Selasa, 19 Oktober 2010

KTSP OPINI

Pendidikan Karakter Bangsa Ditengah Era Global
Oleh : Nelson Sihaloho
Pendahuluan
Apabila saat ini pendidikan masih sibuk menerapkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) ditambah dengan siu-isu strategis menghadapi era globalisasi maka deprogram rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI) hingga sekolah bertaraf internasional (SBI).
Ditengah isu-isu global itu dalam Rencana Strategis (Renstra) Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) II sebanyak 8 (delapan) sektor yang menjadi tulang punggung dalam mencapai indicator Milenenium Development Goals (MDGs) tahun 2014.
Suatu langkah dan beban berat dipikul oleh sektor pendidikan dalam memberikan pelayanan pendidikan karakter bangsa sebab saat ini moralitas bangsa hampir menjadi sorotan dalam setiap kehidupan berbangsa dan bernegara.
KTSP yang dilandasi oleh UU No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional , PP No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, Permendiknas No. 22/2006 tentang Standar Isi , Permendiknas No. 23/2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan, Permendiknas No. 24/2006 dan No. 6/2007 tentang pelaksanaan Permendiknas  No. 22 dan 23/2006 dimana implementasinya  KTSP   adalah kurikulum operasional  yang disusun dan dilaksanakan oleh masing-masing satuan pendidikan. Acuan Operasional Penyusunan KTSP yaitu  peningkatan iman dan takwa serta akhlak mulia, peningkatan potensi, kecerdasan, dan minat sesuai dengan tingkat perkembangan dan kemampuan peserta didik, keragaman potensi dan karakteristik daerah dan lingkungan, tuntutan pembangunan daerah dan nasional, tuntutan dunia kerja serta  perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni. Selain itu adalah  Agama, dinamika perkembangan global, persatuan nasional dan nilai-nilai kebangsaan, kondisi sosial budaya masyarakat setempat, kesetaraan Jender, karakteristik satuan pendidikan.
Acuan Operasional KTSP dimana  Kurikulum harus dikembangkan sesuai dengan visi, misi, tujuan, kondisi, dan ciri khas satuan pendidikan diselaraskan dengan tujuan Pendidikan Sekolah, struktur dan Muatan Kurikulum (mata pelajaran. Muatan lokal, Pengembangan Diri, Beban Belajar, Ketuntasan Belajar, Kenaikan Kelas dan kelulusan, Penjurusan, Pendidikan Kecakapan Hidup, Pendidikan Berbasis Keunggulan Lokal dan Global), Kalender Pendidikan, Silabus dan RPP, Isi/ Muatan sedangkan untuk mata pelajaran Bimbingan Konseling ditambah dengan  Program Khusus.  
Pendidikan kita saat ini dituntut untuk memberikan pelayanan  Berbasis Keunggulan Lokal dan Global dimana  program pendidikan yang dikembangkan dengan memanfaatkan keunggulan lokal dan kebutuhan daya saing global dengan dubstansinya mencakup aspek  Ekonomi, Budaya, Bahasa, TIK, Ekologi, dan lain-lain, yang semuanya bermanfaat terhadap  pengembangan kompetensi peserta didik. Karena itu  penyusunan KTSP merupakan bagian dari kegiatan perencanaan sekolah/madrasah. Kegiatan ini dapat berbentuk rapat kerja dan atau lokakarya sekolah/madrasah dan atau kelompok sekolah/madrasah yang diselenggarakan dalam jangka waktu sebelum tahun pelajaran baru, dimana Tahap kegiatan penyusunan KTSP secara garis besar meliputi  penyiapan dan penyusunan draft, review dan revisi, serta finalisasi dan langkah yang lebih rinci dari masing-masing kegiatan diatur dan diselenggarakan oleh tim penyusun.
Persoalannya sekarang bagaimana kesiapan sektor pendidikan kita menghadapi era globalisasi dimasa mendatang dengan tetap mampu menjaga keutuhan jati diri bangsa yang memiliki karakteristik berbudi pekerti luhur, berbudaya, bermartabat serta menjunjung tinggi nilai-nilai moralitas bangsa.
“Menambal Tanggul”
Sebenarnya isu pendidikan karakter dibangun atas dasar kecemasan, sebab semakin hari kehidupan moral bangsa semakin terpuruk. Berbagai masalah yang ditampilkan media, baik koran, radio, teve dan majalah dipenuhi masalah sekitar seks bebas, penggunaan narkoba, kekerasan, KKN, serta praktik-praktik culas dalam kehidupan bermasyarakat siap menginjeksi kehidupan para anak-anak,  remaja dan pemuda.
Solusinya adalah  para generasi muda  perlu dilindungi dengan menanamkan akhlak mulia sedini mungkin melalui pendidikan karakter secara komprehensif dan berkesinambungan sejak dini. Memperbaiki kualitas bangsa untuk memberantas segala macam bentuk KKN dan berbagai bentuk kebobrokan akhlak masyarakat dalam kehidupan berbangsa sebagai niat mulia dapat saja tergelincir karena digunakan untuk melegitimasi agenda perpolitikan. Isu politik dan pembenahan sistem mesti mampu dicerna secara cerdas oleh individu-individu “decision maker” yang berada dalam dunia pendidikan.
Kondisi ini tentu saja bukan hal yang mudah karena mesti melalui proses panjang dialog yang dapat mempertemukan antara kemauan politik yang dilembagakan melalui peraturan dan undang-undang yang appriori dengan kebutuhan anak didik, pendidik dan masyarakat.
Dilembagakannya  pendidikan karakter melalui sebuah sistem merupakan sebuah  usaha yang fitrah yang dapat mempertemukan antara pendidikan nilai yang dilembagakan melalui sebuah sistem dan usaha individu manusia agar niat untuk memperbaiki kondisi moral anak didik kita dapat dilaksanakan dengan baik dan  bagaimana pendidikan nilai seharusnya dilakukan sehingga mampu mengubah perilaku manusia. Tujuan akhir dari pendidikan moral adalah bagaimana manusia dapat berperilaku sesuai dengan kaidah-kaidah moral.
Contoh lain terjadi juga pada mata pelajaran Agama yang kaya dengan nilai-nilai ternyata dilaksanakan hanya membidik aspek kognitif semata, tanpa melibatkan emosi dan hasrat berprilaku yang konsisten. Perlu mencari titik temu yang dapat menyatukan usaha kita bersama dapat melaksanakan pendidikan nilai Pancasila, pendidikan agama melalui sebuah sistem, serta bagaimana pendidikan itu mampu menvitalisasi upaya pendidikan individu manusia menjadi bermoral.
Ironisnya pendekatan yang dilakukan selama ini dalam membentuk akhlak mulia bagaikan menambal tanggul, yang membuat kita tidak kuat menahan fenomena sosial  yang datang bagaikan dahsyatnya air bah. Para pemimpin dan generasi muda, pejabat, intelektual tahu secara kognitif tentang konsep moral baik dan buruk, namun “cencorship” yang ada  tertanam dalam sanubari para oknum pelakunya tetap saja tumpul tak terasah.
Bangsa ini memang boleh dikatakan cerdas secara akademiki, puluhan ribu kini penduduk Indonesia bergelar Magister mulai dari Magister Pendidikan hingga Magister Manajemen bahkan pada tahun 2014 mendatang diprediksikan ribuan penduduk Indonesia akan bergelar Professor. Fakta menunjukkan semakin banyak saja pelaku korupsi bertitel Magister, Doktor dan Professor   yang terjerat kasus korupsi. Hal itu mengindikasikan bahwa sektor pendidikan tidak pernah mengajari satu orangpun anak didiknya di negeri ini melakukan perbuatan korupsi.
Kini sektor pendidikan kita ditugasi membangun pendidikan karakter bangsa sementara fakta dilapangan semakin “carut marut” saja perilaku oknum pejabat dalam menyelenggarakan tugasnya. Anggaran pendidikan sebesar 20 persen dari APBN justeru lebih banyak dialokasikan untuk sektor-sektor yang tidak ada hubungannnya dengan peningkatan kesejateraan guru. Andaikata memang guru gajinya sebanding dengan pegawai pajak di Kementerian Keuangan itu mungkin nasib pendidikan kita tidak seperti yang terjadi sekarang ini. Guru yang mendidik para Pemimpin, Pejabat, Gubernur, Bupati. Wali Kota dan Jajaran Komisaris, Direksi pegawai-pegawai BUMN dan Swasta itu justeru gajinya lebih rendah. Sangat ironis memang ibarat tanggul yang dibangun telah bocor/ jebol guru dan jajaran Kementerian Pendidikan Nasional  ditugasi untuk “menambah tanggul”.
Mengutip pendapat Marvin Berkowitz (l998) banyak pendidikan moral yang terjadi di sekolah-sekolah tidak memperhatikan bagaimana pendidikan tersebut dapat membentuk perilaku anak karena tujuan akhir dari pendidikan moral hanya mengarahkan bagaimana manusia dapat berperilaku sesuai dengan kaidah-kaidah moral. Dampak pendidikan moral kurang terlihat terhadap perubahan tingkah laku siswa.
Hal yang sama juga dinyatakan oleh  David Brooks bahwa nilai-nilai yang terkandung dalam pembelajaran mestinya adalah sekantung nilai-nilai kebajikan, yang diistilah dengan sekantong “the bag of virtues”. Hal ini sesuai dengan makna karakter itu sendiri, yaitu mengukir. Bahwa mengajarkan anak nilai-nilai kebajikan hendaknya dilakukan sejak  usia dini.  Ibarat mengukir di atas batu yang akan senantiasa  terus berbekas sampai tua.
Sebaiknya pendidikan moral atau budi pekerti (moral education/values education/virtues education) lebih baik diganti dengan istilah “Pendidikan Karakter” (character education). Di AS saat ini ada kecenderungan untuk mengganti istilah moral/value education dengan “ Character Education/Building” sebab pendidikan karakter mempunyai makna yang lebih tinggi dari pendidikan moral.
Lord Channing mengatakan “The Great hope of society is individual character. Sistem demokrasi yang kita idam-idamkan dalam kehidupan berbangsa ke depan hanya akan mampu diraih oleh para demokrat sejati yang lahir dari proses pendidikan di sekolah. Mereka adalah individu-individu yang berkarakter terbuka, jujur, pekerja keras, bertanggung jawab dan  sederet akhlak mulia lainnya.

Mutu, Relevansi dan Daya Saing

Jika dirunut kebelakang pendidikan merupakan sebuah kekuatan bangsa khususnya dalam proses pembangunan nasional. Sesuai taraf keragaman yang begitu tinggi, Indonesia memiliki karakter yang kaya dengan perbedaan, sekaligus memiliki toleransi yang tinggi, dalam menciptakan semangat persatuan yang kokoh.
Melalui pembangunan pendidikan nasional, telah tumbuh semangat persatuan yang menjiwai keanekaragaman kepentingan budaya, sosial bahkan politik. Pembangunan pendidikan yang memahami keragaman ini akan menjadi sumber kekuatan untuk melebur perbedaan-perbedaan di dalam mewujudkan rasa kebangsaan yang kokoh.
Selaras dengan pendekatan pemberdayaan yang diterapkan, monitoring dan evaluasi secara berkelanjutan dilakukan oleh pihak internal dan eksternal. Evaluasi internal mendorong satuan pendidikan, daerahdan pusat untuk memantau dan mengevaluasi diri sendiri sehingga makin mengenal dirinya. Evaluasi eksternal dilakukan oleh unsur independen, misalnya perguruan tinggi atau unsur lain yang independen.
Mengingat mutu dan peningkatan pendidikan diukur berdasarkan indikator yang telah ditentukan, maka perlu disusun instrumen untuk mengukur peningkatan tersebut. pada tingkat satuan pendidikan, tingkat daerah dan tingkat nasional. Pengembangan instrumen perlu dilakukan dengan pendekatan pemberdayaan (sistematik dan sistemik), yaitu dengan melibatkan semua komunitas satuan pendidikan, kantor Dinas, dan kantor Pusat.
Pelibatan semua pihak dilakukan dalam mendeskripsikan mutu yang ingin dicapai dan indikator peningkatannya menguji-cobakannya, memfinalkannya, dan menggunakannya untuk mengumpulkan data, serta selanjutnya dalam memvalidasi hasill analisisnya. Mutu dipandang sebagai keyakinan pelaksana program sebagai pemangku kepentingan internal dan juga pemangku kepentingan eksternal. Semua pemangku kepentingan, baik internal maupun eksternal, terlibat aktif dalam pengembangan instrumen pengukuran mutu dan daya saing.
Perlu disajikan deskripsi indikator tingkatan mutu dan daya saing pada kondisi yang ada berkenan hasil yang telah dicapai sampai perencanaan disusun, keluaran,  proses  dan asupan.
Peningkatan mutu, relevansi dan daya saing dalam pembangunan pendidikan nasional akan memberikan efek luas pada terwujudnya eksistensi insan-insan Indonesia yang lebih mandiri dan mampu bersaing di dalam konteks pergaulan yang makin global.  Peningkatan mutu pendidikan dapat dilihat dari terjadinya peningkatan penghayatan dan pengamalan nilai-nilai kemanusiaan yang meliputi  peningkatan ketakwaan, keimanan,  berkembangnya wawasan kebangsaan, terbentuknya kepribadian nasional yang tangguh, dan  pencapaian prestasi akademik mapun non-akademik. Peningkatan revansi dapat diukur dari kesesuaian apa yang dipelajari di sekolah dengan tuntutan masyarakat dan lapangan kerja, serta kemampuan anak-anak bangsa ini dalam beradaptasi terhadap perubahan sosial, budaya, ekonomi dan politik, baik pada tingkat lokal, nasional maupun global dengan tetap menjunjung tinggi nilai-nilai budaya dan karakter bangsa. Semoga sekelumit tulisan ini memberikan sumbangan pemikiran terhadap peningkatan pendidikan karakter bangsa dalam mendukung keberhasilan Milenium Development Goals (MDgs) 2014 mendatang. Semoga. (***). Disarikan dari berbagai sumber.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar