Selasa, 19 Oktober 2010

EKONOMI RAKYAT

Ekonomi Kerakyatan Tak Kunjung Berpihak Pada Rakyat
Oleh : Nelson Sihaloho
Sejak tahun 2000 produk  domestik bruto (PDB) nasional terus meningkat dan pada tahun 2004 tercatat sekitar 5,1 persen dan 5,6 persen pada tahun 2005. Menurut  Lembaga Moneter Internasional (IMF) pada tahun 2006 pertumbuhan ekonomi Indonesia sedikit lebih rendah dari tahun  sebelumnya dan sedikit lebih baik pada tahun 2007.
Masa Orde Baru Indonesia  menikmati pertumbuhan ekonomi yang dianggap banyak kalangan menakjubkan yaitu 7 persen per tahun dan  jumlah orang yang hidup dibawah garis kemiskinan juga mengalami penurunan yang cukup signifikan, sehingga pertumbuhan  ekonomi pada waktu berpihak kepada rakyat banyak.
Namun beberapa tahun belakangan ini masalah kemiskinan dan pengangguran terus melilit persoalan bangsa.  Kesempatan dan peluang kerja semakin sempit bahkan jutaan tenaga kerja produktif menjadi pengangguran tak kentara hampir merata diseluruh tanah air.  
Tingkat pengangguran terbuka di Indonesia terus meningkat.  Pada tahun 1995, jumlah penganggur tercatat sebanyak  6,3 juta orang dan sewaktu krisis (1998-1999) jumlah pengangguran sekitar 6 juta orang dan pada  tahun 2005 mencapai 11,9 juta orang.
Berdasarkan data BPS, pertumbuhan PDB berkorelasi positif dengan peningkatan jumlah orang yang tidak mendapat pekerjaan. Pada tahun 2001 misalnya  PDB tumbuh sekitar 3,8 persen meningkat menjadi 5,6 persen tahun 2005. Sementara tingkat pengangguran juga bertambah selama periode yang sama dari 8,1 persen menjadi 11,4 persen.
Jumlah orang miskinpun cenderung meningkat kembali dimana hingga Maret 2006 tercatat sekitar 39 juta jiwa, atau hampir 17,8 persen dari jumlah penduduk Indonesia masuk kategori miskin. Sebagian besar dari jumlah penduduk miskin itu terdapat di perdesaan  dan struktur kemiskinan mencerminkan pembangunan ekonomi yang selama ini diterapkan timpang. Di perdesaan kesempatan kerja masih didominasi oleh sektor pertanian yang menghasilkan nilai tambah dan upah relatif rendah.
Besarnya angka kemiskinan di perdesaan juga mencerminkan masih banyaknya jumlah desa tertinggal di Indfonesia.  Pada tahun 2004 jumlah desa tertinggal mencapai 11.258. Banyak faktor penyebab desa-desa tertinggal, diantaranya lahan yang tidak subur, miskin sumber daya alam, secara geografi sangat terisolasi, budaya masyarakat lokal yang tidak mendukung kreativitas dan etos kerja yang tinggi serta ketidak pedulian pemerintah lokal.
Azas Adil Makmur Milik “Koruptor”
Dari berbagai kasus-kasus korupsi yang rutin setiap hari ditayangkan di televisi para oknum pelaku korupsi adalah kaum-kaum intelektual dengan titel akademik tinggi mulai dari S1,S2,S3 hingga Professor. Dana-dana yang dikorupsi bahkan ada yang  melebihi 100 kali lipat dari rata-rata gaji yang diterimanya setiap tahun setelah dikurangi biaya hidup rata-rata per tahun. Apabila seseorang hanya bergaji Rp. 5 juta/ bulan  paling banter satu tahun hanya mampu menabung Rp. 4 juta.
Oknum anggota DPR pun sibuk dengan urusan politiknya, padahal janji-janji mereka kepada rakyat beragam bentuknya mulai dari stabilitas harga-harga sembako, membuka lapangan kerja  hingga peningkatan kesejahteraan rakyat.Para aparat penegak hukumpun demikian diduga sibuk bagaimana caranya “mengaburkan” kasus-kasus korupsi menjadi tontonan rakyat namun pada akhir putusan “melenceng”.
Tak ayal semua instansi dinegara ini nyaris semuanya tidak pernah steril dari korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). BUMN terus merugi dana kerugiannyapun terus ditalangi oleh pemerintah. Bagaimana dengan rakyat miskin? Fakta dan kejadian yang sering terjadi dilapangan malah dana beras miskinpun disunat oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab.
Para pemimpin pun sibuk menggulirkan program ekonomi kerakyatan. Ekonomi kerakyatannya diprogram sedemikian apiknya, pencapaian sasarannya termasuk anggaranpun diplot menjadi sebuah angka-angka yang membuat silau mata rakyat akan janji-janji program ekonomi kerakyatan itu. Tidak salah memang jika para kalangan rakyat kecil selalu menggerutu bahwa keadilan dan kemakmuran itu adalah milik oknum “koruptor”.
“Salah Urus”
Kemiskinan merupakan suatu fenomena atau proses multidimensi yang disebabkan oleh banyak faktor  (World Bank, 2000). Fenomena kemiskinan di Indonesia tidak dapat dipahami sepenuhnya tanpa memahami fenomena kemiskinan di perdesaan maupun  sektor pertanian.
Petani dihadapkan kepada masalah tingginya harga pupuk dan obat-obatan sementara nilai jual produk petani tidak sebanding dengan biaya produksi (cost) yang dikeluarkan. Padahal sektor pertanian merupakan sektor yang paling banyak meyerap lapangan pekerjaan.
Sumber pendapatan utama sebagian besar rumah tangga di perdesaan berasal dari bertani. Tercatat sebesar 46,3 persen sedangkan di perkotaan sebaliknya, hanya sekitar 6 persen. Jumlah rumah tangga di perdesaan sumber pendapatannya di pertanian cukup besar, yakni sekitar 13,2 persen bahkan sekitar 2,6 persen dari jumlah rumah tangga di perkotaan juga sangat tergantung pada pertanian.
Orang miskin diperkotaan sumber pendapatan utamanya adalah pertanian hal itu terlihat dari aktivitas mereka dipinggiran kota yang menanam berbagai aneka ragam tanaman palawija. Bagi rakyat miskin tidak ada hubungan dilantiknya Kepala Dinas Pertanian dengan peningkatan pendapatan mereka termasuk pembangunan sarana jalan tol atau perluasan bandara. Setiap hari para petani bergelut dengan peluh, panas matahari, hujan untuk mengubah nasib mereka keluar dari masalah kemiskinan. Lahan sempit yang mereka miliki harus sebisa mungkin diolah menjadi produktif.
Disinilah banyak program-program yang digulirkan oleh pemerintah tentang ekonomi kerakyatan itu diduga “salah urus”. Mengapa rakyat-rakyat yang berada dipinggiran perkotaan itu kita biarkan terus “miskin” dan  mengapa program pengentasan kemiskinan itu programnya tidak menyentuh orang-orang pinggiran itu.
Mengapa justeru kita biarkan pemerintah terus membangun proyek-proyek multi years, mega proyek, bila perlu menggusur lahan rakyat sementara kita membiarkan masyarakat miskin terus bergelut hidup pahit dan getir dengan kondisi gubuk/pondok yang memprihatinkan.  
Salah satu penyebab rendahnya produktivitas atau dominannya rumah tangga miskin di pertanian adalah distribusi lahan pertanian yang sangat timpang meskipun Indonesia telah memiliki Undang-Undang Agraris yang mengatur pembagian lahan secara adil.
Data dari Sensus Penduduk  menunjukkan bahwa pertanian di Indonesia didominasi oleh petani skala kecil dan jumlah ini meningkat  terus. Pada tahun 2003 dari 25,437 juta petani yang menggunakan/memiliki lahan, 13.663 juta atau hampir 57%-nya adalah petani marjinal/gurem dengan lahan lebih kecil dari 0,5 hektar atau tanpa lahan. Pada tahun 1993 jumlah petani yang memiliki lahan tercatat sekitar 20,518 juta orang atau tumbuh 1,8% per tahun, di mana jumlah petani gurem sebanyak 10,804 juta atau bertambah 2,6% per tahun selama periode 1993-2003. Di Jawa, di mana sebagian besar dari jumlah penduduk Indonesia dan kemiskinan terkonsentrasi, jumlah petani marjinal naik 2,4% per tahun.
Menuurt Masondan Baptist (1996) Petani-petani gurem dan buruh tani (petani tanpa memiliki tanah) dengan pendapatan terendah di sektor pertanian diidentifikasi sebagai penyebab sebagian besar kemiskinan di perdesaan .
Kesalahan pemerintah Indonesia adalah pada awal pembangunan, atau tidak lama setelah Kemerdekaan 1945 tidak melakukan reformasi pembagian lahan pertanian, yang dikenal dengan sebutan land reform, dan jika dilakukan saat ini sudah sangat terlambat karena hanya akan menghadapi hambatan-hambatan dari pihak tertentu yang merasa dirugikan oleh kebijakan-kebijakan baru.
Data BPS (SP) menunjukkan bahwa sebagian besar dari petani di Indonesia berpendidikan hanya sekolah dasar yaitu 44,98 persen  dan tidak berpendidikan formal sekitar 31,62 persen serta hanya sekitar 1,69 persen  dari jumlah petani yang ada pada tahun 2003 mempunyai diploma pendidikan tersier . Tidak diragukan, kondisi ini menjadi salah satu penyebab kemiskinan di sektor pertanian di Indonesia selama ini. Usaha pemerintah untuk membuka kesempatan lebih besar bagi pelaku usaha di sektor pertanian untuk mendapatkan pendidikan yang lebih baik adalah suatu langkah konkrit yang sangat diperlukan, dan kebijakan ini bisa membantu untuk
Merosotnya nilai tukar petani (NTP) juga merupakan penyebab kemiskinan di pertanian selama ini. Secara teori, kesejahteraan petani akan meningkat apabila selisih antara hasil penjualannya dan biaya produksinya bertambah besar, atau nilai tambahnya meningkat. Intinyai besar kecilnya nilai tambah petani ditentukan oleh besar kecilnya NTP. Dalam data BPS, NTP ditunjukkan dalam bentuik rasio antara indeks harga yang diterima petani, yakni indeks harga jual outputnya, terhadap indeks harga yang dibayar petani, yakni indeks harga input-input yang digunakan untuk bertani, misalnya pupuk, pestisida, tenaga kerja, irigasi, bibit, sewa traktor, dan lainnya..Berdasarkan rasio ini, maka dapat dikatakan semakin tinggi NTP semakin baik profit yang diterima petani, atau semakin baik posisi pendapatan petani.
NTP yang cenderung terus menurun tidak lepas dari pengaruh dari sistem agrobisnis di Indonesia yang menempatkan  petani pada dua kekuatan ekplotasi ekonomi. Di sisi pengadaan input, petani menghadapi kekuatan monopolistik. Pada waktu bersamaan, di sisi penawaran yang berhubungan dengan pasar output, petani menghadapi kekuatan monopsonistis. Menurut data terakhir BPS, pada era pasca kenaikan harga BBM Oktober 2005, angka NTP merosot 2,39 persen. Pada Desember  2005, NTP tercatat 97,94 hal ini menunjukkan  indeks harga yang harus dikeluarkan petani lebih besar daripada indeks harga yang diterima. Dalam kata lain, angka ini menandakan bahwa petani tekor atau pendapatannya menurun.
Porsi terbesar dari nilai tambah peningkatan produktivitas usaha tani dinikmati mereka yang bergerak di luar usaha tani. Akibatnya, tingkat pendapatan riil petani kian tertinggal jauh dari pendapatan mereka yang ada pada sektor nonusaha tani.
Perlu Langkah Konkrit
Pemerataan dan pertumbuhan pembangunan merupakan dua sisi yang tidak bisa dipisahkan dalam pengentasan kemiskinan. Pembangunan sektor pertanian di kawasan perdesaan membutuhkan suatu terobosan baru melalui program aksi nyata. Sektor pertanian yang paling banyak menyerap tenaga kerja para petani harus mendapatkan kompensasi tanah secara adil. 
Selain itu pihak pemerintah harus memberikan akses terhadap petani untuk mendapatkan pinjaman dari bank dan lembaga keuangan lainnya termasuk dalam  pengurusan sertifikat tanah oleh petani harus dipermudah.
Membangun infrastruktur secara merata di seluruh perdesaan, seperti irigasi teknis, listrik, telekomunikasi, jalan raya, pelabuhan, pergudangan/fasilitas penyimpanan, dan fasilitas transportasi,  membangun lembaga-lembaga pendukung secara merata di semua pusat-pusat kegiatan pertanian seperti lembaga keuangan, pusat informasi, lembaga pelatihan/pendidikan/penyuluhan, pusat pengembangan bisnis, bengkel peralatan, lembaga pengembangan dan penelitian (R&D), pusat distribusi input maupun output.
Melibatkan petani dalam perencanaan, penyusunan dan pelaksanaan setiap kebijakan yang mempengaruhi secara langsung maupun tidak langsung kinerja pertanian,  meningkatkan kinerja perguruan tinggi dan lembaga-lembaga R&D dalam pengembangan/penyempurnaan teknologi, metode produksi, bibit dan input pertanian lainnya.
Program terobosan strategis lainnya yaitu perkuatan program pertanian yang adil dan merata, memiliki daya saing global harus terus dipacu mengingat era persaingan global terhadap produk-produk pertanian akan berjalan secara alamiah seiring dengan tuntutan maupun kondisi tata niaga pertanian yang transparan.
Banyaknya sarjana-sarjana pertanian yang menjadi pengangguran dan tidak ingin bekerja menjadi petani adalah akibat yang muncul kemudian diluar perkiraan. Sebab struktur tenaga kerja yang ingin mendapatkan uang dalam waktu cepat merupakan tuntutan yang harus dipenuhi dalam kehidupan sehari-hari. Sistem-sistem yang selama ini menghambat program pembangunan sektor pertanian di masa mendatang akan terus berlanjut sepanjang tidak ada kebijakan yang tegas dari pemerintah dalam pengentasan kemiskinan dan melidungi hak-hak petani atas tanah termasuk ekonomi kerakyatan.
Perusahaan-perusahaan konglomerasi yang banyak menguasai tanah dengan cakupan hingga puluhan ribu bahkan ratusan ribu hektar dengan orientasi ekspor pola komoditi unggulan menjadikan petani berada pada posisi “terjepit”. Pada akhirnya jika hal demikian terus berlanjut  pembangunan ekonomi kerakyatan justeru bukan berpihak kepada rakyat melainkan berpihak kepada “rakyat kaya” dan “rakyat jelata” menjadi tertindas. Semoga ada kebijakan yang tegas dari pemerintah sehingga pembangunan ekonomi kerakyatan yang diprogramkan benar-benar berpihak kepada rakyat. Bila memang terjadi kesalah urusan dalam program pembangunan ekonomi kerakyatan itu harus diperbaiki, pemerintah harus meningkatkan legitimasi sebagai pañata, pengatur, menegakkan hukum dan undang-undang yang berpihak kepada rakyat. Tidak boleh sampai terjadi kalangan pengusaha mengatur pemerintah untuk menyengsarakan rakyat.(***). 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar