Selasa, 19 Oktober 2010

Tatkala Kinerja Perbankan “Tak Menyentuh” Masyarakat Miskin
Oleh : Nelson Sihaloho
Abstrak:
Berbicara masalah uang apabila dikaitkan dengan seluruh aspek perekonomian hingga meneyentuh pada aspek riil akan ditemukan masalah yang kompleks yaitu mekanisme tentang transmisi kebijakan moneter.
Sebagaimana kita ketahui bersama transmisi adalah saluran yang menghubungkan kebijakan moneter dengan perekonomian. Maka dalam industri perbankan transmisi yang diciptakan diduga significant cost biayanya dibebankan kepada para nasabah.
Para ekonom dan manajer industri perbankan selalu sepakat bagaimana agar semua aktivitas mekanisme transaksi baik itu pinjaman/kredit, moneter, kenaikan tingkat suku bunga, penarikan dana-dana tunai, kliring menjadikan lembaga keuangan terus berupaya menuai keuntungan atas transaksi-transaksi yang terus berjalan tanpa hentinya itu.
Industri sektor perbankan saat ini menjadi “industri primadona” melampui perkiraaan pertumbuhan sektor-sektor lainnya meskipun ada beberapa bank yang mengalami “kebangkrutan” karena kesulitan dalam membayar dana-dana pihak nasabah.
Ditengah semakin majunya teknologi industry sektor perbankan transimisi transaksi keuangan-pun diharapkan mampu memiliki “entry data”  dari short term rate hingga merambah ke medium dan long term rate.
Industri chanel-chanel perbankan terus diintensifkan oleh para ekonom maupun manajer investasi sehingga sektor riil nyaris “tidak mendapat tempat”. Bahkan diduga kredit-kredit yang pangsa pasarnya rakyat kecil “tidak memiliki jaminan yang layak”  terus diabaikan oleh pihak perbankan. Kinerja demikian mengindikasikan “program pengentasan kemiskinan” akan selalu berujung bertambahnya masyarakat miskin di Indonesia.
Pendahuluan
Otoritas moneter yang dimiliki Bank Indonesia, melalui operasi pasar terbuka menggunakan instrumen tingkat suku bunga SBI untuk mempengaruhi permintaan pinjaman dan pada akhirnya akan mempengaruhi permintaan agregat. Mekanisme transmisi moneter melalui jalur interest rate berawal dari short term rate kemudian menjalar ke medium dan long term rate.
Apabila dilakukan kebijakan moneter yang ketat khususnya  kenaikan pada tingkat bunga akan terjadi penurunan di sektor-sektor yang berkaitan dengan perbankan akibat kenaikan harga.
Penurunan ini diakibatkan oleh resiko yang diterima peminjam bertambah karena
pertambahan biaya bunga sedangkan pendapatan menurun. Pada kondisi dimana terjadi substitusi yang tidak sempurna antara obligasi (bonds) dengan kredit (loan) membuat kedua instrumen mempunyai sifat coexistence, akibatnya perubahan di suku bunga tidak membuat debitur merubah pola investasinya menjadi obligasi.
Umumnya kebijakan moneter yang ketat akan membuat peminjam berpindah dari risky loan menuju safe bonds sehingga menurunkan aggregate demand karena investor atau peminjam mengurangi investasinya.
Di Indonesia terdapat dua sistem perbankan, yaitu sistem bunga (interest rate system) dan sistem bagi hasil atau yang lebih dikenal dengan sistem tanpa bunga (free interest rate system). Sistem bagi hasil sebagai sebuah prinsip perhitungan berdasarkan pendapatan produsen atau peminjam mempunyai sifat fleksibel terhadap pengembalian bagi hasilnya.
Sektor-sektor pembiayaan/financing yang dikenal sebagai jalur kredit semakin menunjukkan trend yang semakin meningkat. Di sektor perkotaan sektor-sektor pembiayaan beragam jenispun semakin tumbuh dengan pesatnya sementara pangsa pasarnya semakin sempit dan ketat.
Investasi sektor perkebunan nampaknya menjadi primadona khusus termasuk pengembangan kawasan ekonomi khusus (KEK) meskipun dikembangkan sektor pelabuhan disuatu kawasan sektor perbankan pun tidak akan ketinggalan melirik industry perbankan pada sektor KEK.
Kawasan-kawasan investasi prospectus selalu tidak luput dari genggaman sektor perbankan karena profit keuntungan yang sudah di depan mata itu apabila tidak segera digenggam akan jatuh ketangan orang lain. Maka para manajer-manajer bisnis investasi suatu bank berlomba-lomba menawarkan kemudahan-kemudahan investasi, profit keuntungan plus kontrak kerjasama yang saling menguntungkan  kepada pihak investor.
Masalahnya sekarang bagaimana komitmen sektor perbankan dalam “melirik sektor riil” khususnya berkaitan dengan program pengentasan kemiskinan yang dicanangkan oleh pemerintah.
Program pengentasan kemiskinan apabila dikaitkan dengan program investasi sektor perbankan jelas bertolak belakang dengan program investasi kredit yang sifatnya pasti dan profit keuntungan dapat dijabarkan/diproyeksikan karena pangsa pasarnya jelas.
Sementara untuk masyarakat miskin yang pangsa pasarnya dapat dikategorikan “minus jaminan” itu akan memunculkan rasa keprihatinan dan sikap pesimistis karena dana investasi yang kelak dikucurkan “bisa hanyut” dan “gagal bayar”.
Akibatnya kebijakan yang bagaimanapun dilakukan oleh pemerintah selalu tidak sinkron dengan kebijakan moneter yang selalu berorientasi pada profit maupun keuntungan. Hingga saat ini belum ada satu bank-pun di Indonesia yang berani menawarkan diri  yang khusus membuka “Bank Untuk Orang Miskin” dimana pangsa pasarnya benar-benar kalangan miskin.
Menganalisa kinerja perbankan khususnya transmisi moneter dapat dilihat dari
perubahan perilaku bank sentral, perbankan dan para pelaku ekonomi dalam berbagai aktivitas ekonomi dan keuangannya, lamanya jeda waktu (time lag) sejak tindakan otoritas moneter hingga sasaran akhir tercapai,  terjadinya perubahan pada saluran-saluran transmisi moneter itu sendiri sesuai dengan perkembangan ekonomi negara yang bersangkutan.
Bahkan sebagian dana yang dimobilisasi oleh lembaga keuangan dapat terus berputar di sektor keuangan dan tidak menyentuh masyarakat riil. Akibatnya pola hubungan variabel-variabel ekonomi dan keuangan yang berubah dan semakin tidak erat itu akan berpengaruh pada lamanya time lag waktu mekanisme transmisi kebijakan moneter.
Sementara dalam perekonomian yang semakin terbuka sejalan dengan arus globalisasi, perkembangan ekonomi suatu negara akan dipengaruhi oleh perkembangan perekonomian di negara lain. Pengaruh ini terjadi melalui perubahan nilai tukar mata uang, kegiatan ekspor impor, serta arus dana masuk dan keluar dari negara yang bersangkutan.
“Electronic Money” versus Pemulung
Elcetronic money yang dikenal dengan kartu-kartu elektronik seperti Kartu ATM , Kartu Kredit, Visa, Link, sistim pembayaran on line, SMS Banking maupun transaksi elektronik lainnya merupakan chanel teknologi di sektor  perbankan yang muncul kemudian.
Dalam perkembangannya kartu visa-pun akhirnya menjadi salah satu alat pembayaran non tunai yang diakui oleh dunia. Ke depan diperkirakan akan muncul lagi “electronic money” jenis baru berkemungkinan besar “electronic money berwisata ke ruang angkasapun” akan diciptakan oleh pihak perbankan jika memang pangsa pasar untuk berwisata ke ruang angkasa/planet sudah tersedia dan memungkinkan untuk dilakukan.
Namun untuk “electronic money” untuk kalangan masyarakat miskin seperti pemulung di perkotaan tidak pernah mendapat tempat dan dilirik oleh pihak perbankan.
Secara rasional para pemulung juga memiliki keinginan yang sama dengan kalangan masyarakat lainnya untuk bertransaksi di sektor perbankan karena berkaitan erat dengan uang dimana fungsinya sebagai alat pembayaran.
Para pemulung apabila ditinjau dari sisi tingkat pendapatan jelas tidak prospectus. Kita tidak usah heran jika ada kalangan pebisnis, pengusaha selalu menjadi incaran pihak perbankan  karena permanent incomenya sangat tinggi. Untuk kalangan pengusaha bonafid akan berlaku sistim “transforming values”.  
Selain itu perlu ditelaah dan dilakukan studi lebih lanjut mengapa sektor perbankan kurang merespon tentang Kredit Usaha Rakyat (KUR). Termasuk sektor-sektor pertanian di pedesaan berbasis KUR sepertinya ada “keengganan” pihak perbankan untuk merealisasikannya.
Hal itu didasarkan pada pengalaman-pengalaman panjang dimana selama perbankan melakukan pengucuran kredit ke petani banyak tagihan kredit yang mengalami macet.
Pengalaman pemberian kredit pada perkebunan inti rakyat (PIR) beberapa puluh tahun silam di berbagai daerah misalnya  begitu banyaknya dana-dana kredit yang tidak bisa ditagih pada petani.
Meskipun sebenarnya dalam perjalanan transaksinya pihak pemberi kredit sudah memperhitungkan bahwa dalam jangka tertentu dana kredit yang dikucurkan  modal kredit telah kembali namun dari sisi pertanggungjawaban soal dana-dana proyeksi yang wajib masuk ke bank sulit dipertanggungjawabkan oleh pihak bank. Akibatnya ratio keuntungan dalam pelaporan pun bertolak belakang padahal kinerja perbankan harus mampu memenuhi kriteria seperti likuiditas, solvabilitas, rentabilitas.  Maka manajer-manajer kredit investasi pada sektor perbankan mengalami “pukulan berat” karena jenjang karir mereka terhambat karena ratio kredit investasi yang ditargetkan tidak sesuai dengan sasaran investasi.
Berbekal pengalaman-pengalaman beberapa puluh tahun silam jelas masyarakat miskin dan kaum pemulung semakin tidak mendapat tempat dipihak perbankan. Maka untuk menutupi “rasa ketidakpedulian” pihak perbankan terhadap masyarakat miskin dan pemulung maka aksi kegiatan sosial pun digulirkan dimana dana-dana tersebut merupakan hasil keuntungan perusahaan perbankan selama beroperasi. Return social yang dilakukan oleh pihak perbankan apabila dilihat dari sisi kepedulian lingkungan dan sosial jelas lebih mampu diterima sepanjang tujuannya untuk kegiatan sosial. Namun apabila ditinjau dari sisi produktivitas return social lebih prospectus jika diinvestasikan pada kegiatan produktif.
Komitmen Perbankan Ditunggu
Komitmen perbankan dalam membantu program pemerintah khususnya pengentasan kemiskinan saat ini ditunggu banyak pihak. Apabila dalam kajian ekonomi setiap orang berhak meningkatkan tingkat pendapatan dan ekonominya maka komitmen sektor perbankan untuk meningkatkan tingkat pendapatan ekonomi masyarakat harus sejalan dengan prinsip-prinsip ekonomi.
Di sektor perbankan ahli-ahli ekonomi berkumpul mulai dari ahli ekonomi internasional, pialang saham, bursa efek, ekonomi mikro, makro, usaha kecil dan menengah  hingga ahli ekonomi tarnsaksi maupun ekonomi terapan.
Perlu digaris bawahi lebih lanjut komitmen pihak perbankan sebagai lembaga ekonomi yang mensejahterakan masyarakat segera digulirkan. Tanpa adanya komitmen yang jelas dari pemerintah terhadap sektor perbankan melalui tindakan tegas, program pengentasan kemiskinan akan selalu berujung kegagalan.
Pihak perbankan tidak boleh berdalih banwa tugas mengentaskan kemiskinan di Indonesia adalah tanggungjawab pemerintah semata. Semua institusi yang terkait dalam pengentasan kemiskinan harus berbagi tugas dan memikul tanggung jawab yang menjadi bidang tugasnya masing-masing.
Secara estimasi jika ada penduduk Indonesia 16 juta masuk kategori miskin tanggungjawab Bank Sentral (BI) mendapat porsi  1 juta orang, BRI  1 juta orang, BNI 1 juta orang, Bank Syariah 1 juta orang, Bank Mandiri 1 juta orang, Bank Tabungan Negara (BTN) 1 juta orang ditambah 35 bank pemerintah daerah provinsi (BPD)  wajib mengentaskan kemiskinan 200.000 orang  diperoleh estimasi 7 juta orang. Dengan demikian diperoleh gambaran 13 juta orang kategori miskin sudah dapat diantaskan melalui program aksi terpadu sektor perbankan.
Selebihnya bisa dibebankan kepada pihak bank-bank swasta atau kalangan pengusaha besar dengan program aksi kegiatan yang berbeda-beda. Intinya apa yang menjadi tugas dan tanggung jawab masing-masing institusi programnya tidak boleh sama dilapangan sebab tidak akan menggairahkan iklim usaha.
Dengan adanya komitmen dari pihak perbankan baik itu pemerintah pusat, Bank Pemerintah, Bank Provinsi, Bank Swasta dan Pengusaha maka program pengentasan kemiskinan akan mampu berjalan sebagaimana diharapkan bersama.
Sekarang tinggal niat baik dari pemerintah serta semua pihak untuk menggulirkan program komitmen bersama dalam mengentaskan program kemiskinan di Indonesia. Perlu diingat bahwa kebutuhan akan sektor riil masyarakat miskin terpenuhi akan mengurangi terjadinya gejolak sosial dalam masyarakat. Adanya perubahan struktur ekonomi saat ini sudah barang tentu membawa akibat semakin sulitnya masyarakat miskin dalam memenuhi kebutuhan sektor riilnya. Sektor perbankan merupakan kebijakan tunggal yang berlaku bagi seluruh sektor usaha. Usaha kalangan miskin dan ekonomi lemah jika mengacu pada hal tersebut posisi strategisnya berada dimana? Analisis lebih lanjut kebijakan moneter selalu memberikan akibat yang berbeda-beda pada setiap sektor usaha bahkan tergantung kepada struktur keuangan para masyarakat miskin, usaha yang mereka hasilkan, kebutuhan akan modal kerja serta keterkaitan usaha yang mereka kelola dengan peningkatan kesejahteraannya.
Maskipun dalam Undang-undang telah dinyatakan dengan jelas, fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh Negara. Namun fakta dilapangan selalu saja banyak orang miskin yang melakukan aktivitasnya dipersimpangan lampu merah bahkan hingga dana-dana masyarakat miskin dan penyandang cacat pun disunat oleh oknum-oknum yang kurang bertanggung jawab.
Kegagalan pemerintah dalam mengentaskan program kemiskinan sebenarnya bila dikaji secara lebih mendalam banyak factor yang mempengaruhinya. Bisa saja faktanya dilapangan program yang digulirkan tidak tepat, sektor usaha yang digarap selalu kalah bersaing dengan produk-produk hasil industry berkelas tinggi bahkan lebih ironis sektor usaha kecilpun dikavling habis oleh para pengusaha-pengusaha industry dan jasa.
Kini ditengah era persaingan global tugas dan tanggungjawab pemerintah khususnya perbankan semakin berat dalam mengatasi masalah kemiskinan. Program pengentasan kemiskinan apabila tidak ditangani secara tepat akan menjadi mata rantai gejolak social yang imbasnya akan dapat mengganggu terjadinya stabilitas keamanan suatu Negara.
Karena itu dibarengi dengan semangat dan rasa optimisme yang tinggi program pengentasan kemiskinan sebenarnya tidak sulit sepanjang pemerintah dan instansi terkait memiliki komitmen yang tinggi dalam memberdayakan potensi kalangan masyarakat miskin.
Penutup
Berdasarkan kajian diatas maka banyak factor yang mempengaruhi kegagalan dalam pengentasan kemiskinan. Salah satu faktornya adalah secara umum komitmen pemerintah tidak sejalan dengan komitmen perbankan dalam mengatasi masalah kemiskinan itu. Dengan berbagai kompleksitas program pengentasan kemiskinan yang dihadapi dilapangan semua perbankan di Indonesia diminta komitmennya untuk membantu pemerintah mengatasi masalah kemiskinan dengan mengalokasikan anggaran dan target/sasaran  program pengentasan kemiskinan. Diharapkan tidak ada lagi istilah yang muncul bahwa“dana perbankan bukan milik pribadi pemimpin/Presiden atau penguasa”. Pihak perbankan harus memiliki itikad baik karena masyarakat miskin itu juga perlu ditingkatkan kesejahteraannya, mereka juga berhak hidup layak seperti pegawai-pegawai bank dan seperti Dirut-Dirut Bank. Bagaimana jika pegawai-pegawai bank itu yang menjadi masyarakat miskin? Pertanyaan itu bila diajukan kepada manusia yang normal pasti tidak mau menjadi masyarakat miskin.
Dimasa mendatang semua sektor perbankan di Indonesia harus memiliki program dan komitmen tinggi untuk membantu pemerintah dalam program pengentasan kemiskinan. Mencapai masyarakat adil dan makmur memang sulit. Kita tunggu saja komitmen pihak perbankan dalam membantu pemerintah dalam mengentaskan kemiskinan di negeri ini. (***).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar