Selasa, 19 Oktober 2010

MODEL

Model Belajar dan Pembelajaran KTSP
Oleh: Nelson Sihaloho

Pengantar

Kurikulum 2004 berbasis kompetensi (KBK) dan diperbaharui dengan Kurikulum 2006 (KTSP), telah berlaku selama 4 tahun telah seharusnya dilaksanakan secara utuh oleh semua sekolah.
Kenyataannya pelaksanaan KTSP di sekolah masih belum berjalan dengan optimal bahkan kurang memperhatikan ketercapaian kompetensi siswa. Hal itu terlihat  pada rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP)  yang dibuat oleh guru. Ironisnya cara guru mengajar di kelas masih tetap menggunakan model lama yaitu metode ceramah-ekspositori. Dominasi guru masih mewarnai sistem pembelajaran di Indonesia. Nampaknya paradigma lama masih melekat karena kebiasaan yang susah diubah, paradigma mengajar masih tetap dipertahankan dan belum berubah menjadi peradigma membelajarkan siswa.
Padahal tuntutan kualitas sumber daya manusia (SDM) dibidang pendidikan semestinya melalui rekayasa dan skenario pembelajaran  bermutu di kelas dengan tugas pelayanannya sebagai  aktor yang mampu memberikan kecakapan hidup (life skill) untuk bekal hidup anak didiknya di masa mendatang.
Minimnya penghargaan terhadap profesi guru meskipun melalui uji sertifikasi dalam jabatan dengan plus tunjangan sertifikasi apabila guru sudah lolos justeru menimbulkan permasalahan baru di dunia pendidikan kita dewasa ini. Selain itu guru dihadapkan dengan tuntutan serta biaya hidup yang teru mengalami kenaikan sifgnifikan yang berujung pada minimnya peningkatan kualitas pembelajaran yang mereka lakukan.
Untuk mengubah permsalahan dan kebiasaan perilaku guru dalam kelas, mengubah paradigma mengajar menjadi membelajarkan, sehingga misi KTSP dapat terlaksana. Melalui  paradigma diharapkan guru menjadi aktif dalam menerapkan model-model pembelajaran  sehingga siswa lebih aktif dalam belajar khususnya mewujudkan pendidikan bermutu.
Tujuan pembelajaran dapat dilakukan apabila dipadukan dengan metode  membelajarkan siswa secara efisien sehingga tujuan pembelajaran dapat dicapai secara efektif.

Tinjauan Empirik

Beberapa model belajar seperti  Peta Pikiran Buzan (1993) mengemukakan bahwa otak manusia bekerja mengolah informasi melalui mengamati, membaca, atau mendengar tentang sesuatu hal berbentuk hubungan fungsional antar bagian (konsep, kata kunci), tidak parsial terpisah satu sama lain dan bukan dalam bentuk narasi kalimat lengkap.
Lebih lanjut Buzan menyatakan bahwa cara belajar siswa yang alami (natural) adalah sesuai dengan cara kerja otak seperti diatas berupa pikiran yaitu  produknya berupa peta konsep. Dengan demikian belajar akan efektif dengan cara membuat catatan kreatif yang merupakan peta konsep, sehingga setiap konsep utama yang dipelajari semuanya teridentifikasi tidak ada yang terlewat dan kaitan fungsionalnya jelas, kemudian dinarasikan dengan gaya bahasa masing-masing. Dengan demikian konsep mendapat retensi yang kuat dalam pikiran, mudah diingat dan dikembangkan pada konsep lainnya.
Buzan juga menegaskan bahwa kemampuan otak manusia dapat memproses informasi berupa bahasa sebanyak 600 hingga 800 kata permenit. Dengan kemampuan otak seperti itu dibandingkan dengan kemampuan komputer sangat tinggi.
Apabila benar-benar dimanfaatkan secara optimal, setiap kesempatan dapat dimanfaatkan untuk pembelajaran diri dalam segala hal.
Selanjutnya adalah  Kecerdasan Ganda  yang dipelopori Goldman (2005) mengemukakan bahwa struktur otak, sebagai instrumen kecerdasan, terbagi dua menjadi kecerdasan intelektual pada otak kiri dan kecerdasan emosional pada otak kanan. Kecerdasan intelektual mengalir-bergerak (flow) antara kebosanan bila tuntutan pemikiran rendah dan kecemasan bila terjadi tuntutan banyak. Bila terjadi kebosanan otak akan mengisinya dengan aktivitas lain, jika positif akan mengembangkan penalaran akan tetapi jika diisi dengan aktivitas negative. Sebaliknya apabila tuntutan kerja otak tinggi akan terjadi kecemasan-kelelahan. Kondisi ini akan bisa dinetralisir dengan relaksasi melalui penciptaan suasana kondusif, seperti keramahan, kelembutan, senyum-tertawa, suasana nyaman dan
Menyenangkan atau meditasi keheningan kepada sang Pencipta.
Aktivitas aktivitas harus dibarengi dengan aktivitas otak kanan. Sel syaraf pada otak kiri berfungsi sebagai alat kecerdasan yang sifatnya logis, sekuensial, linier, rasional, teratur, verbal, realitas, ide, abstrak, dan simbolik. Sedangkan sela syaraf
otak kanan berkaitan dengan kecerdasan yang sifatnya acak, intuitif, holistic, emosional, kesadaran diri, spasial, musik,
dan kreativitas. Penting untuk diketahui bahawa kecerdasan intelkektual berkontribusi untuk sukses individu sebesar 20persen sedangkan kecerdasan emosional sebesar 40 persen, siswanya sebanyak 40 persen dipengaruhi oleh hal lainnya.
Selain itu masih ada kecerdasan lainnya yaitu kecerdasan Spritual. Menurut Ary Ginanjar (2002) dan Jalaluddin Rahmat (2006) Kecerdasan Spiritual (nurani keyakinan) atau kecerdasan fitrah yang berkenaan dengan nilai-nilai kehidupan beragama.
Gardner (1983) mengemukakan tentang kecerdasan ganda yang sifatnya mulkti dengan akronim Slim n Bill, yaitu Spacial-visual , Linguistic-verbal, Interpersonal-communication, Musical-rithmic, natural, Body-kinestic, Intrapersonalreflective,
Logic-thinking-reasoning.
Metakognitif bisa diterjemahkan secara bebas sebagai kesadaran berfikir, berpikir tentang apa yang dipikirkan dan bagaimana proses berpikirnya, yaitu aktivitas individu untuk memikirkan kembali apa yang telah terpikir serta berpikir dampak sebagai akibat dari buah pikiran terdahulu.
Sharples & Mathew (1998) mengemukakan pendapat bahwa metakognitrif dapat dimanfaatkan untuk menerapkan pola pikir pada situasi lain yang dihadapi. Kemampuan metakognitif setiap individu akan berlainan, tergantung dari variabel meta kognitif, yaitu kondisi individu, kompleksitas, pengetahuan, pengalaman, manfaat, dan strategi berpikir.
Holler, dkk. (2002) mengemukakan bahwa aktivitas metakognitif tergantung pada kesadaran individu, monitoring, dan regulasi. Komponen meta kognitif menurut Sharples & Mathew ada 7  yaitu,  refleksi kognitif, strategi, prediksi, koneksi, pertanyaan, bantuan, dan aplikasi.
Sedangkan Holler berpendapat tentang komponen metakognitif, yaitu  kesadaran, monitoring, dan regulasi. Metakognitif bisa digolongkan pada kemampuan kognitif tinggi karena memuat unsure  analisis, sintesis, dan evaluasi sebagai cikal bakal tumbuhkembangnya kemampuan inkuiri dan kreativitas.
Karena itu pelaksanaan pembelajaran semestinya membiasakan siswa untuk melatih kemampuan metakognitif ini, tidak hanya berpikir sepintas dengan makna yang dangkal.

Komunikasi dan Kebermaknaan

Dalam proses belajar pasti  tidak terlepas dari komunikasi antar siswa, siswa dengan fasilitas belajar, ataupun dengan guru. Kemampuan komunikasi setiap individu akan mempengaruhi proses dan hasil belajar yang bersangkutan dan membentuk kepribadiannya, ada sebagian individu yang memiliki pribadi positif dan negatif.
Hasil penelitian Jack Canfield (1992), bahwa seorang anak ayang masih polos-natural, setiap hari biasa menerima 460 komentar negatif dan 75 koentar positif dari oarng yang lebih tua dalam kehidupannya. Akibatnya sungguh mengejutkan, anak yang pada awalnya secara alami penuh keyakinan, keberanian, suka tantangan, ingin mencoba, ingin tahu dengan pengaruh komunikasi negatif yang lebih dominan dari orang sekelilingnya, ternyata lama kelamaan keyakinannya terguncang dan rasa percaya dirinya menurun, sehingga dia tumbuh menjadi penakut, pemalu, ragu-ragu, menghindar, membiarkan, dan cemas. Dampak selanjutnya pada waktu bersekolah, belajar menjadi beban dan rasa percaya dirinya berkurang.
Dalam belajar apapun, belajar efektif (sesuai tujuan) semestinya bermakna. Agar bermakna, belajar tidak cukup dengan hanya mendengar dan melihat tetapi harus dengan melakukan aktivitas (membaca, bertanya, menjawab, berkomentar, mengerjakan, mengkomunikasikan, presentasi, diskusi).
Selanjutnya, Vernon A Madnesen (1983) san Peter Sheal (1989) mengemukakan bahwa kebermaknaan belajar tergantung bagaimana cbelajar. Jika belajar hanya dngan membaca kebermaknaan bisa mencapai 10 persen, dari mendengar  20 persen, dari melihat 30 persen, mendengar dan melihat 50 persen, mengatakan-komunikasi mencapai 70 persen dan belajar dengan melakukan dan mengkomunikasikan bisa mencapai 90 persen.
Intinya implikasi terhadap pembelajaran adalah bahwa kegiatan pembelajaran identik dengan aktivitas siswa secara optimal, tidak cukup dengan mendengar dan melihat, tepai harus dengan hands-on, minds-on, konstruksivis, dan daily life (kontekstual).
Dalam paradigma pembelajaran, guru menyajikan persoalan dan mendorong (encourage) siswa untuk mengidentifikasi, mengeksplorasi, berhipotesis, berkonjektur, menggeneralisasi, dan inkuiri dengan cara mereka sendiri untuk menyelesaikan persoalan yang disajikan. Hal inilah yang disebut dengan konstruksivisme dalam pembelajaran, dan memang pembelajaran pada hakikatnya adalah konstruksivisme, karena pembelajaran adalah aktivitas siswa yang sifatnbya proaktif dan reaktif dalam membangun pengetahuan. Agar konstruksicvisme dapat terlaksana secara optimal.
Confrey (1990) menyarankan konstruksivisme secara utuh (powerfull constructivism), yaitu konsistensi internal, keterpaduan, kekonvergenan, refeleksi-eksplanasi, kontinuitas historical, simbolisasi, koherensi,
tindak lanjut, justifikasi, dan sintaks (SOP)
Model belajar lainnya adalah prinsip belajar aktif.  Prinsip belajar yang dikemuakan oleh Treffers (1991) adalah memiliki indikatro mechanistic (latihan, mengerjakan), structuralistic (terstrutur, sitematik, aksionmatik), empiristic (pengelaman induktif-deduktif), dan realistic-human activity (aktivitas kehidupan nyata). Prisip tersebut akan terwujud dengan melaksanakan pembelajaran dengan memperhatikan keterlibatan intelektual-emosional, kontekstual-trealistik, konstruksivis-inkuiri, melakukan-mengkomunikasikan, dan inklusif life skill.

Model-Model Pembelajaran

Beberapa model pembelajaran, untuk dipilih dan dijadikan alternatif sehingga cocok untuk situasi dan kondisi yang dihadapi adalah Model Koperatif (CL, Cooperative Learning),  Kontekstual (CTL, Contextual Teaching and Learning, RME    (Realistic Mathematics Education) yang dikembangkan oleh Sigmund Freud.
Kemudian ada  Pembelajaran Langsung (DL, Direct Learning,  Pembelajaran Berbasis Masalah (PBL, Problem Based Learning. Problem Solving,  Problem Posing (Elaborasi), Problem Terbuka (OE, Open Ended) ,  Probingprompting,  Pembelajaran Bersiklus (cycle learning) yang dipelopori oleh Ramsey (1993.
Menyusul selanjutnya adalah model  Reciprocal Learning dipelopori Weinstein & Meyer (1998), Resnik (1999) dan  Donna Meyer (1999). Model  SAVI (Somatic, Auditory, Intellectualy), TGT (Teams Games Tournament), VAK (Visualization, Auditory, Kinestetic),  AIR (Auditory, Intellectualy, Repetition),  TAI (Team Assisted Individualy), STAD (Student Teams Achievement Division).
Model selanjutnya  NHT (Numbered Head Together), Jigsaw Model, TPS (Think Pairs Share), GI (Group Investigation), MEA (Means-Ends Analysis), CPS (Creative Problem Solving), TTW (Think Talk Write), TS-TS (Two Stay – Two Stray), CORE (Connecting, Organizing, Refleting, Extending), SQ3R (Survey, Question, Read, Recite, Review), SQ4R (Survey, Question, Read, Reflect, Recite, Review, MID (Meaningful Instructionnal Design), Model KUASAI Pembelajaran , CRI (Certainly of Response Index),  DLPS (Double Loop ProblemSolving), DMR (Diskursus Multy Reprecentacy), CIRC (Cooperative, Integrated, Reading, and Composition), IOC (Inside Outside Circle), Tari Bambu Model, Debat, Role Playing, Talking Stick,  Snowball Throwing, Student Facilitator and Explaining, Course Review Horay, Demostration, Explicit Instruction, Scramble, Pair Checks.
Kemudian model Make-A Match, Mind Mapping, Examples Non Examples, Picture and Picture, Cooperative Script, LAPS-Heuristik, Improve, Generatif Basic, Circuit Learning, Complette Sentence, Concept Sentence, Time Token Model, Take and
Give, Superitem, Hibrid Model, Treffinger, Kumon (konsep, ketrampilan, kerja individual, dan menjaga suasana nyaman-menyenangkan serta Quantum Learning. Memandang pelaksanaan pembelajaran seperti permainan musik orkestra-simfoni. Guru harus menciptakan suasana kondusif, kohesif, dinamis, interaktif, partisipatif, dan saling menghargai. Prinsip quantum adalah semua berbicara-bermakna, semua mempunyai tujuan, konsep harus dialami, tiap usaha siswa diberi reward. Strategi quantum adalah tumbuhkan minat dengan AMBak, alami-dengan dunia realitas siswa, namai-buat generalisasi sampai konsep, demonstrasikan melalui presentasi-komunikasi, ulangi dengan Tanya jawab-latihan-rangkuman, dan rayakan dengan reward dengan senyum-tawa-ramah-sejuk-nilai-harapan. Rumus quantum fisika asdalah E = mc2, dengan E = energi yang diartikan sukses, m = massa yaitu potensi diri (akal-rasa-fisik-religi), c = communication, optimalkan komunikasi + dengan aktivitas optimal. E. Penutup Kehidupan akan terasa indah ap[abila ada variasi, sebaliknya akan terasa membosankan jika segalanya monoton tak berubah. Perubahan kea rah perbaikan adalah tuntutan alamiah yang menjadi kebutuhan setiap insane dalam setiap kehidupan. Manusia telah dibekali akal dan rasa untuk berkreasi, menciptakan inovasi, agar segalanya berubah ke arah yang lebih baik dengan ikhtiar mulai dari diri sendiri. Begitu pulal dalam pembelajaran, penciptaan suasan kondusif perlu dilakukan, karena unsur rasa dalam berpikir selalu turut serta dan tak bisa dipisahkan. Oleh karena itu penciptaan suasana kondusif perlu dilakukan sehingga dalam belajar siswa tidak lagi merasa cemas, tidak lagi takut dalam berpartisipasi, tidak lagi dirasakan sebagai kewajiban, melainkan menjadi kesadaran dan kebutuhan, dalam suasana perasaan yang nyaman dan menyenangkan. Salah satu cara untuk menciptakan suasan yang nyaman dan menyenangkan sert terhindar dari kebosanan adalah dengan memahami dan melaksanakan model belajar yang dilakukan siswa, komunikasi positif yang efektif, dan model pembelajaran yang inovatif. Semoga.

Daftar Pustaka
Ary Ginanjar Agustian (2002). Emotional Spritual Quotient (ESQ). Jakarta: Arga. Burton, L (1993). The Constructivist Classroom Education in Profile. Perth: Edith Cowan University.
Buzan, Tony (1989). Use Both Sides of Yoru Brain, 3rd ed. New York: Penguin Books. Cord (2001). What is Contextual Learning. WWI Publishing Texas: Waco.
De Porter, Bobbi (1992). Quantum Learning. New York: Dell Publishing.
Ditdik SLTP (2002). Pendekatan Kontekstual (Contextual Teaching and Learning, CTL). Jakarta.:Depdiknas.
Erman, S.Ar., dkk. (2002). Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. Bandung: JICA-FPMIPA.
Gardner, Howard (1985). Frame of Mind: The Theory of Multiple Ilntelligences. New York: Basic Bools.
Goleman, Daniel (1995). Emotional Intelligence. New York: Bantam Books.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar