Indonesia Menuju Pengelolaan Hutan Lestari
Oleh : Nelson Sihaloho
Abstrak:
Beberapa tahun terakhir ini kinerja sektor kehutanan Indonesia cenderung mengalami penurunan hal itu diakibatkan oleh konsentrasi dan orientasi pengembangan yang tidak seimbang.
Orinetasi pengembangan selama ini hanya terpusat pada kayu telah menyisakan berbagai permasalahan seperti okupasi lahan, penurunan kuantitas dan kualitas sumber daya hutan ( SDH), produktivitas menurun serta munculnya berbagai permasalahan social.
Paradigma penyelenggaraan pembangunan sektor kehutanan dimasa mendatang orientasi timber forest management menjadi forest resources management, intinya akan menjamin pengelolan hutan yang lestari sesuai dengan visi pembangunan sektor kehutanan “Terwujudnya Penyelenggaraan Kehutanan untuk Menjamin Kelestarian Hutan dan Peningkatan Kemakmuran Rakyat”.
Kondisi Riil
Revitalisasi industri kehutanan sebenarnya mempercepat upaya memposisikan SDH dalam kehidupan sosial ekonomi masyarakat, perluasan peluang usaha di sektor kehutanan dan meningkatkan daya saing produk hasil hutan di dunia internasional.
Arah revitalisasi industri kehutanan sejalan dengan arah pembangunan kehutanan di masa mendatang sesuai dengan visi pembangunan kehutanan dimana dijabarkan dalam misi pembangunan kehutanan sebagaimana termaktub dalam Undang-undang No. 41 tahun 1999.
Intinya adalah Menjamin keberadaan hutan dengan luasan yang cukup dan sebaran yang proporsional, minimal 30 persen dari luas daerah aliran sungai dan atau pulau. Mengoptimalkan aneka fungsi hutan dan ekosistem perairan yang meliputi fungsi konservasi, lindung dan produksi kayu, non kayu dan jasa lingkungan untuk mencapai manfaat lingkungan sosial, budaya dan ekonomi yang seimbang dan lestari. Meningkatkan daya dukung Daerah Aliran Sungai (DAS). Mendorong peran serta masyarakat. Menjamin distribusi manfaat yang berkeadilan dan berkelanjutan. Memantapkan koordinasi antara pusat dan daerah.
Pembangunan kehutanan dimasa mendatang harus mampu mewujudkan pengelolaan hutan lestari serta memberikan kesejahteraan terhadap masyarakat yang tercermin pada kondisi ekologi, sosial, ekonomi dan kelembagaan.
Dengan kondisi sumber daya hutan Indonesia saat ini tentu kita menginginkan sumber daya hutan dikelola secara optimal sesuai dengan daya dukungnya, peningkatan ekonomi masyarakat dengan melibatkan masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya hutan, produk hukum di bidang kehutanan yang berkeadilan ditegakkan dan diterapkan secara konsisten, kewenangan dan tanggungjawab di bidang kehutanan didelegasikan secara bertahap kepada pemerintah daerah untuk meningkatkan pelayanan di bidang kehutanan serta pengelolaan sumberdaya hutan yang optimal didukung dengan pengembangan Iptek, SDM yang professional maupun sarana dan prasarana yang memadai. Sumberdaya hutan mempunyai multi fungsi yaitu bersifat langsung (tangible benefit) dan tidak langsung (intangible benefit).
Dalam konteks ini posisi sumberdaya hutan di masa depan memiliki peran yang sangat penting dalam struktur pembangunan kehutanan, pertanian maupun nasional. Hingga akhir tahun 2004 pemerintah mengklaim keberadaan hutan mampu dipertahankan sebagai kawasan hutan negara seluas 120,35 juta hektar dengan kompoisi hutan konservasi seluas 23,24 juta hektar, lindung 29,1 juta hektar, produksi terbatas seluas 16,21 juta hektar, produksi seluas 27,74 juta hektar serta hutan produksi yang dapat dikonversi seluas 13,67 juta hektar.
Sementara itu berdasarkan hasil-hasil penelitian dari berbagai sumber mengungkapkan bahwa hutan dan perairan Indonesia memiliki kekayaan alam hayati yang tinggi, tercermin dengan keanekaragaman, ekosistem, jenis satwa dan flora. Sejauh ini kekayaannya terinventarisir dengan jumlah mamalia 515 jenis atau sekitar 12 % dari jenis mamalia dunia, 511 jenis reptilia sekitar 7,3 persen dari jenis reptilia dunia, 1531 jenis burung sekitar 17 % jenis burung dunia, 270 jenis amphibi, 2827 jenis binatang tak bertulang serta sebanyak 38.000 jenis tumbuhan.
Terungkap juga bahwa pemanfaatan hutan secara komersial terutama pada kawasan hutan alam, sejak tahun 1967 telah menempatkan kehutanan sebagai penggerak perekonomian nasional. Indonesia telah berhasil merebut pasar ekspor kayu tropis dunia diawali dengan ekspor kayu bulat, kayu kergajian, kayu lapis, dan produk kayu lainnya. Selama 1992 – 1997 tercatat devisa sebesar US$ 16.0 milyar, dengan kontribusi terhadap PDB termasuk industri kehutanan rata-rata sebesar 3,5 persen. Kendati dmeikian masa keemasan industri kehutanan dari sisi produksi dan pengolahan hasil hutan kayu dari hutan alam mulai tahun 1990 mengalami penurunan termasuk diantaranya pemberantasan illegal logging secara besar-besaran di tanah air.
Penurunan kontribusi industri kehutanan diimbangi dengan peningkatan hasil hutan bukan kayu. Kontribusi hasil hutan bukan kayu seperti rotan, arang dan damar tahun 1999 tercatat US$ 8,4 juta dan pada tahun 2002 meningkat menjadi US$ 19,74 juta, sedangkan kontribusi perdagangan satwa dan tumbuhan pada tahun 1999 sebesar US $ 61,3 ribu, meningkat tajam menjadi US$ 3,34 juta pada tahun 2003.
Pembangunan Hutan Tanaman Industri menunjukkan angka yang signifikan sejak tahun 1989- 2003 tercatat sebanyak 96 unit HTI yang diberi izin areal seluas 5,4 juta hektar dan hingga akhir tahun 2004 baru terealisasi 3,12 juta hektar dan mampu menyerap jumlah tenaga kerja sekitar 3 juta orang.
Petani Pengelola Hutan
Anti klimaks dari protes masyarakat terhadap pengelolaan HTI dan HPH sebenarnya berawal dari tidak dilibatkannya masyarakat sekitar dalam hal pengelolaan hutan berbasis kesesjahetraan masyarakat.
Paradigma baru pembangunan sektor kehutanan dalam bentuk program Hutan Tanaman Rakyat (HTR) adalah salah satu dari sekian banyak program yang bisa digalakkan secara berkelanjutan dalam program pembangunan sumberdaya hutan yang lestari.
Sekadar mengingatkan CIFOR (2004) dan BPS (2000) menggambarkan bahwa kurang lebih 48.8 juta jiwa dari 220 juta penduduk Indonesia tinggal di sekitar kawasan hutan dan sekitar 10.2 juta diantaranya tergolong dalam katagori miskin, dan diperkirakan saat ini sekitar 38,5 juta orang merupakan penduduk sekitar hutan yang miskin.
Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM diupayakan untuk meningkatkan peran serta masyarakat melaui pemberian hak kepada masyarakat untuk mengelola industri kehutanan. Masyarakat diberi lahan pengelolaan hutan, dengan pola tumpang sari dengan memanfaatkan pola tanam tanaman hutan dan non hutan (jagung, padi atau tanaman non kehutanan yang komersial lainya), pengembangan kelembagaan kelompok tani, pengelolaan komponen-komponen produksi hutan selama daur melalui pola bagi hasil yang proporsional dan berkedilan, ataupun pola lainnya yang memungkinkan.
Program Social Forestry yang telah dicanangkan Presiden 2 Juli 2003 di Palangkaraya, dimaksudkan untuk memberi kesempatan kepada masyarakat setempat sebagai pelaku dan atau mitra utama dalam pengelolaan sumberdaya hutan. Social Forestry dikembangkan untuk meningkatkan masyarakat dalam pengelolaan hutan melalui pengembangan kelola lahan, kelola usaha dan kelola kelembagaan. Social Forestry ini dapat dikembangkan di berbagai fungsi kawasan hutan Hutan Lindung, Hutan Produksi, Hutan Konservasi dengan tanpa merubah fungsi dan status kawasannya.
Proses ekosistem esensial harus berjalan optimal dan keanekaragaman hayati sumberdaya hutan terjaga, keanekaragaman sumberdaya hutan terjaga dan terlindunginya p engembangan usaha-usaha konservasi sumberdaya alam hutan di Indonesia harus dipadukan dengan prinsip pemanfaatan yang lestari dan mendapat dukungan dari berbagai pihak dan dijadikan salah satu alat diplomasi Indonesia dalam meningkatkan citra negara, kerjasama teknologi global, dan perekonomian negara sesuai dengan target pembangunan global yang berkelanjutan (MDGs). Petani dalam hal ini merupakan salah satu faktor kunci penting dalam pembangunan global.
HTI dan Masa Depan Industri Kertas
Pada tahun 2003 konsumsi kertas nasional mencapai 5, 31 juta ton meningkat menjadi 5, 40 juta ton tahun 2004 dan tingkat pemakaian kertas dalam negeri mencapai 5,61 juta ton tahun 2005 dan tahun 2010 diperkirakan mencapai 6,45 juta ton.
Dalam industri bubur kertas, Indonesia menduduki peringkat kesembilan, mengisi sekitar 2,4 persen pangsa pasar bubur kertas dunia. Sementara dalam industri kertas, posisi Indonesia hanya menjadi negara ke-12 terbesar dalam produksi kertas, akibat kecenderungan untuk mengekspor bubur kertas dibanding memproduksi kertas sendiri. Dalam posisi itu, Indonesia memasok 2,2 persen pangsa pasar kertas dunia. Persoalannya, industri kertas adalah industri yang menghabiskan banyak kayu hutan. Alternatif terbaik yang bisa dilakukan industri kertas adalah memenuhi sendiri kebutuhannya dengan menanam HTI
Data Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan Dephut menunjukkan, hingga Desember 2008 realisasi pembangunan HTI telah mencapai 4,2 juta hektar. Pencapaian pembangunan 4,2 juta ha HTI terdiri dari penanaman tanaman pokok seluas 3,7 juta hektar, tanaman unggulan 260.000 hektar, tanaman kehidupan 125.000 hektar serta tanaman kemitraan 160.000 hektar. Apabila program ini terus berlanjut pada pemerintahan berikutnya, bisa dipastikan tekanan atau penebangan pada hutan alam akan berkurang, karena pasokan kayu HTI cukup untuk memenuhi kebutuhan industri, menggantikan kayu hutan alam. HTI saat ini juga dijadikan untuk proyek karbon bahkan pihak Kementrian Kehutanan saat ini tengah mengumpulkan data mengenai potensi penyerapan karbon di HTI, termasuk memetakan lokasi atau area HTI yang layak dijual dalam proyek karbon. Dephut menetapkan bahwa di dalam konsesi HTI harus ada kawasan lindung atau kawasan konservasi yang tetap terjaga dimana luasnya sekurang-kurangnya 10 persen dari total luas konsesi HTI.
Pemerintah juga memiliki program Pengembangan Hutan Tanaman Rakyat hingga tahun 2015 dengan target 5,4 juta hektar, Hutan Desa sampai dengan tahun 2015 dengan target 2,1 juta hektar dan Hutan Kemasyarakatan sampai dengan tahun 2015 dengan target 2,1 juta hektar.
Departemen Kehutanan juga telah berupaya menurunkan laju deforestasi dan degradasi hutan dan lahan dari 2,83 juta hektar/tahun pada tahun 1999-2000 menjadi 1,08 juta hektar/tahun pada tahun 2000-2006, menurunkan lahan yang terdegradasi atau kritis dari 59,3 juta hektar sebelum tahun 2005 menjadi 30 juta hektar setelah tahun 2005. Menurunkan tingkat pencurian kayu dan perdagangan kayu illegal dari 9.600 kasus pada akhir tahun 2004 menjadi 300 kasus pada akhir tahun 2008, serta mengendalikan tingkat kebakaran lahan dan hutan dengan menurunkan jumlah hotspot dari 121.622 titik pada tahun 2006 sebanyak 27.247 titik tahun 2007 dan hingga 11 November 2008 terpantau 17.020 titik. Dibandingan tahun 2006 di propinsi rawan kebakaran, pada tahun 2007 terjadi penurunan hotspot sebesar 78 persen dan pada tahun 2008 terjadi penurunan hotspot sebesar 86 persen (Dephut, 2009).
Langkah selanjutnya, Departemen Kehutanan mengajak seluruh komponen bangsa melakukan kegiatan penanaman serentak secara nasional yang telah dimulai sejak tahun 2007 dengan target sebanyak 79 juta pohon, dan tahun 2008 dengan target sebanyak 100 juta pohon. Realisasinya, target-target tersebut ternyata terlampaui. Pohon yang berhasil ditanam melebihi target yang dicanangkan. Penanaman serentak secara nasional tahun 2007 terealisasi 86,9 juta pohon. Gerakan Perempuan Tanam dan Pelihara Pohon tahun 2007 sebanyak 10 juta batang, terealisasi 14,1 juta batang. Gerakan Penanaman Serentak 100 juta pohon tahun 2008 telah terealisasi sebanyak 109 juta batang lebih dari 100 persen. Gerakan Perempuan Tanam dan Program Ketahanan Pangan (GPT-PKP) juga terealisasi lebih dari 100 persen yaitu sebanyak 5.083.467 batang dari rencana 5.010.000 batang. Demikian juga kerjasama kemitraan dengan berbagai ormas keagamaan dalam penanaman pohon, telah menanam 700 juta batang pohon. Ditargetkan tahun 2010 sebanyak 1 milyar pohon akan ditanam di berbagai penjuru tanah air termasuk pada kawasan mangrove (bakau).
Dengan kondisi demikian bangsa ini harus memiliki komitmen yang tinggi dalam melestarikan sumberdaya hutan yang berkelanjutan, hutan yang lestari menjamin kesejahteraan rakyat.(***)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar