingkan dengan pandangan-pandangan para ahli-ahli sebagaimana disebutkan di atas. Reflexologi menurut mereka bertujuan menggali dasar fisiologis dari proses-proses behavioral. Mereka melakukan riset-riset bukan dalam konteks pengembangan ilmu psikologi. Sebab  para ahli ini sebenarnya adalah ahli fisiologis. Intinya aspek psikologis telah dengan sendirinya tercakup dalam riset fisiologis  para ahli-ahli itu.
Ivan Petrovich Pavlov merupakan tokoh penting reflexologi dari  Rusia. Pavlov yang akrab dikenal oleh para ahli-ahli memiliki latar pendidikan fisiologi hewan dari Universitas St. Petersburg yang lulus  pada tahun 1875 dan memiliki latar belakang ilmu kedokteran.
Pavlov juga pernah mengenyam pendidikan di Jerman dan memperoleh gelar profesor di bidang farmakologi dan fisiologis. Riset-risetnya tentang proses fisiologis dalam sistem pencernaan menghantarkannya memperoleh Hadiah Nobel pada tahun 1904.
Pavlov selama hidupnya selalu menolak disebut sebagai psikolog dan lebih suka dikenal sebagai seorang ahli fisiologis karena menurutnya bidang psikologi adalah bidang yang terlalu abstrak dan spekulatif apabila dibandingkan dengan fisiologis yang lebih empirik.
Pavlov juga selalu merasa skeptic dengan psikologi. Padahal dalam bidang psikologi, Pavlov dikenal karena penemuannya dalam proses kondisioning (conditioning proses).
Penemuan conditioning process sebenarnya berawal dari melalui riset dengan anjingnya, secara tidak direncanakan. Awalnya Pavlov agak ragu untuk meneruskannya karena arahnya dianggap terlalu “psikologis” dan  abstrak. Namun Pavlov memtuskan untuk terus melanjutkannya karena karakteristik percobaan ini lebih bersifat fisiologis.
Teori  Pavlov terdiri dari tiga bagian yang merupakan satu kesatuan. Pavlov menyatakan dalam teorinya bahwa  setiap respon-respon yang terjadi dalam proses kondisioning (conditioning proses). Perluasan dari respon-respon kondisioning memiliki dasar serta adanya konsep reinforcement.

Teori Assosiasi Modern

Teori  Assosiasi modern dikembangkan oleh Edward Lee Thorndike (1874-1949). Karirnya sebagai ahli psikologi diawali ketika Thorndike  membaca buku James (Principles of Psychology) sebagai mahasiswa psikologi tahun pertama di Wesleylan University dan belajar dari James di  Universitas Harvard dalam bidang animal learning.
Eksperimen-eksperimen Thorndike dengan binatang sangat didukung James selama belajar  di Universitas  Harvard. Thorndike kemudian datang ke Columbia atas undangan James Mc. Keen Cattell dan melanjutkan eksperimennya.
Usai meraih gelar Ph.D dari Havard, Thorndike  tertarik pada bidang sosial dan pendidikan. Selanjutnya Thorndike mengajar di Teachers’ College, Columbia University, hingga  pension pada tahun  1949.
Thorndike berhasil mengembangkan sebuah  teori yang dikenal dengan nama  asosiasionisme yang sangat sistematis. Salah satu teori belajar yang paling sistematis dikenal dengan “law of effect”. Thorndike  membawa ide-ide asosiasi para filsuf ke dalam level yang empirik dengan melakukan eksperimen terhadap ide-ide filosofis tersebut.
Thorndike juga mengakui pentingnya konsep reinforcement dan reward serta menuliskan teorinya dalam “law of effect “ pada tahun 1898. Apabila kita bandingkan dengan Pavlov baru menulis idenya tentang reinforcement pada tahun 1902 tepatnya 27 tahun kemudian dan merupakan suatu proses perjalanan panjang.
Dalam pandangan Thorndike ia mendefenisikan psikologi “the study of stimulus-response connections or bonds… Thorndike sangat mementingkan connections (koneksionisme). Connections dapat terbentuk secara sambung menyambung dalam urutan yang panjang. Sebuah connections yang awalnya merupakan respons bisa menjadi stimulus. Di sinilah tampak peran asosiasi yang membentuk connections.
Teori utama Thorndike terdiri dari fenomena belajar , trial and error learning dan transfer of learning. Adapun hukum-hukum belajar hasil penemuan Thorndike terdiri dari 3 (tiga) bagian penting.
Pertama adalah  Law of Readiness, yaitu adanya kematangan fisiologis untuk proses belajar tertentu, contohnya adalah kesiapan belajar membaca. Isi teori ini sangat berorientasi pada fisiologis
Kedua adalah Law of Exercise  yaitu  jumlah exercise (yang dapat berupa penggunaan atau praktek) dapat memperkuat ikatan stimulus-respon (S-R). Contohnya adalah mengulang, menghafal, dan lain sebagainya. Belakangan teori ini dilengkapi dengan adanya unsur effect belajar sehingga hanya pengulangan semata tidak lagi berpengaruh.
Ketia, Law of Effect merupakan sesuatu yang menguat atau melemahnya sebuah connection dapat dipengaruhi oleh konsekuensi dari connection tersebut. Konsekuensi positif akan menguatkan connection, sementara konsekuensi negatif akan melemahkannya. Belakangan teori ini disempurnakan dengan menambahkan bahwa konsekuensi negatif tidak selalu melemahkan connections. Pemikiran Thorndike tentang  Konsekuensi ini menjadi sumbangan penting bagi aliran behaviorisme karena Thorndike memperkenalkan konsep reinforcement. Kelak konsep ini menjadi dasar teori para tokoh behaviorisme seperti Watson, Skinner, dan lain-lain.
Sedangkan fungsionalisme menjadi dasar bagi behaviorisme melalui pengaruhnya pada tokoh utama behaviorisme, yaitu Watson. Watson adalah murid dari Angell dan menulis disertasinya di University of Chicago. Dasar pemikiran Watson yang lebih memfokuskan diri lebih proses mental daripada elemen kesadaran, fokusnya perilaku nyata dan pengembangan bidang psikologi pada animal psychology dan child psychology adalah pengaruh dari fungsionalisme. Meski demikian, Watson menunjukkan kritik tajam pada fungsionalisme.

Prinsip Dasar Behaviorisme

Perilaku nyata dan terukur memiliki makna tersendiri, bukan sebagai perwujudan dari jiwa atau mental yang abstrak. Aspek mental dari kesadaran yang tidak memiliki bentuk fisik adalah pseudo problem untuk sciene, harus dihindari. Penganjur utama adalah Watson : overt, observable behavior, adalah satu-satunya subyek yang sah dari ilmu psikologi yang benar. Dalam perkembangannya, pandangan Watson yang ekstrem ini dikembangkan lagi oleh para behaviorist dengan memperluas ruang lingkup studi behaviorisme dan akhirnya pandangan behaviorisme juga menjadi tidak seekstrem Watson, dengan mengikutsertakan faktor-faktor internal juga, meskipun fokus pada overt behavior tetap terjadi. Aliran behaviorisme juga menyumbangkan metodenya yang terkontrol dan bersifat positivistik dalam perkembangan ilmu psikologi. Banyak ahli seperti  Lundin, 1991 dan Leahey, 1991  membagi behaviorisme ke dalam dua periode, yaitu behaviorisme awal dan kemudian

Pemikiran John Watson
Kiprah John Watson ( 1878-1958) dimana setelah memperoleh gelar master dalam bidang bahasa (Latin dan Yunani), matematika, dan filsafat di tahun 1900, Watson menempuh pendidikan di University of Chicago. Minat awalnya adalah pada filsafat, sebelum beralih ke psikologi karena pengaruh Angell. Akhirnya Watson  memutuskan menulis disertasi dalam bidang psikologi eksperimen dan melakukan studi-studi dengan tikus percobaan.
Pada tahun 1903 Watson menyelesaikan disertasinya. Lima tahun kemudian pada tahun 1908 Watson pindah ke John Hopkins University dan menjadi direktur laboratorium  psikologi. Selanjutnya pPada tahun 1912 Watson  menulis karya utamanya yang dikenal sebagai “behaviorist’s manifesto”,  yaitu “Psychology as the Behaviorists Views it”.
Dalam karyanya Watson berhasil menetapkan dasar konsep utama dari aliran behaviorisme. Watson menyatakan psikologi adalah cabang eksperimental dari natural science. Posisinya setara dengan ilmu kimia dan fisika sehingga introspeksi tidak punya tempat di dalamnya.
Hingga saat ini psikologi gagal dalam usahanya membuktikan jati diri sebagai natural science. Salah satu halangannya adalah keputusan untuk menjadikan bidang kesadaran sebagai obyek psikologi. Karena itu  kesadaran/mind harus dihapus dari ruang lingkup psikologi.Obyek studi psikologi yang sebenarnya adalah perilaku nyata.
Pandangan Watson
Psikologi mempelajari stimulus dan respons (S-R Psychology). Pengertian stimulus adalah semua obyek di lingkungan, termasuk perubahan jaringan dalam tubuh. Respon adalah apapun yang dilakukan sebagai jawaban terhadap stimulus, mulai dari tingkat sederhana hingga tingkat tinggi, juga termasuk pengeluaran kelenjar.
Respon ada yang overt dan covert, learned dan unlearned. Tidak mempercayai unsur herediter (keturunan) sebagai penentu perilaku. Perilaku manusia adalah hasil belajar sehingga unsur lingkungan sangat penting dan pandangannya yang sangat ekstrim tergambar dari pandangan Lundin, 1991. Dengan demikian pandangan Watson bersifat deterministik, perilaku manusia ditentukan oleh faktor eksternal, bukan berdasarkan free will.
Dalam kerangka mind-body, pandangan Watson sangat sederhana. Menuurt Watson, mind mungkin saja ada, tetapi bukan sesuatu yang dipelajari ataupun akan dijelaskan melalui pendekatan ilmiah. Bukan berarti bahwa Watson menolak mind secara total. Watson hanya mengakui body sebagai obyek studi ilmiah. Penolakan dari consciousness, soul atau mind ini adalah ciri utama behaviorisme dan kelak dipegang kuat oleh para tokoh aliran ini, meskipun dalam derajat yang berbeda-beda.
Pada titik ini sejarah psikologi mencatat pertama kalinya sejak jaman filsafat Yunani terjadi penolakan total terhadap konsep soul dan mind. Tidak heran bila pandangan ini di awal mendapat banyak reaksi keras, namun dengan berjalannya waktu behaviorisme justru menjadi popular”.
Sejalan dengan fokusnya terhadap ilmu yang obyektif, maka psikologi harus menggunakan metode empiris. Dalam hal ini metode psikologi adalah observation, conditioning, testing, dan verbal reports.
Secara bertahap Watson menolak konsep insting, mulai dari karakteristiknya sebagai refleks yang unlearned, hanya milik anak-anak yang tergantikan oleh habits, dan akhirnya ditolak sama sekali kecuali simple reflex seperti bersin, merangkak, dan lain-lain.
Sebaliknya, konsep learning adalah sesuatu yang vital dalam pandangan Watson, juga bagi tokoh behaviorisme lainnya. Habits yang merupakan dasar perilaku adalah hasil belajar yang ditentukan oleh dua hukum utama, recency dan frequency. Watson mendukung conditioning respon Pavlov dan menolak law of effect dari Thorndike. Maka habits adalah proses conditioning yang kompleks. Watson menerapkannya pada percobaan phobia (subyek Albert). Kelak terbukti bahwa teori belajar dari Watson memiliki banyak kekurangan dan pandangannya yang menolak Thorndike adalah salah.
Pandangannya Watson tentang memory membawanya pada pertentangan dengan William James. Menurut Watson apa yang diingat dan dilupakan ditentukan oleh seringnya sesuatu digunakan/dilakukan. Dengan kata lain, sejauhmana sesuatu dijadikan habits. Faktor yang menentukan adalah kebutuhan.
Proses thinking and speech terkait erat. Thinking adalah subvocal talking. Artinya proses berpikir didasarkan pada keterampilan berbicara dan dapat disamakan dengan proses bicara yang “tidak terlihat”, masih dapat diidentifikasi melalui gerakan halus seperti gerak bibir atau gesture lainnya.
Sumbangan utama Watson adalah ketegasan pendapatnya bahwa perilaku dapat dikontrol dan ada hukum yang mengaturnya. Intinya  psikologi adalah ilmu yang bertujuan meramalkan perilaku. Pandangan ini dipegang terus oleh banyak ahli dan diterapkan pada situasi praktis. Dengan penolakannya pada mind dan kesadaran, Watson juga membangkitkan kembali semangat obyektivitas dalam psikologi yang membuka jalan bagi riset-riset empirik pada eksperimen terkontrol.
Dalam dunia pendidikan pandangan Watson banyak memberikan sumbangan pemikiran terutama dala mengembangkan teori-teori mutakhir dalam metode belajar mengajar, perilaku maupun psikologi. (***dihimpun dari berbagai sumber)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar