Kebijakan Iklim Investasi Perlu Diperbaiki
Oleh: Nelson Sihaloho
Banyak kalangan mengatakan fektivitas dari kebijakan investasi sangat dipengaruhi oleh kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah, mentalitas, sistim pelayanan, birokrasi, investasi yang ditawarkan hingga ke urusan memorandum of understanding (MoU), kondisi keamanan hingga urusan perburuhan. Meskipun telah dilakukan pemangkasan sistim birokrasi investasi di Indonesia banyak pihak investor asing dan dalam negeri mengeluhkan soal birokrasi di Indonesia yang selalu “wajib bayar” biara urusan cepat selesai.
Padahal dalam investasi ada tahapan-tahapan yang harus dilalui bagaimana mengembalikan dana-dana investasi tentunya harus berproduksi/menghasilkan produk. Bahkan kkoordinasi antara departemen dibidang investasi dan penanaman modal juga masih belum sinkron. Dalam menghadapi era globalisasi dan persaingan kompetitif pemerintah meskipun telah mengeluarkan kebijakan yang tegas dibidang sektor investasi nampaknya penguatan kelembagaan dan peraturan yang dikeluarkan tersebut harus disertai dengan pelaksanaan nyata, sistem pengawasan yang efektif bahkan ddddiperlukan suatu tindakan tegas terhadap oknum pelaku-pelaku penghambat disektor investasi.
Laporan UNCTAD (2007) misalnya menunjukkan bahwa hingga tahun 2005, Indonesia bukan negara yang paling diminati oleh penanaman modal asing (PMA). Bahkan dalam kawasan ASEAN sendiri Indonesia masih tertingga apabila dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya termasuk dengan Negara Vietnam.
Beberapa laporan dari UNCTAD (2007) juga menunjukkan bahwa Indonesia tetap dianggap lokasi yang menarik untuk penempatan FDI serta masih banyak hal yang harus dibenahi sehingga Indonesiamasuk kategori negara yang diminati PMA. Indonesia harus memperbaiki iklim investasi sehingga investasi yang kita tawarkan mampu memberikan nilai tambah terhadap
Salah satu indikator yang sering menjadi incaran investor adalah laporan tahun terakhir untuk memilih lokasi, daya tarik suatu negara terhadap investasi adalah survei tahunan dari Bank Dunia berjudul Doing Business. Dalam laporannya tahun 2008 itu Indonesia berada pada posisi ke 123 dari 178 negara yang masuk sebagai sampel.
Pada akhir 2006, JETRO menyebarkan kuesioner kepada 2.537 perusahaan anggotanya tentang lokasi yang diminati untuk mengembangkan bisnis mereka dalam tiga tahun ke depan, khususnya untuk pemasaran dan produksi barang-barang berkualitas menengah ke bawah. Hasilnya menunjukkan bahwa untuk pemasaran, Indonesia peringkat 15 dan peringkat 7 untuk produksi barang-barang dengan kualitas menengah dan rendah.
Dalam hal penerapan AFTA, Indonesia juga sekarang ini menghadapi tantangan sebagai negara tujuan investasi ASEAN. Dengan pasar tunggal ASEAN, maka produsen-produsen internasional tidak harus mempunyai pabrik di setiap negara untuk mampu mensuplai produknya ke negara-negara ASEAN. Mereka dapat memilih satu negara di kawasan ini untuk dijadikan basis produksinya.
Berdasarkan sekelumit uraian diatas nampaknya masih banyak yang perlu diperbaiki oleh pemerintah menyangkut kebijakan investasi, mulai dari infrastruktur, iklim keamanan yang kondusif, jaringan listrik, telekomunikasi dan lain-lain. Langkah-langkah dan kebijakan yang bagaimana dilakukan oleh pemerintah agar investasi di Indonesia bisa berjalan dengan baik dan Indonesia menjadi Negara yang paling diminati oleh investor dalam berinvestasi.
Rasa Aman dan Infrastruktur
Kondisi Negara yang aman dan terhindar dari berbagai bentuk tindakan-tindakan criminal akan selalu menjadi incaran Negara asing dalam berinvestasi. Saat ini di Indonesia rasa aman sangat sulit didapatkan. Setiap hari ada saja tindakan kriminalitas bahkan sampai merembet ke perang antar kampung, antar suku hingga masalah teroris, unjuk rasa yang mengganggu aktivitas orang lain.
Buruknya atau terbatasnya fasilitas jalan raya, pelabuhan dan jalur kereta api, terbatasnya volume dan kualitas pasokan listrik dapat kita lihat dari fakta dilapangan. Listrik misalnya hingga naiknya Dahlan Iskan menjadi Dirut PLN juga belum menunjukkan kinerja yang signifikan. Bahkan diberbagai daerah masih saja terjadi pemadaman bergilir. Jika memang selama 6 bulan kinerja PLN tidak membaik dibawah kepemimpinan Dahlan Iskan yang bersangkutan harus konsisten dengan janjinya dan mundur sebagai Dirut PLN.
Infrastruktur bukan hanya jalan namun menyangkut infrastruktur pendukung iklim investasi. Intinya faktor utama yang menghambat bisnis (termasuk investasi) di Indonesia adalah infrastruktur yang buruk hal itu juga didukung oleh hasil survey JETRO.
Langkah awal pemerintah dalam memperbaiki iklim investasi di Indonesia adalah mengeluarkan UU baru mengenai investasi, atau umum dikenal UU PMA No.25, 2007 yang hingga kini belum berjalan efektif. Bahkan sejumlah perusahaan asing (PMA) hengkang. Padahal UU PM No.25 tahun 2007 sudah mencakup semua aspek penting termasuk pelayanan, koordinasi, fasilitas, hak dan kewajiban investor, ketenagakerjaan, sektor-sektor yang bisa dimasuki pihak investor terkait erat dengan upaya peningkatan investasi.
Dikaui banyak kalangan melaksanakan sistem pelayanan satu atap itu tidak mudah, karena sangat memerlukan visi yang sama dan koordinasi yang baik antara lembaga-lembaga pemerintah yang berkepentingan dalam penanaman modal. Bahkan kepastian hukum, stabilitas, pasar buruh yang fleksibel, kebijakan ekonomi makro, termasuk rezim perdagangan yang kondusif dan ketersediaan infrastruktu harus mendukung akselarasi pertumbuhan investasi.
Keppres No 29 tahun 2004 mengenai penyelenggaraan penanaman modal, baik asing (PMA) maupun dalam negri (PMDN) melalui sistem pelayanan satu atap. Dalam Kepres itu dinyatakan bahwa penyelenggaraan penanaman modal khususnya yang berkaitan dengan pelayanan persetujuan, perizinan dan fasilitas penanaman modal dilaksanakan oleh BKPM.
Pelayanan satu atap ini meliputi penanaman modal yang dilakukan baik di tingkat propinsi, kabupaten maupun kota berdasakan kewenangan yang dilimpahkan oleh Gubernur/Bupati/Walikota kepada BKPM. Kepastian hukum yang tidak ada di Indonesia sejak berlalunya era Orde Baru sering dikatakan sebagai salah satu penghambat investasi, khusunya PMA.
Hasil survei WEF juga menunjukkan bahwa selain buruknya infrastruktur, birokrasi pemerintah yang tidak efisien juga merupakan hambatan serius bagi kegiatan bisnis. Kualitas institusi di Indonesia juga dinilai rendah berdasarkan hasil survei Transparency Internatonal mengenai perspesi korupsi yang menempatkan Indonesia berada pada peringkat 134 terkorup di dunia.Ssurvei Bank Dunia, ditemukan sejumlah hambatan dalam proses memulai usaha di Indonesia, yang mencakup jumlahm prosedur serta waktu dan biaya yang dibutuhkan untuk memulai usaha.
William Deertz menggarisbawahi bahwa selama masalah-masalah besar itu tidak diatasi, sulit bagi Indonesia untuk mendapatkan investor, sering tidak ada harmonisasi di antara instansi.
Penasihat teknis PwC untuk bidang minyak dan gas bumi, William Deertz, mengemukakan, ada lima hal yang membuat industri migas Indonesia semakin tidak kondusif dan kompetitif. Kelima masalah itu adalah kepatuhan atas kontrak karya migas, ketidakpastian tentang cost recovery, terutama berkaitan dengan temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), masalah perpajakan, intervensi dari institusi pemerintah di luar Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, serta jaminan keamanan atas aset.
Sedangkan menurut Presiden Indonesian Petroleum Association, Roberto Lorato, ada lima (5) masalah utama yang menciptakan ketidakpastian bagi investasi di sektor migas di Indonesia. Kelima masalah itu adalah perbedaan interpretasi aturan perpajakan, Undang-Undang Migas dan kontrak kerja sama yang tidak kondusif, tumpang tindih aturan yang terkait penggunaan lahan, ketidakjelasan mengenai kebutuhan gas di dalam negeri,kebijakan ekspor yang kurang kondusif, rantai birokrasi yang panjang dan tumpang tindih kewenangan audit keuangan.
Menurut laporan yang sama dari PERC, untuk Cina, India dan Vietnam, memperkaya diri sendiri tampaknya bukan menjadi motif utama. Tindakan para pejabat tingginya yang sangat birokratif, lebih banyak didasarkan pada keinginan mempertahankan kekuasaan, selain memang ada keinginan kuat para pejabat di semua level untuk menjaga kepentingan menteri-menteri atau wilayah-wilayah tertentu yang mereka wakili. Mengidentifikasi kendala soal perizinan penanaman modal di Indonesia ada beberapa hal yang perlu dipahami bahwa izin investasi harus menjadi satu paket dengan izin-izin lainnya.
Peraturan Pusat-Daerah Tidak Sinkron
Dalam kebijakan otonomi daerah, pemerintah daerah, baik di tingkat propinsi, kabupaten dan kota diberikan kewenangan dalam bidang penanaman modal. Namun, sejak pelaksanaan otonomi daerah, pemerintah pusat terpaksa mengeluarkan Kepres khusus mengenai penanaman modal karena banyaknya kendala yang dihadapi oleh para investor yang ingin membuka usaha di daerah, khususnya yang berkaitan dengan proses pengurusan izin usaha. Investor seringkali dibebani oleh urusan birokrasi yang berbelit-belit sehingga membutuhkan waktu yang cukup lama dan disertai dengan biaya tambahan yang cukup besar.
Sebelum pelaksanaan otonomi daerah, pengurusan izin usaha dilakukan oleh BKPM (pemerintah pusat) dan BKPMD (pemerintah daearah). Namun setelah berlakunya otonomi daearah, terjadi ketidakjelasan mengenai pengurusan izin usaha/investasi.
Bukan hanya itu saja, juga terdapat tarik menarik antara kegiatan BKPMD dengan BKPM serta instansi-instansi pemerintah daerah lainnya yang menangani kegiatan investasi. Sejak penerapan otonomi daerah hingga saat ini banyak pemberitaan di media masa yang menunjukkan bahwa di sejumlah daerah kewenangan penanaman modal digabung dalam dinas perindustrian dan perdagangan, atau bagian perekonomian. Pemerintah, khususnya pemerintah daerah, kerap kali membuat kebijakan yang menabrak aturan yang telah dibuat. Merekapun mempersepsikan setiap kebijakan menjadi berbeda-beda ketika dilaksanakan oleh pengusaha di lapangan.
Banyak kasus dalam beberapa tahun belakangan ini menunjukkan kegiatan investasi terhambat atau bahkan dibatalkan karena belum tuntasnya pembebasan tanah. Masalah pembebasan tanah harus masuk di dalam paket perizinan investasi. UU PM No.25 tahun 2007 tersebut tidak akan efektif meningkatkan investasi di Indonesia apabila persoalan pembebasan tanah semakin ruwet, semakin mahal dan semakin besar resiko keselamatan jiwa dan usaha bagi calon investor. Yang dimaksud keselamatan jiwa dan usaha disini adalah karena sering kali terjadi penipuan dalam transakti pembelian tanah. Beberapa tahun setelah tanah dibeli dan pabrik dibangun diatas tanah tersebut, tiba-tiba muncul sekelompok masyarakat menduduki pabrik tersebut dengan cara paksa dengan alasan mereka sebenarnya alih waris dari tanah itu dan tidak mendapatkan sesenpun uang dari pembelian tersebut. Budaya birokrasi yang mempersulit aturan dengan banyaknya para calo-calo yang gentayangan mengindikasikan adanya proses pembiaran dalam jajaran birokrasi. Seharusnya budaya calo-calo tidak boleh bersentuhan dengan pengurusan-pengurusan izin, apalagi menyangkut izin pembebasan tanah.
Karena itu dimasa mendatang iklim investasi di Indonesia masih perlu diperbaiki sehingga benar-benar memberikan nuansa bahwa berinvestasi di Indonesia selain menguntungkan, perizinan tidak berbelit-belit, Indonesia juga termasuk salah satu Negara yang paling aman di dunia. Mungkinkah Indonesia menjadi salah satu Negara teraman di dunia dalam bidang investasi sementara saat ini semakin banyak ancaman yang mengganggu stabilitas keamaman. Untuk mengurangi tingkat kriminialitas yang semakin tinggi harus ada tindakan tegas dari pemerintah. Seharusnya pemimpin bangsa ini lebih banyak belajar kepada mantan Presiden (Alm. Soeharto) dalam setiap kegiatan selalu menanamkan agar stabilitas keamanan yang sehat dan dinamis diutamakan. Bila alm. Soeharto mampu memimpin bangsa ini dengan aman 30 tahun mengapa selama 12 tahun Reformasi berjalan bangsa kita semakin kehilangan jati diri. Pemimpin sekarang ini perlu melakukan tegas, hak azasi manusia (HAM) yang sesungguhnya adalah adanya rasa aman.(dihimpun dari berbagai sumber)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar