Renstra Depdiknas dan Penguatan Mutu Pendidikan
Oleh: Nelson Sihaloho
Pendahuluan
Program Better Education Through Reformed Management and Universal Teacher Upgrading (Bermutu) digulirkan sejak tahun 2008 dan akan berakhir pada tahun 2013 yang membutuhkan dana untuk pengembangan pendidikan Indonesia senilai USD 195.06 Juta. Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Bambang Sudibyo ketika meluncurkan program “Bermutu” mengatakan dana sebesar 195.06 juta dolar AS itu merupakan kontribusi pemerintah Indonesia sebesar 57,1 juta dolar AS yang terdiri atas kontribusi pemerintah pusat sebesar 39,1 juta dolar dan 18 juta dolar dari pemerintah daerah. Hibah dari pemerintah Belanda sebesar 52 juta dolar AS, IDA sebesar 61,5 juta dolar AS dan IBRD sebesar 24,5 juta dolar AS. Program “Bermutu” merupakan sebuah program terintegrasi dalam menangani manajemen guru di Indonesia yang berlangsung di Jakarta itu dihadiri Duta Besar Belanda untuk Indonesia Nikolas Van Dam, Country Director Bank Dunia untuk Indonesia , Joachim Von Amsberg.
Intinya program ‘Bermutu’ tidak hanya akan mengembangkan sendiri berbagai rancangan kegiatan tetapi juga berkolaborasi dengan berbagai proyek internasional lain yang sedang beroperasi di Indonesia terutama dalam peningkatan pembelajaran yang berhasil seperti Pakem, Lesson Studi, Multigrade Teaching dan sebagainya. Acara yang dikemas dan disaksikan melalui layanan video conference oleh 75 walikota/bupati, para rektor dari sejumlah perguruan tinggi dan wakil Bank Dunia di Washington DC, Chris Thomas. Country Director Bank Dunia untuk Indonesia, Joachim Von Amsberg mengatakan, program ‘Bermutu’ mendapat dukungan penuh Bank Dunia dan dilaksanakan untuk meningkat mutu pendidikan di Indonesia melalui peningkatan kualitas tenaga pendidik.Indonesia telah berinisiatif untuk memimpin dan mengembangkan program ini secara baik melalui penyusunan rencana strategis, sehingga berhasil mengatasi persoalan pendidikan tidak lagi pada project by project base tetapi sukses mengelola permasalahan khususnya peningkatan kualitas guru dalam satu pengelolaan. Salah satu indikator keberhasilan program ‘Bermutu’ yang diterapkan di 75 kabupaten/kota adalah adanya peningkatan prestasi siswa Indonesia dalam kurun waktu tiga tahun sejak 2003. Berdasarkan data pada tahun 2003 penilaian internasional tentang prestasi siswa Indonesia dalam kemampuan membaca, matematika dan literasi ilmu pengetahuan masih berada di skor 360, maka pada tahun 2006 menjadi 391 naik 31 poin.
Duta Besar Belanda untuk Indonesia , Nikolas Van Dam mengatakan, masyarakat miskin tidak memiliki peluang terhadap kehidupan ekonomi layak bila tidak memiliki akses yang baik terhadap pendidikan. Program “Bermutu” juga dinilai cukup berhasil dalam meningkatkan kualitas peserta didik dan tenaga pendidik. Rencana Strategis Depdiknas antara lain memuat visi, dan misi Pendidikan Nasional. Visi Pendidikan Nasional Indonesia adalah terwujudnya sistem pendidikan sebagai pranata sosial yang kuat dan berwibawa untuk memberdayakan semua warga negara Indonesia berkembang menjadi manusia yang berkualitas sehingga mampu dan proaktif menjawab tantangan zaman yang selalu berubah (Zamroni:2008). Sementara itu Misi Pendidikan Nasional adalah. mengupayakan perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan yang bermutu bagi seluruh rakyat Indonesia , membantu dan memfasilitasi pengembangan potensi anak bangsa secara utuh sejak usia dini sampai akhir hayat dalam rangka mewujudkan masyarakat belajar, meningkatkan kesiapan masukan dan kualitas proses pendidikan untuk mengoptimalkan pembentukan kepribadian yang bermoral. Selanjutnya adalah meningkatkan keprofesionalan dan akuntabilitas lembaga pendidikan sebagai pusat pembudayaan ilmu pengetahuan, keterampilan, pengalaman, sikap, dan nilai berdasarkan standar nasional dan global serta memberdayakan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan berdasarkan prinsip otonomi dalam konteks Negara Kesatuan RI . Manusia Indonesia yang dimaksud dalam visi pendidikan nasional Indonesia adalah manusia berkualitas dalam kecendekiawanan, kecerdasan spiritual, emosional, sosial, serta kinestetis (gerak tubuh) dan kepiawaian, serta mampu menghadapi perkembangan dan persaingan global. Menurut Zamroni, 2008 menyatakan bahwa peningkatan mutu pendidikan yang berpusat pada peningkatan mutu sekolah merupakan suatu proses yang dinamis, berjangka panjang yang mesti dilakukan secara sistematis lagi konsisten untuk diarahkan menuju suatu tujuan tertentu. Lebih lanjut Zamroni, 2008 menyatakan bahwa dalam peningkatan mutu sekolah tidak dikenal sesuatu yang gampang segampang teori, seperti yang disitir oleh Kurt Lewin: “There is nothing to practical as good as a theory”. Intinya, bahwa tidak mungkin ada peningkatan mutu sekolah tanpa didasari oleh suatu teori (Levin, 2008). Peningkatan mutu sekolah memerlukan teori, namun implementasinya tidak akan bisa mulus dan semudah teori yang ada. Teori-teori dan gagasan-gagasan amat diperlukan dalam peningkatan mutu sekolah. Namun, peran teori dan gagasan-gagasan tersebut tidak sepenting aktivitas riil peningkatan mutu sekolah itu sendiri. Peningkatan mutu atau kualitas pembelajaran merupakan inti dari reformasi pendidikan. Peningkatan kualitas pembelajaran sangat bersifat kontekstual dan sangat dipengaruhi oleh kondisi sosial dan kultural sekolah dan lingkungannya. Berbagai penelitian menunjukan bagaimana bagaimana pentingnya kondisi dan lingkungan sekolah mempengaruhi kualitas pembelajaran, seperti, dalam penelitian tentang sekolah efektif (Purkey & Smith, 1983), kerja guru dan pembelajaran (McLaughlin Talbert, 1993), retrukturisasi sekolah dan kinerja organisasi (Darling-Hammond, 1996).Dalam kaitan dengan peningkatan mutu, pengalaman menunjukan terdapat berbagai model yang dilaksanakan yang mencakup berbagai kebijakan dalam upaya meningkatkan mutu seperti model UNESCO, Model Bank Dunia, Model Orde Baru dan Model Orde Reformasi (Zamroni:2008).
Kurikulum Pendidikan
Pendidikan merupakan suatu proses yang sangat kompleks dan berjangka panjang, di mana berbagai aspek yang tercakup dalam proses saling erat berkaitan satu sama lain dan bermuara pada terwujudnya manusia yang memiliki nilai hidup, pengetahuan hidup dan keterampilan hidup. Kurikulum merupakan seperangkat rancangan nilai, pengetahuan, dan keterampilan yang harus ditransfer kepada peserta didik dan bagaimana proses transfer tersebut harus dilaksanakan. Suatu kurikulum pendidikan ditentukan oleh dua faktor dasar, yakni, faktor internal yang berupa pemahaman atas bagaimana sistem kerja otak, dan, faktor eksternal yang berupa kualifikasi dan kemampuan yang dibutuhkan oleh dunia kerja. Laporan Eral Hunt (1995) menunjukkan bahwa sistem kerja otak statis, penyebaran intelegensi sebagai kurva normal berbentuk be// shape, terdapat kemungkinan untuk menentukan secara spesifik berapa besar intelegensi yang diperlukan untuk mempelajari konsep dan skill tertentu di sekolah dan menguasai fungsi-fungsi vokasional yang diperlukan dalam kehidupan, tes standarisasi dapat dipergunakan untuk mengukur intelegensi seseorang dan memprediksi kemampuan yang akan dapat dicapai serta intelegensi terdiri dari kemampuan numeric dan fingual. Penelitian mutakhir sistem kerja otak sebagaimana diuraikan Caineand Caine (1991) dalam bukunya Making connection: Teaching and human brain, menunjukkan bukti yang berbeda. Intelegensi ternyata bersifat dinamis dan dapat berkembang. Lebih daripada itu, intelegensi tidak hanya berkaitan dengan aspek cognitive semata, namun berkaitan dengan emosi maka disebut Emotion Intellegence (EQ) sebagai pelengkap IQ. Bukti-bukti menunjukan bahwa dalam keberhasilan pendidikan seseorang peranan IQ hanya sekitar 20 %. Sisanya 80 % sebagian besar ditentukan oleh EQ dan faktor kedewasaan sosial. EQ adalah kemampuan seseorang untuk mengendalikan aspek-aspek psikologis dalam diri sendiri yang mencakup, amarah, kesedihan, rasa takut, kenikmatan, cinta, terkejut, jengkel dan malu. Kemampuan mengendalikan aspek psikologis diperlukan agar EQ ini bisa bekerja secara harmonis dengan IQ. Hasil-hasil penelitian sistem kerja otak mutakhir juga menunjukkan bahwa, pemahaman adalah merupakan hasil interaksi siswa dengan informasi dalam situasi spesifik. Keahlian memerlukan pengalaman yang banyak dan analitik. Ingatan dan penggunaan apa yang diingat tersebut membutuhkan proses informasi yang mendalam yang ditentukan oleh kebermaknaan informasi tersebut. Intelegensi tidak hanya memiliki aspek cognitive (berwajah cognitive atau didominasi oleh aspek cognitive) tetapi memiliki multi aspek (banyak wajah). Howard Gardner, ahli psikologi Cognitive dari Harvard University , telah mengembangkan teori multiple abilities, talents, and skills. Teori lama hanya menekankan pendidikan pada dua kemampuan yaitu verbal-linguistics dan logical-mathematical, dan telah ketinggalan zaman. Intinya kurikulum yang didesain harus mampu mengembangkan seluruh potensi anak didik sehingga anak didik mampu berkembang secara optimal.
Penguatan Kultur
Sekolah sebagai suatu sistem memiliki tiga aspek pokok yang sangat berkaitan erat dengan mutu sekolah, yaitu proses belajar mengajar, kepemimpinan dan manajemen sekolah, serta kultur sekolah. Program aksi untuk peningkatan mutu sekolah secara konvensional menekankan pada aspek pertama, yaitu meningkatkan mutu proses belajar mengajar, sedikit menyentuh aspek kepemimpinan dan manajemen sekolah dan sama sekali tidak pernah menyentuh aspek kultur sekolah. Kultur merupakan pandangan hidup yang diakui bersama oleh suatu kelompok masyarakat, mencakup cara berfikir, perilaku, sikap, nilai yang tercermin baik dalam ujud fisik maupun abstrak. Kultur ini dapat dilihat sebagai suatu perilaku, nilai-nilai, sikap hidup, cara hidup untuk melakukan penyesuaian dengan lingkungan sekaligus cara untuk memandang persoalan dan memecahkannya. Salah satu ilmuwan yang memberikan sumbangan penting dalam hal ini adalah Antropolog Clifford Geertz yang mendefinisikan kultur sebagai suatu pola pemahaman terhadap fenomena sosial, yang terekspresikan secara eksplisit maupun implisit. Berdasarkan pengertian kultur menurut Clifford Geertz itu, kultur sekolah dapat dideskripsikan sebagai pola nilai-nilai, norma-norma, sikap, ritual, mitos dan kebiasaan-kebiasaan yang dibentuk dalam perjalanan panjang sekolah. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa pengaruh kultur sekolah atas prestasi siswa di Amerika Serikat telah dibuktikan lewat penelitian empiris. Kultur yang "sehat" memiliki korelasi yang tinggi dengan, prestasi dan motivasi siswa untuk berprestasi, sikap dan motivasi kerja guru, produktivitas dan kepuasan kerja guru. Kaitannya dengan aspek lain adalah rangsangan untuk berprestasi, penghargaan yang tinggi terhadap prestasi, komunitas sekolah yang tertib, pemahaman tujuan sekolah, ideologi organisasi yang kuat, partisipasi orang tua siswa, kepemimpinan Kepsek dan hubungan akrab diantara guru. Kultur sekolah akan baik apabila Kepsek dapat berperan sebagai model, mampu membangun tim kerjasama, belajar dari guru, staf, dan siswa dan harus memahami kebiasaan yang baik untuk terus dikembangkan
Guru besar ekonomi, Richard J. Murname dari Harvard University dan Frank Levy dari MIT telah melakukan studi mendalam di Honda of American Manufacturing (HAM) dan di Industri Motorola. Hasil kajiannya dalam bukunya 'Teaching The New Basic Skills' (1996) membuktikan bahwa meskipun di Amerika Serikat kemampuan rata-rata matematik telah meningkat dari skor 219 pada tahun 1982 menjadi 230 pada tahun 1992 untuk anak usia 9 tahun dan dari skor 289 pada tahun 1982 menjadi 307 pada tahun 1992 untuk anak usia 17 tahun, tetap saja terjadi fenomena degradasi ijazah. Dengan mengacu perkembangan ekonomi dan masyarakat yang cepat dan kemampuan tenaga kerja yang diperlukan, menurut Murname dan Levy, reformasi yang diperlukan di dunia pendidikan adalah menetapkan skill dasar yang harus dikembangkan pada diri setiap peserta didik. Skill dasar tersebut meliputi, The hard skids, yang mencakup dasar-dasar matematik, problem solving, kemampuan membaca yang jauh lebih tinggi dan lebih cepat dibandingkan yang ada sekarang ini pada SMA, The soft skills, yang meliputi kemampuan bekerja sama dalam kelompok dan kemampuan untuk menyampaikan ide dengan jelas baik dengan lisan maupun tulis serta kemampuan memahami bahasa komputer yang sederhana, seperti seperti word processor.
Basic skills yang mencakup ketiga aspek yaitu kognitif (the hard skills dan kemampuan memahami bahasa komputer), sosial, dan emosi (the soft skills). Persoalan yang muncul adalah bagaimanakah ketiga aspek tersebut dapat dikembangkan pada diri peserta didik sebagai suatu satu kesatuan yang utuh. Perkembangan teori baru di bidang perkembangan kognitif, seperti dikemukakan oleh Baxter Magolda (dalam Knowing and Reasoning in College: Gender-Related Patterns in Students' Intellectual Development, 1995) menekankan bahwa ketiga aspek pendidikan tersebut, intelektual, sosial dan emotional harus merupakan satu kesatuan yang terintegrasi. Untuk mencapai integrasi ini peranan konteks sosial dan hubungan antar pribadi sangat penting. Proses yang berlangsung di sekolah harus senantiasa dikaitkan dengan proses yang ada di luar sekolah. Goleman dalam buku 'Emotion intelligence' (terjemahan Gramedia, 1995) juga menekankan betapa proses learning sangat ditentukan oleh emosi, yang dapat merangsang motivasi atau sebaliknya malah menekan motivasi unuk berprestasi menjadi rendah. Reformasi pendidikan perlu mempertimbangkan perkembangan teori-teori pembelajaran baru tersebut. Teori Pembebasan Freire menekankan pada prinsip bahwa sistem budaya masyarakat merupakan sumber kekuatan warga masyarakat, bagaikan jaring laba-laba di mana laba-laba hidup. Teori pembelajaran Collaborative menekankan pada proses pembelajaran yang digerakkan oleh keterpaduan aktivitas bersama baik intelektual, sosial dan emosi secara dinamis baik dari fihak siswa maupun guru. Teori ini didasarkan poda ide bahwa pencarian dan pengembangan pengetahuan adalah merupakan proses aktivitas sosial, di mana siswa perlu mempraktekkannya. Pendidikan bukannya proses di mana siswa hanya menjadi penonton dan pendengar yang pasif.
Dari Fondasi ke Aksi
Reformasi pendidikan adalah proses yang kompleks, berwajah majemuk dan memiliki jalinan tali-temali yang amat interaktif, sehingga reformasi pendidikan memerlukan pengerahan segenap potensi yang ada dan dalam tempo yang panjang. Betapa kompleksnya reformasi pendidikan dapat difahami karena tempo yang diperlukan amat panjang, jauh lebih panjang apabila dibandingkan tempo yang diperlukan untuk melakukan reformasi ekonomi, apalagi dibandingkan tempo yang diperlukan untuk reformasi politik. Reformasi pendidikan pada dasarnya memiliki tujuan agar pendidikan dapat berjalan lebih etektif dan efisien mencapai tujuan pendidikan nasional. Untuk itu dalam reformasi dua hal yang perlu dilakukan yaitu mengidentifikasi atas berbagai problem yang menghambat terlaksananya pendidikan dan merumuskan reformasi yang bersifat strategik dan praktis sehingga dapat diimplementasikan di lapangan. Reformasi harus menekankan pada faktor kunci yang akan mempengaruhi faktor-faktor lain secara simultan, sehingga reformasi akan melibatkan seluruh faktor yang penting, dan menempatkan semua faktor tersebut dalam suatu sistem yang bersifat organik. Aspek kultural dapat dibangun dan dikembangkan berdasarkan nilai-nilai dan keyakinan yang ada dalam dunia pendidikan itu sendiri. Nilai-nilai dan keyakinan ini merupakan inti dari reformasi pendidikan. Perbaikan dalam suatu aspek sekolah harus mempertimbangkan aspek yang lain. Dengan pendekatan sistem thinking tersebut dapat diidentifikasi struktur, umpan balik, dan dampak, seperti keterbatasan perubahan pendidikan, pergeseran sasaran reformasi pendidikan, perkembangan pendidikan dan sektor pendidikan yang kurang dijamah.Renstra pendidikan kita memang harus difokuskan pada penguatan mutu pendidikan. Untuk meningkatkan mutu pendidikan dibutuhkan biaya yang tidak sedikit serta kerja keras. Sia-sia saja dana dianggarkan begitu besar namun hasil tidak berbanding lurus dengan peningkatan mutu. Seharusnya fondasi pendidikan kita yang telah kokoh harus diiringi dengan program aksi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar